Friday, May 27, 2005

Ingat Kampung Halaman (lanjutan)

Di kampung, ada satu hal favorit yang selalu kutunggu-tunggu: makan. Tidak peduli apakah itu sarapan, makan siang, atau makan malam, semuanya terasa enak. Padahal menunya sungguh tidak intelek di mata orang kota: sayur singkong rebus, nasi putih mengepul (kadang ada juga nasi merah, lebih enak lagi), sambel terasi, dan balado teri atau ikan sungai. Wuih, the most delicious cuisine in the world...Yang aku, ingat, ada ikan sungai yang disebut "ikan sulup" (kecil-kecil, warna keperakan, di Medan kadang disebut dengan "ikan chen-chen". Ada juga ikan jurung; yang ukurannya besar dan streamline seperti peluru. Dua-duanya sama enak. Selain itu, juga tersedia ikan asap dari limbat (sejenis lele), yang paling uenak kalo digulai. Hmmm.....

Belum lagi kalo kita diundang silih berganti dari satu rumah famili ke rumah famili lain. Yang paling ditunggu-tunggu adalah kalau berkunjung ke rumah bapak dan ibu angkat kami, dipanggil Pak Cuman (nama aslinya Lukman) dan Ibu Betty (asli Yogya, tapi udah lebih batak dari orang batak).......... Mereka tinggal di dalam komplek pasar. Selalu ada kurir yang datang ke rumah nenek, dan menanyakan, apa menu yang diinginkan kalau pas datang ke rumah mereka. Saya dan saudara-saudara biasanya saling berebut menyampaikan 'aspirasi' perut masing-masing.

Jika malam menyambangi kampung, suasana terasa temaram, meski belakangan listrik sudah tersedia. Dulu, belum ada yang memiliki TV, kemudian satu-satu mulai membeli dan memasangnya di halaman rumah, seperti yang dilakukan Pak kades, yang rumahnya pas di sebrang jalan. Dingin menyelubungi seluruh kawasan bebukitan itu. Kami biasanya berkumpul di rumah, minum teh atau kopi, dan berbincang-bincang. Bagi anak laki-laki seperti aku, kesempatan semacam itu biasa dipakai untuk mencuri-curi melinting rokok tradisional (dari daun jagung, diisi dengan sejumput tembakau) dari saku kakek atau paman. Biasanya Mama' langsung menyuruh berhenti, sedangkan Ayah cuma tertawa-tawa. "Biarlah, sekali-sekali," begitu alasannya. Para paman malah dengan semangat mengajari bagaimana melinting dan memasukkan jumput tembakau secara baik dan benar :)

Dan bila malam makin larut, saatnya tidur. Ini tidur paling nikmat, dengan selimut tebal, dan tak jarang lebih dulu didongengi cerita oleh Uwak kami. Tentu, sambil rambut di kepala diucel-ucel, membuat kita makin 'teler' keenakan dan akhirnya tak sadar terpulas.

Kalau bosan, kita bisa minta sepupu memanjat pohon kelapa di siang hari dan memetik buahnya barang dua-tiga butir. Bosan juga? Bisa ikut Uwak laki-laki membuat gula merah dari pohon aren (gula aren). Memasaknya penuh kesabaran, dan dicetak berbentuk bundar dengan cetakan dari pelepah pisang yang sudah dikeringkan. Manisnya, jangan tanya lagi. Dan sangat bergizi. Penuh kalori.

Sering pula kita pergi ke pasar (disebut Pekan, tiap hari Kamis). Di sana ada banyak jajanan tradisional, dengan harga murah. Atau, menemani Uwak berdagang tauge ke provinsi sebelah (Sumatera Barat), tepatnya di Pasar Rao (tempat lahirnya sutradara terkenal, Asrul Sani). Sementara Uwak menjajakan tauge-nya, kita berkeliling pasar sambil bermain hingga letih. Kalau dagangannya laku, Uwak suka membelikanku tebu segar yang sudah dipotong-potong dan ditancapkan di tangkai bambu. Persis makan es krim, tetapi yang ini tebu, saudara-saudara...

Dan ketika esok atau lusa kita akan pulang kembali ke Medan, itu saatnya para paman dan bibi serta sepupu membuatkan oleh-oleh spesial: dodol kacang. Membuatnya dari kelapa dan gula merah (aren), diaduk pelan-pelan, yang lama kelamaan makin berat karena makin mengental. Aku pernah mencoba, bahkan hingga SMA, tetap saja ngos-ngosan dan tidak kuat. Sementara mereka membuatnya begitu santai dan mudah, sambil berbincang dan bersenda gurau.

Ada perasaan sedih tiap kali akan berangkat pulang, menunggu bis yang ditumpangi datang menjemput. Biasanya, dulu hingga SMA, ketika akan berangkat pastilah saku celana saya penuh dengan uang recehan, dari lima ratusan, hingga seribuan. Itu 'persenan' dari nenek, kakek, uwak, paman, dan famili lainnya. Wah, bahagianya (waktu aku lulus dari IPB dan mampir di sana, eh, aku juga masih disangui seperti itu, betapa mereka tidak mau melepas tradisi ini. Jadi malu, ih).

Sekarang, aku cuma bisa mengenang-ngenang semua itu. Entah kapan bisa ke sana lagi, dan menjalani masa-masa bahagia tanpa beban seperti dulu. I miss my village... (ah)

Tuesday, May 24, 2005

Ingat Kampung Halaman

Baca Kompas Minggu, 22 Mei 2005 lalu? Ketika mereka membedah tentang bagaimana nikmatnya hidup di desa, dengan segala suasana dan tradisinya, aku jadi termenung-menung. Aku jadi ingat kampung halaman. Tepatnya, kampung halaman ayah almarhum (semoga Allah merahmati-nya, allahummaghfir lahum warhamhum). Hitung punya hitung, aku terakhir ke sana 13 tahun silam, ketika baru saja lulus perguruan tinggi dan pulang ke Medan dengan bis, bersama kedua orang tua. Waktu itu, kami mampir di sana 3 hari.

Kompas menulis tentang kehidupan di desa sekitar Gunung Sorik Merapi di Tapanuli Selatan (sekarang masuk wilayah Kabupaten Mandailing Natal atau Madina). Kampung ayah juga di kawasan sana juga, meski lumayan jauh dari Sorik Merapi. Namanya Muara Sipongi, sekitar 22 km dari Kotanopan, 60 kilometeran dari Panyabungan, serta 120 kilometeran dari Padang Sidempuan.

Melihat foto-foto suasana kampung berikut gambaran situasi kehidupan sehari-hari, ah, tak salah lagi. Itu khas yang memang selalu dirasakan, tiap kali mengunjungi dan tinggal di sana. Muara Sipongi, saudara-saudara! Mungkin kota (kecamatan) ini asing di telinga anda. Tapi coba aku sebutkan nama orang-orang ternama ini: Sanusi Pane (sastrawan), Armyn Pane (sastrawan, budayawan, salah satu pendiri HMI), Muhammad Kasim (sastrawan handal), lahir di tempat ini. Adnan Buyung Nasution pun juga kampung asalnya dari Muara Sipongi, kalo tak salah di desa Pakantan.

Kami sekeluarga, dahulu, kerap menyambangi kakek dan nenek (keduanya kini sudah tiada, allahummaghfir lahuma warhamhuma). Entah itu ketika liburan, lebaran, atau kadang kapan saja, ketika rindu itu datang. Aku malah punya pengalaman menarik, ketika baru saja pengumuman kelulusan SD, pagi-pagi buta ayah membangunkanku dan bertanya, “Mau ikut ke kampung? Ayah ada tugas dan lewat sana, nanti kita mampir ke nenek barang sehari-dua,” katanya. Belakangan, aku tahu kalau ajakan itu adalah bentuk hadiah dari beliau, karena aku menjadi juara umum di sekolah. Persiapan kilat pun dilakukan. Mama’ menyiapkan pakaian, baju hangat, dan tak lupa mewanti-wantiku agar jangan membiarkan perut kosong di perjalanan. Dan benar, saking buru-burunya, waktu itu makan pun tak selera lagi. Akibatnya, masuk angin dan mabuk perjalanan, apalagi saat melewati kelok 40, Sibolga (waktu itu jalur nyaman lewat Kisaran belum lagi dibuka). Waktu itu, dari Medan ke Muara Sipongi (atau biasa disebut Morsip) membutuhkan 14 jam perjalanan.


Image hosted by Photobucket.comTetapi tetap saja mengunjungi kampung halamanku itu menjadi sebuah kenikmatan tiada tara. Bayangkanlah. Kampung ini berada di tepi Batang Gadis (nama sungai), yang airnya jernih bukan kepalang. Dinginnya jangan tanya. Aku tak pernah bisa mandi kecuali jarum jam sudah menunjuk angka 11 siang. Saking dinginnya, di permukaan air terlihat kabut yang mengapung-apung hingga tengah hari. Kawanan burung Belibis suka mandi di tepian dekat hutan, dan menghambur berterbangan jika diusik anak-anak yang asik mandi. Kadang, babi hutan suka mengintip di balik dedaunan. Harimau? Satu-dua orang pernah mengaku bertemu. Ayahku juga pernah, dan suka menceritakan pengalaman itu berkali-kali kepada kami, anak-anaknya. Kami selalu suka mendengar cerita itu dan senantiasa terkagum-kagum. Mata kami berbinar-binar kalau cerita tentang harimau, babi hutan, bahkan tentang cerita seram sekali pun, terutama tentang inyik (sebutan sopan untuk harimau) jadi-jadian yang suka terlihat melintasi sungai di tengah malam, dengan seorang nenek berjubah kelabu di atas punggung sang harimau.

Di belakang rumah-rumah penduduk, baik yang di sebelah utara maupun selatan jalan lintas Sumatera, hutan dan semak belukar lebat sudah menyambut. Belukar ini terus menyambung hingga menuju rimba bebukitan. Sinar matahari baru bisa nongol setelah jam 11 karena tertutup bebukitan itu. Jadi, dinginnya sudah terkira, bukan?

Tiap orang bertemankan sarung dan kemul. Pagi-pagi, sehabis subuh, pekerjaan paling nikmat adalah nongkrong di depan rumah sambil berkemul dan ngobrol ngalor ngidul, atau masuk warung dan ngopi atau minum teh, plus ditemani pisang goreng yang rasanya tidak bisa disamai pisang goreng mana pun di dunia. Sumpah!

Sembari ngobrol (orang sana menyebutnya “mahota”), aku dan sanak saudara sebaya dulu sering menghitung bus-bus antarkota dan pulau yang selalu lewat di jalanan kampung. Coba, apa yang tidak ada, mulai dari ALS (Antar Lintas Sumatera), ANS (singkatan dari ANAS, punya orang Padang?), PM Toh, Sibual-buali, Sampagul, hingga Mawar Merah). Entah di mana letak kesenangannya, yang jelas, tiap bus yang lewat selalu kami sambut dengan sorakan dan lambaian tangan. Bangga rasanya menghibur para musafir yang dari dalam mobil tampak tersenyum sambil balas melambai. Kadang, mereka juga berhenti di mesjid jami di tepi sungai dekat jembatan, sekadar membasuh muka dan menunaikan solat.

Mandi di sungai adalah kenikmatan yang lain lagi. Air yang jernih membuat ikan di dasar perairan tampak dengan jelas. Kadang kami main ke daerah larangan, sebutan buat kawasan sungai yang ditetapkan desa sebagai daerah larang ambil, karena ditebar berbagai bibit ikan. Biasanya pada hari kedua atau ketiga lebaran idul fitri, larangan itu diakhiri, dan warga desa boleh mengambil dengan jala, pancing, tombak, dan segala rupa perangkat, dengan membayar sejumlah uang pendaftaran. Uang itu dipakai untuk kepentingan desa. Di sungai larangan ini, kami bawa nasi basi dari rumah nenek. Begitu nasi ditebar di tepi, dan permukaan air ditepuk-tepuk, ikan-ikan beragam jenis muncul mendekat dan berpesta. Jinak-jinak. Pemandangan eksotik apa lagi yang bisa menyainginya?

Ketika ayah memiliki ladang jeruk, kami rela berjalan kaki 2 kilometer menuju ladang itu, mendaki hingga puncak bukit dan membawakan kakek nasi rantang untuk makan siang. Di puncak bukit ada saung, berikut kolam di bawahnya. Untuk cucu-cucunya, kakek suka mengambil ikan mas yang ada di kolam, untuk digulai atau digoreng dan disantap bersama. Yang lucu, di kaki bukit, sebelum masuk ladang jeruk, ada pengumuman unik, ditulis dengan cat putih di papan tipis. Isinya: “Dilarang Mencuri. Kebun Ini Berubat!!” (maksudnya berobat, diberi jampi-jampi yang membuat pencurinya bakal celaka). Kakek yang membuatnya. Konon, dia termasuk tabib atau dukun kampung yang lumayan disegani...

(bersambung, udah menjelang jam 22.30. ngantuk...)

Wednesday, May 18, 2005

Sibuk, Kejutan, Hiburan

Allah itu Maha Hebat.

Betapa tidak, kesibukan luar biasa karena harus menuntaskan berbagai kerjaan kantor sudah amat menyita waktu dan tenaga. Eh, penelitian malah membuat aku panik, karena makin mendekat ke sini kok makin banyak yang dirasa kurang.

Maka, sungguh aneh ketika pekan lalu, entah kenapa aku ngotot berhenti mengerjakan semuanya sejenak. Ya, sejenak. Sehari saja. Aku ingin mengerjakan yang lain sama sekali. Tidak untuk bermain game, tidak untuk kerjaan kantor, tidak untuk tesis. Go to hell with them! Akhirnya, kugunakan untuk menulis esai tentang Perpustakaan Nasional. Hasilnya aku kirim ke Lomba Menulis tentang Perpustakaan Nasional, pas injury time (deadline tanggal 10 Mei, kirim tanggal 9 Mei siang). Saking injury time-nya, Pak Pos pun nyerah, sehingga harus pake jasa kurir khusus. Kena 20 ribu perak, tetapi puas, karena bisa mengerjakan something different than usual.

Dan tahu-tahu pengumuman muncul kemarin di situs www.pnri.go.id. Hasilnya, terpilih 3 pemenang utama (Juara I mahasiswa dari Bantul, hebat...hebat, patut diacungi jempol). Selebihnya, kebanyakan kalau nggak dosen, ya petugas perpustakaan di berbagai daerah. Di luar 3 juara, ada 10 Penulis Favorit pilihan Juri. Dan, eeeeeh..... sodara-sodara, namaku kok ada di urutan ke-4 dengan esai yang berjudul 'Menjajakan' Perpustakaan Nasional dan Pengembangan Layanan bagi Khalayak". Itulah hasil kerjaan mendadak, yang sebenarnya lebih untuk mengusir kejenuhan.

Allah sungguh-sungguh Maha Hebat. Dan aku jadi sungguh-sungguh jadi malu pada-Nya. Dia Maha Tahu cara menghibur hamba-Nya. Di sela kesibukan kerja dan kekalangkabutan mengerjakan tesis serta berbagai urusan dunia lainnya itu, berita 'kemenangan kecil' ini amat menyejukkan. Konon, ada hadiah uang dan piagam penghargaan, lho :). But that's not the issue. The issue is: bahwa ketika aku mulai lupa dan lalai, Dia bukannya murka. Sebaliknya, justru menghiburku terus-menerus dengan tetap memberi kesehatan, kekuatan, dan berita gembira seperti ini. Rasanya, betapa tak pantas selama ini aku mengeluhkan kesibukan kerja, kepusingan belajar, dll. Sangat tak patut.

God,thanks a lot.
Engkau sungguh-sungguh Maha Hebat.
Maha Sabar.
Maha Penyayang thd hamba-mu yang 'ndableg' ini.

Thursday, May 12, 2005

McDonaldisasi: Rasional vs Irasional

Inilah contoh konsep rasionalitas demi memburu kemajuan. Yang terjadi justru sebaliknya.

Siapa tak kenal McDonald? Inilah perusahaan yang bergerak di bidang makanan cepat saji (fast food) terdahsyat yang pernah ada di bumi. Setidaknya, jika melihat kemajuan pesat yang dicapainya sejak pertama kali berdiri.

Adalah Ray Kroc, si pengembang kerajaan McDonald, yang mematenkan metode brilian dalam menjual dan mengembangkan produknya. Cerita awalnya adalah usaha dua bersaudara, Mac dan Dic McDonald, yang membuka restoran di Pasadena, California, tahun 1937. Strategi mereka berjualan adalah menyediakan pelayanan dengan kecepatan tinggi, volume yang besar, dan harga terjangkau. Agar rapi jali dan menghindari kekacauan akibat banyaknya pembeli, dua bersaudara ini menyusun rangkaian menu siap pesan yang amat rinci. Belum lagi model “ban berjalan” ala pabrik untuk kegiatan produksinya. Waktu memasak kentang dan ayam, misalnya, sudah diatur sedemikian rupa, demikian juga pelayanan. Dua bersaudara ini pula yang mula-mula memperkenalkan pekerjaan spesifik untuk tiap pegawai. Ada “grill men” yang khusus memanggang daging, “fry men” yang menggoreng kentang dan ayam, atau “dresser” yang khusus menambahkan ekstra di atas burger dan yang membungkusnya.

Kroc tertarik dengan model bisnis makanan yang dikembangkan dua McDonald itu. Kesempatannya mengembangkan strategi dimulai dengan menjadi mitra dua bersaudara tersebut sebagai agen waralaba sejak 1954. Kroc membuka warung burger sederhana setahun kemudian di San Bernardino, California. Lama-kelamaan, usaha tersebut berkembang, namun McDonald bersaudara masih memegang kendali usaha. Baru setelah Kroc membeli seluruh aset McDonald’s seharga US$ 2,7 juta tahun 1961, ia mulai menciptakan strategi resto yang diimpikannya.

Dan hasilnya, kini McDonald’s –yang popular disebut McD-- sudah memiliki 31 ribu outlet di seluruh dunia yang tersebar di 119 negara. Termasuk di Mekkah! Mereka melayani lebih dari 47 juta pelanggan tiap hari. Pada tahun 1993 alias 11 tahun silam, total penjualan McD mencapai US$23 milyar dengan keuntungan hampir US$ 1.1 milyar. Rata-rata outlet di AS total penjualannya waktu itu kira-kira US$1.6 juta per tahun. Kota Moskow sebagai simbol kekuatan Soviet waktu itu juga ‘ditembus’ McD. Di outlet kota itu, sejumlah 30 ribu burger McD dijual tiap harinya dengan mempekerjakan tak kurang dari 1200 anak muda. Kini, jumlahnya tentu lebih berlipat ganda. McD bahkan menjadi ikon baru kekuatan Amerika di bidang ekonomi.

Inovasi Ray Kroc yang sukses ini mewabah ke mana-mana. Yang Kroc tidak sadari, model bisnisnya tersebut ternyata mempengaruhi sendi-sendi kehidupan manusia di dunia, yang akhirnya dikaji banyak pihak dari berbagai disiplin. Pelaku usaha berlomba-lomba meniru atau mengadaptasi model bisnis McD ke dalam usaha mereka masing-masing.

Prinsip Rasionalisasi

George Ritzer, seorang ahli bidang teori sosial, menulis sebuah buku berjudul “McDonaldization of Society: An Investigation into the Changing Character of Contemporary Social Life” pada tahun 1995. Isinya membahas kesuksesan McD dan pengaruhnya terhadap perubahan karakter dan kehidupan sosial masa kini. Buku ini hingga sekarang menjadi rujukan banyak pihak yang ingin mendiskusikan pengaruh upaya rasionalisasi terhadap hidup manusia.

Wabah McD sesungguhnya berakar dari ide rasionalitas, yang bisa diartikan sebagai penggunaan pikiran untuk menentukan untung-rugi segala sesuatu. Dalam usaha ekonomi, tak pelak orang harus berpikir rasional agar memperoleh keuntungan. Dan upaya rasionalisasi salah satunya adalah melalui birokrasi, yakni dengan membentuk hirarki dan tanggung jawab kerja terstruktur dalam sebuah organisasi. Masing-masing kerja didefinisikan agar tujuan organisasi tercapai, seperti yang diungkap oleh Max Weber, seorang sosiolog Jerman,

Dan itulah yang ditawarkan McDonald’s. Pertama adalah efisiensi atau metode optimal untuk memindahkan orang dari satu titik ke titik lain. McD menerjemahkannya sebagai perubahan secepatnya dari lapar ke kenyang. Maka, orang tak perlu repot berpikir apa yang harus dimakan, atau di mana harus makan. Cukup ke McD, pesan,dan,.. kenyang.

McD menerapkan juga prinsip kalkulabilitas, alias aspek kepastian terukur tentang kuantitas produk yang diperoleh. Semua orang tahu, berapa kocek yang harus dirogoh kalau ingin makan dua potong burger, termasuk besar rotinya. Atau, jika ingin makan yang lebih besar, orang pasti memesan BigMac, bukan yang medium.

Unsur lainnya adalah prediktabilitas. Dalam hal ini, semua orang tahu persis, bahwa produk dan jasa yang mereka beli akan sama di mana pun mereka cari di dunia. Rasa French fries alias kentang goreng di Kalimalang tak ada bedanya dengan yang di California. Demikian juga dengan sistem kerja mereka sudah dapat diprediksi, berapa lama waktu untuk masak, umpamanya.

Sedangkan unsur terakhir adalah kontrol ketat lewat substitusi tenaga manusia kepada teknologi. Jalur produksi yang sudah ditetapkan atau menu yang sudah diatur sehingga orang hanya bisa memesan sesuai menu yang ditetapkan, merupakan contoh dari betapa terkendalinya kegiatan usaha tersebut. Termasuk tentang perilaku dan kerja pegawainya juga distandarisasi.

Semuanya dilakukan dengan tujuan rasional yang ujungnya menghasilkan keuntungan. Dan karena sukses, berbondong-bondonglah orang meniru prinsip di atas. McD menjadi wabah, yang kemudian oleh Ritzer disebut sebagai “McDonaldisasi”. Artinya kira-kira adalah suatu proses masuk dan mendominasinya prinsip-prinsip restoran siap saji ini ke berbagai sektor lain dalam kehidupan masyarakat Amerika, juga dunia.

Untuk urusan perut, Kentucky Fried Chicken, Burger King, Pizza Hut, dan lain-lain boleh dibilang mengikuti jejak McD. Di luar itu, kini berkembang usaha dengan prinsip sama, seperti McDentist (Urusan Dokter Gigi), McDoctor (medis), dan segala Mc lainnya. Media massa pun terimbas. Di Amerika, ada surat kabar USA Today, yang isinya ringkas, sehingga membantu bagi yang sibuk karena mereka cukup membaca berita yang ringkas. Atau, kita semua menggunakan mesin ATM (anjungan tunai mandiri) bukan? Itu tak lain menggunakan empat prinsip tadi. Anda tahu persis apa yang akan anda dapatkan, atau yang bisa diurus oleh ATM.

Rasional versus Irasional

Pertanyaannya, benarkah semua prinsip itu membawa kita ke arah yang lebih baik? Dalam beberapa hal, harus diakui ya. Tapi dalam banyak hal lain, yang terjadi adalah ironi. Manusia jadi kehilangan rasa kemanusiaannya. Hal ini tak mengherankan, karena manusia sesungguhnya hidup bukan hanya dengan rasionalitas, tapi juga nilai-nilai. Dan nilai-nilai tersebut, termasuk di dalamnya keyakinan/iman, bisa jadi yang utama diperjuangkan ketimbang sekadar urusan untung-rugi.

Dalam kasus McDonaldisasi alias “wabah” McDonald’s, semua prinsip demi rasionalisasi tadi pada kenyataannya justru muncul ketidakefisienan. Hal yang diharapkan rasional justru menjadi tidak rasional. Ritzer menyebutnya sebagai ”Irrationality of Rationality" (Irasionalitas dari Rasionalitas).

Kecepatan untuk mengubah lapar menjadi kenyang yang didengungkan, pada kenyataannya malah membuat antrian konsumen yang panjang. Ingin makan segera, malah disuruh menunggu, menyebalkan bukan? Juga antrian di ATM, yang membuat orang stres. Jika satu orang menghabiskan waktu 2 menit, berarti anda butuh waktu 20 menit di antrian kesebelas. Padahal, anda hanya ingin mengecek, apakah kiriman uang dari kantor sudah masuk atau belum. Belum lagi ketika ternyata anda salah pencet, dan kiriman uang masuk ke rekening orang lain. Urusannya jadi panjang: bikin laporan kejadian, hubungi customer service, menanti proses pengecekan, dan berharap uang salah kirim tadi dapat kembali. Jika tidak, anda akan makin frustrasi.

Yang pernah belanja di pusat grosir besar, tentu tahu betapa banyaknya lorong-lorong yang disediakan untuk tiap jenis barang. Alih-alih menyediakan pilihan terbaik bagi konsumen, yang terjadi adalah orang kesal karena harus berputar-putar setiap kali memberi barang yang berbeda. Bandingkan dengan kios tetangga, misalnya, yang tinggal pesan, maka barang datang. Plus, masih bisa ngobrol soal Mulyana Kusuma dan korupsi KPU. Atau, menang mana Liverpool lawan AC Milan. Lebih manusiawi.

Prinsip ala Kroc juga secara nyata mengakibatkan dehumanisasi. Makanan cepat saji pada akhirnya membuat orang tak lagi memikirkan kandungan gizi yang tepat. Belum lagi soal teknologi, dengan membuat bahan produksi secara khusus, misalnya budidaya tanaman secara intensif, tapi mengorbankan lingkungan bahkan kesehatan manusia, seperti yang kini banyak dicemaskan orang.

Dehumanisasi lainnyan adalah hubungan antar-manusia yang kering. Coba, ketika kita memesan suatu menu di depan kassa makanan sebuah restoran. Begitu anda selesai membayar, pelayan dengan senyum mengembang mengatakan, “Terima kasih, selamat menikmati”. Sekilas, ini adalah bentuk keramahan. Tapi di balik itu, sadarkah kita kalau sesungguhnya restoran ingin menyatakan kepada Anda, “Terima kasih, mohon pergi selekasnya, pelanggan lain yang mau membayar sudah menunggu..”. Demikian juga hubungan dengan sesama pekerja di sebuah perusahaan, menjadi kaku dan singkat karena disibukkan dengan pekerjaan masing-masing dan kehilangan waktu untuk bersosialisasi.

Faktor negatif lainnya adalah adanya homogenisasi. Konsumen tidak lagi punya hak meminta hal spesifik kecuali yang sudah tertera di menu. Padahal, apa susahnya menambahkan buah ceri di atas es krim yang kita pesan buat putra-putri. Tapi, karena tidak ada dalam manual, maka permintaan sepele itu tidak akan pernah bisa dikabulkan.

Membeli baju juga bukan lagi seperti masa lalu, pesan ke tukang jahit dan diukur sesuai tubuh. Yang ada, di swalayan tersedia ukuran S, M, L, XL, dan seterusnya. Kalau pas di tubuh, tapi lengannya terlalu panjang, anda tidak bisa protes. Yang bisa dilakukan, pakai dan permak di rumah, atau cari satu yang betul-betul pas sampai ketemu !

Hidup di Era Irasional

Malapetaka-kah hidup di era seperti itu? Belum tentu. Ada banyak cara untuk berkelit dan bertekad hidup tidak dengan “ala McDonald’s” seperti fenomena di atas. Dalam bukunya, Ritzer memberikan beberapa tips (lihat boks) untuk menghindari terjerumus dalam akibat-akibat negatif yang terjadi.

Banyak perusahaan juga memodifikasi model usahanya sehingga tidak terperosok menjadi perusahaan efisien tapi bak robot. Ada banyak kafe, misalnya, yang menyediakan lebih banyak ruang baca, tempat bersantai, atau bermain. Restoran menyediakan layanan bagi pelanggan untuk memilih menu yang disukai, di luar yang sudah tercantum. Majalah dan koran hadir memperbanyak ruang cerpen atau sastra, dan menghindari berita-berita kaku.

Intinya, prinsip-prinsip McDonaldisasi memang bisa diambil seperlunya demi kemajuan. Namun pada saat bersamaan, hidup harus dibuat berwarna agar terhindar dari jebakan irasionalitas, dehumanisasi, atau homogenisasi. Hidup terlalu indah untuk disetir dengan prinsip untung-rugi.

Tips Hidup di era McDonaldisasi

1. Agama tentu pegangan utama. Dengan iman, anda tidak akan mengalami kegoyahan hidup sehari-hari, tahu mana yang harus dikerjakan dan mana yang tidak.


2. Bagi yang mampu, usahakan tidak tinggal di apartemen. Cobalah hidup di lingkungan yang bisa bersosialiasi. Kalau terpaksa hidup di lingkungan apartemen, upayakan tidak menjadi kaum asosial.

3. Daripada membeli di swalayan, mal, atau grosir raksasa, cobalah sesering mungkin belanja di pasar tradisional. Atau belilah buah dari pedagang pinggir jalan. Mahal sedikit tak mengapa, tapi anda membantu mereka dan bebas dari kekakuan ala supermarket.

4. Bersantaplah di resto Padang, atau warung pecel lele, ketimbang di resto siap saji atau resto besar lainnya.

5. Coba menulis untuk keluarga dengan pena dan layanan pos, meski e-mail memungkinkan. Upayakan telepon famili langsung, tidak lewat SMS.

6. Hindari membeli barang-barang impor yang mahal dan tak perlu. Cintai produk dalam negeri.

7. Kalau harus menonton televisi, tontonlah stasiun yang kecil atau yang menawarkan program pendidikan, bukan hiburan film.

8. Daripada membawa liburan anak-anak ke pusat permainan (game), bawalah mereka ke Kebun Raya, atau Taman Margasatwa.

9. Cegah rutinitas sehari-hari. Bikinlah sesuatu dengan cara berbeda setiap hari, bila mungkin. Dan jika bisa dikerjakan sendiri, kerjakan, tak usah menggunakan jasa layanan komersial.

(ah)