Saturday, August 06, 2005

Indomie

Image hosted by Photobucket.comAda satu pertanyaan, yang entah sudah berapa puluh kali saya lontarkan ke temen-temen sesama alumnus kampus dulu. Meski menggunakan metode random sampling yang tidak sesuai dengan yang dijelaskan dalam mata kuliah Rancangan Percobaan (S1) atau Statistik Sosial (S2), rasanya saya menemukan jawaban yang valid dan signifikan, dengan tingkat kepercayaan 99%.

Pertanyaannya adalah: “Enakan mana, Indomie rebus bikinan sendiri atau bikinan si Akang pemilik warung Indomie?”


Kadang-kadang, bagi yang sudah beristri, pertanyaannya diganti: “Enak mana, Indomie buatan istri atau bikinan mamang yang jualan Indomie rebus di pinggir jalan?”

Sodara-sodara, jawabannya rata-rata adalah: Enakan bikinan si Akang empunya warung. Atau, lebih sip Indomie bikinan Mamang pedagang Indomie pinggir jalan.

Nah, lho? Tanpa meremehkan arti bakti istri yang rajin bikin Indomie buat suami, memang rasanya jauh beda dengan yang dibuat oleh Mamang penjual Indomie rebus di warung-warung. Apa karena campur keringat, atau serbet kumel itu ya? Hiiii....


Teman Setia Para Mahasiswa

Sebenarnya, istilah lebih tepat untuk ini adalah mie instan. Tapi, istilah Indomie = Mie Instan sudah seperti layaknya pasta gigi = Odol, atau air minum dalam kemasan = Aqua. Jadi, sutralah....

Kalau ada jenis makanan yang perlu mendapat tanda jasa kesetiaan berkarya, saya rasa Indomie mungkin salah satu yang harus menerima. Dia menemani lebih akrab dari siapapun, kayaknya. Makanya, saya pake kata "dia".

Saya jadi ingat, dulu, masa kuliah S1, di daerah Darmaga, Bogor, entah berapa kali dalam seminggu Indomie ini menjadi santapan utama. Tiap ke warung Indomie (yang entah kenapa kok mayoritas dikelola orang dari Kuningan?), wajah-wajah mahasiswa rantau yang kuyu kelaparan tampak ngantri menunggu hidangan murah meriah ini. Gizi dan sebagainya, nomor 16... yang penting nggak masuk angin, dan sensasi rasanya (ah, masak iya?).

Malah, sampai-sampai metodologi proses memasaknya ada banyak rupa. Di dekat pertigaan Radar, tukang mie memasukkan Indomie ke dalam plastik, diberi daun sawi, lalu disiram air panas, dan dimasukkan ke dalam panci mendidih. Waduh, itu kandungan senyawa kimia plastiknya memuai dan dikonsumsi juga. Semua juga tau, tapi entah kenapa semua juga diam. Nggak peduli. Santap abis.

Di Jl. Bara Tengah, ada warung Indomie keren, letaknya di atas jalan, sehingga kalau malam pengunjungnya bisa melihat seliweran mahasiswa lalu-lalang sibuk dengan urusan masing-masing. Si Mamang juga punya penampilan beda dengan penjual Indomie lain. Dia pakai ikat kepala putih dari handuk made in Cina. Sekilas, mirip dengan penjual singkong dan makanan lokal di Jepang sono. Dan, campuran sayurnya bukan sawi hijau, melainkan sawi putih. Sadar atau tidak, si Mamang ini sudah menerapkan strategi positioning dan branding yang mantap (saya malah baru dapatnya di Semester 3 S2 UI.... rasain lo, kalah sigap soal branding dengan mamang Indomie).

Tetapi, di warung ini juga tingkat loyalitas saya jatuh, dan akhirnya tidak pernah datang ke situ lagi. Gara-garanya, suatu saat, sekitar jam 23.00 WIB, saya dan Khairullah (teman pemilik Rental PC Rezko), nongkrong pengen isi perut di situ. Si mamang pun, dengan tampilan khasnya, mulai memasak. Sekitar sekian menit, saya melihat hal aneh. Di wajan tempat merebus Indomie, selain ada sawi putih dan Indomie kuning, kok ada benda coklat mengapung-ngapung.... dan meronta-ronta...!! (Whhaaa, coba, mana ada sawi warna coklat, pake meronta lagi). Sekian detik dibutuhkan untuk mengidentifikasi, sampai akhirnya kami berdua tak sadar berteriak kepada si Mamang, dengan teriakan 'agak' ngeri: "Kecoaaaa......!"

Tahukah anda reaksi si Mamang. Hohoho, memang betul-betul mental baja. Tanpa ngomong apapun, atau minta maaf, atau apalah, dia dengan cekatan, gerakan bak jurus "Kunyuk Melempar Buah" ala Wiro Sableng, mencongkel si kecoa dari Indomie yang tengah mengebul-ngebul mendidih. Tuiiiing..... sang coro nahas itu mencelat ke luar, nemplok di sudut kaki kursi. Dan, oh my god, tanpa merasa pernah terjadi apa-apa, itu hidangan tetap diaduk-aduk, dituang ke mangkok, dikasih bumbu, dan dihidangkan kepada kami berdua. Betulp-betul Indomia bumbu kecoak....

Saya nggak ingat apa reaksi detil saya waktu itu. Kayaknya, kalo ndak salah ingat, kita berdua bengong dan pura-pura ngobrol, tapi tidak menyentuh si Indomie. Cuma makan kerupuk, dan akhirnya cabutt. Putus hubungan dengan si Mamang. Sampai kini.

Menjajal Lagi

Dan begitulah. Entah mengapa, beberapa hari silam saya tiba-tiba bertanya lagi ke teman di kantor, soal enakan mana, masakan Indomie sendiri/istri, atau buatan Mamang penjualnya. Eh, jawabannya masih sama, enakan masakan penjual.

Pulang dari kantor, keluar dari stasiun Bogor, hujan rintik-rintik. Ah, saya sudah lapar, perut berdesis dan berkontraksi. Tiba-tiba pandangan saya tertumbuk pada warung Indomie di tepi jalan. Nostalgia? Why not. Saya tanpa sadar mengikuti langkah kaki (tentu diperintah otak dan hati, cuma serasa otomatis, gitu loh)... menuju warung itu. Saya telepon istri, bilang kalo entah kenapa tiba-tiba saya ingin makan Indomie rebus di warung. Buah hati saya itu cuma tertawa lebar dan bilang, "Ya sudah, selamat bernostalgia.."

"Indomie, Mang. Satu..." saya pesan ke si penjual. Dia mengangguk, dan mulai bekerja. Warung kebetulan sepi, cuma saya sendiri. Tanpa sadar, saya mengamati ritual langkah memasak Indomie yang dilakukan si Mamang. Buka bungkus, sreset, masukin ke wajan berisi air mendidih. Sementara bumbu dibuka dan ditaruh di mangkok. Hmm..... Usai masak, saya taruh kecap, bubuk merica, dan saos sambel botolan yang kental. Ini sambel yang saya tau bukanlah 100% tomat dan cabe, melainkan lebih banyak dibuat dari tepung ubi rambat kuning (Seorang teman pernah meneliti pembuatannya dulu sekali).

Nah, di situ jawabannya tiba-tiba muncul. Sembari makan dan merem-melek menikmati hidangan, saya mulai mengira-ngira. Kesimpulannya hadir ketika makan usai. Jangan-jangan, semua rasa yang khas itu datang dari saos sambel botolan ini, karena 100% warung Indomie selalu pakai saos sambel yang seperti ini.

Berguna atau tidak, tak terlalu penting. Yang jelas, saya lumayan puas. Selain bisa makan Indomie rebus, juga menemukan 'jawaban' dari pertanyaan yang sudah kerap saya lontarkan itu.

Jadi, enak mana, makan Indomie bikinan sendiri, atau yang buatan Mamang penjualnya? Jawabannya mungkin tetap sama: Indomie buatan si penjual. Kenapa? Karena saos sambel ubi jalar kuning itu....
Nyam...nyam.... (ah)

Catatan: Selama menulis tentang Indomie ini, tidak ada Indomie yang disakiti, atau dicuri dari tempatnya. Tidak ada kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga saya, gara-gara saya pengen Indomie tapi tidak ada stoknya di lemari. Dan yang terpenting, tidak ada pesan sponsor dari pabrik Indomie (Bogasari atao Indofood). Semua ini sekadar pengalaman belaka.