Thursday, October 20, 2005

"Media Cetak, Murdoch, GATRA, dan Dinosaurus

Majalah GATRA edisi 8 Oktober 2005 halaman 73 memuat artikel menarik tentang media. Tak tanggung-tanggung, isinya mengutip pendapat salah satu kaisar penguasa media massa dunia, Rupert Murdoch. Pak Murdoch bilang, ia skeptis melihat masa depan koran (dan media cetak secara umum). "Saya yakin, banyak editor dan reporter yang sudah kehilangan relasi dengan pembacanya," katanya, saat berbicara di hadapan Asosiasi Editor Surat Kabar Amerika pada April lalu.


Image hosted by Photobucket.com Image hosted by Photobucket.com Image hosted by Photobucket.com
Intinya, Murdoch mau bilang bahwasanya kematian koran dan media cetak lain tinggal menunggu waktu. Nasibnya tak beda dengan dinosaurus. Punah oleh evolusi, kata GATRA. Wassalam. Alasan kuat lainnya, apa lagi kalau bukan soal salah satu pemasukan media: iklan. Perusahaan pemasang iklan di media cetak akan mengalihkan strategi mereka ke media elektronik dan internet. Pada akhirnya, media elektronik juga harus bersaing dengan internet. Terutama dengan produk seperti blog dan news portal. "Sekarang perusahaan media, termasuk perusahaan saya, harus lebih paham soal internet," kata Murdoch, sebagaimana dikutip GATRA.

Menilik artikelnya, agaknya lumayan serius. Mas Basfin, sang penulis, menjelaskan bahwasanya ramalan era kematian koran sebenarnya bukan hal baru. “Para peneliti media pun sebelumnya mengatakan hal serupa,” ujarnya. Ada banyak data yang dikutip. Dan itu sahih. Dipaparkan pula secara ringkas soal jurnalisme baru via media blog. Hm, menarik, nih. Hingga akhirnya artikel ditutup dengan pertanyaan: “Jadi, sampai kapan media cetak bertahan?” Menurut buku Saving The Vanishing Newspaper: Journalism in The Information Age karangan Philip Meyer, bila trend digital semacam ini terus berlanjut, diperkirakan tahun 2040 masih ada sisa-sisa pembaca koran. Lewat tahun itu, semua goes digital.

Keniscayaan?

Apa yang dipaparkan dalam artikel itu, dalam beberapa hal amat benar. Media cetak, mengutip William R. Rivers dkk. (Mass Media and Modern Society, 2nd Edition) saat ini harus bekerja keras menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi baru. Banyak media besar berusia tua, akhirnya harus menyerah. Ini dialami, misalnya, oleh Life dan The Saturday Evening Post, yang terbit di Amerika sono.

Khusus buat majalah, sebagai salah satu produk media cetak, kondisi sulit bergerak ini makin terasa. Jim Willis dan Diane B. Willis bahkan menulis bab khusus dalam bukunya New Directions in Media Management (Allyn and Bacon, 1993) tentang siklus hidup majalah yang tak beda dengan manusia: lahir - jadi orok - tumbuh besar – untuk kemudian matang – tua - dan akhirnya mati (agak absurd juga soal ini dibahas, mengingat siklus itu sesungguhnya amat general, berlaku buat media apa saja).

Kembali, pertanyaan pokoknya adalah: benarkah media cetak akan “wassalam”? Teknologi rupa-rupanya menjadi satu alasan dominan (setidaknya dalam penjelasan artikel di GATRA tersebut) mengapa media cetak terus tersudut , untuk kemudian –sebagaimana dilontarkan Rupert Murdoch—punah. Koran dan majalah digital menggantikannya.

Pertama, ada kesalahpahaman kecil di sini. Tren turunnya oplah seolah-olah semata karena orang beralih ke dunia digital. Sesungguhnya, ada banyak faktor lain yang jarang dibahas. Di Amerika dan Eropa, turunnya oplah ditengarai juga karena meningkatnya populasi kaum minoritas di suatu negara. Misalnya, di Amerika, populasi kaum hispanik naik menjadi 9,2 persen tahun 2000 dari 7,2 tahun 1998. Karena amat lekat dengan budaya mereka, media cetak yang ada tidak memenuhi keinginan dan kebutuhan kaum minoritas, sementara jumlah mereka terus meningkat. Apa yang terjadi, mereka memilih tidak membeli dan membaca koran atau media cetak umum yang dijajakan.

Di lain pihak, jumlah keluarga inti di kawasan ini makin menurun, sementara banyak media tua terus berperan secara tradisional –diperuntukkan hanya untuk kepala rumah tangga dan tidak memperhatikan kebutuhan kaum ibu dan anak. Walhasil, peminatnya akan terus menyempit, hingga akhirnya hilang. Belum lagi dengan makin menurunya tingkat pertumbuhan populasi secara umum.

Adapun pengaruh teknologi baru, memang demikianlah adanya. Berita internet, dan berita online lainnya membuat orang malas membaca edisi hardcopy. Selain itu, berbagai layanan informasi elektronik makin menghujani pembaca di masa kini. Jasa informasi elektronik memang sudah mulai mewabah di AS, katakanlah seperti Nexis, Lexism, Compuserv, Dialog, DataTimes, dan VuText. Semua versi ini menyediakan naskah ratusan berita koran, majalah, laporan-laporan dan publikasi pemerintah, juga salinan putusan hukum dan berbagai komentar dari beragam sumber.

Tetapi di sisi lain, Murdoch (dan GATRA yang menulis) mungkin lupa, atau belum membaca penjelasan Jim Willis dan Diane B. Willis dalam bab lainnya dari buku yang sama. Tak banyak yang paham, bahwa berkali-kali studi dan kajian telah dilakukan oleh perusahaan media, yang mengujicobakan penyampaian berita koran secara elektronik kepada pembacanya. Hasilnya menunjukkan, orang (pembaca) sesungguhnya tidak ingin menjadi editor (penyunting) untuk dirinya sendiri (Sesuatu yang diagung-agungkan media digital, yang meletakkan keinginan dan kendali di tangan user). Mereka ingin editor-lah yang melakukannya buat mereka, menyaring berita mana yang menarik dan dan dianggap informasi yang layak dibaca pembeli, dan disajikan sesuai dengan kepentingannya serta ketertarikan pembaca. Untuk soal ini, media cetaklah yang bisa melakukannya.

Dengan kata lain, sifat dasar manusia sesungguhnya tak pernah hilang: ingin dilayani dengan baik oleh pihak lain. Media online dan digital memang menyediakan kelengkapan, tetapi silakan cari dan putuskan sendiri. Di media cetak, pembaca dilayani dengan penyediaan berita terpilih.

Lagipula, kemajuan digital tidak lantas otomatis me-nasakh-kan bacaan cetak. Kustomisasi, itulah kata kuncinya. Bahwa media cetak akan semakin mengecil porsinya, itu mungkin benar. Lihat saja grafik yang dimuat oleh Joseph Straubhar dan Robert LaRose dalam “Media Now” (Wadsworth, 2005). Media cetak, entah itu koran, majalah, akan menjadi lebih spesifik, menekuni niche (ceruk) yang amat sempit. Di ceruk-ceruk sempit inilah media cetak akan bermain. Dan ceruk-ceruk ini akan terus ada, dan berkembang. Media-media cetak yang pintar dan jeli memanfaatkan ceruk-lah yang bertahan.

Kemudian, ada alasan lain untuk menerangkan bahwasanya media cetak tak (semudah itu) akan mati. Saya suka menganalogikannya dengan keberadaan sepeda. Kendaraan ini ditemukan awal abad 18 (mula-mula dinamai velocipede). Lama-kelamaan sepeda didesak oleh motor, lalu mobil, dan pesawat. Apakah sepeda akan punah? Rasanya belum, atau tidak. Minimal, hingga usianya yang masuk tiga abad, sepeda tetap dipakai dan eksis. Ada yang sebagai koleksi belaka, ada yang sebagai hobi, dan di beberapa tempat ada yang masih menggunakannya sebagaimana fungsi awal, angkutan darat.

Atau, media cetak akan kembali ke posisi awalnya, menjadi bacaan para “elite” yang tidak semua orang dapat membacanya. Artinya, ketika bacaan digital menjadi keniscayaan, media cetak justru menjadi barang antik, yang memiliki pembaca dan penggemar tersendiri. Ia tidak mati, hanya beralih wujud melayani penggemar khusus.

Print Media Not Dinosaurs

Jadi, kalau Murdoch si raja media meneriakkan farewell to print media, lalu diamini oleh GATRA, saya sebaliknya amat menentangnya. Media cetak bukanlah dinosaurus. Malah agak disesalkan, pekerja media cetak justru “menyerah” dengan ramalan Murdoch tentang kepunahannya. Mengapa orang media cetak justru tidak pede dengan masa depan lahannya sendiri?

Karena itu, menurut saya, jangan malu untuk berseru: “Print media is not dinosaurs. Print media will never die...” (ah)

Thursday, October 06, 2005

Mission is Delayed...

Ringkas saja, rencana ekspedisi ke Ujung Kulon bareng Tony, Tammy, Pasus, dkk. terpaksa dimundurkan. Pekan-pekan terakhir September lalu, yang diprediksi oleh teman2x CRMP II bakal santai, ternyata justru sebaliknya. Mereka jumpalitan, karena naskah buku lessons learned-nya telat sampai ke meja lay out. Akhirnya, ya kerja keras sampai titik terakhir. Kasian juga melihat mereka.

Sempat pula kegagalan itu ingin diganti dengan makan seafood bersama (kepiting saus tiram andalan Tony) di Kelapa Gading. Sayang, hingga Jumat sore, beberapa hari sebelum puasa, saya telepon ke Ratu Plasa dan ternyata Pasus harus begadang sampai malam. "Udah, ke sini aja, ntar jam 19.00-an kita kelar," bujuk Pasus. Wah, nehi, tidak, saya ada janji di Bogor dan harus segera pulang (ingat lagu Slank: "Aku harus cepat pulang... jangan terlambat tiba di rumah..").

So, rencana masih tetap akan dijalankan, semua sepakat. Hanya saja, ya itu, ditunda hingga pasca lebaran. Saya sudah wanti-wanti, kalaupun akan ke sana, harus setelah pekan ke-2 November. Itu pun harus cek cuaca pesisir dan laut UK lebih dahulu. Akhir-akhir tahun biasanya cuaca tidak menentu.

Hm, mudah-mudahan aja penundaan ini yang terakhir... (ah)