Thursday, February 26, 2009

Efan von Cibinong

Mulanya saya kira ia iseng, ikut berteriak-teriak mencari penumpang. Sore itu, menjelang magrib, kawasan UKI tak ramai-ramai amat. Efan, bocah berbaju oranye garis, celana panjang dan sandal swallow hitam itu, ternyata ikut menumpang bis Agra Mas. Tepat setelah calon penumpang terakhir terjaring, dan bisa melaju menuju tol, Efan sigap bergerak. Dari balik saku belakang celana lusuhnya, ia keluarkan alat musik --kalau bisa disebut demikian-- andalannya: botol Aqua bekas diisi sejumput beras.

Maka, jadilah bocah delapan tahun ini, dengan musik perkusi buatannya sendiri, mendendangkan setidaknya tiga buah lagu. Tak merdu, memang. Lagipula, siapa peduli. Puluhan penumpang terlalu letih menegurnya untuk berhenti. Separo memilih tidur, separo lagi memilih mp3 player sebagai teman perjalanan.

Meski samar --karena saya duduk agak ke belakang-- saya tahu lagu yang ia nyanyikan adalah dari salah satu album ST12. Pop melayu, enteng di pendengaran.

Total jenderal, ia bernyanyi 15 menit. Usai itu, kantong bekas bungkus permen ia sodorkan ke setiap orang. Lumayan, tampaknya sore ini Tuhan memberinya rejeki berlebih. Rasanya, tak kurang dari 20 ribu perak ia peroleh.

Melihatnya berdiri dekat pintu belakang sambil termenung-menung (uang tadi tak ia hitung, langsung dimasukkan ke saku belakang celananya), saya jadi terenyuh. Wajahnya menanggung beban berat. Saya ingat, ada segelas Aqua di ransel. Saya colek tangannya. "Ambil," saya sodorkan minuman itu.

Ia terperangah, tetapi sejenak kemudian mengambilnya sambil mengucap terima kasih.

Kami pun berbincang. Tak ada yang memperhatikan, karena semua terlena dalam kegiatannya masing-masing. Dari cerita Efan, saya tahu bahwa dia tinggal di Cibinong. Jauh amat?

"Iya, sekolah di sana juga. Udah kelas tiga," katanya, bangga. Kakak tertuanya sudah bekerja, sedangkan kakak kedua sekolah SMP kelas tiga. Ia anak bungsu rupanya.

Setiap hari, Efan bersama beberapa teman sebayanya berangkat ke UKI, lalu mengambil teritorial masing-masing. Ngamen. Karena sekolahnya selang-seling, kadang masuk pagi, kadang siang, ia mengatur waktunya dengan seksama. JIka masuk siang, ia harus berhati-hati, agar bisa pulang sebelum waktu sekolah tiba. Tetapi jika sekolah pagi, ia lebih leluasa.

"Bisa pulang malam, sampe rumah jam 9-an," akunya. Caranya pun terbilang pintar. Ia ngamen dari bis UKI menuju Bogor. Setiba di kota hujan, ia pindah ke bis kecil jurusan Cibinong, ngamen lagi sambil pulang.

"Uang saya disetor ke Ibu semuanya. Buat masak," Efan mengaku. Sementara jika mengamen pagi, uangnya ia pakai untuk jajan. "Sama untuk belajar," katanya. Maksudnya, untuk membeli perlengkapan sekolah.

Bukankah kakaknya sudah bekerja?

"Ah, iya tapi kan gajiannya sebulan sekali. Kalau Ibu nggak pegang uang harian, gimana bisa makan?" katanya. Jawaban yang lucu. Mungkin maksudnya, sang kakak ikut memberi nafkah, tetapi tak cukup buat menghidupi keluarga.

Ayahnya?

"Udah nggak di rumah. Udah cerai," katanya. Lalu diam. Kelihatannya ia tidak suka ditanyai soal ayahnya.

Bila sedang mujur, Efan bisa pulang membawa uang hingga Rp 30 ribu per hari. Kalau lagi apes, "Paling banter 15 ribu," katanya, malu-malu, sembari sesekali meneguk Aqua yang ia terima tadi.

Menjelang masuk Bogor, percakapan kami mulai terganggu. Banyak orang mulai terbangun dan bersiap-siap. Saya tanyakan kepadanya, apakah tidak ada yang mengganggunya ketika ngamen?

"Tukang palak? Nggak ada tuh selama ini," akunya.

Syukurlah. Saya nasehati dia supaya tetap berhati-hati.

Pukul 18:45, Agra Mas tiba di Baranangsiang. Saya tinggalkan Efan yang sejenak berganti profesi menjadi kernet.

"Yang turun Bogor, abis. Yang Bogor, yang Bogor..." teriakannya nyaring. Bertenaga.

Anak kelas tiga SD itu tahu benar bagaimana mengemban tanggung jawab di usianya yang masih amat belia.

Anak yang tangguh.

(Bogor, 9 Feb 09)