Catatan: Tulisan ini
adalah intisari dari paparan saya dalam Dialog Nasional Jurnalistik di
sela-sela Musyawarah Nasional I Forum Jurnalis Muslim (Forjim).
Saya
mulai dengan situasi terkini belantara jurnalisme, dunia media massa. Banyak
soal mengemuka. Kegamangan media-media Islam di bawah ancaman penguasa dengan
label radikalisme, penebar kebencian, antikebhinnekaan, dan semacamnya.
Sebagian
mengatakan, kita masuk zaman kegelapan jurnalisme. Tetapi bila mau dipetik
peluangnya, bukankah dulu saat Masa Kegelapan Barat adalah justru Masa Keemasan
Peradaban Islam? Tinggal bagaimana memanfaatkan peluang itu.
Jurnalis
(muslim) memang harus menyandang tugas sebagai agen perubahan. Itu dua elemen
yang saling koheren. Sesuai fungsi jurnalisme yang bukan cuma menyampaikan
informasi melainkan juga menginterpretasikan fakta buat publik. American Press
Institute menegaskan tujuan jurnalisme adalah “to provide citizens with
the information they need to make the best possible decisions about their
lives, their communities, their societies, and their governments.”
Kenapa
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel sampai menempatkan Bab I Buku “Elemen-elemen
Jurnalisme” mereka dengan judul “Untuk Apa Jurnalisme Ada?” Di sana diceritakan
bagaimana rakyat Polandia, khususnya di Swidnik dan Gdansk yang setia mendengarkan
radio 60MPH karena menyiarkan informasi bukan dari corong pemerintah.
Suatu
saat, 13 Desember 1981, saat pagi-pagi orang menyetel salurannya, tak ada
suara. Radio itu telah dibungkam penguasa. Rakyat di banyak kota melakukan
protes dengan cara mereka. Setiap pukul 19.30 –saat berita pemerintah
disiarkan- orang-orang memilih keluar rumah, berjalan-jalan dengan anjing
peliharaan mereka. Mereka tak sudi menonton/mendengarkan siaran itu. Bahkan di
Gdansk, mereka meletakkan TV mereka ke jendela luar, sehingga siaran itu
ditonton angin. Dahsyat sekali pengaruh media menggerakkan masyarakat.
Karena
subyek yang didalami adalah manajemen media, maka perlu juga kita menyinggung
karakter jurnalis sebagai seorang agen perubahan, khususnya di organisasi
media. Mereka haruslah punya visi jelas, suka mengajukan pertanyaan-pertanyaan
berat, sabar dan persisten, punya pengetahuan cukup dan memimpin dengan memberi
contoh, serta punya hubungan yang kuat didasari oleh tingkat kepercayaan yang
tinggi (oleh mitranya).
Adapun
jika organisasi media ingin menghasilkan perubahan, mereka harus punya lima
komponen dasar. Sebenarnya komponen ini dijelaskan oleh Stephanie Blackburn
Freeth dalam sebuah artikel di Linkedin tentang manajemen perubahan (change
management). Ia menyatakan, ada lima komponen untuk mengelola sebuah perubahan
yang kompleks. Mereka adalah: 1) visi; 2) keterampilan; 3) insentif
(dukungan/dorongan); 4) sumberdaya; dan 5) rencana tindak.
Jika
semua terpenuhi, maka hasilnya adalah perubahan yang diingini. Dalam konteks
media, maka media-media Islam dapat mengubah pengetahuan, sikap bahkan perilaku
publik. Jika minus visi, maka bukan perubahan yang diperoleh melainkan
kebingungan (confuse). Jika ketiadaan ketrampilan yang mumpuni,
maka hasilnya adalah kecemasan (anxious) karena dengan semua
perangkat yang dimiliki, ketrampilan justru nihil.
Sementara
jika tidak ada unsur insentif, maka bisa dipastikan perubahan sulit terjadi dan
yang muncul adalah resistance (penolakan). Adapun bila sumberdaya yang
kurang/tidak ada, maka organisasi media akan frustrasi. Yang terakhir, jika
semua dimiliki namun tidak memiliki rencana aksi (jangka pendek, menengah,
panjang), maka bukan perubahan yang muncul melainkan sebuah permulaan yang
keliru (False Start).
Jadi,
entah itu Forjim, atau masing-masing organisasi media, mereka harus memastikan
agar komponen itu ada dan terpenuhi. Pelan tapi pasti.
Semoga
bermanfaat.