Hampir sebulan tidak mengisi blog ini. Fuih... Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Dan aku disibukkan oleh berbagai kegiatan serta keperluan. Karena urusannya juga dengan soal tulis-menulis, mau tak mau harus dibuat prioritas.
Kebetulan, aku sedang menyusun tesisku. Dan ini harus jadi perhatian utama. Karena itu, selama 4 hari dua pekan lalu, aku ambil cuti tahunan dari kantor. Aku habiskan dengan meneliti satu per satu edisi majalah yang kujadikan obyek, lalu bertandang empat hari berturut-turut ke kantor redaksinya. Untuk pengumpulan data, rasanya sudah sampai angka 60%.
Urusan kedua, apalagi kalo bukan soal kerjaan. Menumpuk, edit sana-sini, sungguh menyita tenaga. Tetapi karena ini kewajiban, ya harus ditekuni. Baru saja aku menyelesaikan 4 dari 14 halaman laporan bulanan dalam bahasa Indonesia. Yang bahasa Inggris, alhamdulillah sudah kelar sepekan lalu. Lanjutin besok saja di kantor. Capek... (capek atau kebelet mau nerusin maen game? Hehehe...)
Urusan berikutnya, sempat mengikuti tes kerja di tempat baru. Sudah dua kali wawancara. Kayaknya sih lancar. Tetapi setelah berpikir, berdiskusi ulang dengan keluarga, seniorku di kantor, dan sebagainya, aku sudah memutuskan untuk..... tidak melanjutkan proses itu. Padahal, harus diakui, posisinya menantang. Tetapi aku harus memprioritaskan tesis, sampai Agustus mendatang. After that, aku baru punya kebebasan penuh untuk melangkah. So, kayaknya besok Senin aku harus menulis surat untuk tempat baru itu, menyatakan keputusanku. Semoga ini keputusan yang benar, Amin...
Urusan berikutnya, ya blog ini... hehehe. Makanya, sekarang saat tepat untuk setidaknya mengisi sesuatu yang baru. Setidaknya, breaking news untuk diri sendiri (kalau misalnya tidak ada yang baca sekali pun). Tertulis lebih baik daripada tidak tertulis, toh?
Lalu, jadwal ngaji, rencana diskusi di Puncak, dll. kayaknya juga perlu disiapkan. Ini bisa dikerjakan sambil jalan saja.
Lantas, urusan terakhir, adalah menindaklanjuti beberapa kegiatan di luar kerjaan, seperti edit buku dan laporan. Aku punya ide nulis cerpen (gara-gara ngobrol dengan tukang bandrek di sebuah malam berhujan, sepulang dari Lebak Bulus). Seru, bukan? Juga, mau nulis untuk ikut sebuah lomba. Kebetulan ada ide bagus, dan bahannya aku punya. Eksekusi? Pekan depan, sepertinya....
So, begitulah. Selamat bekerja buat diriku sendiri. Tabah ya, nak.... (ah)
Sunday, April 24, 2005
Thursday, April 07, 2005
Saatnya Melepas Kepedihan
Selasa lalu, tepat 100 hari pasca bencana tsunami. Air mata belum kering benar, memang. Tetapi hidup harus berlanjut. Di Banda Aceh dan kota-kota lainnya di NAD, hari itu semua orang berkumpul, berzikir, bersimpuh di masjid-masjid dan meunasah, merenungi kembali bagaimana lidah gelombang melibas kehidupan dan masa depan mereka dalam sekejap, membawa lari tanpa permisi orang-orang yang mereka cintai. Selasa lalu, mereka menyapa Tuhan dan berharap Ia memberikan kekuatan untuk semua orang untuk dapat tegak dan berkarya lagi.
Duka memang harus dienyahkan, segera. Namun tetap saja rasa sesak itu masih tinggal. Demikian juga dengan keluarga kami di Medan. Mula-mula, kenangan itu menguak lagi ketika Kak Inur dan Bang Jamil, akhirnya memutuskan untuk menerima semua dengan ikhlas. Bukan berarti sebelumnya mereka tidak ikhlas, bukan. Sejak si bungsu Agi hilang, usaha dan doa tak putus dilakukan seluruh anggota keluarga. Di setiap shalat, aku selalu memanjatkan permohonan, jikalau Allah menakdirkan ia selamat, di manapun ia berada, mudah-mudahan Allah mempertemukan anak ini dengan ayah-ibu dan kakaknya. Sebaliknya, jika Allah berkehendak lain, dan menakdirkan untuk memanggil si bungsu ke haribaan-Nya, maka mudah-mudahan Allah memberi petunjuk, kekuatan, ketabahan, dan kesabaran pada kami, keluarga yang ditinggalkan.
Pekan lalu, datanglah kabar dari adik Bang Jamil di Lhok Nga. Ia bercerita, malam hari sebelumnya ia bermimpi bertemu Agi. Si bungsu tampak sehat, gembira, dan bercahaya. Ketika sang Bibi menanyakan, ke mana saja Agi selama ini dan diajak untuk kembali, keponakanku itu dalam mimpi menjawab, "Agi sudah di surga, Cik (panggilannya buat sang Bibi)." Agi tidak mau kembali, Agi sudah senang di sini." Wahai, betapa gembiranya ia. Ketika bangun, mata sang Bibi sudah basah bersimbah air mata. Demikian juga Kak Inur, Abang, Mama', Teteh dan seluruh keluarga yang kemudian mendengar cerita itu. Adakah ini pertanda dari-Nya? Wallahu 'alam...
Entah kenapa, sesaat sebelum gempa mengguncang Nias dan Medan (malam Senin), sang kakak, Nurul Amalina, 7, juga tiba-tiba teringat akan si adik. Ia jatuh sakit, menangis, dan bertanya, mengapa adik lama sekali ditemukan. Ibunya tak kuasa menjawab, mereka cuma bisa bertangis-tangisan, seraya mengajak Alin Kecil untuk membuka al Quran, dan mengaji bersama. Dan ketika kabar mimpi sang bibi sampai padanya, Alin kembali bertanya, kenapa adik sudah bisa ada di surga. "Padahal, adik kan bandel kalau disuruh sholat," kata sang kakak dengan lugu.
Alin memang kakak yang rajin sholat. Tahukah kalian, selama lima hari ia hilang ketika tsunami melanda, ia tidak kehilangan solat sekali pun. Di tengah pengungsian, di antara ribuan orang yang tak ia kenal, di antara kebingungan karena orang tua dan adiknnya tidak jelas kabar berita, Alin tetap solat, meski tanpa mukena, tanpa wudhu. Ketika ditanya kenapa ia tetap solat, Alin menjawab, "Kata Mama', solat tidak boleh tinggal, nanti berdosa..." Aku yang mendengar cerita itu jadi gundah, antara ingin senyum dan menangis.
Ia juga tampaknya harus mendapat perhatian khusus, karena kini sering marah-marah tidak karuan, setiap orang sekarang menjadi pelampiasannya. "Ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan sukar dikeluarkan," kata Ibunya. Syukurlah, al Quran menjadi obat mujarab, ia selalu patuh dan tenang setiap kali usai mengaji. Sekarang, ia dibelikan sepeda, dan kegembiraannya mulai muncul. Bersama teman-teman barunya, Alin punya hobi baru, berkeliling komplek dengan sepedanya. Akan tetapi, suatu saat, aku merasa perlu untuk menyarankan perlunya memakai jasa psikiater demi menjaga kestabilan jiwanya.
Dan keluargaku akhirnya memutuskan untuk mengadakan pengajian, memanggil anak yatim, dan berkirim doa pada si kecil Agi. Kami menutup satu buku kecil padat, berisi cerita dan sejarah hebat tentang seorang bocah yang cerdas, pendiam, tetapi amat sayang pada ibu, kakak, nenek, dan ayah cut-nya. Seorang bocah yang ketika ditanya cita-citanya, ia menjawab ingin menjadi tentara (mengapa banyak anak Aceh punya cita-cita seperti ini? Ibunya, ketika mendengar cita-cita si anak, dengan arif mengamini lalu menambah komentar, "Asal jadi tentara yang baik ya, Nak...")
Kami menutup buku tentangnya, sekali-kali bukan untuk melupakannya. Bagaimanapun, ia tetap akan tinggal di lubuk hati kami yang paling dalam. Ini saat untuk melepas kesedihan, mengikhlaskannya untuk kembali ke pangkuan Rabbul "Izzati. Aku amat yakin, ia kini sedang bergembira melayang-layang di taman surga, mendoakan tak henti orang tuanya, sedikit dari orang tua terhebat yang pernah aku kenal.
Allahummagh fir lahu, warhamhu, wa'afihi, wa'fu 'anhu... Selamat jalan, Nak.... (ah)
Duka memang harus dienyahkan, segera. Namun tetap saja rasa sesak itu masih tinggal. Demikian juga dengan keluarga kami di Medan. Mula-mula, kenangan itu menguak lagi ketika Kak Inur dan Bang Jamil, akhirnya memutuskan untuk menerima semua dengan ikhlas. Bukan berarti sebelumnya mereka tidak ikhlas, bukan. Sejak si bungsu Agi hilang, usaha dan doa tak putus dilakukan seluruh anggota keluarga. Di setiap shalat, aku selalu memanjatkan permohonan, jikalau Allah menakdirkan ia selamat, di manapun ia berada, mudah-mudahan Allah mempertemukan anak ini dengan ayah-ibu dan kakaknya. Sebaliknya, jika Allah berkehendak lain, dan menakdirkan untuk memanggil si bungsu ke haribaan-Nya, maka mudah-mudahan Allah memberi petunjuk, kekuatan, ketabahan, dan kesabaran pada kami, keluarga yang ditinggalkan.
Pekan lalu, datanglah kabar dari adik Bang Jamil di Lhok Nga. Ia bercerita, malam hari sebelumnya ia bermimpi bertemu Agi. Si bungsu tampak sehat, gembira, dan bercahaya. Ketika sang Bibi menanyakan, ke mana saja Agi selama ini dan diajak untuk kembali, keponakanku itu dalam mimpi menjawab, "Agi sudah di surga, Cik (panggilannya buat sang Bibi)." Agi tidak mau kembali, Agi sudah senang di sini." Wahai, betapa gembiranya ia. Ketika bangun, mata sang Bibi sudah basah bersimbah air mata. Demikian juga Kak Inur, Abang, Mama', Teteh dan seluruh keluarga yang kemudian mendengar cerita itu. Adakah ini pertanda dari-Nya? Wallahu 'alam...
Entah kenapa, sesaat sebelum gempa mengguncang Nias dan Medan (malam Senin), sang kakak, Nurul Amalina, 7, juga tiba-tiba teringat akan si adik. Ia jatuh sakit, menangis, dan bertanya, mengapa adik lama sekali ditemukan. Ibunya tak kuasa menjawab, mereka cuma bisa bertangis-tangisan, seraya mengajak Alin Kecil untuk membuka al Quran, dan mengaji bersama. Dan ketika kabar mimpi sang bibi sampai padanya, Alin kembali bertanya, kenapa adik sudah bisa ada di surga. "Padahal, adik kan bandel kalau disuruh sholat," kata sang kakak dengan lugu.
Alin memang kakak yang rajin sholat. Tahukah kalian, selama lima hari ia hilang ketika tsunami melanda, ia tidak kehilangan solat sekali pun. Di tengah pengungsian, di antara ribuan orang yang tak ia kenal, di antara kebingungan karena orang tua dan adiknnya tidak jelas kabar berita, Alin tetap solat, meski tanpa mukena, tanpa wudhu. Ketika ditanya kenapa ia tetap solat, Alin menjawab, "Kata Mama', solat tidak boleh tinggal, nanti berdosa..." Aku yang mendengar cerita itu jadi gundah, antara ingin senyum dan menangis.
Ia juga tampaknya harus mendapat perhatian khusus, karena kini sering marah-marah tidak karuan, setiap orang sekarang menjadi pelampiasannya. "Ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan sukar dikeluarkan," kata Ibunya. Syukurlah, al Quran menjadi obat mujarab, ia selalu patuh dan tenang setiap kali usai mengaji. Sekarang, ia dibelikan sepeda, dan kegembiraannya mulai muncul. Bersama teman-teman barunya, Alin punya hobi baru, berkeliling komplek dengan sepedanya. Akan tetapi, suatu saat, aku merasa perlu untuk menyarankan perlunya memakai jasa psikiater demi menjaga kestabilan jiwanya.
Dan keluargaku akhirnya memutuskan untuk mengadakan pengajian, memanggil anak yatim, dan berkirim doa pada si kecil Agi. Kami menutup satu buku kecil padat, berisi cerita dan sejarah hebat tentang seorang bocah yang cerdas, pendiam, tetapi amat sayang pada ibu, kakak, nenek, dan ayah cut-nya. Seorang bocah yang ketika ditanya cita-citanya, ia menjawab ingin menjadi tentara (mengapa banyak anak Aceh punya cita-cita seperti ini? Ibunya, ketika mendengar cita-cita si anak, dengan arif mengamini lalu menambah komentar, "Asal jadi tentara yang baik ya, Nak...")
Kami menutup buku tentangnya, sekali-kali bukan untuk melupakannya. Bagaimanapun, ia tetap akan tinggal di lubuk hati kami yang paling dalam. Ini saat untuk melepas kesedihan, mengikhlaskannya untuk kembali ke pangkuan Rabbul "Izzati. Aku amat yakin, ia kini sedang bergembira melayang-layang di taman surga, mendoakan tak henti orang tuanya, sedikit dari orang tua terhebat yang pernah aku kenal.
Allahummagh fir lahu, warhamhu, wa'afihi, wa'fu 'anhu... Selamat jalan, Nak.... (ah)
Subscribe to:
Posts (Atom)