Wednesday, June 17, 2020

WEEKEND FOR HUMANITY



Weekend kali ini dipakai buat isi baterai para punggawa Aksi Relawan Mandiri Himpunan Alumni IPB (ARM HA-IPB). Yang dibahas adalah jurnalistik kemanusiaan & kebencanaan. Ini jatah Kiai John Bon Bowie dan Hanibal Wijayanta buat melatih.

Babang tamvan dapat tugas foto jurnalistik kemanusiaan. Sama kasi tips in case ada kasus lockdown di kota tercinta. 

Pinter, pinter bareng. Bego, sana ndiri-ndiri....

(catatan: kegiatan berlangsung awal Maret lalu)

Thursday, June 04, 2020

NGALAP BERKAH


"Helping others is the way we help ourselves" (Oprah Winfrey)

Dalam setiap kegiatan (operasi) kemanusiaan, seringkali orang fokus kepada para pembawa bantuannya. Gelar berani, hebat, berjiwa welas asih tinggi, dan entah apa lagi, selalu muncul mengiringi.

Menambah semangat dan bangga? Iya, umumnya demikian. Namun, akan sangat mencemaskan kalau hal tersebut bermetamorfosa menjadi sombong.

Dalam setiap bantuan kemanusiaan, sentral perhatian haruslah para penerima bantuan. People affected by crises. The most vulnerable ones. Kepada merekalah segala rencana disusun, strategi diupayakan, agar ada jiwa dan kehidupan yang terselamatkan. Agar kerentanan berubah menjadi ketenangan.

Dan yang tak kalah pentingnya, namun kerap dilupakan, adalah para donatur, para dermawan di belakang semua kegiatan ini. Merekalah yang tergerak hatinya untuk menyisihkan harta demi membantu orang lain.

Adapun para relawan, pembawa bantuan, dan pelaksana lapangan, merekalah sekelompok individu yang 'ngalap berkah' Yang Maha Pengasih lewat kedermawanan para donatur, dan penerimaan tulus para warga yang terdampak krisis. Mereka adalah para fasilitator who use their heart for kindness. Melakukan sesuatu di saat orang lain justru menghindar dari hal tersebut.

Jika ada banyak narasi tentang para relawan yang bergiat membantu sesama, hendaklah itu dipandang sebagai upaya penegakan akuntabilitas lembaga. Ada donasi yang diberikan. Ada amanah yang dititipkan. Ada harapan yang dibebankan.

Segera setelah semua itu dijalankan, maka narasi-narasi yang ada merupakan simbol pernyataan bahwa amanah telah ditunaikan. Harapan telah ditanamkan. Tugas telah dituntaskan.

Kita semua, pada satu titik, dipersatukan oleh sebuah rasa. Kemanusiaan.


Wednesday, June 03, 2020

Jurnalis dan Perubahan: Dua Elemen yang Koheren


Catatan: Tulisan ini adalah intisari dari paparan saya dalam Dialog Nasional Jurnalistik di sela-sela Musyawarah Nasional I Forum Jurnalis Muslim (Forjim).


Saya mulai dengan situasi terkini belantara jurnalisme, dunia media massa. Banyak soal mengemuka. Kegamangan media-media Islam di bawah ancaman penguasa dengan label radikalisme, penebar kebencian, antikebhinnekaan, dan semacamnya.

Sebagian mengatakan, kita masuk zaman kegelapan jurnalisme. Tetapi bila mau dipetik peluangnya, bukankah dulu saat Masa Kegelapan Barat adalah justru Masa Keemasan Peradaban Islam? Tinggal bagaimana memanfaatkan peluang itu.

Jurnalis (muslim) memang harus menyandang tugas sebagai agen perubahan. Itu dua elemen yang saling koheren. Sesuai fungsi jurnalisme yang bukan cuma menyampaikan informasi melainkan juga menginterpretasikan fakta buat publik. American Press Institute menegaskan tujuan jurnalisme adalah “to provide citizens with the information they need to make the best possible decisions about their lives, their communities, their societies, and their governments.”

Kenapa Bill Kovach dan Tom Rosenstiel sampai menempatkan Bab I Buku “Elemen-elemen Jurnalisme” mereka dengan judul “Untuk Apa Jurnalisme Ada?” Di sana diceritakan bagaimana rakyat Polandia, khususnya di Swidnik dan Gdansk yang setia mendengarkan radio 60MPH karena menyiarkan informasi bukan dari corong pemerintah.

Suatu saat, 13 Desember 1981, saat pagi-pagi orang menyetel salurannya, tak ada suara. Radio itu telah dibungkam penguasa. Rakyat di banyak kota melakukan protes dengan cara mereka. Setiap pukul 19.30 –saat berita pemerintah disiarkan- orang-orang memilih keluar rumah, berjalan-jalan dengan anjing peliharaan mereka. Mereka tak sudi menonton/mendengarkan siaran itu. Bahkan di Gdansk, mereka meletakkan TV mereka ke jendela luar, sehingga siaran itu ditonton angin. Dahsyat sekali pengaruh media menggerakkan masyarakat.

Karena subyek yang didalami adalah manajemen media, maka perlu juga kita menyinggung karakter jurnalis sebagai seorang agen perubahan, khususnya di organisasi media. Mereka haruslah punya visi jelas, suka mengajukan pertanyaan-pertanyaan berat, sabar dan persisten, punya pengetahuan cukup dan memimpin dengan memberi contoh, serta punya hubungan yang kuat didasari oleh tingkat kepercayaan yang tinggi (oleh mitranya).

Adapun jika organisasi media ingin menghasilkan perubahan, mereka harus punya lima komponen dasar. Sebenarnya komponen ini dijelaskan oleh Stephanie Blackburn Freeth dalam sebuah artikel di Linkedin tentang manajemen perubahan (change management). Ia menyatakan, ada lima komponen untuk mengelola sebuah perubahan yang kompleks. Mereka adalah: 1) visi; 2) keterampilan; 3) insentif (dukungan/dorongan); 4) sumberdaya; dan 5) rencana tindak.


Jika semua terpenuhi, maka hasilnya adalah perubahan yang diingini. Dalam konteks media, maka media-media Islam dapat mengubah pengetahuan, sikap bahkan perilaku publik. Jika minus visi, maka bukan perubahan yang diperoleh melainkan kebingungan (confuse). Jika ketiadaan ketrampilan yang mumpuni, maka hasilnya adalah kecemasan (anxious) karena dengan semua perangkat yang dimiliki, ketrampilan justru nihil.

Sementara jika tidak ada unsur insentif, maka bisa dipastikan perubahan sulit terjadi dan yang muncul adalah resistance (penolakan). Adapun bila sumberdaya yang kurang/tidak ada, maka organisasi media akan frustrasi. Yang terakhir, jika semua dimiliki namun tidak memiliki rencana aksi (jangka pendek, menengah, panjang), maka bukan perubahan yang muncul melainkan sebuah permulaan yang keliru (False Start).

Jadi, entah itu Forjim, atau masing-masing organisasi media, mereka harus memastikan agar komponen itu ada dan terpenuhi. Pelan tapi pasti.

Semoga bermanfaat.