Wednesday, February 26, 2020

Pembentukan Karakter Jurnalis Muslim

Saat diundang jadi pembicara di acara Forjim (Forum Jurnalis Muslim) sepekan silam (16 Juli 2017) mengenai topik "Pembentukan Karakter Jurnalis Muslim", saya paparkan bahwa diskursus itu terbagi atas dua bagian berbeda, yakni membentuk diri menjadi muslim yang baik dan menjadi jurnalis yang baik.

Untuk jadi muslim yang baik, teladanilah sifat Rasul SAW yang empat: shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Untuk jadi jurnalis yang baik, pelajari 10 elemen jurnalisme-nya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.

Saya tegaskan juga, menjadi jurnalis yang baik itu sama dengan menjadi komunikator yang baik. Dan psikologi komunikator yang baik adalah jika Anda punya Ethos yang baik (diambil dari Aristoteles), yakni punya keahlian (expertise) dan kredibilitas yang baik. Kemudian punya penampilan dan gaya menarik, dan terakhir punya kekuasaan (kemampuan mempengaruhi).

Akan sangat sial, jika Anda tidak punya kekuasaan, sementara wajah dan penampilan 'tak tertolong lagi', lantas diperparah dengan tak punya kredibilitas dan tak punya skill. Jurnalis muslim sebagai komunikator yang baik mestinya punya Ethos dan tampilan yang memadai, lalu belajar memiliki akses yang bagus.

Adapun media-media mainstream sekarang, penilaian saya adalah mereka sudah sampai pada tahap: masih ngotot punya penampilan menarik, masih punya akses ke narasumber, tapi tak memiliki lagi sifat ETHOS tersebut. Nir keahlian dan kepercayaan.

Jangan heran, media alternatif marak dibaca. Kini terserah media alternatifnya, mau menjadi itu-itu saja, atau memupuk Ethos agar mumpuni. (ah)

Monday, February 24, 2020

UNIFORMISASI INFORMASI

Ada yang tak biasa bagi warga Polandia pagi itu, tepatnya 13 Desember 1981. Warga di kota Swidnik dan Gdansk lazimnya selalu menyalakan radio dan menyetel saluran Radio MPH60, radio yang menyuarakan opini buruh pro Solidaritas Buruh Independen "Solidarnosc" pimpinan seorang teknisi listrik di Galangan Kapal Lenin di Kota Gdansk, Lech Walesa, yang berlawanan dengan suara rezim komunis di bawah kepemimpinan Jenderal Jaruzelski.

Radio itu tak bersuara. Hanya desingan suara udara kosong. Jelas sudah, MPH60 dibredel penguasa. Rakyat dipaksa mendengarkan radio-radio lain yang mendukung kebijakan rezim. Hari itu juga awal diterapkannya masa status darurat militer di Polandia.
Rakyat marah, merasa kehilangan, apalagi MPH60 menawarkan hal yang berbeda. Hal manis yang disebarkan pemerintah selalu dihadang dengan informasi tandingan dari lapangan oleh stasiun radio tersebut.

Geram dengan situasi politik yang ada plus pemaksaan penyeragaman informasi oleh rezim Jaruzelski, rakyat Swidnik dan Gdansk mengambil langkah unik. Tiap kali pukul 19.30, saat warta berita pemerintah disiarkan, warga memilih melakukan dogwalker (jalan keluar rumah bersama anjing-anjing mereka). Radio tak didengar. Di Gdansk, warga menyetel televisi mereka dengan layar menghadap jendela. Berita itu berhadapan dengan angin. Pesannya jelas. Kami tak sudi mendengar informasi sepihak, yang kerap tak sesuai realita.

Pada akhirnya sejarah mencatat tahun 1989 komunis keok dalam Pemilu, dan Walesa menjadi presiden tahun 1990.

Di negara Eropa Timur seperti Hungaria, Desember 2018 lalu 2.000 warganya turun ke jalan, karena gerah dengan TV milik pemerintah yang tak independen karena keasyikan membela kebijakan Perdana Menteri dari sayap kanan, Viktor Orban.

Untuk Siapa Jurnalisme? 

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, duo penulis buku "The Elements of Journalism" menuliskan kisah radio MPH60 itu di Bab awal buku mereka. Ketika pemerintah bersikeras menyeragamkan informasi agar sesuai dengan keinginannya, maka perlawanan cepat atau lambat akan timbul. Semangat jurnalisme yang mematok tugas nomor satunya untuk "mencari kebenaran" dan "melayani kepentingan publik" menjadi terkontaminasi dengan usaha penyeragaman dalam rangka mengontrol informasi. Celakanya, gayung bersambut. Media-media (mainstream) --baik sukarela karena memiliki kepentingan korporasi maupun yang terpaksa demi menghindari tekanan lebih berat-- melakukan 'agenda setting berjamaah'.

Di masa Orla dan Orba, perlawanan juga terjadi. Harian Abadi yang lekat dengan Masyumi ditutup karena kritik-kritik pedasnya. Indonesia Raya setali tiga uang. Harian Rakyat ditutup beberapa kali lebih karena pilihan 'jurnalisme konfrontasi' dan pro komunis. MajalahTempo distop lebih dari sekali, plus Editor dan DeTik. Adapun Tabloid Monitor sedikit beda, ia ditutup karena memuat artikel hasil polling yang dianggap menghina umat Islam.

Ketika internet baru memasyarakat, kita mengenal "mailing-list Apakabar" asuhan John MacDougall. Isinya pedas. Pejabat yang membaca bisa ngamuk-ngamuk karena pembahasannya tanpa tedeng aling-aling. Apakabar jadi sumber alternatif informasi mengimbangi berita media cetak dan elektronik nasional yang dianggap terlalu penakut saat itu.

Arus Utama atau Terbawa Arus? 

Fenomena 4 tahun belakangan ini sama saja, sekitar keinginan pemerintah 'menggembalakan' media di padang rumputnya. Ekonomi sulit, dolar tak kunjung turun, pertumbuhan mandeg, dan banyak kebijakan pembangunan yang lemah, membuat posisi pemerintah rawan ditembak kritik publik.

Belum lagi syahwat untuk melanggengkan kursi. Maka tangan kekuasaan pun bermain lewat media arus utama. Media arus utama adalah sebuah istilah dan singkatan yang dipakai untuk secara kolektif merujuk kepada sejumlah besar media berita massa yang mempengaruhi sejumlah besar orang, dan merefleksikan serta membentuk keadaan pemikiran yang ada. Ia mempunyai organisasi dan kelembagaan yang mapan dengan mekanisme produksi informasi yang baku.

Tak heran, jika membaca dan menonton berita Nusantara, kita diajak (baca: dipaksa) merasa bahwa segalanya baik-baik saja, yang segera terasa kontradiktif dengan suara-suara cemas yang makin banyak. Dalam hal ini --di luar soal jurnalisme-- peran "public relations" pemerintah harusnya bisa mengatasi hal tersebut. Namun, hey, sesuai jargon: "public relations yang bagus takkan mampu menutupi kinerja yang buruk".

Media seyogyanya melakukan hal simpel yang telah menjadi kegiatan fundamentalnya. Patokan berita adalah nilai beritanya, news values. Bisa karena magnitudenya (luas/besarnya skala), nilai pentingnya bagi publik, kekinian, keunikan, menyangkut figur, human interest dan lain-lain. Nyatanya, elemen-elemen itu diabaikan. Yg ber-magnitude besar, misalnya, diabaikan. Dianggap tak ada. Sebaliknya, yang tak bernilai berita naik cetak atau tayang seperti berita penting yang sayang dibuang.

Lalu, apakah berarti tindakan publik mengalihkan kebutuhan informasinya ke media-media non-arusutama (jurnalisme warga, blog dan posting para tokoh, diskusi forum-forum online dsb) bisa diterima? Itu adalah konsekuensi logis, meski risiko validitas dan kebenaran informasinya tak kalah mengkuatirkan. Soal ini dan bagaimana membangun literasi berita dan media akan kita bahas, Insya Allah, lain kali.

(Malam 21, Al Hidayah) - llustrasi dari flaticon dotcom

Thursday, February 20, 2020

MASIHKAH KITA PERCAYA MEDIA (MAINSTREAM)?



(Ilustrasi: sumber www dot cima dot ned dot org)

LUCU melihat orang-orang berkomentar atas rusuh yang tengah terjadi. Yang menyumpahi pendemo mayoritas mengandalkan penilaiannya atas informasi media-media utama yang ada di pasar. Sebaliknya yang bersimpati atas aksi tersebut berbasis info-info yang beredar di antara komunitas.

Saya termasuk orang yang sudah pada tahap skeptis dengan industri media dalam negeri dan kebijakan pemberitaannya. Inilah masa pertama kalinya bagi saya tak mengandalkan lagi berita media massa sebagai basis informasi dan dasar untuk mengambil keputusan sehari-hari. Lama sudah saya tak klik Detikc*m, ada 3 tahunan, Komp*s cetak apalagi, Komp*s Online serupa juga, juga media-media cetak dan elektronik lain. Suplai informasi saya kini mayoritas dari percakapan media sosial, forum-forum diskusi, dan sejenisnya.

Media (mainstream) oleh banyak pihak tak lagi jadi pilihan utama. Rumor bahwa media ditekan penguasa, ditimang-timang agar terbinabobokkan dan di sisi lain diiming-imingi uang melalui iklan dan program kerjasama, sudah lazim didengar. Seorang teman di sebuah stasiun TV berkisah, telepon sakti bahkan kini datang dari orang terpenting negeri ini, yang di ujung telepon hanya menyebut nama televisi itu berulang-ulang (seperti menyayangkan sesuatu) sambil mewanti-wanti. Itu saja sudah bikin medianya kalang kabut.

Ini bukan fenomena baru. Danny Schechter menulis buku berjudul "Matinya Media: Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi." (2007). Ia berkata, media kini menggerogoti demokrasi. Melalui cara-cara tertentu mereka menukar demokrasi dengan mediokrasi yang diatur lewat kekuatan mengatur agenda (agenda setting) korporasi media milik segelintir pemain swasta.

Bahkan dalam event-event tertentu seperti Pemilu atau perang, sebagaimana diungkap seorang konservatif, Edward Luttwak, media malah melakukan lebih gila lagi, "agenda cutting", pemangkasan agenda. Media, atas kemauan sendiri atau karena tekanan pihak tertentu, mengalihkan publik dari isu-isu faktual dan pilihan kebijakan sedemikian rupa sehingga politik pun mengalami depolitisasi. Kita alami, peristiwa-peristiwa penting dan besar terkait satu pihak tak muncul sedetik pun di media. Sebaliknya, acara remeh-temeh pihak lain malah menghiasi layar bermenit-menit. Yang begini akhirnya memunculkan sikap sinis pembaca/penonton yang makin meluas.

Apa alasan di balik sikap tak perwira media-media ini? Satu jawabannya: logika pasar. Logika pasar menunggangi kewajiban media menjunjung tinggi kepentingan publik. Berita-berita akhirnya tersanitasi (disaring, diperindah, dibersihkan), hingga diencerkan (dumbing down). Media kini bersembunyi di balik kemasan, mengebiri konten.

Bagaimanapun juga, korporasi tetaplah bertujuan sesuai azas kapitalisme. Berita dan pasar. Survival di industri. Maka tekanan sedikit saja dari penguasa atau politisi membuat media (mainstreaming) melunak seketika.

Lalu ke mana orang mengalihkan pilihannya? Internet. Media sosial. Dengan segala risikonya (karena di dunia internet menyaring informasi butuh ketekunan tersendiri). Dalam buku "Media - Militer - Politik (editor: Lukas Ispandriarno, Thomas Hanitzsch, Martin Loeffelholz) ditegaskan bahwa Internet menyebabkan hilangnya kontrol oleh para jurnalis dan sumber-sumber resmi. Ini bisa menjawab fenomena mengapa banyak orang senyum sinis jika muncul berita tentang --katakanlah-- teroris. Pihak berwajib merasa mampu mengontrol arus informasi searah, namun internet mementahkannya. Info di balik pintu dipercaya lebih valid daripada info dari ruang konferensi pers. Mereka bukan lagi satu-satunya pemegang kontrol. Tugas suci jurnalisme tak lagi dipilih publik untuk dibebankan ke pundak para jurnalis. Karena dalam era 4.0, jurnalis masih terlena dengan tugas lama, sekadar penyambung lidah, pengantar fakta.

Padahal, di masa kini, disebutkan... "one of roles of journalism in this ocean of information is to help readers negotiate the various impasses that raised around bad and contradictory information, even from reputable resources."

Jurnalis bukan lagi cuma "gateekeeper" informasi tapi harusnya jadi pembimbing bagi ruang informasi global. Faktanya, mereka gagal. Gatekeeper diambil alih oleh politisi dan rezim. Dan para buzzers. Serta Youtuber dan Vloggers.

(17 Ramadhan 1440 H)

Wednesday, February 19, 2020

Berita TV: The Good, The Bad, and The Ugly

Bonnie M. Anderson, reporter kawakan CNN yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden direktur bagian perekrutan, bertemu dengan Garth Ancier, kepala program semua jaringan Turner Broadcasting Network (TBN) termasuk CNN, jaringan berita 24 jam pertama di dunia. Hari itu tanggal 16 April 2001. Garth, bos anyar ini, direkrut TBN dari Hollywood dengan pengalaman sebagai Presiden Direktur stasiun TV NBC Entertainment.

Bonnie Anderson adalah wartawan veteran. Perempuan ini telah bertugas di 125 negara untuk liputan politik, ekonomi, termasuk konflik dan perang. Ia pernah tertembak dan terluka saat menjalankan tugas jurnalistiknya.

Saat Bonnie sudah siap dengan beberapa rekaman profil calon reporter dan koresponden handal untuk menjadi news anchor (pembawa acara berita, pengampu program berita), Garth menolak. “Kita sudah banyak orang seperti itu,” alasannya. Dia menegaskan akan “meng-casting” orang-orang yang dia yakin kelak penonton TV akan suka menyaksikannya. 

Lihatlah. Ia menyebut “casting“. Bukan rekrutmen. Jajaran jurnalisnya tidak dia anggap sebagai profesional di bidang pemberitaan (jurnalistik), yang sudah punya panduan kode etik standar tinggi. Garth lebih menempatkan pekerja TV-nya sebagai calon aktor/aktris yang akan melamar posisi di bisnis hiburan. Alasan dia sangat klise. “We need younger, more attractive anchors who project credibility.” 

Belum hilang kaget Bonnie, Garth melontarkan pertanyaan dasar, mungkin sedikit mengejek. “Jurnalisme itu apa, sih?” 

Maka Bonnie Anderson pun dengan hati-hati menjelaskan prinsip-prinsip jurnalisme. Tentang tugas jurnalisme yang bukan sekadar melaporkan berita melainkan juga sebagai refleksi masyarakat dan berperan mempengaruhi masyarakat. “Yang kita lakukan dan katakan serta tayangkan amat berarti. Ia punya dampak pada masyarakat kita, negara, bahkan dunia,” ungkap Bonnie, mengutip ucapan koresponden internasional, wartawan perang sekaligus pewawancara tangguh legenda CNN, Christiane Amanpour. Opini publik kerap terbentuk karena berita. 

Jurnalisme adalah kunci penting dalam “check and balance” dalam demokrasi yang sehat. Setidaknya itu yang dipahami oleh Barat dan para pemuja demokrasi. 

Pernah mengenyam pendidikan di Medill School of Journalism, Bonnie juga memaparkan Canons of Journalism yang diterbitkan tahun 1922 oleh Asosiasi Editor Surat Kabar Amerika. Kanun ini berisikan tanggung jawab dasar para jurnalis: menginformasikan publik, melindungi kebebasan pers, dan berlaku adil serta obyektif. 

Apa respon Garth Ancier?

You people are too hung up on journalism.” Kalian ini terlalu terjebak dengan jurnalisme. Terlalu romantis. Baperan. Garth berpikir saatnya informasi disinergikan dengan aksi, dengan hiburan.

Komentar Garth inilah yang bikin Bonnie bagai tersengat. Karena baginya, seorang jurnalis sudah seharusnya hidup dengan etika jurnalismenya. Tidak ada tawar-menawar.

Di Amerika sendiri, ketidakpercayaan publik pada media, khususnya TV, terlihat saat tahun 2002 ketika The Pew Research Center for the People and the Press menemukan bahwasanya tingkat “ketertontonan” berita TV menurun 50% dalam satu dekade. Mereka diduga mengalami “compassion fatigue” (kelelahan atas rasa iba), terlalu capek melihat berita soal perang, terorisme, dan sejenisnya. Celakanya, mereka beralih ke program yang tak bikin otak mereka lelah, setidaknya menurut anggapan mereka. Infotainment jadi pilihan. Alhasil, berita TV pun berlomba-membuat format yang lebih menghibur bahkan untuk sebuah siaran berita. 

Adakah yang dikorbankan? 

Ada. Konten berita.
 
Kegelisahan atas pandangan Garth Ancier inilah yang membuat Bonnie Anderson menyusun bukunya, “News Flash: Journalism, Infotainment, and the Bottom Line Business of Broadcast News” yang terbit pertama kali tahun 2004. Isinya banyak bicara tentang etika junalisme. Ia dengan gamblang membongkar “The Good, The Bad, and the Ugly” bisnis pemberitaan TV di Amerika, yang dalam banyak hal selaras dengan fenomena sama di banyak negara, termasuk Indonesia (detailnya Insya Allah dituliskan di lain kesempatan).
Alih-alih menjadi anjing penjaga (watchdog), kata Bonnie, jaringan berita kabel dan divisi pemberitaan lebih suka menjadi anjing peliharaan yang manis (lapdog). Kehilangan nalar jurnalismenya.

News Flash includes examples of amazing heroism and respect for journalism ethics, but it also shines a light on their opposites –cowardice and sleaze– among news people and executive alike.” (….”Buku ‘News Flash‘ ini memuat contoh-contoh heroisme dan penghormatan yang luar biasa terhadap etika jurnalisme. Tapi juga menyoroti hal sebaliknya tentang kepengecutan dan rendahnya moral di antara orang-orang seperti para pekerja dan eksekutif media pemberitaan…”).

Ada banyak para pejuang idealis jurnalisme di luar sana, termasuk di sini, di Indonesia. Rasanya kita butuh orang-orang seperti ini bersuara gencar setiap hari di masa sekarang, di era yang oleh beberapa pihak –termasuk saya– menyebutnya era kegelapan jurnalisme. (ah)

Malas Baca, si Hocus Berkuasa

Jaman digital membuat informasi bersliweran kencang setiap detik. Masyarakat terjebak dalam peredaran berita palsu, kabar kebencian, dan fitnah. Peningkatan literasi media warga mendesak dilakukan.

Pengguna fanatik iPhone keluaran Apple terhenyak, antara percaya tidak percaya. Saat itu, tahun 2014, seorang pengguna dengan akun @4chan –dikenal luas sebagai hacker– menebarkan pengumuman mengejutkan: bahwa ponsel iPhone mengeluarkan pembaharuan fitur terbarunya dengan nama: Wave. Fitur ini memungkinan para pemilik ponsel canggih dengan sistem operasi iOS8 tersebut mengisi ulang (recharge) secara nirkabel dengan memanfaatkan frekuensi microwave.
 

Ya, microwave, alat masak yang biasa dipakai untuk memanaskan bahan makanan. Pengumuman itu disertai pula dengan poster berisi langkah-langkah melakukannya. Simpel, cukup letakkan ponsel Anda ke dalam microwave selama satu setengah menit, dijamin batere ponsel terisi penuh. Pengumuman itu mewanti-wanti, jangan sampai melakukan ‘microwaving’ lebih dari 300 detik.
 

Tak dirinci secara resmi ada berapa ratus ribu pengguna fanatik iPhone yang percaya dan melakukan pengisian ulang persis seperti yang dijanjikan pengumuman tersebut. Yang jelas, seorang user bernama Lorrena Teroba dengan akun @lore1306 memuat gambar ponselnya terbakar habis dalam microwave. “Jaga-jaga bila kamu orang yang gampang dibodohi seperti saya, JANGAN MICROWAVE iPhone Anda. Thanks 4chan,” ungkapnya, sebal.

Hoax: dari Salju Jakarta hingga Pilkada

Kejadian mirip juga terjadi baru saja di Jakarta. Sesaat setelah hujan deras mengguyur Jakarta, muncul posting gambar dan video pendek di Facebook dan Twitter tentang gumpalan putih mirip salju di sepanjang Jalan Sudirman. Tak pelak, berita ini menjadi viral. Semua orang membahas mengapa Jakarta akhirnya kena hujan salju. Orang-orang cenderung percaya karena memang di bagian Jakarta lainnya turun hujan es dan kejadian ini terkonfirmasi. Jika es saja turun, maka apalagi salju, sangat memungkinkan, kata beberapa netizen.
 

Belakangan pengelola MRT Jakarta, via akun Twitter-nya @mrtjakarta, menglarifikasi bahwa yang disebut salju itu sebenarnya adalah cairan sejenis sabun yang berguna sebagai pelicin utk membantu melunakkan tanah selama proses pengeboran terowongan. Ini lebih pada kelalaian pekerja yang masih menyisakan material sisa yang masih tersimpan di lokasi proyek MRT Patung Pemuda.
 

Model informasi yang muatannya tidak benar ini popular disebut hoax. Asal katanya, sebut banyak ahli, adalah hocus yang artinya menipu. Ia merupakan kabar atau informasi palsu yang disamarkan sehingga diyakini sebagai kebenaran. Tujuannya bermacam-macam, mulai sekadar bercanda hingga niat serius menjatuhkan seseorang atau lembaga dengan berita palsu tersebut.

Dan itulah yang terjadi di Indonesia. Bayangkan, dengan jumlah pengguna aktif internet per 2016 berjumlah 88,1 juta, dengan penggiat media sosial sebesar 79 juta orang, ‘pasar’ berita bohong ini amatlah besar. Sekali menghujam memori dan diyakini kebenarannya, itulah yang seterusnya diyakini oleh pengguna yang terkena jebakan hoax, meski kemudian ada berita bantahannya.

Hoax bukan muncul baru-baru ini, ia ada sejak lama. Dulu ia disebarkan dengan cara dari mulut ke mulut. Seiring ditemukannya mesin cetak di abad ke-15, hoax bisa disebarkan via barang cetakan seperti buku, pamflet, brosur, dan sejenisnya. Setelah itu, giliran era ‘koran-koran kuning’ yang rajin menyebarkan kabar dusta. Di era digital sekarang ini, hoax muncul dalam bentuk informasi di situs daring, grup-grup diskusi online, atau platform sosial media seperti Facebook, Twitter, Instagram dan lain-lain.

Pertarungan hoax paling brutal tentu saja saat pemilihan kepala daerah (pilkada) Jakarta sejak tahun silam. Setiap hari ada saja info dusta baru dilontarkan entah dari mana ke salah satu pasangan calon (paslon). Ini diikuti dengan diviralkannya info bohong tersebut baik oleh para buzzers maupun pengikut dan pendukung masing-masing calon. Meski kini pilkada telah usai dan pemenangnya telah ditetapkan, hoax tetap mengancam, khususnya buat pihak yang menang, untuk mendelegitimasi.

Literasi sebagai Kunci

Semua kegegeran itu mungkin tak terjadi bila saja para pengguna internet punya kemampuan menganalisis, dan menyaring informasi yang mereka terima. Literasi atau melek media, demikian istilahnya, merupakan kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar pemirsa sebagai konsumen media (termasuk anak-anak) menjadi sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses.

Literasi ini yang hampir tidak terbangun. Barangkali karena pengguna internet kita, meski jumlahnya besar, namun berbanding terbalik dengan kemauan membaca dan menelaah. Menurut Runi Virnita Mamonto (Hoax, Media Sosial dan Literasi, 2016), UNESCO mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Itu artinya dalam setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Kata Mamonto, masyarakat Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun, lebih rendah dibandingkan penduduk di negara-negara anggota ASEAN yang membaca dua sampai tiga buku dalam setahun. Kalau dibandingkan dengan warga Amerika Serikat, angka itu lebih timpang lagi, karena mereka terbiasa membaca 10-20 buku per tahun.

Faktor ini, kata Mamonto, yang berpengaruh terhadap budaya melek media, termasuk media sosial. Karena malas membaca dan menelaah, maka ketika menerima sebuah informasi mereka melewatkan fase membaca dengan teliti dan menelaah, apakah berita ini benar, dari mana asalnya, terpercayakah sumbernya, bermanfaatkah bagi orang banyak, dan lain-lain.

Karena itu, literasi media inilah yang harusnya segera digalakkan. Jika tidak, maka fenomena info bohong berkeliaran dan makan korban lebih banyak akan terus terjadi.

(ah/WP 2017)


Saturday, February 15, 2020

Pol Pot dan Komunis Kamboja: SEJARAH HITAM SANG GURU SEJARAH

Pengantar: Tulisan ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya, ditulis oleh kontributor Warta Pilihan, Ahmad Husein, memaparkan sejarah komunisme      menguasai Kamboja yang menimbulkan kesengsaraan luar biasa.


Bicara soal komunisme di Kamboja tak bisa dipisahkan dengan profil tokoh utamanya, Pol Pot. Pria berwajah lonjong ini adalah pemimpin Partai Komunis Kamboja (The Communist Party of Kampuchea), pencetus ide dan kebijakan kental Marxisme-Leninisme yang menciptakan rasa takut luar biasa terhadap negara, siapapun yang mendengarnya (Foto Pol Pot. Sumber: Liputan6.com)

Nama Khmer Merah atau Khmer Rouge ditabalkan untuk para pengikut Partai Komunis Kamboja. Khmer Merah sendiri awalnya adalah sayap militer partai tersebut saat bertempur melawan kekuatan Vietnam di kurun akhir tahun 1960-an.

Pol Pot lahir tahun 1925 di sebuah desa kecil, Prek Sbauv, 100 mil dari ibukota Kamboja, Phnom Penh. Nama Pol Pot sesungguhnya adalah nom de guerre (nama julukan gerilya) dirinya. Adapun nama aslinya adalah Saloth Sar, lahir dari keluarga yang cukup disegani. Konon keluarga Saloth memiliki tak kurang dari 50 acre sawah, sepuluh kali lipat dari kepemilikan sawah secara nasional di Kamboja.

Tahun 1934, dalam usianya yang ke-9, Saloth pindah ke Phnom Penh, tempat ia menghabiskan waktunya selama setahun belajar di kuil Buddha, sebelum akhirnya masuk Sekolah Dasar Katolik Prancis. Pendidikannya di Kamboja berlanjut hingga tahun 1949, ketika ia memperoleh beasiswa ke Paris untuk belajar teknologi radio. Di kota Paris inilah Saloth berkenalan dengan para aktivis komunis, belajar ideologi Marxis sambil berkenalan dan kongko-kongko bersama para koleganya sesama warga Kamboja yang tengah belajar di kota Menara Eiffel tersebut.

Empat tahun di negeri Eropa Saloth kembali ke kampung halaman tahun 1953. Seluruh wilayah negeri saat itu tengah bergolak melawan pendudukan Prancis.  Kamboja merdeka setahun kemudian. Saloth, dengan pengalamannya bergaul bersama komunis, lantas bergabung dengan Partai Revolusioner Rakyat Khmer atau KPRP (Khmer People’s Revolutionary Party) yang didirikan tahun 1951 dengan dukungan Vietnam Utara. Dalam perjalanannya, Saloth sempat mengenyam profesi sebagai guru selama tujuh tahun, mulai 1956 – 1963. Ia menjadi guru sejarah, geografi, dan sastra Prancis di sebuah sekolah swasta, sembari diam-diam terus merencanakan revolusi.

Adalah Saloth yang memprakarsai perubahan di tubuh KPRP hingga menjadi partai yang spesifik berhaluan Marxisme-Leninisme. Di tahun-tahun itu pula ia harus bergerilya masuk ke dalam hutan di kawasan utara Kamboja karena bentrok dengan penguasa militer Kamboja. Karena kepemimpinannya yang menonjol. Saloth akhirnya menjadi ketua partai, dan dikenal dengan nama Pol Pot. Dialah yang membidani lahirnya pasukan gerilya Khmer Merah tahun 1968. Revolusi yang ia rancang sekian lama, perlahan-lahan muncul dan menguat dan berpengaruh.

Pukul Militer, Kuasai Ibukota
 

Pada tahun 1970 pemimpin militer Kamboja, Jenderal Lon Nol, mengkudeta Pangeran Norodom Sihanouk saat sang raja tengah di luar negeri. Tak pelak, pecahlah perang saudara antara pengikut Sihanouk versus militer. Dengan beberapa pertimbangan, Sihanouk memilih bersekutu dengan Khmer Merah, sementara Lon Nol mendapat dukungan dari Amerika Serikat. Di perbatasan, sekitar 70 ribu tentara Amerika dan Vietnam Selatan bahu-membahu menggempur dan memaksa pasukan Vietnam Utara dan tentara Viet Cong –sekutu Khmer Merah– menyingkir ke perbatasan Kamboja.

Saking kewalahan, Presiden AS saat itu, Richard M. Nixon, memerintahkan pemboman rahasia untuk menyudahi Perang Vietnam ini. Konon, dalam empat tahun, pesawat-pesawat AS menjatuhkan 500 ribu ton bom di Kamboja, alias tiga kali lipat dari jumlah yang mereka jatuhkan ke Jepang saat Perang Dunia II.

Aksi pemboman AS ini mereda tahun 1973. Celakanya, jumlah tentara Khmer Merah ketika itu telah meningkat berkali lipat dan mereka praktis menguasai tiga perempat wilayah perbatasan. Kini giliran mereka menggempur militer pimpinan Lon Nol dengan bom, roket serta senjata artileri.

Puncaknya adalah Januari 1975, ketika Khmer Merah membombardir bandar udara Phnom Penh dan memblokade sungai dari keluar masuk berbagai pihak ke Kamboja. Tiga bulan kemudian, tepatnya 17 April, Khmer Merah memasuki ibukota, memenangkan perang saudara dan mengakhiri perang.  Kemenangan gemilang ini diikuti dengan dideklarasikannya pemerintahan sendiri bernama Democratic Kampuchea di tahun 1975, dipimpin oleh Pol Pot beserta para sekondannya yakni Nuon Chea, Ieng Sary, Son Sen, dan Khieu Sampan.
 

Selesai? Belum. Malah, masa terburuk baru akan dimulai.

Reformasi Agraria versi Guru Sejarah
 

Segera setelah menguasai ibukota, Khmer Merah mengevakuasi 2,5 juta warga Phnom Penh dengan alasan Amerika akan membombardir ibukota negara. Selain itu, rezim baru menjanjikan kehidupan yang lebih sejahtera dengan menggiatkan pertanian di desa-desa untuk menghasilkan padi.

Padahal, Pol Pot sebenarnya baru saja memulai eksperimen kebijakan “rekayasa sosial” (social engineering policies). Khmer Merah amat terobsesi dengan reformasi pertanian yang tragisnya dalam waktu singkat justru mengantarkan negara tersebut ke wabah kelaparan.
Ideologi Khmer Merah merupakan kombinasi antara Marxisme dengan versi ekstrem dari nationalisme dan xenophobia Khmer. Ini merupakan idealisasi dari yang pernah dilakukan Kekaisaran Angkor (802-1431 Masehi), dengan menanamkan elemen rasa takut yang berlebihan terhadap keberadaan negara Kamboja, yang dalam sejarah pernah dihapuskan selama periode intervensi Vietnam dan Siam (Thailand).  

Tumpahnya para gerilyawan Vietnam ke wilayah Kamboja saat perang lebih jauh menumbuhkan sentimen anti-Vietnam. Itulah mengapa Khmer Merah secara eksplisit menargetkan orang Cina, Vietnam, bahkan sebagian warga Khmer untuk dimusnahkan. Meskipun tak kentara, namun warga Cham Muslim (etnis minoritas beragama Islam) juga mengalami perlakuan tak kalah kejamnya dari rezim Khmer.

Kebijakan sosial Khmer Merah terpusat pada mimpi terciptanya masyarakat agraris murni. Ide Pol Pot amat berpengaruh terhadap tumbuhnya kebijakan tersebut. Kabarnya, Pol Pot amat terkesan dengan cara hidup suku-suku di Kamboja yang hidup di gunung, sehingga ia –lewat partainya —menginterpretasikannya sebagai pembentukan komunisme yang primitif. Hasilnya, kaum seperti di gunung tersebut menerima perlakuan yang lebih baik, diistimewakan, daripada kaum kota yang ‘borjuis’ seperti Cina dan Vietnam. Pol Pot ingin menghapus lembaga sosial dan mentransformasikan masyarakat Kamboja ke dalam masyarakat agraria.

Salah satu sikap Khmer Merah adalah ngotot akan apa yang mereka sebut “memenuhi kebutuhan sendiri” atau mandiri, tanpa memperhatikan kesiapannya. Akibatnya, bukan cuma soal kelangkaan bahan pangan, bahkan suplai obat-obatan juga mandeg yang akhirnya ribuan harus mati percuma oleh wabah yang sebenarnya bisa ditangani seperti malaria.

Selain itu, kebijakan seram Khmer Merah yang amat kejam adalah soal purifikasi alias pemurnian yang menjadi dasar pembantaian kaum minoritas di Kamboja.

Saya berkenalan dengan seorang profesor yang aktif bergiat dalam bidang kemanusiaan. Pit Daw, sebut saja namanya demikian, bercerita betapa Khmer Merah amat paranoid dengan segala hal yang mereka anggap membahayakan keberlangsungan rezim.

“Saya memiliki teman sekelas kuliah sebanyak kurang lebih 40 orang. Saat Khmer Merah berkuasa, semua ditangkapi dan mati dibunuh. Hanya saya yang tersisa,” kata Pit, dengan mata berkaca-kaca. 

Penangkapan orang pun dilakukan dengan alasan yang sering tak masuk akal. Menurut Pit, rejim Khmer, yang dikenal sebagai Angkar (baca: Angka) menangkapi kaum terdidik, termasuk mahasiswa, guru, dan dosen, karena dianggap suka mengritik penguasa. Warga yang bisa bermain piano juga ditangkap dan dikirim ke Tuol-Sleng atau Cheoung Ek untuk dibunuh, karena dianggap punya hobi ala kapitalis. Seorang perempuan yang kebetulan menguasai dua bahasa asing selain bahasa Khmer juga dianggap sebagai budak Barat sehingga wajib diseret ke penjara.

“Yang lebih konyol, pria berkaca mata dianggap sebagai seorang yang pintar sehingga juga ditangkap dan dibunuh,” kata Pit, yang sempat bekerja paksa menanam padi di sebuah kamp selama dua tahun. Di saat itu, ia terpaksa harus menyembunyikan identitas dirinya sebagai seorang mahasiswa.

Pol Pot sendiri punya alasan yang ia yakini, yakni menciptakan sebuah masyarakat komunis tanpa perlu membuang-buang waktu di tahapan peralihan. Kaum minoritas seperti Cina dan Vietnam diusir dari kota, lalu mereka yang tidak terbiasa dengan bidang pertanian tersebut dipaksa tinggal di kamp-kamp sebagai pekerja paksa. Mereka bahkan dilarang berbahasa asli asal mereka.

Khmer Merah dalam selimut Partai Demokratik Kamboja merupakan negara yang ateis, tidak percaya Tuhan, namun anehnya pengaruh Buddha masih terasa. Semua agama dilarang, dan yang paling kena getahnya adalah Islam, Nasrani, serta Buddha. Waktu itu, ada sekitar 25.000 biksu Buddha dibantai rezim Khmer.

Kerja Paksa dan Genosida
 

Mulanya, Pol Pot kebanyakan mengatur pemerintahan dari balik layar. Ia menjadi Perdana Menteri tahun 1976 setelah Pangeran Norodom Sihanouk dipaksa mundur dari jabatannya. Sementara itu perang masih berlanjut di perbatasan.



(Korban-korban genocide Pol Pot. Sumber: Kompas.com)

Khmer Merah mendeklarasikan negara akan mulai berjalan lagi di “Tahun Nol”. Caranya? Dengan mengisolasi rakyat dari dunia bebas. Ia memerintahkan tentara mengosongkan ibukota. Jutaan warga kota berbondong-bondong keluar dari ibukot secara terpaksa, untuk kemudian dicegat di tengah jalan, diangkut ke kamp-kamp kerja paksa sebagai petani, menanam padi demi memenuhi kebutuhan Kamboja.

Pol Pot menghapus mata uang, hak milik pribadi, dan agama, lalu merancang desa-desa kolektif, nama lain untuk kamp kerja paksa. Adapun bagi mereka yang dicurigai berkhianat, membenci penguasa, mengritik, atau tidak setuju terhadap pemerintahan Khmer Merah, maka tidak ada pilihan selain diculik dan dibunuh. Hampir tiga juta nyawa melayang dibantai Khmer Merah selama masa empat tahun mulai 1975-1979. Jumlah itu hampir sepertiga dari total penduduk Kamboja yang berjumlah 9 juta di tahun 1990.

Salah satu pusat kekejaman Khmer Merah adalah instalasi penjara yang bernama S-21 Tuol Sleng, tepat di jantung Phnom Penh, dan kamp genosida Choeung Ek di ujung kota (lihat tulisan sebelumnya: Choeung Ek: Saksi Bisu Keganasan Komunis – Red). Instalasi genosida ini dikepalai oleh Kang Kek Iew alias Commander Duch. Dalam satu kesempatan setelah ditangkap dan diadili, Duch memaparkan dengan dingin kenapa mereka juga membunuhi anak-anak dan bayi.

“Karena bayi dan anak-anak tidak memberikan manfaat ekonomi apa-apa buat negara. Selain itu, jika nanti dewasa, mereka akan mendendam dan melawan negara. Jadi lebih baik kami bunuh saja sekarang saat masih kecil,” katanya, datar.

Di luar itu, ratusan ribu lainnya meregang nyawa karena wabah penyakit, kelaparan, dan kelelahan karena dipaksa bekerja di sawah, padahal tidak semua dari mereka berlatar belakang tani.

“Saya harus bekerja dari pukul 10 pagi hingga 10 malam dengan upah hanya segenggam beras,” kata Pit Daw. Hanya karena tekadnya yang kuat, ia bisa mengatur tenaganya agar tidak habis di sawah, sembari terus menyembunyikan identitasnya sebagai kaum pelajar.

Tumbangnya Polpot
 

Bentrok di perbatasan Kamboja – Vietnam makin memanas di akhir tahun 1970-an, hingga akhirnya Vietnam masuk menginvasi Kamboja, menduduki Phnom Penh, dan memaksa tentara Khmer Merah mundur ke hutan-hutan dan mulai menjalankan taktik perang gerilya.
Meskipun kalah, kekuatan militer mereka tak serta merta hancur. Mereka menjalankan taktik gerilya, yang awet hingga bertahun-tahun lamanya. Banyak faksi militer berbeda terlibat dalam perang gerilya ini hingga akhirnya berakhir tahun 1994. Artinya, mereka bertahan hingga 15 tahun.

Tahun 1993, Kamboja direstorasi dan kemudian diubah menjadi Kerajaan Kamboja. Setahun kemudian, ribuan gerilyawan Khmer Merah menyerahkan diri kepada pemerintah untuk mendapatkan amnesti. Di tahun-tahun tersebut negeri Kamboja mulai terbuka kembali terhadap masyarakat internasional.

Di saat itu pula kisah-kisah horor kekejaman Pol Pot dan rezimnya mulai terkuak.  Apalagi dengan buka mulutnya banyak warga yang selamat (penyintas). Peradilan kriminal internasional mulai digelar. Para petinggi Khmer Merah diburu dan ditangkap.

Nasib para pentolan Angkar sendiri berbeda-beda. Tiga tahun restorasi, Ieng Sary yang pernah menjadi wakil Pol Pot, mendapat amnesti dan mendirikan partai baru Gerakan Persatuan Nasional Demokratik (Democratic National Union Movement). Dua pimpinan Khmer Merah lainnya, Nuon Chea dan Khieu Samphan, dihukum penjara seumur hidup oleh Pengadilan PBB, dengan tuduhan terbukti bersalah atas kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) dan bertanggung jawab atas kematian lebih dari dua juta warga Kamboja. Sedangkan Commander Duch, kepala jagal Tuol Sleng dan Choeung Ek, dijatuhi hukuman 35 tahun.

Pol Pot sendiri, lewat sebuah pengadilan internal tahun 1997 pasca jatuhnya akibat invasi Vietnam, dikenai tahanan rumah di sebuah tempat di pelosok hutan Kamboja. Setahun berselang, 15 April 1998, di Distrik Anlong Ven, Pol Pot si guru Sejarah dan Sastra Prancis, peraih beasiswa bidang teknologi radio ke Prancis, pemimpin Khmer Merah dan yang bertanggung jawab atas pembantaian warga Kamboja, akhirnya meninggal pada usia 72 setelah mengalami gagal jantung.

Yang unik, banyak para anggota Khmer Merah dan Partai Komunis Kamboja di tingkat menengah dan bawah yang tidak diadili. Dalam berbagai film dokumentasi yang dibuat internasional, argumentasi mereka selalu sama, bahwa saat-saat tahun 1975-1979 itu mereka dipaksa melakukan pembunuhan kepada sesama warga Kamboja.  “Jika kami tidak membunuh, maka kamilah yang dibunuh,” kata sebagian mereka.

Yang jelas, kekuasaan komunis yang hanya empat tahun tersebut menyisakan sejarah kelam yang tak mungkin dilupakan seumur hidup oleh warga Kamboja dan dunia.

(ah)

CHOEUNG EK: SAKSI BISU KEGANASAN KOMUNIS

Kontributor Warta Pilihan, Ahmad Husein, berkunjung ke Kamboja. Ia mendapat kesempatan berkunjung ke “Killing Field”, lokasi pembunuhan massal yang dilakukan rezim komunis Khmer Merah. Pengalaman tersebut ia tuangkan dalam dua seri tulisan khusus dalam rangka memperingati peristiwa G-30-S/PKI. Pertama tentang ladang pembantaian, kedua tentang sepak terjang komunis dan akibatnya pada rakyat Kamboja – Redaksi Warta Pilihan.

KETIKA tengah menimbang-nimbang tempat wisata yang akan saya kunjungi di sela-sela waktu senggang di Kamboja, seorang supir tuktuk (sejenis kendaraan roda tiga – Red.) menyarankan saya untuk mampir ke lokasi kuburan massal korban kekejam komunis di Kamboja.

Ada dua tempat yang jadi pilihan. Pertama, ke instalasi S-21 Tuol Sleng, di jantung ibukota. Tuol Sleng sejatinya adalah gedung sekolah, yang dialihfungsikan oleh rezim Khmer Merah (dikenal juga dengan nama Khmer Roug) menjadi instalasi tempat penahanan warga Kamboja yang dicurigai menentang paham komunisme, mengancam kekuasaan negara, dan antek asing. Lokasinya cukup dekat dengan hotel. Namun si supir, Doy, sebut saja demikian, menyarankan untuk ke Choeung Ek.

“Tuol Sleng sekali lihat langsung tuntas. Choeung Ek lebih luas dan banyak yang dilihat,” katanya, berpromosi. Tak heran, bahkan di dinding tuktuk-nya banyak dipajang foto-foto dan poster promosi tempat tersebut. Saya mengiyakan. Biayanya 22 dolar AS, pulang-pergi. Setuju. Maka saya pun, bersama seorang rekan yang berprofesi dokter, naik tuktuk ke Choeung Ek. Jarak lokasi tersebut dari hotel sekitar 11 kilometer, ditempuh dalam waktu sekitar 45 menit karena ada beberapa ruas jalan yang macet.

Gigi dan Jari Menyembul
 
Kami tiba di lokasi sekitar pukul empat sore. Saat itu tak banyak pengunjung yang datang, mengingat hari tersebut adalah hari kerja, bukan akhir pekan.  Baru memasuki gerbangnya saja, bulu kuduk sudah berdiri. Kawasan ini amat sepi. Dan yang akan kami susuri adalah lokasi-lokasi pembunuhan belasan ribu orang.


Ladang pembantaian Choeung Ek luasnya 2,5 hektar. Awal kisah tempat ini menjadi pusat genosida oleh rezim Khmer Merah tak lepas dari sejarah ketika kekuatan Komunis Kamboja di bawah pimpinan Pol Pot tersebut mengambil alih kepemimpinan militer di tahun 1975. Saat rezim militer pimpinan Lon Nol, yang mengkudeta Pangeran Norodom Sihanouk, akhirnya dihajar mundur oleh Khmer Merah, era kepemimpinan partai yang menyebut diri mereka spesialis aliran Marxisme-Leninisme pun dimulai.

Namun yang terjadi bukanlah kesejahteraan. Malah sebaliknya, antara tahun 1975 hingga 1978, puluhan ribu warga, baik laki-laki, wanita, anak-anak, hingga bayi telah ditahan dan disiksa oleh Khmer Merah, yang kerap disebut juga sebagai rezim Angkar (secara harfiah berarti organisasi, yakni pelaksana tugas rezim Pol Pot). Rakyat digiring seperti kerbau ke Instalasi S-21 Tuol-Sleng. Entah berapa ribu warga meregang nyawa di sini. Bekas-bekas darah di kamar-kamar penyiksaan, berikut beragam alat penyiksaan masih dapat disaksikan di Tuol Sleng.

Dari instalasi ini, sekitar 17 ribu orang diangkut lagi menuju Choeung Ek. Di sini, alih-alih diperlakukan dengan manusiawi, mereka dihabisi nyawanya oleh Rejim Khmer Merah, sadis menyudahi nyawa belasan ribu warganya sendiri.

Setidaknya saat kuburan massal ini digali pertama kali tahun 1980, ditemukan 8.895 jenazah korban penyiksaan dan pembunuhan. Banyak di antara mereka ditemukan dalam keadaan tangan dan kaki terikat serta mata ditutup. Ada total 129 titik kuburan massal di sana, tetapi 43 di antaranya dibiarkan seperti semula, tidak digali atau dibongkar lagi.

Yang bikin bergidik, tak jarang tulang-belulang manusia dan secarik pakaian muncul di beberapa titik.  Saya juga tak sengaja menemukannya. Di balik tanah Lumpur kering dengan rumput-rumput kurus di sana-sini, seorang turis asing menjerit sambil menunjuk-nunjuk sesuatu yang menyembul dari tanah. Ternyata itu adalah gigi sesosok mayat plus beberapa tulang jari-jemari.

Selain itu, lebih dari 8.000 tengkorak dikumpulkan berdasarkan jenis kelamin dan umur. Semua tengkorak itu kini bisa dilihat di Memorial Stupa, yang didirikan tahun 1988. Seluruh tengkorak tersebut diletakkan di balik ruang kaca transparan. Hanya dengan melihatnya saja, kita sudah mengelus dada penuh kegeraman, membayangkan mereka dibantai tanpa perlawanan.

Secara keseluruhan, dalam waktu hanya empat tahun, rezim komunis telah membunuh hampir tiga juta warga Kamboja. Jumlah penduduk Kamboja sendiri sekitar 9 juta. Itu artinya, korban keganasan komunis Khmer Merah mencapai hampir sepertiga dari total penduduk Kamboja.

Killing Tree dan Magic Tree
 

Setiap pengunjung menerima satu alat audio berisi panduan menyusuri titik-titik dalam komplek itu. Audionya dibuat dalam bentuk narasi seorang korban yang selamat bernama Ros Kosal. Ia menjelaskan masing-masing tempat di lokasi, mulai tempat berhentinya truk yang membawa tahanan, rumah penampungan, kantor pengelola Choeung Ek, titik-titik kuburan massal, berikut sejarahnya.

Dalam rekaman audio tersebut, ada pula disertakan pengakuran Him Huy, penjaga sekaligus jagal manusia di sana. Ia menjelaskan dengan datar beberapa teknik yang mereka gunakan untuk membunuh tahanan yang tidak bersalah dan tak berdaya. Termasuk cara membunuh perempuan dan anak-anak.  Di sana, didirikan pula museum dengan banyak informasi menarik tentang kepemimpinan Khmer Merah dan persidangan yang dilakukan bertahun-tahun kemudian.

Di salah satu sudut komplek, ada sebuah pohon besar dan rindang yang batangnya dipenuhi dengan semacam karet atau gelang warna-warni. Pohon ini dijuluki “Pohon Sulap” alias Magic Tree. Mengapa demikian? Ternyata, dulu di lahan pembantaian ini, setiap malam saat para tahanan dikeluarkan dan dibawa ke lapangan untuk dieksekusi, para penjaga dan jaga; rejim Pol Pot memasang pengeras suara di pohon kayu ini ke berbagai penjuru. Mereka lalu mengalunkan lagu-lagu daerah Khmer dengan volume yang amat keras. Tujuannya, agar lagu dan suara keras tersebut menutupi suara jeritan dan teriakan ngeri korban yang tengah disiksa dan dieksekusi. Itu sebabnya pohon saksi bisu ini diberi nama magic tree alias pohon sulap, karena (seolah-olah) bisa menghilangkan suara jeritan korban, layaknya sebuah magic/sulap.

Di sudut lain, juga ada pohon yang namanya bikin merinding: Killing Tree (Pohon Pembantaian). Di pohon inilah sebagian besar korban anak-anak dan bayi dibawa lalu dieksekusi dengan kejam oleh petugas Angkar.  (secara harfiah berarti Organisasi; pelaksana eksekusi rejim Pol Pot). Bayi dan anak-anak itu dibunuh dengan cara dibenturkan kepalanya ke batang pohon, digantung dengan tali, atau dipukul/dibacok dengan alat besi.

Kang Kek Iew, salah satu lingkaran dekat Pol Pot yang mengepalai instalasi S-21 Tuol Sleng dan Choeung Ek, dalam kesaksiannya sempat menyebutkan alasan kenapa bayi dan anak-anak ikut dibunuhi secara keji.

Jangan Lupakan Sejarah
 

Banyak tempat di dalam area tersebut merupakan titik penguburan mayat korban hasil penyiksaan. Angkar amat kejam dalam hal menyiksa dan membunuh. Orang-orang yang sudah tewas mereka masukkan ke dalam lubang besar, yang isinya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan orang. Lalu, tumpukan mayat itu disiram dengan bahan kimia DDT (dikloro-difenil-trikloretan; dikenal sebagai racun serangga mematikan). Konon, ini dilakukan agar mayat-mayat tersebut tidak mengeluarkan bau busuk. Dalam sebuah laporan, terungkap bahwa saat mayat-mayat ini diangkat dari lubang, tubuh mereka dipenuhi bubuk-bubuk putih kekuningan yang kemudian diidentifikasi sebagai DDT.

Ada juga lokasi yang hanya diberi tanda bahwa itu adalah kuburan massal, tetapi belum digali. Tepat di belakang area tersebut, ada danau kecil dengan air kehijauan. Suasana area ini memang membuat bulu kuduk merinding.

Di sayap kanan komplek terdapat rumah yang dahulu dipakai sebagai kantor Angkar. Kini ruangan-ruangannya diisi dengan berbagai barang peninggalan saat komplek itu dioperasikan, mulai dari baju tradisional para pekerja kamp, berbagai jenis alat penyiksa, lukisan-lukisan adegan penyiksaan dan pembunuhan, serta profil para jagal Choeung Ek berikut para pimpinannya.

Tur di Choeuk Eng diakhiri dengan alunan lagu “Oh Phnom Penh Euy”, sebuah lagu yang menceritakan ungkapan hati seorang warga yang tengah menjadi pekerja di kamp pertanian, dan memikirkan Phnom Penh, kota tempat tinggalnya yang kini diduduki Khmer Merah. Lagu itu amat menyayat-nyayat hati.

Kami keluar dari Choeuk Eng sekitar pukul 17.30 waktu setempat. Saya merenung, begitu brutalnya rezim komunis di Kamboja ini menerapkan utopianya, dengan mengorbankan jutaan nyawa tak bersalah. Pikiran saya lantas mengawang ke tanah air sambil berharap, semua kalangan belajar dan tidak (pura-pura) lupa akan sejarah pahit semacam ini.

(ah)

Wednesday, February 12, 2020

Surga Wifi Seribu Kafe

Infrastruktur telekomunikasi di Laos perlahan berkembang. Penetrasi masih rendah. Akses internet ‘gratis’ tersedia berlimpah di kafe dan hotel. 

Sewaktu akan berangkat ke Vientiane, satu kekuatiran saya adalah soal koneksi internet. Sulit mengakses email kantor dan jalan-jalan ke platform media sosial adalah isu yang cukup menghantui. Ying, kolega saya di Bangkok, seolah tahu saya galau. Lewat email ia memberikan beberapa tips. Dan email tentang tips itulah yang saya cetak dan jadikan pegangan selama perjalanan untuk dibaca-baca, supaya tidak lupa langkah-langkah yang telah dia berikan. 

Begitu mendarat di bandara Wattaya, setelah melewati pemeriksaan imigrasi, saya melangkah ke aula terminal kedatangan, mencari-cari gerai Unitel, perusahaan telekomunikasi di Laos yang mendapat lisensi 3G dan 4G. Letaknya tak jauh dari pintu keluar terminal kedatangan. Di sini, pengunjung bisa membeli kartu SIM (subscriber identification module) prabayar yang sesuai dengan kebutuhan mereka selama menetap di Laos. 

Ying merekomendasikan saya untuk membeli paket kartu SIM prabayar dengan layanan internet dan pesan pendek (SMS) saja, tanpa dilengkapi layanan panggilan telepon. Kartu ini disebut SIM Net. Dengan SIM Net prabayar 3G, kita bisa mengakses dunia maya dengan kecepatan yang lumayan, termasuk pengoperasian aplikasi chat semacam Whatsapp, Line, dan sejenisnya. 

Jika ingin menelepon seseorang di wilayah ini, tinggal cek apakah teman tersebut juga memiliki aplikasi sejenis sehingga bisa dipanggil via Whatsapp, tanpa membutuhkan pulsa GSM. Berselancar ke berbagai aplikasi media sosial juga mudah termasuk memuat kabar di Facebook, Instagram, Twitter, dan aplikasi sejenis lainnya. Biaya totalnya cukup terjangkau, sekitar 50.000 Kip (sekitar Rp 80 ribuan). Harga untuk kartu pintarnya sendiri hanya 10.000 Kip. Ada banyak pilihan besarnya data yang diperlukan. Saya, misalnya, memilih paket 1,5 Gb data untuk 7 hari. Tinggal minta tolong petugas gerainya untuk memasang dan mengatur konfigurasinya di ponsel saya. Tak sampai lima menit, ponsel saya sudah siap dipakai untuk kebutuhan layanan internet.

Selain SIM Net, ada pula layanan untuk telepon dan pesan singkat. Dengan harga serupa, kita mendapat jatah data yang lebih kecil, hanya sekitar 625Mb. 

Infrastuktur Melaju, Pengguna Rendah 

Republik Demokratik Rakyat Laos, demikian nama lengkap negara ini, memiliki populasi sekitar 7 juta penduduk. Dengan luas wilayah 236.800 kilometer persegi, kepadatan penduduk di Laos adalah 30 jiwa per kilometer persegi. Bandingkan dengan Indonesia, yang kepadatannya mencapai 126 jiwa per kilometer persegi. Data tahun 2015 menunjukkan, produk domestik bruto (GDP) Laos mencapai 1.600 dolar Amerika per kapita. 

Layanan internet masuk ke Laos pertama kali tahun 1997. Seiring waktu, dengan diperkenalkannya pita lebar bergerak (mobile broadband), jumlah pengguna internet telah meningkat secara signifikan, utamanya setelah tahun 2008. Per tahun 2017, ada kurang lebih 1.800.000 pengguna atau mencapai lebih 20% dari total populasi. Sebanyak 89% dari pengguna internet ini mengakses melalui ponsel. Hanya delapan persen yang memilih akses via laptop atau desktop. 

Di Laos sendiri, jaringan 3G dan 4G sudah tersedia. Ada empat operator utama untuk layanan komunikasi digital ini yakni Lao Telecom, Unitel, ETL, dan Beeline. Semua operator tersebut sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Laos, baik sebagian maupun sepenuhnya. Lao Telecom adalah yang pertama kali menerima hak lisensi 4G tahun 2013, diikuti oleh yang lainnya. Di Laos, jaringan 3G misalnya, kecepatannya mencapai 21 Mbps HSPA+, sementara ADSL (jaringan kabel data kecepatan tinggi) mencapai 2 Mbps, da WiMAX 10 Mbps. 

Konon, pemerintah setempat mengontrol dengan ketat server internet domestik dan secara sporadik memantau penggunaan internet. Akan tetapi di akhir tahun 2012, pemerintah tampaknya tak lagi punya daya cukup untuk memantau terus-menerus aktivitas internet demi menghambat akses para pengguna ke situs-situs daring. 

Di saat sama, seiring dibukanya akses internet dan makin baiknya data bergerak, rupanya telah mulai menarik minat investor asing untuk berinvestasi di sektor tersebut. Secara umum, upaya pembangunan infrastruktur Laos menunjukkan banyak kemajuan. 

Wifi Gratis yang Tidak Gratis 

Sehari-hari, amat mudah menemukan bahwa hotel, penginapan, kafe, dan restoran yang bertabur di kota Vientiane memiliki fasilitas layanan internet gratis melalui penyediaan Wifi. Apalagi di daerah-daerah yang menjadi tujuan wisata utama. Kalau kita berjalan-jalan seputar kota, biasanya tempat-tempat yang disebut di atas jadi semacam surga untuk mengakses internet dan memberi tanda “free wifi” di depan bangunannya. 

Tentu, sesungguhnya tidak 100% gratis, karena setidaknya Anda harus membeli minuman atau makanan sebelum mendapat kode rahasia akses wifi-nya dan mangkal di tempat tersebut. Menurut LonelyPlanet.com, di hampir semua ibukota provinsi di Laos internet dapat diakses dengan biaya bervariasi mulai 5.000 Kip per jam, khususnya di pusat-pusat kota provinsi yang besar hingga 10.000 Kip atau lebih per jam di kota-kota yang lebih terpencil. Komputer sudah umum ditemui di kafe-kafe internet lengkap dengan aplikasi pesan kilat dan chat seperti Skype. Hanya, perlengkapan headset-nya tidak selalu disediakan. 

Hal lain yang tak jauh berbeda, di Jakarta kita amat terbiasa melihat orang-orang serius memandangi gawai (gadget) mereka masing-masing, di berbagai kesempatan, mulai di tepi jalan, di bus, di kereta api, di kafe, di kampus, di mal hingga di mesjid sekalipun. 

Di Vientiane, pemandangan memang tidak ‘separah’ itu. Di jalanan, masih banyak orang yang melakukan aktivitas selain menelepon atau memelototi ponselnya. Namun, memang kita tetap kerap melihat para penjual di toko atau kios, pengunjung di mal atau pasar, sering menghabiskan waktu dengan gawai mereka. 

“Di ibukota ini, kebanyakan pengguna internet adalah para pekerja dan anak-anak muda,” kata Kum Chai, penerjemah di acara pelatihan saya. Menurut perempuan usia 30-an yang fasih berbahasa Inggris ini, meskipun penggunaan ponsel sekarang sudah meluas ke berbagai tingkatan usia, pengakses media sosial tetap dikuasai remaja dan pemuda.

“Facebook tetap jadi pilihan mayoritas pengguna sosial media,” jelasnya. Untuk aplikasi chatting, Whatsapp tetap nomor satu. Selain itu, Line banyak digemari remaja. Ia mengaku kini akses lebih mudah dengan bertambahnya operator telekomunikasi di Laos, dengan harga lumayan terjangkau. 

(ahmad husein)