Monday, February 24, 2020

UNIFORMISASI INFORMASI

Ada yang tak biasa bagi warga Polandia pagi itu, tepatnya 13 Desember 1981. Warga di kota Swidnik dan Gdansk lazimnya selalu menyalakan radio dan menyetel saluran Radio MPH60, radio yang menyuarakan opini buruh pro Solidaritas Buruh Independen "Solidarnosc" pimpinan seorang teknisi listrik di Galangan Kapal Lenin di Kota Gdansk, Lech Walesa, yang berlawanan dengan suara rezim komunis di bawah kepemimpinan Jenderal Jaruzelski.

Radio itu tak bersuara. Hanya desingan suara udara kosong. Jelas sudah, MPH60 dibredel penguasa. Rakyat dipaksa mendengarkan radio-radio lain yang mendukung kebijakan rezim. Hari itu juga awal diterapkannya masa status darurat militer di Polandia.
Rakyat marah, merasa kehilangan, apalagi MPH60 menawarkan hal yang berbeda. Hal manis yang disebarkan pemerintah selalu dihadang dengan informasi tandingan dari lapangan oleh stasiun radio tersebut.

Geram dengan situasi politik yang ada plus pemaksaan penyeragaman informasi oleh rezim Jaruzelski, rakyat Swidnik dan Gdansk mengambil langkah unik. Tiap kali pukul 19.30, saat warta berita pemerintah disiarkan, warga memilih melakukan dogwalker (jalan keluar rumah bersama anjing-anjing mereka). Radio tak didengar. Di Gdansk, warga menyetel televisi mereka dengan layar menghadap jendela. Berita itu berhadapan dengan angin. Pesannya jelas. Kami tak sudi mendengar informasi sepihak, yang kerap tak sesuai realita.

Pada akhirnya sejarah mencatat tahun 1989 komunis keok dalam Pemilu, dan Walesa menjadi presiden tahun 1990.

Di negara Eropa Timur seperti Hungaria, Desember 2018 lalu 2.000 warganya turun ke jalan, karena gerah dengan TV milik pemerintah yang tak independen karena keasyikan membela kebijakan Perdana Menteri dari sayap kanan, Viktor Orban.

Untuk Siapa Jurnalisme? 

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, duo penulis buku "The Elements of Journalism" menuliskan kisah radio MPH60 itu di Bab awal buku mereka. Ketika pemerintah bersikeras menyeragamkan informasi agar sesuai dengan keinginannya, maka perlawanan cepat atau lambat akan timbul. Semangat jurnalisme yang mematok tugas nomor satunya untuk "mencari kebenaran" dan "melayani kepentingan publik" menjadi terkontaminasi dengan usaha penyeragaman dalam rangka mengontrol informasi. Celakanya, gayung bersambut. Media-media (mainstream) --baik sukarela karena memiliki kepentingan korporasi maupun yang terpaksa demi menghindari tekanan lebih berat-- melakukan 'agenda setting berjamaah'.

Di masa Orla dan Orba, perlawanan juga terjadi. Harian Abadi yang lekat dengan Masyumi ditutup karena kritik-kritik pedasnya. Indonesia Raya setali tiga uang. Harian Rakyat ditutup beberapa kali lebih karena pilihan 'jurnalisme konfrontasi' dan pro komunis. MajalahTempo distop lebih dari sekali, plus Editor dan DeTik. Adapun Tabloid Monitor sedikit beda, ia ditutup karena memuat artikel hasil polling yang dianggap menghina umat Islam.

Ketika internet baru memasyarakat, kita mengenal "mailing-list Apakabar" asuhan John MacDougall. Isinya pedas. Pejabat yang membaca bisa ngamuk-ngamuk karena pembahasannya tanpa tedeng aling-aling. Apakabar jadi sumber alternatif informasi mengimbangi berita media cetak dan elektronik nasional yang dianggap terlalu penakut saat itu.

Arus Utama atau Terbawa Arus? 

Fenomena 4 tahun belakangan ini sama saja, sekitar keinginan pemerintah 'menggembalakan' media di padang rumputnya. Ekonomi sulit, dolar tak kunjung turun, pertumbuhan mandeg, dan banyak kebijakan pembangunan yang lemah, membuat posisi pemerintah rawan ditembak kritik publik.

Belum lagi syahwat untuk melanggengkan kursi. Maka tangan kekuasaan pun bermain lewat media arus utama. Media arus utama adalah sebuah istilah dan singkatan yang dipakai untuk secara kolektif merujuk kepada sejumlah besar media berita massa yang mempengaruhi sejumlah besar orang, dan merefleksikan serta membentuk keadaan pemikiran yang ada. Ia mempunyai organisasi dan kelembagaan yang mapan dengan mekanisme produksi informasi yang baku.

Tak heran, jika membaca dan menonton berita Nusantara, kita diajak (baca: dipaksa) merasa bahwa segalanya baik-baik saja, yang segera terasa kontradiktif dengan suara-suara cemas yang makin banyak. Dalam hal ini --di luar soal jurnalisme-- peran "public relations" pemerintah harusnya bisa mengatasi hal tersebut. Namun, hey, sesuai jargon: "public relations yang bagus takkan mampu menutupi kinerja yang buruk".

Media seyogyanya melakukan hal simpel yang telah menjadi kegiatan fundamentalnya. Patokan berita adalah nilai beritanya, news values. Bisa karena magnitudenya (luas/besarnya skala), nilai pentingnya bagi publik, kekinian, keunikan, menyangkut figur, human interest dan lain-lain. Nyatanya, elemen-elemen itu diabaikan. Yg ber-magnitude besar, misalnya, diabaikan. Dianggap tak ada. Sebaliknya, yang tak bernilai berita naik cetak atau tayang seperti berita penting yang sayang dibuang.

Lalu, apakah berarti tindakan publik mengalihkan kebutuhan informasinya ke media-media non-arusutama (jurnalisme warga, blog dan posting para tokoh, diskusi forum-forum online dsb) bisa diterima? Itu adalah konsekuensi logis, meski risiko validitas dan kebenaran informasinya tak kalah mengkuatirkan. Soal ini dan bagaimana membangun literasi berita dan media akan kita bahas, Insya Allah, lain kali.

(Malam 21, Al Hidayah) - llustrasi dari flaticon dotcom

No comments: