Wednesday, July 08, 2020

RELAWAN MILENIAL



Didapuk memfasilitasi pelatihan Dasar-dasar Manajemen Bencana buat Relawan Milenial (REMI) yang dilaksanakan oleh Sosmas BEM KM IPB sejak pagi hingga siang ini di Kampus Darmaga.

Rame. Aktif. Hebat-hebat. Ini cocok kita ijon jadi relawan utama-nya ARM (Aksi Relawan Mandiri) Himpunan Alumni IPB, kelak.

Banyak ciwinya, cuwu-cuwunya nyusul.


--

Wednesday, June 17, 2020

WEEKEND FOR HUMANITY



Weekend kali ini dipakai buat isi baterai para punggawa Aksi Relawan Mandiri Himpunan Alumni IPB (ARM HA-IPB). Yang dibahas adalah jurnalistik kemanusiaan & kebencanaan. Ini jatah Kiai John Bon Bowie dan Hanibal Wijayanta buat melatih.

Babang tamvan dapat tugas foto jurnalistik kemanusiaan. Sama kasi tips in case ada kasus lockdown di kota tercinta. 

Pinter, pinter bareng. Bego, sana ndiri-ndiri....

(catatan: kegiatan berlangsung awal Maret lalu)

Thursday, June 04, 2020

NGALAP BERKAH


"Helping others is the way we help ourselves" (Oprah Winfrey)

Dalam setiap kegiatan (operasi) kemanusiaan, seringkali orang fokus kepada para pembawa bantuannya. Gelar berani, hebat, berjiwa welas asih tinggi, dan entah apa lagi, selalu muncul mengiringi.

Menambah semangat dan bangga? Iya, umumnya demikian. Namun, akan sangat mencemaskan kalau hal tersebut bermetamorfosa menjadi sombong.

Dalam setiap bantuan kemanusiaan, sentral perhatian haruslah para penerima bantuan. People affected by crises. The most vulnerable ones. Kepada merekalah segala rencana disusun, strategi diupayakan, agar ada jiwa dan kehidupan yang terselamatkan. Agar kerentanan berubah menjadi ketenangan.

Dan yang tak kalah pentingnya, namun kerap dilupakan, adalah para donatur, para dermawan di belakang semua kegiatan ini. Merekalah yang tergerak hatinya untuk menyisihkan harta demi membantu orang lain.

Adapun para relawan, pembawa bantuan, dan pelaksana lapangan, merekalah sekelompok individu yang 'ngalap berkah' Yang Maha Pengasih lewat kedermawanan para donatur, dan penerimaan tulus para warga yang terdampak krisis. Mereka adalah para fasilitator who use their heart for kindness. Melakukan sesuatu di saat orang lain justru menghindar dari hal tersebut.

Jika ada banyak narasi tentang para relawan yang bergiat membantu sesama, hendaklah itu dipandang sebagai upaya penegakan akuntabilitas lembaga. Ada donasi yang diberikan. Ada amanah yang dititipkan. Ada harapan yang dibebankan.

Segera setelah semua itu dijalankan, maka narasi-narasi yang ada merupakan simbol pernyataan bahwa amanah telah ditunaikan. Harapan telah ditanamkan. Tugas telah dituntaskan.

Kita semua, pada satu titik, dipersatukan oleh sebuah rasa. Kemanusiaan.


Wednesday, June 03, 2020

Jurnalis dan Perubahan: Dua Elemen yang Koheren


Catatan: Tulisan ini adalah intisari dari paparan saya dalam Dialog Nasional Jurnalistik di sela-sela Musyawarah Nasional I Forum Jurnalis Muslim (Forjim).


Saya mulai dengan situasi terkini belantara jurnalisme, dunia media massa. Banyak soal mengemuka. Kegamangan media-media Islam di bawah ancaman penguasa dengan label radikalisme, penebar kebencian, antikebhinnekaan, dan semacamnya.

Sebagian mengatakan, kita masuk zaman kegelapan jurnalisme. Tetapi bila mau dipetik peluangnya, bukankah dulu saat Masa Kegelapan Barat adalah justru Masa Keemasan Peradaban Islam? Tinggal bagaimana memanfaatkan peluang itu.

Jurnalis (muslim) memang harus menyandang tugas sebagai agen perubahan. Itu dua elemen yang saling koheren. Sesuai fungsi jurnalisme yang bukan cuma menyampaikan informasi melainkan juga menginterpretasikan fakta buat publik. American Press Institute menegaskan tujuan jurnalisme adalah “to provide citizens with the information they need to make the best possible decisions about their lives, their communities, their societies, and their governments.”

Kenapa Bill Kovach dan Tom Rosenstiel sampai menempatkan Bab I Buku “Elemen-elemen Jurnalisme” mereka dengan judul “Untuk Apa Jurnalisme Ada?” Di sana diceritakan bagaimana rakyat Polandia, khususnya di Swidnik dan Gdansk yang setia mendengarkan radio 60MPH karena menyiarkan informasi bukan dari corong pemerintah.

Suatu saat, 13 Desember 1981, saat pagi-pagi orang menyetel salurannya, tak ada suara. Radio itu telah dibungkam penguasa. Rakyat di banyak kota melakukan protes dengan cara mereka. Setiap pukul 19.30 –saat berita pemerintah disiarkan- orang-orang memilih keluar rumah, berjalan-jalan dengan anjing peliharaan mereka. Mereka tak sudi menonton/mendengarkan siaran itu. Bahkan di Gdansk, mereka meletakkan TV mereka ke jendela luar, sehingga siaran itu ditonton angin. Dahsyat sekali pengaruh media menggerakkan masyarakat.

Karena subyek yang didalami adalah manajemen media, maka perlu juga kita menyinggung karakter jurnalis sebagai seorang agen perubahan, khususnya di organisasi media. Mereka haruslah punya visi jelas, suka mengajukan pertanyaan-pertanyaan berat, sabar dan persisten, punya pengetahuan cukup dan memimpin dengan memberi contoh, serta punya hubungan yang kuat didasari oleh tingkat kepercayaan yang tinggi (oleh mitranya).

Adapun jika organisasi media ingin menghasilkan perubahan, mereka harus punya lima komponen dasar. Sebenarnya komponen ini dijelaskan oleh Stephanie Blackburn Freeth dalam sebuah artikel di Linkedin tentang manajemen perubahan (change management). Ia menyatakan, ada lima komponen untuk mengelola sebuah perubahan yang kompleks. Mereka adalah: 1) visi; 2) keterampilan; 3) insentif (dukungan/dorongan); 4) sumberdaya; dan 5) rencana tindak.


Jika semua terpenuhi, maka hasilnya adalah perubahan yang diingini. Dalam konteks media, maka media-media Islam dapat mengubah pengetahuan, sikap bahkan perilaku publik. Jika minus visi, maka bukan perubahan yang diperoleh melainkan kebingungan (confuse). Jika ketiadaan ketrampilan yang mumpuni, maka hasilnya adalah kecemasan (anxious) karena dengan semua perangkat yang dimiliki, ketrampilan justru nihil.

Sementara jika tidak ada unsur insentif, maka bisa dipastikan perubahan sulit terjadi dan yang muncul adalah resistance (penolakan). Adapun bila sumberdaya yang kurang/tidak ada, maka organisasi media akan frustrasi. Yang terakhir, jika semua dimiliki namun tidak memiliki rencana aksi (jangka pendek, menengah, panjang), maka bukan perubahan yang muncul melainkan sebuah permulaan yang keliru (False Start).

Jadi, entah itu Forjim, atau masing-masing organisasi media, mereka harus memastikan agar komponen itu ada dan terpenuhi. Pelan tapi pasti.

Semoga bermanfaat.

Monday, March 09, 2020

MUNGKIN LANGKAH INI COCOK BUAT PEMERINTAH



Ada opini di harian Washington Post hari ini, 3 Maret 2020. Judulnya "How to build public trust in the face of coronavirus". Mengacu pada kasus serupa di AS. Penulisnya, Ezekiel J. Emanuel, menyebut beberapa langkah penting harus disiapkan dan dilaksanakan. Ini dia saya bantu ringkaskan dan adaptasi sedikit:

1. Miliki rencana komunikasi yang realistik. Di AS, Wapres Mike Pence langsung ditunjuk Trump menangani isu ini. Di Indonesia, selain Menkes dan para ahli kesehatan, sertakanlah ahli komunikasi publik. Serius ini saya teh....

2. Bentuk Coronavirus War Room secepatnya alias pusat penanganan krisis. Di Indonesia, apakah itu masih otomatis di bawah Kemenkes atau perlu tim adhoc, silakanlah mangga tafadhol...

3. Panggil otoritas kesehatan di seluruh provinsi untuk menyelaraskan ide, tugas, pencapaian target di daerah masing-masing. Walhasil, apapun yang dikomunikasikan akan seragam dan jelas pesannya ke penjuru wilayah negeri.

4. Undang badan internasional seperti WHO untuk koordinasi tingkat regional dan internasional. Memastikan langkah negara tidak 'mlipir' dari jalur upaya global.

5. Mendistribusikan alat deteksi virus semerata mungkin, atau ke wilayah-wilayah yang dideteksi berpotensi tinggi. Kitinyi hirgi ilitnya mihil, ya tapi layaklah dengan harga nyiwi rikyit... (kok jadi gini sih ngomongnya)?

Poin 6 dan 7 lebih cocok utk AS (melobi Cina agar tim kesehatan AS bisa akses wilayahnya dalam hal menelisik virus ini; dan minta FDA mengamankan rantai suplai bahan baku untuk keperluan pembuatan obat).

8. Memanggil para produsen alat kesehatan dan obat agar mereka mendukung pemerintah. Pedagang masker jugalah, kira-kira begitu, kalau untuk negeri +62. Cocok ini. Enyah para pencari untung kemaruk!

9. Minta badan pencegahan dan penanggulangan penyakit (di AS namanya CDC) membantu RS di seantero negeri agar dapat merespon secara layak.

10. Menyatakan dengan tegas aturan main untuk pembatalan acara sekolah, kampus, kantor dan event publik lainnya, termasuk mungkin event nasional. Kalau dilarang, beri argumen dan jalan keluarnya.

Rasanya, meski ini konteks Amerika, tapi amat cocok dengan situasi Indonesia. (ah)

Wednesday, March 04, 2020

𝗖𝗢𝗥𝗢𝗡𝗔 𝗗𝗔𝗡 𝗡𝗔𝗧𝗨𝗡𝗔: 𝗧𝗜𝗡𝗝𝗔𝗨𝗔𝗡 𝗞𝗢𝗠𝗨𝗡𝗜𝗞𝗔𝗦𝗜 𝗢𝗥𝗚𝗔𝗡𝗜𝗦𝗔𝗦𝗜 𝗣𝗨𝗕𝗟𝗜𝗞


Tersiar berita kisruh di Natuna, ketika warga berbondong-bondong berdemonstrasi di kawasan Pangkalan Udara (Lanud) Raden Sajad Saleh, Natuna untuk mengadang kedatangan 243 WNI yang dipulangkan dari Wuhan, Cina. Massa menolak Natuna sebagai tempat observasi dan karantina WNI dari Wuhan lantaran menilai fasilitas kesehatan di Natuna tidak lengkap. Mereka juga khawatir muncul virus Corona yang menakutkan itu di wilayahnya.

Wakil Bupati Natuna, Ngesti Yuni Suprapti, angkat suara terkait penolakan masyarakat Natuna sebagai lokasi evakuasi WNI dari Wuhan. Diakui Ngesti, warga syok mendengar kabar tiba-tiba dari pemerintah pusat. Apalagi mereka dibayangi ganasnya virus Corona yang santer diberitakan di televisi. "Warga Natuna menolak. Kami dari Pemda juga tidak ada konfirmasi (dari pemerintah pusat)," kata Ngesti, kepada Batamnews, Sabtu (1/2/2020).

Menurutnya, warga hanya mengetahui dari surat kabar dan video yang beredar. "Tadi malam, mereka mendatangi Kantor DPRD juga ingin menanyakan ke pemerintah pusat yang mengurusi evakuasi tersebut," ujar Ngesti.

Kita turut prihatin dengan perkembangan ini. Yang mereka tolak itu sesungguhnya adalah saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Mereka tak bersalah dan justru sedang membutuhkan dukungan setelah terisolasi lebih kurang dua pekan di Wuhan dan kota-kota lain di Provinsi Hubei, RRT.

Di sisi lain, kegelisahan warga bisa sedikit dipahami. Mereka tak memperoleh informasi yang memadai. Bahkan pemerintahnya juga mengakui.

Di tingkat nasional, kita juga melihat respon soal virus Corona ini disikapi tidak melalui satu pintu melainkan beragam. Sebut saja Menteri Kesehatan angkat bicara. Lalu tak lama Menteri Luar Negeri beri penjelasan pers. Saat warga Natuna meradang, giliran Menko PMK yang sibuk menenangkan. Belum lagi Menteri Perhubungan, Menko Polhukam, bahkan Presiden RI.

Jadi, informasi siapa yang harus didahulukan dan diperhatikan?

𝗞𝗼𝗺𝘂𝗻𝗶𝗸𝗮𝘀𝗶 𝗣𝘂𝗯𝗹𝗶𝗸 𝗦𝗶𝘀𝘁𝗲𝗺𝗮𝘁𝗶𝘀
Penasaran, saya buka lagi buku karya Gerard M. Goldhaber dari State University of New York (at Buffalo) berjudul ”Organizational Communication”. Goldhaber menjelaskan pentingnya komunikasi organisasi, yang didefinisikannya sebagai “…pertukaran pesan dari organisasi kepada audiensnya atau publik.”

Istilah “publik” sendiri dimaknai oleh Edward Robinson sebagai “..𝘢𝘯𝘺 𝘨𝘳𝘰𝘶𝘱 𝘰𝘧 𝘱𝘦𝘰𝘱𝘭𝘦 𝘸𝘩𝘰 𝘩𝘢𝘷𝘦 𝘢 𝘤𝘰𝘮𝘮𝘰𝘯 𝘪𝘯𝘵𝘦𝘳𝘦𝘴𝘵...”

Menurut Goldhaber, komunikasi organisasi dengan publik harus direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis. Dalam Bab 8: Public Organizational Communication, ia menerangkan perbedaan antara komunikasi interpersonal (diadik) dan kelompok kecil dengan komunikasi organisasi publik.

Mengutip pendapat William Brooks dalam tulisannya “Speech Communication”, Ketika seorang individu bicara kepada yang lain (dalam jumlah besar), mereka mengonsentrasikan pesan ke hal-hal yang dimiliki bersama ketimbang bicara soal perbedaan satu dengan lainnya. Tipe komunikasi yang monologik seperti itu biasa dipakai untuk mengirim pesan ke publik.

Kualitas yang membedakan antara komunikasi organisasi publik dari komunikasi diadik dan kelompok kecil, adalah:
1. Komunikasinya berpola 𝘴𝘰𝘶𝘳𝘤𝘦 (𝘴𝘱𝘦𝘢𝘬𝘦𝘳) 𝘰𝘳𝘪𝘦𝘯𝘵𝘦𝘥. Di komunikasi organisasi kelompok kecil dan diadik, hubungan timba-balik antara sumber dan audiensnya terjadi. Sementara dalam komunikasi organisasi publik, yang ditekankan adalah pentingnya peran juru bicara; juru bicara inilah yang mendominasi hubungan.

2. Terlibatnya kelompok penerima komunikasi yang lebih besar. Jika komunikasi diadik melibatkan dua atau tiga orang (interpersonal), dan komunikasi kelompok kecil melibatkan tak lebih dari 5-7 anggota; maka pesan dalam komunikasi organisasi publik dibuat untuk menarik perhatian banyak orang, dari 200 hingga beberapa juta orang. Tak ada batasan yang disepakati mengenai besarnya ukuran publik ini.

3. Interaksi lebih sedikit antara pembicara dan pendengarnya. Harus dicatat, adanya penurunan interaksi merupakan fungsi langsung dari bentuk komunikasi yang terpusat pada pembicara/sumber. Brooks mengatakan, sangat mustahil mengetahui setiap orang secara spesifik sebagai individual karena itu hanya bisa berlaku untuk komuniaksi diadik dan kelompok kecil.

4. Bahasa lebih umum. Dalam komunikasi organisasi publik, pembicara harus menggunakan bahasa dengan gaya lebih umum karena besar (dan heterogennya) audiens. Biasanya pembicara meriset karakter audiens lalu bicara dalam konteks umum untuk audiens dan tidak berusaha mendekati masing-masing kelompok dalam publik dengan bahasa berbeda-beda.

𝗣𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗷𝗮𝗿𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗻𝘁𝗶𝗻𝗴
Hal-hal di atas tampaknya yang masih bolong-bolong dalam komunikasi yang dijalankan Pemerintah. Padahal sebenarnya ada contoh terbaik yang telah dipraktikkan selama ini. Pertama, BNPB. Semua ingat bagaimana informasi terkait bencana apapun, tak peduli skalanya, dikelola secara sangat baik oleh BNPB melalui sosok almarhum Sutopo Purwo Nugroho sebagai juru bicara. Atau isu pemberantasan korupsi oleh KPK dengan jubir mereka Johan Budi SP atau Febri Diansah.

Komunikasi yang diterapkan dalam kasus wabah virus Corona ini di Indonesia juga sebaiknya dikemas dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat awam. Menyiapkan pesan-pesan untuk kelompok target khusus seperti media massa dan kalangan masyarakat yang tinggal di Wuhan dan sekitarnya, misalnya, tentu tak salah. Namun berkonsentrasi untuk pesan-pesan kepada khalayak harus dikawal dengan serius. Pesan-pesannya harus masif dan terus-menerus sehingga mengisi ruang memori publik.

Jika semua dikelola, maka kejadian protes dan rusuh di Natuna tak perlu sampai terjadi. Masyarakat, sebagaimana disebut Goldhaber, sebagai sekelompok orang yang punya ketertarikan atau interest yang sama dengan apa yang tengah terjadi di Indonesia (dalam hal ini soal kesehatan yang menjadi kepentingan bersama) mendapat informasi yang cukup dari sumber yang dikenal dan dipercaya sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang tepat tentang isu yang tengah terjadi.

Pelajaran yang kadang-kadang mahal, tetapi akankah dicermati Pemerintah. Wallahu alam.

(𝘼𝙝𝙢𝙖𝙙 𝙃𝙪𝙨𝙚𝙞𝙣, 𝙥𝙧𝙖𝙠𝙩𝙞𝙨𝙞 𝙠𝙤𝙢𝙪𝙣𝙞𝙠𝙖𝙨𝙞, 𝙥𝙚𝙜𝙞𝙖𝙩 𝙠𝙚𝙢𝙖𝙣𝙪𝙨𝙞𝙖𝙖𝙣) - foto: Antara Foto.

Wednesday, February 26, 2020

Pembentukan Karakter Jurnalis Muslim

Saat diundang jadi pembicara di acara Forjim (Forum Jurnalis Muslim) sepekan silam (16 Juli 2017) mengenai topik "Pembentukan Karakter Jurnalis Muslim", saya paparkan bahwa diskursus itu terbagi atas dua bagian berbeda, yakni membentuk diri menjadi muslim yang baik dan menjadi jurnalis yang baik.

Untuk jadi muslim yang baik, teladanilah sifat Rasul SAW yang empat: shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Untuk jadi jurnalis yang baik, pelajari 10 elemen jurnalisme-nya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.

Saya tegaskan juga, menjadi jurnalis yang baik itu sama dengan menjadi komunikator yang baik. Dan psikologi komunikator yang baik adalah jika Anda punya Ethos yang baik (diambil dari Aristoteles), yakni punya keahlian (expertise) dan kredibilitas yang baik. Kemudian punya penampilan dan gaya menarik, dan terakhir punya kekuasaan (kemampuan mempengaruhi).

Akan sangat sial, jika Anda tidak punya kekuasaan, sementara wajah dan penampilan 'tak tertolong lagi', lantas diperparah dengan tak punya kredibilitas dan tak punya skill. Jurnalis muslim sebagai komunikator yang baik mestinya punya Ethos dan tampilan yang memadai, lalu belajar memiliki akses yang bagus.

Adapun media-media mainstream sekarang, penilaian saya adalah mereka sudah sampai pada tahap: masih ngotot punya penampilan menarik, masih punya akses ke narasumber, tapi tak memiliki lagi sifat ETHOS tersebut. Nir keahlian dan kepercayaan.

Jangan heran, media alternatif marak dibaca. Kini terserah media alternatifnya, mau menjadi itu-itu saja, atau memupuk Ethos agar mumpuni. (ah)