Sunday, April 01, 2018

Repotnya Belanja dengan Uang ‘Keriting’

Catatan Redaksi: Kontributor Tamu Warta Pilihan, Ahmad Husein, tengah berkunjung ke Viantiane, Laos untuk sebuah tugas. Ia menuliskan beberapa catatan ringannya buat Wepi.

Menyaksikan Vientiane, ibukota negara Laos, seperti menyaksikan Jakarta tahun 70 atau 80-an.  Tak banyak gedung pencakar langit di kota yang menurut sejarah merupakan daerah pemukiman strategis di cekungan Sungai Mekong sejak lebih 2000 tahun silam. Viantiane ditetapkan menjadi ibukota Laos pada sekitar abad 16. Setidaknya, sejauh mata saya memandang dari lantai tiga gedung kementerian sosial dan pemukiman Laos, hanya ada satu gedung tinggi berwarna biru di kejauhan.  Jika kita berkeliling kota, tata ruangnya, perumahan-perumahan penduduk, toko, pasar, dan fasilitas umum lainnya, semua diatur mirip seperti Indonesia.

Bagi yang pertama kali berkunjung ke sini, kesan sederhana muncul kuat sejak mendarat di bandar udara Wattay, yang lokasinya sekitar tiga kilometer di luar ibukota.  Terminal kedatangannya biasa saja, mengingatkan saya pada bandara Polonia beberapa belas tahun silam. Jangan salah, layanannya cukup baik. Taksi yang mengangkut penumpang ke kota kondisinya cukup baru. Nyaman.

Saya berada di Viantiane  selama lima hari untuk sebuah pelatihan. Sebagaimana halnya kebanyakan penduduk di wilayah Asia Tenggara, warga Viantiane amat ramah terhadap pendatang. Apalagi, banyak wilayah di negeri punya potensi wisata sehingga menjadi daya tarik sendiri bagi turis untuk berkunjung. Tercatat 4,23 juta wisatawan datang ke Laos. Angka ini sebenarnya turun 10 persen dari tahun sebelumnya, menurut data Departemen Pengembangan Wisata Kementerian Informasi, Budaya, dan Wisata setempat.

Tandai Resto Halal

Dengan penduduk mayoritas beragama Buddha, mencari makanan halal buat mengisi perut bagi seorang muslim tentu menjadi sedikit tantangan. Karena itu, sebelum berangkat, saya berselancar di internet mencari lokasi-lokasi makanan halal di sekitar kota yang bisa menjadi penyelamat saat perut lapar. Ternyata tidak terlalu susah, saya menemukannya meskipun jumlahnya tak banyak.

Salah satu yang paling popular di kalangan traveller adalah Restoran Nazim di Chao Anou Road. Saya mencatat nama resto masakan India ini, tetapi menemukannya secara kebetulan saat jalan-jalan di pasar malam tepat di tepian Sungai Mekong, lima menit dari penginapan. Saya temukan bahwasanya Chao Anou Road tepat berada di seberang pasar. Papan nama rumah makan tersebut berwarna hijau menunjuk ke arah dalam, sekitar 30 meter. Resto ini buka pukul 9 pagi hingga 10.30 malam.

Malam itu pengunjung tidak terlalu banyak. Sebagian besar memilih duduk di meja-meja di luar resto. Di dalam, hanya ada tiga sampai empat keluarga, dengan tampilan perempuan berhijab dan pria bergamis, sedang bersantap.  Ada pula bule yang terlihat bersama rekannya menikmati hidangan. Saya bersama seorang rekan dari Australia dan Filipina ikut masuk.

Kalau melihat yang tertera di menu, harga-harganya cukup variatif, mulai 10.000 Kip (sekitar Rp 16.000) hingga 70.000 Kip (Rp 114.000). Sedikit di atas harga rumah makan lokal. Kurs 1 Laotian Kip (LAK) setara dengan Rp 1,63.  Saya memesan satu nasi briyani dan daging domba, sedangkan rekan dari Filipina berinisiatif memesan kebab ayam bumbu hijau daun mint dengan rotti. Adapun kenalan vegetarian saya dari Australia menyantap kari dari sayur bayam yang disebut Palak Paneer.  Lezat, tetapi pedasnya sudah disesuaikan. Saya merasa menu sejenis di Jakarta jauh lebih ‘nendang’ dari yang tersedia di sini.

Selain Nazim, ada pula Vieng Resto, masakan Thailand, yang konon dimiliki oleh seorang imam asal Indonesia yang menetap lama di Vientiane.  Juga Aashifa Restaurant, masakan India dan Malaysia. Bagi mereka yang mencari nasi goreng ramah di lidah Melayu, mereka wajib berkunjung ke resto ini. Ada juga Fathima Resto, mengandalkan masakan India dan Malaysia, di kawasan Quai Fa Ngum, tak jauh dari Nazim. Mungkin saya akan mencoba mencicipi hidangan mereka satu per satu di hari-hari berikutnya.

Kip Huruf Keriting dan Nol Berderet

Sejak tiba di bandara dan menukarkan mata uang dollar AS ke Kip Laos, saya sudah tersenyum sendiri. Kip tak beda jauh dengan Rupiah sebagai mata uang yang nilainya lebih rendah dibandingkan dengan mata uang umum seperti dolar AS, Poundsterling, Swiss Franc, atau bahkan dolar Singapura.
Bahkan, faktanya, mata uang Kip satu tingkat  lebih ‘terhormat’ dibandingkan rupiah.  Satu dolar AS setara dengan 8 kira-kira 8.209 Kip, sementara untuk Rupiah itu sekitar Rp 13.000. Sebagai perbandingan ekstrem, negara dengan kurs mata uang paling parah dari segi nominal masih dipegang oleh Zimbabwe, dengan 1 dolar AS dinilai sama dengan 35 kuadriliun dollar Zimbabwe. Ya, kuadriliun, dengan 15 angka nol.

Yang membedakannya dengan rupiah adalah bahwa uang kertas Laos ini ditulis dalam alfabet Lao atau Akson Lao, yang diadaptasi dari aksara Khmer, turunan dari aksara Pallava/Pallawa yang merupakan kembangan dari alfabet Grantha, biasa dipakai di kawasan India Selatan dan Asia Selatan selama abad kelima hingga keenam Masehi.  Huruf-hurufnya ‘keriting’ hingga sulit menerkaya. Pecahan terkecil uang kertasnya adalah 500 Kip, lalu ada pecahan 1.000 Kip, diikuti masing-masing dengan 2.000, 5.000, 10.000, 20.000, dan 100.000 Kip.

Bagi orang luar yang tidak familiar dengan aksara ini, tentu saja memegang uang tersebut menjadi masalah, termasuk saya. Baru dua hari di Vientiane, saya sudah mengalami sulitnya melakukan pembayaran. Ketika berjalan-jalan di pasar malam, saya mer
asa haus dan membeli sebotol besar minuman ringan. Penjualnya menyebut harganya 6.000 Kip. Saya cek di dompet, betapa susahnya mencari jumlah yang pas seperti diminta. Di kertas mata uangnya, tulisan Lao ada di satu sisi kertas, termasuk angka, dan sisi sebelahnya barulah dalam alfabet Latin. Sampai-sampai, si penjual ikut ‘membongkar’ tas saya, lalu memilihkan jumlah uang yang terdekat dengan yang ia minta.

Demikian juga saat di Nazim Resto. Saya membayarkan lebih dulu total tagihan makan malam saya dengan dua teman lainnya. Usai makan, kami lakukan hitung-hitungan. Ann, sebut saja demikian, nama rekan dari Australia, menyerahkan pecahan 10.000 Kip. “Kembalian ke saya cukup 5.600 Kip,” katanya. Ternyata butuh bermenit-menit buat saya untuk membongkar, mengecek nilai mata uang, lalu menjumlahkannya kembali sesuai yang diminta.

Ita, kolega saya di kantor sebelumnya, yang tinggal sementara di Viantiane dalam rangka program pertukaran, mengaku mengalami kesulitan serupa. “Tiap kali naik tuktuk (sejenis bajaj – Red.), Saya selalu bingung mencari pecahan yang pas. Sampai-sampai supir tuktuknya ikut-ikutan menunjuk-nunjuk isi dompet dan memilih lembar yang diperlukan,” keluhnya.

Begitupun, secara umum suasana di ibukota Laos ini cukup menyenangkan, meskipun temperaturnya cukup panas, mencapai 37 derajat Celcius di siang hari. Jika ingin jalan-jalan, sempatkan di waktu petang atau malam. Banyak area yang bisa dijelajahi untuk sekadar cuci mata.

(ahmad husein)