Wednesday, February 19, 2020

Malas Baca, si Hocus Berkuasa

Jaman digital membuat informasi bersliweran kencang setiap detik. Masyarakat terjebak dalam peredaran berita palsu, kabar kebencian, dan fitnah. Peningkatan literasi media warga mendesak dilakukan.

Pengguna fanatik iPhone keluaran Apple terhenyak, antara percaya tidak percaya. Saat itu, tahun 2014, seorang pengguna dengan akun @4chan –dikenal luas sebagai hacker– menebarkan pengumuman mengejutkan: bahwa ponsel iPhone mengeluarkan pembaharuan fitur terbarunya dengan nama: Wave. Fitur ini memungkinan para pemilik ponsel canggih dengan sistem operasi iOS8 tersebut mengisi ulang (recharge) secara nirkabel dengan memanfaatkan frekuensi microwave.
 

Ya, microwave, alat masak yang biasa dipakai untuk memanaskan bahan makanan. Pengumuman itu disertai pula dengan poster berisi langkah-langkah melakukannya. Simpel, cukup letakkan ponsel Anda ke dalam microwave selama satu setengah menit, dijamin batere ponsel terisi penuh. Pengumuman itu mewanti-wanti, jangan sampai melakukan ‘microwaving’ lebih dari 300 detik.
 

Tak dirinci secara resmi ada berapa ratus ribu pengguna fanatik iPhone yang percaya dan melakukan pengisian ulang persis seperti yang dijanjikan pengumuman tersebut. Yang jelas, seorang user bernama Lorrena Teroba dengan akun @lore1306 memuat gambar ponselnya terbakar habis dalam microwave. “Jaga-jaga bila kamu orang yang gampang dibodohi seperti saya, JANGAN MICROWAVE iPhone Anda. Thanks 4chan,” ungkapnya, sebal.

Hoax: dari Salju Jakarta hingga Pilkada

Kejadian mirip juga terjadi baru saja di Jakarta. Sesaat setelah hujan deras mengguyur Jakarta, muncul posting gambar dan video pendek di Facebook dan Twitter tentang gumpalan putih mirip salju di sepanjang Jalan Sudirman. Tak pelak, berita ini menjadi viral. Semua orang membahas mengapa Jakarta akhirnya kena hujan salju. Orang-orang cenderung percaya karena memang di bagian Jakarta lainnya turun hujan es dan kejadian ini terkonfirmasi. Jika es saja turun, maka apalagi salju, sangat memungkinkan, kata beberapa netizen.
 

Belakangan pengelola MRT Jakarta, via akun Twitter-nya @mrtjakarta, menglarifikasi bahwa yang disebut salju itu sebenarnya adalah cairan sejenis sabun yang berguna sebagai pelicin utk membantu melunakkan tanah selama proses pengeboran terowongan. Ini lebih pada kelalaian pekerja yang masih menyisakan material sisa yang masih tersimpan di lokasi proyek MRT Patung Pemuda.
 

Model informasi yang muatannya tidak benar ini popular disebut hoax. Asal katanya, sebut banyak ahli, adalah hocus yang artinya menipu. Ia merupakan kabar atau informasi palsu yang disamarkan sehingga diyakini sebagai kebenaran. Tujuannya bermacam-macam, mulai sekadar bercanda hingga niat serius menjatuhkan seseorang atau lembaga dengan berita palsu tersebut.

Dan itulah yang terjadi di Indonesia. Bayangkan, dengan jumlah pengguna aktif internet per 2016 berjumlah 88,1 juta, dengan penggiat media sosial sebesar 79 juta orang, ‘pasar’ berita bohong ini amatlah besar. Sekali menghujam memori dan diyakini kebenarannya, itulah yang seterusnya diyakini oleh pengguna yang terkena jebakan hoax, meski kemudian ada berita bantahannya.

Hoax bukan muncul baru-baru ini, ia ada sejak lama. Dulu ia disebarkan dengan cara dari mulut ke mulut. Seiring ditemukannya mesin cetak di abad ke-15, hoax bisa disebarkan via barang cetakan seperti buku, pamflet, brosur, dan sejenisnya. Setelah itu, giliran era ‘koran-koran kuning’ yang rajin menyebarkan kabar dusta. Di era digital sekarang ini, hoax muncul dalam bentuk informasi di situs daring, grup-grup diskusi online, atau platform sosial media seperti Facebook, Twitter, Instagram dan lain-lain.

Pertarungan hoax paling brutal tentu saja saat pemilihan kepala daerah (pilkada) Jakarta sejak tahun silam. Setiap hari ada saja info dusta baru dilontarkan entah dari mana ke salah satu pasangan calon (paslon). Ini diikuti dengan diviralkannya info bohong tersebut baik oleh para buzzers maupun pengikut dan pendukung masing-masing calon. Meski kini pilkada telah usai dan pemenangnya telah ditetapkan, hoax tetap mengancam, khususnya buat pihak yang menang, untuk mendelegitimasi.

Literasi sebagai Kunci

Semua kegegeran itu mungkin tak terjadi bila saja para pengguna internet punya kemampuan menganalisis, dan menyaring informasi yang mereka terima. Literasi atau melek media, demikian istilahnya, merupakan kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar pemirsa sebagai konsumen media (termasuk anak-anak) menjadi sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses.

Literasi ini yang hampir tidak terbangun. Barangkali karena pengguna internet kita, meski jumlahnya besar, namun berbanding terbalik dengan kemauan membaca dan menelaah. Menurut Runi Virnita Mamonto (Hoax, Media Sosial dan Literasi, 2016), UNESCO mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Itu artinya dalam setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Kata Mamonto, masyarakat Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun, lebih rendah dibandingkan penduduk di negara-negara anggota ASEAN yang membaca dua sampai tiga buku dalam setahun. Kalau dibandingkan dengan warga Amerika Serikat, angka itu lebih timpang lagi, karena mereka terbiasa membaca 10-20 buku per tahun.

Faktor ini, kata Mamonto, yang berpengaruh terhadap budaya melek media, termasuk media sosial. Karena malas membaca dan menelaah, maka ketika menerima sebuah informasi mereka melewatkan fase membaca dengan teliti dan menelaah, apakah berita ini benar, dari mana asalnya, terpercayakah sumbernya, bermanfaatkah bagi orang banyak, dan lain-lain.

Karena itu, literasi media inilah yang harusnya segera digalakkan. Jika tidak, maka fenomena info bohong berkeliaran dan makan korban lebih banyak akan terus terjadi.

(ah/WP 2017)


No comments: