Bonnie M. Anderson, reporter kawakan CNN yang saat itu menjabat
sebagai wakil presiden direktur bagian perekrutan, bertemu dengan Garth
Ancier, kepala program semua jaringan Turner Broadcasting Network
(TBN) termasuk CNN, jaringan berita 24 jam pertama di dunia. Hari itu
tanggal 16 April 2001. Garth, bos anyar ini, direkrut TBN dari Hollywood
dengan pengalaman sebagai Presiden Direktur stasiun TV NBC
Entertainment.
Bonnie Anderson adalah wartawan veteran. Perempuan ini telah bertugas di 125 negara untuk liputan politik, ekonomi, termasuk konflik dan perang. Ia pernah tertembak dan terluka saat menjalankan tugas jurnalistiknya.
Saat Bonnie sudah siap dengan beberapa rekaman profil calon reporter dan koresponden handal untuk menjadi news anchor
(pembawa acara berita, pengampu program berita), Garth menolak. “Kita
sudah banyak orang seperti itu,” alasannya. Dia menegaskan akan “meng-casting” orang-orang yang dia yakin kelak penonton TV akan suka menyaksikannya.
Lihatlah. Ia menyebut “casting“. Bukan rekrutmen. Jajaran
jurnalisnya tidak dia anggap sebagai profesional di bidang pemberitaan
(jurnalistik), yang sudah punya panduan kode etik standar tinggi. Garth
lebih menempatkan pekerja TV-nya sebagai calon aktor/aktris yang akan
melamar posisi di bisnis hiburan. Alasan dia sangat klise. “We need younger, more attractive anchors who project credibility.”
Belum hilang kaget Bonnie, Garth melontarkan pertanyaan dasar, mungkin sedikit mengejek. “Jurnalisme itu apa, sih?”
Maka Bonnie Anderson pun dengan hati-hati menjelaskan prinsip-prinsip
jurnalisme. Tentang tugas jurnalisme yang bukan sekadar melaporkan
berita melainkan juga sebagai refleksi masyarakat dan berperan
mempengaruhi masyarakat. “Yang kita lakukan dan katakan serta tayangkan
amat berarti. Ia punya dampak pada masyarakat kita, negara, bahkan
dunia,” ungkap Bonnie, mengutip ucapan koresponden internasional,
wartawan perang sekaligus pewawancara tangguh legenda CNN, Christiane
Amanpour. Opini publik kerap terbentuk karena berita.
Jurnalisme adalah kunci penting dalam “check and balance” dalam demokrasi yang sehat. Setidaknya itu yang dipahami oleh Barat dan para pemuja demokrasi.
Pernah mengenyam pendidikan di Medill School of Journalism, Bonnie juga memaparkan Canons of Journalism
yang diterbitkan tahun 1922 oleh Asosiasi Editor Surat Kabar Amerika.
Kanun ini berisikan tanggung jawab dasar para jurnalis: menginformasikan
publik, melindungi kebebasan pers, dan berlaku adil serta obyektif.
Apa respon Garth Ancier?
“You people are too hung up on journalism.” Kalian ini
terlalu terjebak dengan jurnalisme. Terlalu romantis. Baperan. Garth
berpikir saatnya informasi disinergikan dengan aksi, dengan hiburan.
Komentar Garth inilah yang bikin Bonnie bagai tersengat. Karena
baginya, seorang jurnalis sudah seharusnya hidup dengan etika
jurnalismenya. Tidak ada tawar-menawar.
Di Amerika sendiri, ketidakpercayaan publik pada media, khususnya TV, terlihat saat tahun 2002 ketika The Pew Research Center for the People and the Press menemukan bahwasanya tingkat “ketertontonan” berita TV menurun 50% dalam satu dekade. Mereka diduga mengalami “compassion fatigue”
(kelelahan atas rasa iba), terlalu capek melihat berita soal perang,
terorisme, dan sejenisnya. Celakanya, mereka beralih ke program yang tak
bikin otak mereka lelah, setidaknya menurut anggapan mereka. Infotainment jadi pilihan. Alhasil, berita TV pun berlomba-membuat format yang lebih menghibur bahkan untuk sebuah siaran berita.
Adakah yang dikorbankan?
Ada. Konten berita.
Kegelisahan atas pandangan Garth Ancier inilah yang membuat Bonnie Anderson menyusun bukunya, “News Flash: Journalism, Infotainment, and the Bottom Line Business of Broadcast News” yang terbit pertama kali tahun 2004. Isinya banyak bicara tentang etika junalisme. Ia dengan gamblang membongkar “The Good, The Bad, and the Ugly”
bisnis pemberitaan TV di Amerika, yang dalam banyak hal selaras dengan
fenomena sama di banyak negara, termasuk Indonesia (detailnya Insya
Allah dituliskan di lain kesempatan).
Alih-alih menjadi anjing penjaga (watchdog), kata Bonnie, jaringan berita kabel dan divisi pemberitaan lebih suka menjadi anjing peliharaan yang manis (lapdog). Kehilangan nalar jurnalismenya.
“News Flash includes examples of amazing heroism and respect for
journalism ethics, but it also shines a light on their opposites
–cowardice and sleaze– among news people and executive alike.” (….”Buku ‘News Flash‘
ini memuat contoh-contoh heroisme dan penghormatan yang luar biasa
terhadap etika jurnalisme. Tapi juga menyoroti hal sebaliknya tentang
kepengecutan dan rendahnya moral di antara orang-orang seperti para
pekerja dan eksekutif media pemberitaan…”).
Ada banyak para pejuang idealis jurnalisme di luar sana, termasuk di
sini, di Indonesia. Rasanya kita butuh orang-orang seperti ini bersuara
gencar setiap hari di masa sekarang, di era yang oleh beberapa pihak
–termasuk saya– menyebutnya era kegelapan jurnalisme. (ah)
No comments:
Post a Comment