Pengantar: Tulisan ini merupakan lanjutan dari artikel
sebelumnya, ditulis oleh kontributor Warta Pilihan, Ahmad Husein,
memaparkan sejarah komunisme menguasai Kamboja yang menimbulkan
kesengsaraan luar biasa.
Bicara soal komunisme di Kamboja tak bisa dipisahkan dengan profil tokoh utamanya, Pol Pot. Pria berwajah lonjong ini adalah pemimpin Partai Komunis Kamboja (The Communist Party of Kampuchea), pencetus ide dan kebijakan kental Marxisme-Leninisme yang menciptakan rasa takut luar biasa terhadap negara, siapapun yang mendengarnya (Foto Pol Pot. Sumber: Liputan6.com)
Nama Khmer Merah atau Khmer Rouge ditabalkan untuk para pengikut Partai Komunis Kamboja. Khmer Merah sendiri awalnya adalah sayap militer partai tersebut saat bertempur melawan kekuatan Vietnam di kurun akhir tahun 1960-an.
Pol Pot lahir tahun 1925 di sebuah desa kecil, Prek Sbauv, 100 mil dari ibukota Kamboja, Phnom Penh. Nama Pol Pot sesungguhnya adalah nom de guerre (nama julukan gerilya) dirinya. Adapun nama aslinya adalah Saloth Sar, lahir dari keluarga yang cukup disegani. Konon keluarga Saloth memiliki tak kurang dari 50 acre sawah, sepuluh kali lipat dari kepemilikan sawah secara nasional di Kamboja.
Tahun 1934, dalam usianya yang ke-9, Saloth pindah ke Phnom Penh, tempat ia menghabiskan waktunya selama setahun belajar di kuil Buddha, sebelum akhirnya masuk Sekolah Dasar Katolik Prancis. Pendidikannya di Kamboja berlanjut hingga tahun 1949, ketika ia memperoleh beasiswa ke Paris untuk belajar teknologi radio. Di kota Paris inilah Saloth berkenalan dengan para aktivis komunis, belajar ideologi Marxis sambil berkenalan dan kongko-kongko bersama para koleganya sesama warga Kamboja yang tengah belajar di kota Menara Eiffel tersebut.
Empat tahun di negeri Eropa Saloth kembali ke kampung halaman tahun 1953. Seluruh wilayah negeri saat itu tengah bergolak melawan pendudukan Prancis. Kamboja merdeka setahun kemudian. Saloth, dengan pengalamannya bergaul bersama komunis, lantas bergabung dengan Partai Revolusioner Rakyat Khmer atau KPRP (Khmer People’s Revolutionary Party) yang didirikan tahun 1951 dengan dukungan Vietnam Utara. Dalam perjalanannya, Saloth sempat mengenyam profesi sebagai guru selama tujuh tahun, mulai 1956 – 1963. Ia menjadi guru sejarah, geografi, dan sastra Prancis di sebuah sekolah swasta, sembari diam-diam terus merencanakan revolusi.
Adalah Saloth yang memprakarsai perubahan di tubuh KPRP hingga menjadi partai yang spesifik berhaluan Marxisme-Leninisme. Di tahun-tahun itu pula ia harus bergerilya masuk ke dalam hutan di kawasan utara Kamboja karena bentrok dengan penguasa militer Kamboja. Karena kepemimpinannya yang menonjol. Saloth akhirnya menjadi ketua partai, dan dikenal dengan nama Pol Pot. Dialah yang membidani lahirnya pasukan gerilya Khmer Merah tahun 1968. Revolusi yang ia rancang sekian lama, perlahan-lahan muncul dan menguat dan berpengaruh.
Pukul Militer, Kuasai Ibukota
Pada tahun 1970 pemimpin militer Kamboja, Jenderal Lon Nol, mengkudeta Pangeran Norodom Sihanouk saat sang raja tengah di luar negeri. Tak pelak, pecahlah perang saudara antara pengikut Sihanouk versus militer. Dengan beberapa pertimbangan, Sihanouk memilih bersekutu dengan Khmer Merah, sementara Lon Nol mendapat dukungan dari Amerika Serikat. Di perbatasan, sekitar 70 ribu tentara Amerika dan Vietnam Selatan bahu-membahu menggempur dan memaksa pasukan Vietnam Utara dan tentara Viet Cong –sekutu Khmer Merah– menyingkir ke perbatasan Kamboja.
Saking kewalahan, Presiden AS saat itu, Richard M. Nixon, memerintahkan pemboman rahasia untuk menyudahi Perang Vietnam ini. Konon, dalam empat tahun, pesawat-pesawat AS menjatuhkan 500 ribu ton bom di Kamboja, alias tiga kali lipat dari jumlah yang mereka jatuhkan ke Jepang saat Perang Dunia II.
Aksi pemboman AS ini mereda tahun 1973. Celakanya, jumlah tentara Khmer Merah ketika itu telah meningkat berkali lipat dan mereka praktis menguasai tiga perempat wilayah perbatasan. Kini giliran mereka menggempur militer pimpinan Lon Nol dengan bom, roket serta senjata artileri.
Puncaknya adalah Januari 1975, ketika Khmer Merah membombardir bandar udara Phnom Penh dan memblokade sungai dari keluar masuk berbagai pihak ke Kamboja. Tiga bulan kemudian, tepatnya 17 April, Khmer Merah memasuki ibukota, memenangkan perang saudara dan mengakhiri perang. Kemenangan gemilang ini diikuti dengan dideklarasikannya pemerintahan sendiri bernama Democratic Kampuchea di tahun 1975, dipimpin oleh Pol Pot beserta para sekondannya yakni Nuon Chea, Ieng Sary, Son Sen, dan Khieu Sampan.
Selesai? Belum. Malah, masa terburuk baru akan dimulai.
Reformasi Agraria versi Guru Sejarah
Segera setelah menguasai ibukota, Khmer Merah mengevakuasi 2,5 juta warga Phnom Penh dengan alasan Amerika akan membombardir ibukota negara. Selain itu, rezim baru menjanjikan kehidupan yang lebih sejahtera dengan menggiatkan pertanian di desa-desa untuk menghasilkan padi.
Padahal, Pol Pot sebenarnya baru saja memulai eksperimen kebijakan “rekayasa sosial” (social engineering policies). Khmer Merah amat terobsesi dengan reformasi pertanian yang tragisnya dalam waktu singkat justru mengantarkan negara tersebut ke wabah kelaparan.
Ideologi Khmer Merah merupakan kombinasi antara Marxisme dengan versi ekstrem dari nationalisme dan xenophobia Khmer. Ini merupakan idealisasi dari yang pernah dilakukan Kekaisaran Angkor (802-1431 Masehi), dengan menanamkan elemen rasa takut yang berlebihan terhadap keberadaan negara Kamboja, yang dalam sejarah pernah dihapuskan selama periode intervensi Vietnam dan Siam (Thailand).
Tumpahnya para gerilyawan Vietnam ke wilayah Kamboja saat perang lebih jauh menumbuhkan sentimen anti-Vietnam. Itulah mengapa Khmer Merah secara eksplisit menargetkan orang Cina, Vietnam, bahkan sebagian warga Khmer untuk dimusnahkan. Meskipun tak kentara, namun warga Cham Muslim (etnis minoritas beragama Islam) juga mengalami perlakuan tak kalah kejamnya dari rezim Khmer.
Kebijakan sosial Khmer Merah terpusat pada mimpi terciptanya masyarakat agraris murni. Ide Pol Pot amat berpengaruh terhadap tumbuhnya kebijakan tersebut. Kabarnya, Pol Pot amat terkesan dengan cara hidup suku-suku di Kamboja yang hidup di gunung, sehingga ia –lewat partainya —menginterpretasikannya sebagai pembentukan komunisme yang primitif. Hasilnya, kaum seperti di gunung tersebut menerima perlakuan yang lebih baik, diistimewakan, daripada kaum kota yang ‘borjuis’ seperti Cina dan Vietnam. Pol Pot ingin menghapus lembaga sosial dan mentransformasikan masyarakat Kamboja ke dalam masyarakat agraria.
Salah satu sikap Khmer Merah adalah ngotot akan apa yang mereka sebut “memenuhi kebutuhan sendiri” atau mandiri, tanpa memperhatikan kesiapannya. Akibatnya, bukan cuma soal kelangkaan bahan pangan, bahkan suplai obat-obatan juga mandeg yang akhirnya ribuan harus mati percuma oleh wabah yang sebenarnya bisa ditangani seperti malaria.
Selain itu, kebijakan seram Khmer Merah yang amat kejam adalah soal purifikasi alias pemurnian yang menjadi dasar pembantaian kaum minoritas di Kamboja.
Saya berkenalan dengan seorang profesor yang aktif bergiat dalam bidang kemanusiaan. Pit Daw, sebut saja namanya demikian, bercerita betapa Khmer Merah amat paranoid dengan segala hal yang mereka anggap membahayakan keberlangsungan rezim.
“Saya memiliki teman sekelas kuliah sebanyak kurang lebih 40 orang. Saat Khmer Merah berkuasa, semua ditangkapi dan mati dibunuh. Hanya saya yang tersisa,” kata Pit, dengan mata berkaca-kaca.
Penangkapan orang pun dilakukan dengan alasan yang sering tak masuk akal. Menurut Pit, rejim Khmer, yang dikenal sebagai Angkar (baca: Angka) menangkapi kaum terdidik, termasuk mahasiswa, guru, dan dosen, karena dianggap suka mengritik penguasa. Warga yang bisa bermain piano juga ditangkap dan dikirim ke Tuol-Sleng atau Cheoung Ek untuk dibunuh, karena dianggap punya hobi ala kapitalis. Seorang perempuan yang kebetulan menguasai dua bahasa asing selain bahasa Khmer juga dianggap sebagai budak Barat sehingga wajib diseret ke penjara.
“Yang lebih konyol, pria berkaca mata dianggap sebagai seorang yang pintar sehingga juga ditangkap dan dibunuh,” kata Pit, yang sempat bekerja paksa menanam padi di sebuah kamp selama dua tahun. Di saat itu, ia terpaksa harus menyembunyikan identitas dirinya sebagai seorang mahasiswa.
Pol Pot sendiri punya alasan yang ia yakini, yakni menciptakan sebuah masyarakat komunis tanpa perlu membuang-buang waktu di tahapan peralihan. Kaum minoritas seperti Cina dan Vietnam diusir dari kota, lalu mereka yang tidak terbiasa dengan bidang pertanian tersebut dipaksa tinggal di kamp-kamp sebagai pekerja paksa. Mereka bahkan dilarang berbahasa asli asal mereka.
Khmer Merah dalam selimut Partai Demokratik Kamboja merupakan negara yang ateis, tidak percaya Tuhan, namun anehnya pengaruh Buddha masih terasa. Semua agama dilarang, dan yang paling kena getahnya adalah Islam, Nasrani, serta Buddha. Waktu itu, ada sekitar 25.000 biksu Buddha dibantai rezim Khmer.
Kerja Paksa dan Genosida
Mulanya, Pol Pot kebanyakan mengatur pemerintahan dari balik layar. Ia menjadi Perdana Menteri tahun 1976 setelah Pangeran Norodom Sihanouk dipaksa mundur dari jabatannya. Sementara itu perang masih berlanjut di perbatasan.
(Korban-korban genocide Pol Pot. Sumber: Kompas.com)
Khmer Merah mendeklarasikan negara akan mulai berjalan lagi di “Tahun Nol”. Caranya? Dengan mengisolasi rakyat dari dunia bebas. Ia memerintahkan tentara mengosongkan ibukota. Jutaan warga kota berbondong-bondong keluar dari ibukot secara terpaksa, untuk kemudian dicegat di tengah jalan, diangkut ke kamp-kamp kerja paksa sebagai petani, menanam padi demi memenuhi kebutuhan Kamboja.
Pol Pot menghapus mata uang, hak milik pribadi, dan agama, lalu merancang desa-desa kolektif, nama lain untuk kamp kerja paksa. Adapun bagi mereka yang dicurigai berkhianat, membenci penguasa, mengritik, atau tidak setuju terhadap pemerintahan Khmer Merah, maka tidak ada pilihan selain diculik dan dibunuh. Hampir tiga juta nyawa melayang dibantai Khmer Merah selama masa empat tahun mulai 1975-1979. Jumlah itu hampir sepertiga dari total penduduk Kamboja yang berjumlah 9 juta di tahun 1990.
Salah satu pusat kekejaman Khmer Merah adalah instalasi penjara yang bernama S-21 Tuol Sleng, tepat di jantung Phnom Penh, dan kamp genosida Choeung Ek di ujung kota (lihat tulisan sebelumnya: Choeung Ek: Saksi Bisu Keganasan Komunis – Red). Instalasi genosida ini dikepalai oleh Kang Kek Iew alias Commander Duch. Dalam satu kesempatan setelah ditangkap dan diadili, Duch memaparkan dengan dingin kenapa mereka juga membunuhi anak-anak dan bayi.
“Karena bayi dan anak-anak tidak memberikan manfaat ekonomi apa-apa buat negara. Selain itu, jika nanti dewasa, mereka akan mendendam dan melawan negara. Jadi lebih baik kami bunuh saja sekarang saat masih kecil,” katanya, datar.
Di luar itu, ratusan ribu lainnya meregang nyawa karena wabah penyakit, kelaparan, dan kelelahan karena dipaksa bekerja di sawah, padahal tidak semua dari mereka berlatar belakang tani.
“Saya harus bekerja dari pukul 10 pagi hingga 10 malam dengan upah hanya segenggam beras,” kata Pit Daw. Hanya karena tekadnya yang kuat, ia bisa mengatur tenaganya agar tidak habis di sawah, sembari terus menyembunyikan identitasnya sebagai kaum pelajar.
Tumbangnya Polpot
Bentrok di perbatasan Kamboja – Vietnam makin memanas di akhir tahun 1970-an, hingga akhirnya Vietnam masuk menginvasi Kamboja, menduduki Phnom Penh, dan memaksa tentara Khmer Merah mundur ke hutan-hutan dan mulai menjalankan taktik perang gerilya.
Meskipun kalah, kekuatan militer mereka tak serta merta hancur. Mereka menjalankan taktik gerilya, yang awet hingga bertahun-tahun lamanya. Banyak faksi militer berbeda terlibat dalam perang gerilya ini hingga akhirnya berakhir tahun 1994. Artinya, mereka bertahan hingga 15 tahun.
Tahun 1993, Kamboja direstorasi dan kemudian diubah menjadi Kerajaan Kamboja. Setahun kemudian, ribuan gerilyawan Khmer Merah menyerahkan diri kepada pemerintah untuk mendapatkan amnesti. Di tahun-tahun tersebut negeri Kamboja mulai terbuka kembali terhadap masyarakat internasional.
Di saat itu pula kisah-kisah horor kekejaman Pol Pot dan rezimnya mulai terkuak. Apalagi dengan buka mulutnya banyak warga yang selamat (penyintas). Peradilan kriminal internasional mulai digelar. Para petinggi Khmer Merah diburu dan ditangkap.
Nasib para pentolan Angkar sendiri berbeda-beda. Tiga tahun restorasi, Ieng Sary yang pernah menjadi wakil Pol Pot, mendapat amnesti dan mendirikan partai baru Gerakan Persatuan Nasional Demokratik (Democratic National Union Movement). Dua pimpinan Khmer Merah lainnya, Nuon Chea dan Khieu Samphan, dihukum penjara seumur hidup oleh Pengadilan PBB, dengan tuduhan terbukti bersalah atas kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) dan bertanggung jawab atas kematian lebih dari dua juta warga Kamboja. Sedangkan Commander Duch, kepala jagal Tuol Sleng dan Choeung Ek, dijatuhi hukuman 35 tahun.
Pol Pot sendiri, lewat sebuah pengadilan internal tahun 1997 pasca jatuhnya akibat invasi Vietnam, dikenai tahanan rumah di sebuah tempat di pelosok hutan Kamboja. Setahun berselang, 15 April 1998, di Distrik Anlong Ven, Pol Pot si guru Sejarah dan Sastra Prancis, peraih beasiswa bidang teknologi radio ke Prancis, pemimpin Khmer Merah dan yang bertanggung jawab atas pembantaian warga Kamboja, akhirnya meninggal pada usia 72 setelah mengalami gagal jantung.
Yang unik, banyak para anggota Khmer Merah dan Partai Komunis Kamboja di tingkat menengah dan bawah yang tidak diadili. Dalam berbagai film dokumentasi yang dibuat internasional, argumentasi mereka selalu sama, bahwa saat-saat tahun 1975-1979 itu mereka dipaksa melakukan pembunuhan kepada sesama warga Kamboja. “Jika kami tidak membunuh, maka kamilah yang dibunuh,” kata sebagian mereka.
Yang jelas, kekuasaan komunis yang hanya empat tahun tersebut menyisakan sejarah kelam yang tak mungkin dilupakan seumur hidup oleh warga Kamboja dan dunia.
(ah)
Bicara soal komunisme di Kamboja tak bisa dipisahkan dengan profil tokoh utamanya, Pol Pot. Pria berwajah lonjong ini adalah pemimpin Partai Komunis Kamboja (The Communist Party of Kampuchea), pencetus ide dan kebijakan kental Marxisme-Leninisme yang menciptakan rasa takut luar biasa terhadap negara, siapapun yang mendengarnya (Foto Pol Pot. Sumber: Liputan6.com)
Nama Khmer Merah atau Khmer Rouge ditabalkan untuk para pengikut Partai Komunis Kamboja. Khmer Merah sendiri awalnya adalah sayap militer partai tersebut saat bertempur melawan kekuatan Vietnam di kurun akhir tahun 1960-an.
Pol Pot lahir tahun 1925 di sebuah desa kecil, Prek Sbauv, 100 mil dari ibukota Kamboja, Phnom Penh. Nama Pol Pot sesungguhnya adalah nom de guerre (nama julukan gerilya) dirinya. Adapun nama aslinya adalah Saloth Sar, lahir dari keluarga yang cukup disegani. Konon keluarga Saloth memiliki tak kurang dari 50 acre sawah, sepuluh kali lipat dari kepemilikan sawah secara nasional di Kamboja.
Tahun 1934, dalam usianya yang ke-9, Saloth pindah ke Phnom Penh, tempat ia menghabiskan waktunya selama setahun belajar di kuil Buddha, sebelum akhirnya masuk Sekolah Dasar Katolik Prancis. Pendidikannya di Kamboja berlanjut hingga tahun 1949, ketika ia memperoleh beasiswa ke Paris untuk belajar teknologi radio. Di kota Paris inilah Saloth berkenalan dengan para aktivis komunis, belajar ideologi Marxis sambil berkenalan dan kongko-kongko bersama para koleganya sesama warga Kamboja yang tengah belajar di kota Menara Eiffel tersebut.
Empat tahun di negeri Eropa Saloth kembali ke kampung halaman tahun 1953. Seluruh wilayah negeri saat itu tengah bergolak melawan pendudukan Prancis. Kamboja merdeka setahun kemudian. Saloth, dengan pengalamannya bergaul bersama komunis, lantas bergabung dengan Partai Revolusioner Rakyat Khmer atau KPRP (Khmer People’s Revolutionary Party) yang didirikan tahun 1951 dengan dukungan Vietnam Utara. Dalam perjalanannya, Saloth sempat mengenyam profesi sebagai guru selama tujuh tahun, mulai 1956 – 1963. Ia menjadi guru sejarah, geografi, dan sastra Prancis di sebuah sekolah swasta, sembari diam-diam terus merencanakan revolusi.
Adalah Saloth yang memprakarsai perubahan di tubuh KPRP hingga menjadi partai yang spesifik berhaluan Marxisme-Leninisme. Di tahun-tahun itu pula ia harus bergerilya masuk ke dalam hutan di kawasan utara Kamboja karena bentrok dengan penguasa militer Kamboja. Karena kepemimpinannya yang menonjol. Saloth akhirnya menjadi ketua partai, dan dikenal dengan nama Pol Pot. Dialah yang membidani lahirnya pasukan gerilya Khmer Merah tahun 1968. Revolusi yang ia rancang sekian lama, perlahan-lahan muncul dan menguat dan berpengaruh.
Pukul Militer, Kuasai Ibukota
Pada tahun 1970 pemimpin militer Kamboja, Jenderal Lon Nol, mengkudeta Pangeran Norodom Sihanouk saat sang raja tengah di luar negeri. Tak pelak, pecahlah perang saudara antara pengikut Sihanouk versus militer. Dengan beberapa pertimbangan, Sihanouk memilih bersekutu dengan Khmer Merah, sementara Lon Nol mendapat dukungan dari Amerika Serikat. Di perbatasan, sekitar 70 ribu tentara Amerika dan Vietnam Selatan bahu-membahu menggempur dan memaksa pasukan Vietnam Utara dan tentara Viet Cong –sekutu Khmer Merah– menyingkir ke perbatasan Kamboja.
Saking kewalahan, Presiden AS saat itu, Richard M. Nixon, memerintahkan pemboman rahasia untuk menyudahi Perang Vietnam ini. Konon, dalam empat tahun, pesawat-pesawat AS menjatuhkan 500 ribu ton bom di Kamboja, alias tiga kali lipat dari jumlah yang mereka jatuhkan ke Jepang saat Perang Dunia II.
Aksi pemboman AS ini mereda tahun 1973. Celakanya, jumlah tentara Khmer Merah ketika itu telah meningkat berkali lipat dan mereka praktis menguasai tiga perempat wilayah perbatasan. Kini giliran mereka menggempur militer pimpinan Lon Nol dengan bom, roket serta senjata artileri.
Puncaknya adalah Januari 1975, ketika Khmer Merah membombardir bandar udara Phnom Penh dan memblokade sungai dari keluar masuk berbagai pihak ke Kamboja. Tiga bulan kemudian, tepatnya 17 April, Khmer Merah memasuki ibukota, memenangkan perang saudara dan mengakhiri perang. Kemenangan gemilang ini diikuti dengan dideklarasikannya pemerintahan sendiri bernama Democratic Kampuchea di tahun 1975, dipimpin oleh Pol Pot beserta para sekondannya yakni Nuon Chea, Ieng Sary, Son Sen, dan Khieu Sampan.
Selesai? Belum. Malah, masa terburuk baru akan dimulai.
Reformasi Agraria versi Guru Sejarah
Segera setelah menguasai ibukota, Khmer Merah mengevakuasi 2,5 juta warga Phnom Penh dengan alasan Amerika akan membombardir ibukota negara. Selain itu, rezim baru menjanjikan kehidupan yang lebih sejahtera dengan menggiatkan pertanian di desa-desa untuk menghasilkan padi.
Padahal, Pol Pot sebenarnya baru saja memulai eksperimen kebijakan “rekayasa sosial” (social engineering policies). Khmer Merah amat terobsesi dengan reformasi pertanian yang tragisnya dalam waktu singkat justru mengantarkan negara tersebut ke wabah kelaparan.
Ideologi Khmer Merah merupakan kombinasi antara Marxisme dengan versi ekstrem dari nationalisme dan xenophobia Khmer. Ini merupakan idealisasi dari yang pernah dilakukan Kekaisaran Angkor (802-1431 Masehi), dengan menanamkan elemen rasa takut yang berlebihan terhadap keberadaan negara Kamboja, yang dalam sejarah pernah dihapuskan selama periode intervensi Vietnam dan Siam (Thailand).
Tumpahnya para gerilyawan Vietnam ke wilayah Kamboja saat perang lebih jauh menumbuhkan sentimen anti-Vietnam. Itulah mengapa Khmer Merah secara eksplisit menargetkan orang Cina, Vietnam, bahkan sebagian warga Khmer untuk dimusnahkan. Meskipun tak kentara, namun warga Cham Muslim (etnis minoritas beragama Islam) juga mengalami perlakuan tak kalah kejamnya dari rezim Khmer.
Kebijakan sosial Khmer Merah terpusat pada mimpi terciptanya masyarakat agraris murni. Ide Pol Pot amat berpengaruh terhadap tumbuhnya kebijakan tersebut. Kabarnya, Pol Pot amat terkesan dengan cara hidup suku-suku di Kamboja yang hidup di gunung, sehingga ia –lewat partainya —menginterpretasikannya sebagai pembentukan komunisme yang primitif. Hasilnya, kaum seperti di gunung tersebut menerima perlakuan yang lebih baik, diistimewakan, daripada kaum kota yang ‘borjuis’ seperti Cina dan Vietnam. Pol Pot ingin menghapus lembaga sosial dan mentransformasikan masyarakat Kamboja ke dalam masyarakat agraria.
Salah satu sikap Khmer Merah adalah ngotot akan apa yang mereka sebut “memenuhi kebutuhan sendiri” atau mandiri, tanpa memperhatikan kesiapannya. Akibatnya, bukan cuma soal kelangkaan bahan pangan, bahkan suplai obat-obatan juga mandeg yang akhirnya ribuan harus mati percuma oleh wabah yang sebenarnya bisa ditangani seperti malaria.
Selain itu, kebijakan seram Khmer Merah yang amat kejam adalah soal purifikasi alias pemurnian yang menjadi dasar pembantaian kaum minoritas di Kamboja.
Saya berkenalan dengan seorang profesor yang aktif bergiat dalam bidang kemanusiaan. Pit Daw, sebut saja namanya demikian, bercerita betapa Khmer Merah amat paranoid dengan segala hal yang mereka anggap membahayakan keberlangsungan rezim.
“Saya memiliki teman sekelas kuliah sebanyak kurang lebih 40 orang. Saat Khmer Merah berkuasa, semua ditangkapi dan mati dibunuh. Hanya saya yang tersisa,” kata Pit, dengan mata berkaca-kaca.
Penangkapan orang pun dilakukan dengan alasan yang sering tak masuk akal. Menurut Pit, rejim Khmer, yang dikenal sebagai Angkar (baca: Angka) menangkapi kaum terdidik, termasuk mahasiswa, guru, dan dosen, karena dianggap suka mengritik penguasa. Warga yang bisa bermain piano juga ditangkap dan dikirim ke Tuol-Sleng atau Cheoung Ek untuk dibunuh, karena dianggap punya hobi ala kapitalis. Seorang perempuan yang kebetulan menguasai dua bahasa asing selain bahasa Khmer juga dianggap sebagai budak Barat sehingga wajib diseret ke penjara.
“Yang lebih konyol, pria berkaca mata dianggap sebagai seorang yang pintar sehingga juga ditangkap dan dibunuh,” kata Pit, yang sempat bekerja paksa menanam padi di sebuah kamp selama dua tahun. Di saat itu, ia terpaksa harus menyembunyikan identitas dirinya sebagai seorang mahasiswa.
Pol Pot sendiri punya alasan yang ia yakini, yakni menciptakan sebuah masyarakat komunis tanpa perlu membuang-buang waktu di tahapan peralihan. Kaum minoritas seperti Cina dan Vietnam diusir dari kota, lalu mereka yang tidak terbiasa dengan bidang pertanian tersebut dipaksa tinggal di kamp-kamp sebagai pekerja paksa. Mereka bahkan dilarang berbahasa asli asal mereka.
Khmer Merah dalam selimut Partai Demokratik Kamboja merupakan negara yang ateis, tidak percaya Tuhan, namun anehnya pengaruh Buddha masih terasa. Semua agama dilarang, dan yang paling kena getahnya adalah Islam, Nasrani, serta Buddha. Waktu itu, ada sekitar 25.000 biksu Buddha dibantai rezim Khmer.
Kerja Paksa dan Genosida
Mulanya, Pol Pot kebanyakan mengatur pemerintahan dari balik layar. Ia menjadi Perdana Menteri tahun 1976 setelah Pangeran Norodom Sihanouk dipaksa mundur dari jabatannya. Sementara itu perang masih berlanjut di perbatasan.
(Korban-korban genocide Pol Pot. Sumber: Kompas.com)
Khmer Merah mendeklarasikan negara akan mulai berjalan lagi di “Tahun Nol”. Caranya? Dengan mengisolasi rakyat dari dunia bebas. Ia memerintahkan tentara mengosongkan ibukota. Jutaan warga kota berbondong-bondong keluar dari ibukot secara terpaksa, untuk kemudian dicegat di tengah jalan, diangkut ke kamp-kamp kerja paksa sebagai petani, menanam padi demi memenuhi kebutuhan Kamboja.
Pol Pot menghapus mata uang, hak milik pribadi, dan agama, lalu merancang desa-desa kolektif, nama lain untuk kamp kerja paksa. Adapun bagi mereka yang dicurigai berkhianat, membenci penguasa, mengritik, atau tidak setuju terhadap pemerintahan Khmer Merah, maka tidak ada pilihan selain diculik dan dibunuh. Hampir tiga juta nyawa melayang dibantai Khmer Merah selama masa empat tahun mulai 1975-1979. Jumlah itu hampir sepertiga dari total penduduk Kamboja yang berjumlah 9 juta di tahun 1990.
Salah satu pusat kekejaman Khmer Merah adalah instalasi penjara yang bernama S-21 Tuol Sleng, tepat di jantung Phnom Penh, dan kamp genosida Choeung Ek di ujung kota (lihat tulisan sebelumnya: Choeung Ek: Saksi Bisu Keganasan Komunis – Red). Instalasi genosida ini dikepalai oleh Kang Kek Iew alias Commander Duch. Dalam satu kesempatan setelah ditangkap dan diadili, Duch memaparkan dengan dingin kenapa mereka juga membunuhi anak-anak dan bayi.
“Karena bayi dan anak-anak tidak memberikan manfaat ekonomi apa-apa buat negara. Selain itu, jika nanti dewasa, mereka akan mendendam dan melawan negara. Jadi lebih baik kami bunuh saja sekarang saat masih kecil,” katanya, datar.
Di luar itu, ratusan ribu lainnya meregang nyawa karena wabah penyakit, kelaparan, dan kelelahan karena dipaksa bekerja di sawah, padahal tidak semua dari mereka berlatar belakang tani.
“Saya harus bekerja dari pukul 10 pagi hingga 10 malam dengan upah hanya segenggam beras,” kata Pit Daw. Hanya karena tekadnya yang kuat, ia bisa mengatur tenaganya agar tidak habis di sawah, sembari terus menyembunyikan identitasnya sebagai kaum pelajar.
Tumbangnya Polpot
Bentrok di perbatasan Kamboja – Vietnam makin memanas di akhir tahun 1970-an, hingga akhirnya Vietnam masuk menginvasi Kamboja, menduduki Phnom Penh, dan memaksa tentara Khmer Merah mundur ke hutan-hutan dan mulai menjalankan taktik perang gerilya.
Meskipun kalah, kekuatan militer mereka tak serta merta hancur. Mereka menjalankan taktik gerilya, yang awet hingga bertahun-tahun lamanya. Banyak faksi militer berbeda terlibat dalam perang gerilya ini hingga akhirnya berakhir tahun 1994. Artinya, mereka bertahan hingga 15 tahun.
Tahun 1993, Kamboja direstorasi dan kemudian diubah menjadi Kerajaan Kamboja. Setahun kemudian, ribuan gerilyawan Khmer Merah menyerahkan diri kepada pemerintah untuk mendapatkan amnesti. Di tahun-tahun tersebut negeri Kamboja mulai terbuka kembali terhadap masyarakat internasional.
Di saat itu pula kisah-kisah horor kekejaman Pol Pot dan rezimnya mulai terkuak. Apalagi dengan buka mulutnya banyak warga yang selamat (penyintas). Peradilan kriminal internasional mulai digelar. Para petinggi Khmer Merah diburu dan ditangkap.
Nasib para pentolan Angkar sendiri berbeda-beda. Tiga tahun restorasi, Ieng Sary yang pernah menjadi wakil Pol Pot, mendapat amnesti dan mendirikan partai baru Gerakan Persatuan Nasional Demokratik (Democratic National Union Movement). Dua pimpinan Khmer Merah lainnya, Nuon Chea dan Khieu Samphan, dihukum penjara seumur hidup oleh Pengadilan PBB, dengan tuduhan terbukti bersalah atas kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) dan bertanggung jawab atas kematian lebih dari dua juta warga Kamboja. Sedangkan Commander Duch, kepala jagal Tuol Sleng dan Choeung Ek, dijatuhi hukuman 35 tahun.
Pol Pot sendiri, lewat sebuah pengadilan internal tahun 1997 pasca jatuhnya akibat invasi Vietnam, dikenai tahanan rumah di sebuah tempat di pelosok hutan Kamboja. Setahun berselang, 15 April 1998, di Distrik Anlong Ven, Pol Pot si guru Sejarah dan Sastra Prancis, peraih beasiswa bidang teknologi radio ke Prancis, pemimpin Khmer Merah dan yang bertanggung jawab atas pembantaian warga Kamboja, akhirnya meninggal pada usia 72 setelah mengalami gagal jantung.
Yang unik, banyak para anggota Khmer Merah dan Partai Komunis Kamboja di tingkat menengah dan bawah yang tidak diadili. Dalam berbagai film dokumentasi yang dibuat internasional, argumentasi mereka selalu sama, bahwa saat-saat tahun 1975-1979 itu mereka dipaksa melakukan pembunuhan kepada sesama warga Kamboja. “Jika kami tidak membunuh, maka kamilah yang dibunuh,” kata sebagian mereka.
Yang jelas, kekuasaan komunis yang hanya empat tahun tersebut menyisakan sejarah kelam yang tak mungkin dilupakan seumur hidup oleh warga Kamboja dan dunia.
(ah)
No comments:
Post a Comment