Thursday, February 20, 2020

MASIHKAH KITA PERCAYA MEDIA (MAINSTREAM)?



(Ilustrasi: sumber www dot cima dot ned dot org)

LUCU melihat orang-orang berkomentar atas rusuh yang tengah terjadi. Yang menyumpahi pendemo mayoritas mengandalkan penilaiannya atas informasi media-media utama yang ada di pasar. Sebaliknya yang bersimpati atas aksi tersebut berbasis info-info yang beredar di antara komunitas.

Saya termasuk orang yang sudah pada tahap skeptis dengan industri media dalam negeri dan kebijakan pemberitaannya. Inilah masa pertama kalinya bagi saya tak mengandalkan lagi berita media massa sebagai basis informasi dan dasar untuk mengambil keputusan sehari-hari. Lama sudah saya tak klik Detikc*m, ada 3 tahunan, Komp*s cetak apalagi, Komp*s Online serupa juga, juga media-media cetak dan elektronik lain. Suplai informasi saya kini mayoritas dari percakapan media sosial, forum-forum diskusi, dan sejenisnya.

Media (mainstream) oleh banyak pihak tak lagi jadi pilihan utama. Rumor bahwa media ditekan penguasa, ditimang-timang agar terbinabobokkan dan di sisi lain diiming-imingi uang melalui iklan dan program kerjasama, sudah lazim didengar. Seorang teman di sebuah stasiun TV berkisah, telepon sakti bahkan kini datang dari orang terpenting negeri ini, yang di ujung telepon hanya menyebut nama televisi itu berulang-ulang (seperti menyayangkan sesuatu) sambil mewanti-wanti. Itu saja sudah bikin medianya kalang kabut.

Ini bukan fenomena baru. Danny Schechter menulis buku berjudul "Matinya Media: Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi." (2007). Ia berkata, media kini menggerogoti demokrasi. Melalui cara-cara tertentu mereka menukar demokrasi dengan mediokrasi yang diatur lewat kekuatan mengatur agenda (agenda setting) korporasi media milik segelintir pemain swasta.

Bahkan dalam event-event tertentu seperti Pemilu atau perang, sebagaimana diungkap seorang konservatif, Edward Luttwak, media malah melakukan lebih gila lagi, "agenda cutting", pemangkasan agenda. Media, atas kemauan sendiri atau karena tekanan pihak tertentu, mengalihkan publik dari isu-isu faktual dan pilihan kebijakan sedemikian rupa sehingga politik pun mengalami depolitisasi. Kita alami, peristiwa-peristiwa penting dan besar terkait satu pihak tak muncul sedetik pun di media. Sebaliknya, acara remeh-temeh pihak lain malah menghiasi layar bermenit-menit. Yang begini akhirnya memunculkan sikap sinis pembaca/penonton yang makin meluas.

Apa alasan di balik sikap tak perwira media-media ini? Satu jawabannya: logika pasar. Logika pasar menunggangi kewajiban media menjunjung tinggi kepentingan publik. Berita-berita akhirnya tersanitasi (disaring, diperindah, dibersihkan), hingga diencerkan (dumbing down). Media kini bersembunyi di balik kemasan, mengebiri konten.

Bagaimanapun juga, korporasi tetaplah bertujuan sesuai azas kapitalisme. Berita dan pasar. Survival di industri. Maka tekanan sedikit saja dari penguasa atau politisi membuat media (mainstreaming) melunak seketika.

Lalu ke mana orang mengalihkan pilihannya? Internet. Media sosial. Dengan segala risikonya (karena di dunia internet menyaring informasi butuh ketekunan tersendiri). Dalam buku "Media - Militer - Politik (editor: Lukas Ispandriarno, Thomas Hanitzsch, Martin Loeffelholz) ditegaskan bahwa Internet menyebabkan hilangnya kontrol oleh para jurnalis dan sumber-sumber resmi. Ini bisa menjawab fenomena mengapa banyak orang senyum sinis jika muncul berita tentang --katakanlah-- teroris. Pihak berwajib merasa mampu mengontrol arus informasi searah, namun internet mementahkannya. Info di balik pintu dipercaya lebih valid daripada info dari ruang konferensi pers. Mereka bukan lagi satu-satunya pemegang kontrol. Tugas suci jurnalisme tak lagi dipilih publik untuk dibebankan ke pundak para jurnalis. Karena dalam era 4.0, jurnalis masih terlena dengan tugas lama, sekadar penyambung lidah, pengantar fakta.

Padahal, di masa kini, disebutkan... "one of roles of journalism in this ocean of information is to help readers negotiate the various impasses that raised around bad and contradictory information, even from reputable resources."

Jurnalis bukan lagi cuma "gateekeeper" informasi tapi harusnya jadi pembimbing bagi ruang informasi global. Faktanya, mereka gagal. Gatekeeper diambil alih oleh politisi dan rezim. Dan para buzzers. Serta Youtuber dan Vloggers.

(17 Ramadhan 1440 H)

No comments: