Sepotong layanan pesan singkat alias SMS mampir ke telepon seluler saya sore itu dari adik yang tinggal di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Isinya cukup menggelitik dengan –biasalah—gaya bahasa anak muda jaman sekarang: “3G udah keluar ni… Td eike nyobaikn video call ama mobiletv. Ruar biasa. Buru-buru ganti hp ni kayaknya…:-)“
Saya geleng-geleng kepala. Dia, adik saya itu, memang adalah penikmat teknologi sejati. Ia tahu lebih banyak (dan lebih dahulu) tentang berbagai perkembangan layanan telekomunikasi dan informasi, ketimbang saya yang orang kantoran ini. Beberapa pekan silam, kami memang sempat berbincang soal berita munculnya layanan komunikasi bergerak generasi ketiga atau 3G ini dari dua operator besar telekomunikasi di Indonesia, yakni Telkomsel dan XL.
Adik saya ini, yang pengguna XL, waktu itu malah sudah bermimpi macam-macam. Antara lain, ia berharap bilamana teknologi dan layanan 3G ini sudah hadir maka keempat kakaknya yang lain (termasuk saya) hendaknya masing-masing mempersenjatai diri dengan jenis ponsel yang memiliki kemampuan menjalankan layanan 3G. “Dengan begitu, kita bisa kontak lebih sering, tatap muka langsung, dan kelak lebih murah,” katanya, bersemangat.
Yakin sekali dia tampaknya dengan prospek 3G ini.
3G: Janji Lama Hadir Baru
Sumpah mati, saya sudah mendengar soal teknologi generasi ketiga alis 3G ini sejak akhir tahun 2000-an. Saat itu, beberapa ponsel baru saja memamerkan kemampuan terbarunya, WAP alias Wireless Application Prootocol dan GPRS (General Packet Radio Service). Waktu itu, sudah digembar-gemborkan bahwa setelah generasi 2G dan 2,5G seperti yang diemban oleh ponsel-ponsel yang ada saat itu, akan muncul teknologi 3G yang lebih mumpuni, dan tampaknya menjadi puncak kejayaan teknologi telekomunikasi seluler yang pernah ada.
Kelebihan 3G terletak salah satunya pada kualitas suara yang lebih jernih, kanal suara yang jauh lebih banyak di tiap base station, serta adanya fitur data yang sanggup mengantarkan berbagai aplikasi multimedia ke tiap pelanggan (Ichsan Ramdhansyah, Kompas, 4 April 2005). Dengan 3G, layanan suara, data, hingga gambar dapat dipadukan menjadi satu, sehingga hambatan jarak dan waktu menjadi amat tipis. Bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh mayoritas pengguna telepon seluler (ponsel) saat ini, sebagaimana dideskripsikan artikel di Kompas tersebut, yang boleh dibilang hanya memanfaatkan layanan suara dan SMS, dengan jumlah bisa mencapai 99 persen.
3G = Selalu Soal Bisnis?
Saya sendiri merasa, tiap kali orang bicara 3G, orang cenderung membahasnya dari sisi bisnis semata. Dari sisi bisnis, dengan hadirnya teknologi ini, selalu disebutkan bahwa dunia usaha akan memperoleh manfaat yang besar. Mereka menjadi lebih efisien dan efektif dalam menjalankan kegiatan/operasi komunikasi sehari-hari. Ujung-ujungnya, sekian juta atau milyar uang perusahaan untuk kegiatan komunikasi berhasil dihemat melalui pemanfaatan teknologi ini,
Di sisi lain, ketika bicara teknologi, sesungguhnya kita juga bicara soal pengaruhnya bagi kehidupan sosial. Dan itu merupakan yang paling sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kemajuan teknologi komunikasi telah mengubah segalanya secara revolusioner. Tidaklah keliru jika ada yang berkata bahwa gaya hidup masyarakat berkembang seiring munculnya teknologi yang ada. Sebaliknya, teknologi juga muncul sebagai hasil gaya hidup yang tengah berkembang. Mereka timbal balik, saling isi.
Merekat Hubungan Sosial
Terbayang, dahulu untuk bersilaturahmi dengan orang tua, telegram dan surat adalah cara yang paling lazim. Kemudian datanglah teknologi telepon, yang dengannya seseorang bisa mengontak seseorang lain dari tempat yang jauh sekalipun. Kita bisa mendengar suara ibu dari seberang sana. Seorang bisa mengabarkan keluarganya yang sakit lewat telepon, tidak lagi dengan surat atau telegram yang butuh waktu lebih lama.
Tak lama kemudian datang pula telepon seluler. Ini lebih gila lagi. Jujur saja, hampir tak ada yang pernah membayangkan anda bisa berkomunikasi setiap saat, di manapun dan kapan pun dengan menggenggam telepon seluler di tangan anda. Jika merasa tidak penting berbicara, maka layanan teks seperti SMS menjadi pilihan. Belakangan, lewat ponsel piula jaringan internet akhirnya juga dapat dinikmati. Menulis e-mail, mengunduh program penting, dan sebagainya menjadi hal yang biasa.
Lalu, kini, datanglah 3G. Rakyat awam dijamin pasti bingung jika ditanya apa itu 3G dan manfaatnya buat mereka. Layanan ini, menurut hemat saya, lebih baik digambarkan melalui manfaat nyatanya. Paling gampang, saya lebih suka membayangkan aplikasi 3G sebagaimana yang diidam-idamkan oleh adik saya itu. Sederhana, tapi nyata. Teknologi bagi rakyat kebanyakan, seharusnya dapat dipakai demi mempererat kehidupan keluarga dan sosial mereka. Itu yang dibutuhkan Indonesia yang sedang carut-marut ini. Teknologi bukanlah semata soal bisnis dan dunia usaha belaka.
Tentu membanggakan, ketika membayangkan setiap keluarga bisa berkomunikasi lebih dekat satu dengan lainnya dengan layanan multimedia yang super canggih tersebut. Saya mungkin akan rajin mengecek setiap hari bagaimana kabar ibu saya di pulau seberang. Sudah makankah beliau? Apakah beliau sehat-sehat saja, dan sebagainya. Atau, seorang warga desa terpencil dapat berkonsultasi dengan dokter ahli di ibukota negara mengenai penyakit anaknya.
Para menteri dapat mengecek langsung para dirjen dan direktur di departemennya via teknologi ini. Benarkah mereka bekerja untuk rakyat setiap harinya, atau hanya sibuk di belakang meja atau muncul cuma di seremoni dan pengguntingan pita. Pak Presiden juga barangkali bisa melakukan kegiatan “open house” buat warga yang ingin mengadukan nasibnya, sekaligus juga memprakarsai program “open access” bagi warganya. Pak Presiden dapat bertatap muka dan berdiskusi via jaringan 3G dengan warganya, menyerap keluhan dan laporan dari berbagai daerah tentang kesejahteraan dan mutu pelayanan publik, misalnya. Secara bersamaan, para tokoh agama dapat saling bertukar sapa dan pengalaman, serta berdiskusi secara virtual untuk menumbuhkan rasa saling menghormati di antara sesama umat mereka; tak lagi harus menunggu rapat resmi di kelurahan atau kantor kabupaten.
Mimpi dan Jangan Berkedip
Gambaran di atas tentu sebatas mimpi saya. Tetapi rasanya relevan dengan kebutuhan. Dua raksasa besar telekomunikasi Indonesia sudah memulai layanannya. Itu nyata, dan bakal diikuti dengan operator lainnya. Tinggal bagaimana teknologi ini, sebagaimana disebut tadi, memiliki manfaat langsung bagi kehidupan sosial masyarakat. Bukan sebatas teknologi yang enak dinikmati yang tidak memberikan nilai penting kehidupan apapun.
Dan 3G bisa jadi bukanlah akhir. Entah kapan barangkali bakal muncul 4G atau 5G. Untuk soal ini, saya jadi ingat pengasuh milis The Rapidly Changing Face of Computing (RCFoC), Jefferey Harrow, beberapa tahun silam. Dalam setiap milisnya, ia senantiasa menyelipkan dua kata sederhana tentang perkembangan teknologi informasi dan komunikasi: Don’t Blink! (Jangan Berkedip!). Ini pesan singkat tapi dalam maknanya. Di dunia teknologi informasi dan telekomunikasi yang begitu dinamis, perkembangan terjadi begitu cepat, dan harus dipantau serta disikapi secara seksama. Karena, bisa jadi itu berdampak luas terhadap sendi-sendi kehidupan kita. Tidak ada waktu buat berkedip, karen sekali terlambat mengantisipasinya berarti kita bakal tertinggal. Demikian juga dengan 3G ini.
Lalu, kembali ke soal SMS adik saya tadi, tampaknya dia berhasil mempengaruhi saya. Hari ini, saya mulai membolak-balik katalog perangkat mobile yang memiliki teknologi tersebut. Saya juga ingin jadi bagian dari masyarakat teknologi ini, dan memanfaatkannya sesuai mimpi sederhana kami tersebut. (ah)