Tak peduli di manapun Anda berada saat ini di Indonesia, saya yakin kita merasakan hal serupa. Polusi Visual. Apa maksudnya?
Cobalah berjalan di sekitar lingkungan tempat tinggal kita. Atau keliling kota, atau ke luar kota, atau menyeberang mengunjungi kota lain. Kita akan melihat fenomena sama di setiap sudut tempat: poster kampanye para calon legislator (caleg) pemilu. Formatnya baku. Menjemukan, malah. Poster seseorang dengan berbagai pose (ada yang cool, ada yang kaku, ada yang berlagak akrab, dsb), diiringi logo partai, lengkap dengan nomor partai dan nomor urut si caleg. Tak lupa, iming-iming janji dan visi mereka masing-masing. Sebagian yang lain malah merasa kurang pede, sehingga merasa perlu memasang foto tokoh ketua partainya --yang umumnya tokoh nasional-- di samping fotonya. Kelihatan akrab, gitu...
Tak pelak, seantero kota penuh dengan spanduk, banner, baliho, poster yang seragam. Minus kreatifitas. Dan yang terpenting, minus rasa peduli tentang apa yang harusnya mereka buat jika ingin menggaet suara rakyat.
Saya hanya mikir begini: bayangkanlah Saudara-saudara, mereka belum lagi menjadi wakil Anda di DPR, atau DPRD. Tetapi mereka sudah seenak perutnya melanggar hak kita menyaksikan lingkungan yang asri. Belum lagi, sepengetahuan saya, tiap daerah punya peraturan sendiri mengenai pemasangan atribut, spanduk, dan sejenisnya di tempat umum. Di Jakarta, memasang hal semacam ini tanpa ijin bisa ditindak. Kalau ingin memasang, perhitungannya setara dengan iklan luar ruang. Ada biaya yang harus disetor untuk kas daerah.
Alih-alih setor, yang ada ialah premanisme caleg yang mengepung kita. Mereka, tak peduli dari mana partainya, sesungguhnya adalah calon yang malas, berotak tumpul, tak kreatif, tak sensitif dengan kotanya sendiri (yang ironisnya merupakan kota daerah tempat ia bertarung untuk dipilih). Simpelnya, kalau boleh saya duga dari isi otak mereka, daripada repot-repot berpikir tentang cara mendekati konstituen secara elegan, cerdik, dengan tetap menghormati peraturan dan etika yang umum berlaku, mending lakukan apa yang sudah ramai dilakukan para pesaing atau koleganya: tempel dan pasang spanduk di manapun.
Tak heran, pohon-pohon kayu jadi korban. Paku menancap di mana-mana. Mereka, para caleg pemalas itu, barangkali tak pernah belajar mata pelajaran IPA, misalnya, yang menyebutkan bagaimana aliran makanan dari akar ke daun bisa terhambat oleh banyak hal, termasuk paku-paku berkarat itu. Atau, setidaknya dari sudut moral, bahwa pohon juga makhluk hidup. Menghujaninya dengan paku di sana-sini tanpa sebab-musabab yang sahih niscaya bakal diganjar Tuhan dengan ganjaran yang setimpal (eh, lucunya partai berbasis agama juga memaku dan mengikat di pohon juga, lho).
Atau, mereka pura-pura buta (atau memang sudah tertutup matanya) soal tak nyamannya pemandangan di lingkungan mereka akibat spanduk dan banner yang mereka pasang. Tak peduli, yang penting nampang, dan sukur-sukur menangguk massa. Koran Kompas beberapa edisi silam menuliskan kerusakan pemandangan di tiap sudut kota ini dengan istilah yan amat mengena: "POLUSI VISUAL". Merekalah, para caleg keblinger itu, yang menyebabkannya. Merekalah, ironisnya, yang minta dipilih, dan nanti mewakili kita di pentas politik nasional/lokal.
Pertanyaannya: bagaimana mereka bisa membela kepentingan kita, para konstituennya, jika saat ini saja mereka yang belum terpilih itu sudah menzalimi kita dengan riuh-rendah spanduk dan kampanye murahan tersebut. Sungguh tak bisa diterima.
Hanya ada segelintir dari mereka yang --mungkin-- sudah melakukan cara yang lebih beradab. Ada yang memasang profil di Facebook. That's good, saya akui dan pujikan. Soal kualitas kepemimpinan dan visi-misinya, itu nanti-nantilah. Urusan lain. Ada yang rajin menggelar pertemuan, pertandingan, dan sebagainya. Bolehlah. Meski kerap urusan uang sebagai iming-iming jadi lebih dominan. Ibarat jargon yang pernah populer dulu: ambil uangnya, belum tentu pilih orangnya.
Karena itu, saya punya himbauan, terserah mau ikut atau tidak: Jangan pilih mereka para pemalas yang enggan menggunakan otak dan akalnya tersebut! Pilih calon yang menggunakan cara cerdas dalam menggaet pemilihnya, yang tidak merusak pemandangan, tidak melanggar peraturan, dan tidak menganiaya bakal rakyat yang memilihnya.
Kalaupun Anda akhirnya tidak dapat menemukan calon yang seperti itu, maka berarti saya dengan bangga bisa menghimbau: Selamat Datang di Pintu Golput. Jangan pilih siapapun yang sesungguhnya tak punya niat baik membela Anda.
Wahai para caleg pemalas! Saya harap Anda bisa membaca tulisan ini.
(ahmad husein)