Minggu malam saya menyaksikan langsung sebuah (lagi) peristiwa pendidikan nan menyedihkan. Tak kurang dari Metro TV, TPI, dan beberapa televisi lain ikut menyiarkan. Ini kisah para siswa di SD Mulyo Asri Malang, Jawa Timur yang harus kehilangan kursi. Kursi sungguhan. Bukan cuma kursi, sebenarnya. Bahkan meja belajar mereka pun ikut hilang.
Seperti yang dilaporkan Metro TV, sekolah itu menerima bantuan meja dan kursi untuk kelengkapan belajar siswa-siswanya. Tapi apa lacur, tiba-tiba pihak pemborong datang mengambil paksa kursi-meja itu. Alasannya sederhana: Pemkab Malang belum melunasi pembayaran meja dan kursi tersebut.
Yang amat membuat hati teriris dan terenyuh ialah ketika para siswa berusaha sekuat tenaga mempertahankan kursi (dan meja) mereka. Jadilah adegan tarik-menarik kursi dan meja itu sebuah momen yang amat dramatis. Siswa menangis tersedu-sedu. "Ini kursi kami, jangan dibawa, Pak," ujar mereka. Karyawan perusahaan pemborong yang bertugas itu tak peduli. Mereka terus saja mengangkut balik semua perangkat yang ada.
Siswa-siswa tersebut, tak peduli perempuan atau lelaki, menangis dan meraung. Bagaimana mereka bisa belajar dengan nyaman jika kursi dan meja yang sebenarnya menjadi hak mereka tahu-tahu diambil paksa? Bingung mengadu pada siapa, mereka --dipimpin sang guru- hanya mampu beristigozah, sambil berlinang-linang air mata, berdoa memohon kekuatan pada Tuhan. Tragis sekali.
Pemkab sendiri konon berkelit. Menurut mereka, pembayaran belum dilakukan karena pihak pemborong membuat kursi dan meja tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi yang sudah disepakati. Walhasil, pemborong dan Pemkab tarik urat menyalahkan satu sama lain, siswa SD Mulyo Sari justru seperti pelanduk di tengah-tengah: kehilangan kursi mereka. Itu seperti tiba-tiba kehilangan masa depan, rasanya.
Kasus ini jadi amat ironis dengan kenyataan ketika para parpol dan caleg tengah sibuk berkampanye di mana-mana. Mereka sampai berbusa-busa mulutnya menjanjikan akan meningkatkan kualitas dan sarana pendidikan. Semua janji manis itu, tentu saja, demi merebut kursi di Senayan, atau kursi dewan terhomat di DPRD masing-masing daerah. Di saat yang sama, di depan mata mereka sendiri, rakyat yang dijanjikan dengan mimpi manis itu malah kehilangan kursi.
Nurani di negeri ini memang sudah terbalik-balik....
Lebih buruk lagi, sudah pun demikian, tetap saja mayoritas kita tetap bermuka manis, selalu berprasangka baik, senyum penuh keyakinan, dan dicucuk hidungnya untuk pergi ke TPS untuk memilih, lalu merasa telah melakukan kebaikan dan kewajiban yang besar. Sementara ironi kesejahteraan rakyat terus terjadi setiap hari di sekitar kita.
Alangkah menyedihkan... (ah)
Tuesday, March 24, 2009
Blackberry murah - Hanya di Bandung...
Ketika jalan-jalan pagi di kawasan Gedung Sate di akhir pekan beberapa waktu lalu, tak sengaja saya menyaksikan beberapa kios memajang dagangan langka: produk Blackberry dengan harga murah...
Khusus Blackberry seri ini, ia tidak bisa dipencet, atau dipake nge-fesbuk. Tapi bisa dinikmati sambil nge-fesbuk.. Harganya cuma selisih dua ribu perak dibanding strawberry...
Blackberry, murah meriah.... siapa mau beli?
Tatacara memilih caleg di hari H... (draft SOP ver 1.0)
Banyak orang langsung 'manyun' begitu saya katakan, saya bakal tak memilih siapapun nanti di Pemilu. Rencananya sih, sampai hari ini, memang begitu.
"Kamu itu tak tau terima kasih. Harusnya kamu mendorong semangat berdemokrasi, bukan mematikannya," kata seorang kenalan.
(Maaf, sejak kapan saya punya kewajiban mendorong semangat demokrasi?)
"Kamu itu naif, masak sih nggak ada satu pun caleg yang bisa kamu pilih. Setidaknya, kamu pilih yang terbaik dari yang terburuk (yang tersedia)," ujar sobat saya yang lain.
(Jawabnya: kalau memang nggak ada, pegimane? Kalau saya naif, sobat saya itu mungkin 'the Changchuter'...)
Karena banyaknya yang memberi saran, okelah, agar 'fair', saya coba merunut kembali langkah dan niat untuk memilih, yang konon katanya demi kemajuan bangsa (ada yang bilang demi kemajuan umat, pake SMS segala, mendramatisir bahwasanya kalau tidak memilih Anda akan menghadapi jaman di mana tidak ada lagi yang membela umat di parlemen. Dangkal sekali tebakannya? Lebih dalam ramalannya Mama Lauren -- jangan-jangan...).
Corat-coret sana-sini, saya berhasil menyusun draft memilih caleg tatkala pemilu nanti. Bahasa kerennya sih, SOP. Standard Operating Procedure. Begini kira-kira:
1. Di hari pemilihan, datanglah ke TPS tempat Anda ditetapkan memilih (tentu dong, kalau ntar ke swalayan, yang ada ntar belanja, bukan nyoblos). Datang ke TPS menunjukkan kalau Anda sesungguhnya punya niat mulia menggunakan hak politik Anda (bahwa nantinya kita memutuskan tidak memilih, itu lain soal, karena itu terus ikuti SOP-nya).
2. Sejatinya, di tiap TPS, pasti ada poster yang menunjukkan urut-urutan proses memilih. Hapalkan.
3. Sejatinya juga, akan ada poster berisi urutan partai berikut nama-nama calegnya. Ada poster untuk tingkat DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Semua mencantumkan gambar parpol, sedangkan caleg hanya nomor urut dan nama. Ada juga lembar DPD, yang berisi gambar para calon senator.
4. Pertama, perhatikan nama partainya dulu. Tidak kenal, tidak familiar? Coret dari daftar calon partai yang Anda bakal pilih. Kenal, familiar, tapi tahu track recordnya sejak jaman nenek moyang waktu Pancasila masih harus dihapal 36 butir? Yang beginian juga coret. Makin kecil toh, pilihannya? Kenal, familiar, tapi tahu pimpinan dan jajarannya banyak berbual di media ketimbang berbuat? Coret juga. Kenal, familiar, Islami katanya, tapi plin-plan (sampai-sampai kadernya juga mulai gerah?) Kalau saya, sih, coret juga!
5. Perhatikan hasilnya, sembari Anda menunggu giliran dipanggil. Kalau ternyata semua tercoret, ya masak harus memilih yang tak qualified, ya toh? Di sini, keputusan tidak memilih karena tak ada yang sesuai absah adanya.
6. Hati kecil mungkin bicara, "Kalau bukan partai, mbok ya liat orang per orang-nya?" Oke kalau begitu. Kita mulai saringannya. Pelototi nama masing-masing caleg. Tidak kenal? Tidak familiar? Jelas, coret! Tidak kenal tapi familiar, karena namanya sering terbaca berikut tampang orangnya di poster dan banner di seantero kota? Nah, ini sudah jelas, coret juga! Ini caleg malas, tidak usah dipilih. Hobi mereka bikin kota jadi semrawut. Masak harus milih caleg seperti ini. Tidak bermartabat, kan? Berikutnya, kenal, tapi tidak familiar. Mungkin dia tokoh daerah, mungkin dia pemuka masyarakat di sekitar kita. Tanya dulu, kalau kenal, mengapa Anda tidak familiar? Bukankah artinya caleg itu tak efektif menjangkau konstituennya, kita-kita ini? Yah, kalau begitu, coret juga.
7. Walhasil, Anda mungkin menemukan bahwasanya baik partai maupun calegnya tercoret semua. Tak ada sisa 'short-listed candidates". Apa yang harus dilakukan? Sementara Panitia TPS sudah memanggil nama Anda?
8. Jangan gelisah, maju, ambil kartu suara, bawa ke bilik, buka, dan jika memang sudah bulat tidak menemukan calon yang dipilih, lakukan apa yang harus Anda lakukan. Beberapa teman berangan-angan, ingin menggambar awan, ada yang ingin mencoret-coret dan melukis gambar perahu. Ada yang ingin mencontreng semua nama, biar adil, meskipun nantinya kartu suara tak sah. Ada yang ingin menggunakan cara lama, mencoblos, meski tak diperintahkan. Ya, itu urusan masing-masing deh.
9. Lho, itu semua kan namanya golput juga? Tergantung sudut pandangnya. Yang jelas, SOP-nya sudah ada.
10. Keluar dari bilik, masukkan kartu ke masing-masing tempatnya. Beri senyum seperlunya (apalagi jika ada wartawan yang kebetulan meliput TPS di wilayah Anda). Jangan lupa, celupkan jari di tinta biru. Tanda absah Anda ikut Pemilu.
11. Keluar dari TPS. Tugas Anda selesai.
Ini hanya draft. Dan hanya berlaku bagi yang sudah terdaftar sebagai pemilih tetap.
Karena namanya juga draft, jadi amat mungkin berubah dalam hitungan hari, jam, atau bahkan menit. Apalagi kalau ada yang bisa memberi draft SOP lain yang lebih meyakinkan. Ya kita lihat saja. Monggo...
Subscribe to:
Posts (Atom)