Percayakah Anda, hidup itu bak irama musik?
Bagi sebagian orang, hidup itu seperti lagu medley, tak jua bertitik, sampai di ujung cerita. Paling banter koma, atau titik dua; tanda bahwa di depan seabreg rencana dan kegiatan terus menanti. Akan tetapi bagi sebagian lain hidup terasa seperti lagu kanak-kanak. Satu bait plus satu refrain. Selebihnya tinggal diulang-ulang. Membosankan? Belum tentu. Tergantung lirik dan aransemen musiknya.
Untuk mayoritas individu, rasanya hidup ini lebih sering bak irama musik pop. Enteng terdengardi telinga, ringan dijalankan. Tak usah bersusah-susah. Not-nya seperti lagu kanak-kanak tadi, tinggal dipelintir sana-sini. Cuma, kalau mau saksama, kuncinya tak jauh-jauh dari G, C, dan D Mayor, diselipi dengan A Minor atau C Minor. Penyelarasnya ya A#. Yang berusia muda, atau tua bangka kaya raya --maaf mungkin ini simplifikasi-- suka irama hidup model beginian.
Dangdut kaum marjinal
Tetapi cobalah tengok para buruh pabrik, nelayan kecil atau petani penggarap. Hidup mereka bukanlah irama pop, bukan pula hip-hop. Klasik apa lagi. Tak ada dalam kamus mereka dinamika hidup semegah Symphony 40-nya Mozart. Tak secuil pun segempita Overture No. 4 Rejoussance milik Johan Sebastian Bach. Mereka hidup dalam irama dangdut, bersyair kepedihan dan kesengsaraan. Cocok menggambarkan realitas sehari-hari. Diabaikan penguasa, diludahi bangsa sesama, tak diakui dunia.
Cuma, jangan salah, dengan irama inilah mereka justru bertahan. Dalam dangdut, semua kedukaan, kepedihan, diramu menjadi kebahagiaan. Bila mengutip bahasa asing, “No matter how sad the song is, they keep dancing and smiling.” Musik boleh mendayu, lirik boleh saja tentang istri ditinggal suami, namun semua harus dibawakan dengan senyum berikut goyangan aduhai. Penggemarnya setali tiga uang, mata terpejam, kedua tangan digoyang, sambil bergerak maju mundur, merem-melek asyik sendiri.
Hati-hati kalau sudah begini. Tersenggol sedikit, harap maklum akibatnya. Tinju melayang. Itu juga masih mending. Di pedesaan, golok dan kelewang, plus tawuran antarkampung biasa mewarnai kegaduhan dangdut. Semua bermuara ke satu soal. Semua urusan hidup sudah terampas dari orang-orang ini. Maka, ketika ingin menikmati ketiadaan itu saja masih juga diganggu, jangan kaget jika responnya di luar pemahaman Anda-anda yang hidup berkecukupan.
Jazz dan Gayus
Pegawai negeri biasanya menikmati irama ganda. Dangdut ayo, musik Jazz juga cocok. Kenapa Jazz? Tak lain karena golongan ini hidup penuh dengan improvisasi. Gaji boleh dua-tiga juta. Lewat tengah bulan, kantong biasanya sudah melompong. Mau demo, tak berani. Yang dapat dilakukan adalah improvisasi, layaknya musik Jazz. Ada yang ngobyek di luar kantor. Ada yang jual pulsa di lingkungan instansi tempat bekerja.
Yang kebablasan juga banyak. Gayus contohnya. Ibarat Jazz, orang ini sudah memainkan not jauh dari kemampuan Bubbi Chen atau Indra Lesmana. Terlalu kreatif. Hasilnya, ya penjara.
Di kalangan kaum menengah baru, termasuk para eksekutif muda, hidup barangkali lebih enak diasosiasikan dengan musik Rock. Entah itu Rock Klasik, Rock ‘n Roll, atau Rock progressive hingga Rock aliran Metallica dan Sepultura. Persamaannya satu: hidup penuh hentakan dan memicu adrenalin. Bagi kaum ini, mungkin Anda termasuk di dalamnya, hentakan-hentakan kehidupan justru menjadi tujuan pencarian hidup. Tak jarang seseorang pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, karena semata mencari ‘hentakan’ baru, ‘beat’ terkini, yang sudah tak dirasakannya lagi di tempat semula.
Mereka fokus pada hentakan dan kesemrawutan komposisi irama, yang meraung-raung tetapi pada akhirnya terdengar harmonis. Yang suka hidup menghentak-hentak tapi lebih suka homogenitas, barangkali lebih memilih irama musik perkusi. Kombinasinya hanya suara pukulan atau dentingan, tetapi tetap bersemangat. Jadi ingat Safri Duo. Yang tak suka menghentak-hentak, boleh memilih R&B atau hiphop. Lebih jinak sih, sedikit.
Ada banyak penganut irama lainnya dalam kehidupan. Mungkin pula ada dari kita yang hidup dengan langgam gending Jawa. Sedikit gegap gempita namun di bawah Rock. Di saat serupa, kesan tenang juga terasa. Iramanya pentatonik, menghasilkan suara aneh, tapi harmoninya menyelusup ke dalam hati. Jadi, aneh sesungguhnya tak mengapa, asal harmonis.
Hidup dan panjang-pendek bacaannya
Di luar semua itu, saya sendiri merasa hidup ini tak ubahnya seperti orang yang sedang melantunkan ayat suci Al Quran alias qira’at. Ketika membacanya, Anda tak dilarang bersuara parau. Jadi, orang bersuara --maaf-- hancur sekalipun tetap boleh membacanya. Apalagi yang diberi bakat suara indah.
Kita juga tak mesti tampil semarak dengan warna-warni kostum saat melantunkan ayat-ayat. Asal bersih dan sopan, cukuplah.
Sebaliknya, semerdu apapun suara Anda, sekeren apapun kostum yang Anda kenakan, semahal apapun kitab Quran yang Anda beli, semua tidak ada artinya.
Yang dikenal irama Al Quran hanyalah bacaan yang tepat, panjang-pendek makhraj-nya, tajwidnya. Anda tahu di mana harus berhenti, dan paham di mana harus berlalu terus tanpa ragu. Seseorang harus tahu kapan satu huruf didengungkan, kapan disembunyikan, dan kapan justru ditegaskan ketika bertemu huruf tertentu yang lain.
Karena itu, sekali lagi, tak peduli semerdu apapun suara Anda, bila syarat itu tak dipenuhi, maka sadar atau tidak, Anda telah membacanya secara keliru. Anda belum ‘menyanyikan’nya secara benar. Hidup Anda, dengan ibarat qira'at Quran ini, salah jalan, meski Anda menyangkanya sudah benar.
Qira'at Qur'an benar-benar unik. Kerumitannya berpilin rapi dengan kesederhanaannya.
Karena itu, kembali ke pertanyaan awal, seperti apakah irama hidup Anda?
Rock? Klasik? Dangdut, Pop, hiphop, gambang kromong?
Tak penting benar. Sepanjang Anda melakukannya dengan benar, sama seperti ketika Anda sedang membaca Ayat Suci Al Quran: benar lafaz dan makhraj-nya, tepat panjang pendeknya, sesuai tajwidnya, maka cukuplah itu semua untuk menghadapi hidup.
Sesederhana itu?
Ya, sesederhana itu.
Selamat Shaum Ramadhan. Mohon maaf lahir dan batin!
(ahmad husein)