Catatan Redaksi: Kontributor Tamu Warta Pilihan, Ahmad Husein, tengah
berkunjung ke Viantiane, Laos untuk sebuah tugas. Ia menuliskan beberapa
catatan ringannya buat Wepi.
Menyaksikan Vientiane, ibukota negara Laos, seperti menyaksikan
Jakarta tahun 70 atau 80-an. Tak banyak gedung pencakar langit di kota
yang menurut sejarah merupakan daerah pemukiman strategis di cekungan
Sungai Mekong sejak lebih 2000 tahun silam. Viantiane ditetapkan menjadi
ibukota Laos pada sekitar abad 16. Setidaknya, sejauh mata saya
memandang dari lantai tiga gedung kementerian sosial dan pemukiman Laos,
hanya ada satu gedung tinggi berwarna biru di kejauhan. Jika kita
berkeliling kota, tata ruangnya, perumahan-perumahan penduduk, toko,
pasar, dan fasilitas umum lainnya, semua diatur mirip seperti Indonesia.
Bagi yang pertama kali berkunjung ke sini, kesan sederhana muncul
kuat sejak mendarat di bandar udara Wattay, yang lokasinya sekitar tiga
kilometer di luar ibukota. Terminal kedatangannya biasa saja,
mengingatkan saya pada bandara Polonia beberapa belas tahun silam.
Jangan salah, layanannya cukup baik. Taksi yang mengangkut penumpang ke
kota kondisinya cukup baru. Nyaman.
Saya berada di Viantiane selama lima hari untuk sebuah pelatihan.
Sebagaimana halnya kebanyakan penduduk di wilayah Asia Tenggara, warga
Viantiane amat ramah terhadap pendatang. Apalagi, banyak wilayah di
negeri punya potensi wisata sehingga menjadi daya tarik sendiri bagi
turis untuk berkunjung. Tercatat 4,23 juta wisatawan datang ke Laos.
Angka ini sebenarnya turun 10 persen dari tahun sebelumnya, menurut data
Departemen Pengembangan Wisata Kementerian Informasi, Budaya, dan
Wisata setempat.
Tandai Resto Halal
Dengan penduduk mayoritas beragama Buddha, mencari makanan halal buat
mengisi perut bagi seorang muslim tentu menjadi sedikit tantangan.
Karena itu, sebelum berangkat, saya berselancar di internet mencari
lokasi-lokasi makanan halal di sekitar kota yang bisa menjadi penyelamat
saat perut lapar. Ternyata tidak terlalu susah, saya menemukannya
meskipun jumlahnya tak banyak.
Salah satu yang paling popular di kalangan traveller adalah
Restoran Nazim di Chao Anou Road. Saya mencatat nama resto masakan India
ini, tetapi menemukannya secara kebetulan saat jalan-jalan di pasar
malam tepat di tepian Sungai Mekong, lima menit dari penginapan. Saya
temukan bahwasanya Chao Anou Road tepat berada di seberang pasar. Papan
nama rumah makan tersebut berwarna hijau menunjuk ke arah dalam, sekitar
30 meter. Resto ini buka pukul 9 pagi hingga 10.30 malam.
Malam itu pengunjung tidak terlalu banyak. Sebagian besar memilih
duduk di meja-meja di luar resto. Di dalam, hanya ada tiga sampai empat
keluarga, dengan tampilan perempuan berhijab dan pria bergamis, sedang
bersantap. Ada pula bule yang terlihat bersama rekannya menikmati
hidangan. Saya bersama seorang rekan dari Australia dan Filipina ikut
masuk.
Kalau melihat yang tertera di menu, harga-harganya cukup variatif,
mulai 10.000 Kip (sekitar Rp 16.000) hingga 70.000 Kip (Rp 114.000).
Sedikit di atas harga rumah makan lokal. Kurs 1 Laotian Kip (LAK) setara
dengan Rp 1,63. Saya memesan satu nasi briyani dan daging domba,
sedangkan rekan dari Filipina berinisiatif memesan kebab ayam bumbu
hijau daun mint dengan rotti. Adapun kenalan vegetarian saya dari
Australia menyantap kari dari sayur bayam yang disebut Palak Paneer.
Lezat, tetapi pedasnya sudah disesuaikan. Saya merasa menu sejenis di
Jakarta jauh lebih ‘nendang’ dari yang tersedia di sini.
Selain Nazim, ada pula Vieng Resto, masakan Thailand, yang konon
dimiliki oleh seorang imam asal Indonesia yang menetap lama di
Vientiane. Juga Aashifa Restaurant, masakan India dan Malaysia. Bagi
mereka yang mencari nasi goreng ramah di lidah Melayu, mereka wajib
berkunjung ke resto ini. Ada juga Fathima Resto, mengandalkan masakan
India dan Malaysia, di kawasan Quai Fa Ngum, tak jauh dari Nazim.
Mungkin saya akan mencoba mencicipi hidangan mereka satu per satu di
hari-hari berikutnya.
Kip Huruf Keriting dan Nol Berderet
Sejak tiba di bandara dan menukarkan mata uang dollar AS ke Kip Laos,
saya sudah tersenyum sendiri. Kip tak beda jauh dengan Rupiah sebagai
mata uang yang nilainya lebih rendah dibandingkan dengan mata uang umum
seperti dolar AS, Poundsterling, Swiss Franc, atau bahkan dolar
Singapura.
Bahkan, faktanya, mata uang Kip satu tingkat lebih ‘terhormat’
dibandingkan rupiah. Satu dolar AS setara dengan 8 kira-kira 8.209 Kip,
sementara untuk Rupiah itu sekitar Rp 13.000. Sebagai perbandingan
ekstrem, negara dengan kurs mata uang paling parah dari segi nominal
masih dipegang oleh Zimbabwe, dengan 1 dolar AS dinilai sama dengan 35
kuadriliun dollar Zimbabwe. Ya, kuadriliun, dengan 15 angka nol.
Yang membedakannya dengan rupiah adalah bahwa uang kertas Laos ini
ditulis dalam alfabet Lao atau Akson Lao, yang diadaptasi dari aksara
Khmer, turunan dari aksara Pallava/Pallawa yang merupakan kembangan dari
alfabet Grantha, biasa dipakai di kawasan India Selatan dan Asia
Selatan selama abad kelima hingga keenam Masehi. Huruf-hurufnya
‘keriting’ hingga sulit menerkaya. Pecahan terkecil uang kertasnya
adalah 500 Kip, lalu ada pecahan 1.000 Kip, diikuti masing-masing dengan
2.000, 5.000, 10.000, 20.000, dan 100.000 Kip.
Bagi orang luar yang tidak familiar dengan aksara ini, tentu saja
memegang uang tersebut menjadi masalah, termasuk saya. Baru dua hari di
Vientiane, saya sudah mengalami sulitnya melakukan pembayaran. Ketika
berjalan-jalan di pasar malam, saya mer
asa haus dan membeli sebotol
besar minuman ringan. Penjualnya menyebut harganya 6.000 Kip. Saya cek
di dompet, betapa susahnya mencari jumlah yang pas seperti diminta. Di
kertas mata uangnya, tulisan Lao ada di satu sisi kertas, termasuk
angka, dan sisi sebelahnya barulah dalam alfabet Latin. Sampai-sampai,
si penjual ikut ‘membongkar’ tas saya, lalu memilihkan jumlah uang yang
terdekat dengan yang ia minta.
Demikian juga saat di Nazim Resto. Saya membayarkan lebih dulu total
tagihan makan malam saya dengan dua teman lainnya. Usai makan, kami
lakukan hitung-hitungan. Ann, sebut saja demikian, nama rekan dari
Australia, menyerahkan pecahan 10.000 Kip. “Kembalian ke saya cukup
5.600 Kip,” katanya. Ternyata butuh bermenit-menit buat saya untuk
membongkar, mengecek nilai mata uang, lalu menjumlahkannya kembali
sesuai yang diminta.
Ita, kolega saya di kantor sebelumnya, yang tinggal sementara di
Viantiane dalam rangka program pertukaran, mengaku mengalami kesulitan
serupa. “Tiap kali naik tuktuk (sejenis bajaj – Red.), Saya selalu
bingung mencari pecahan yang pas. Sampai-sampai supir tuktuknya
ikut-ikutan menunjuk-nunjuk isi dompet dan memilih lembar yang
diperlukan,” keluhnya.
Begitupun, secara umum suasana di ibukota Laos ini cukup
menyenangkan, meskipun temperaturnya cukup panas, mencapai 37 derajat
Celcius di siang hari. Jika ingin jalan-jalan, sempatkan di waktu petang
atau malam. Banyak area yang bisa dijelajahi untuk sekadar cuci mata.
(ahmad husein)