Monday, March 09, 2020
MUNGKIN LANGKAH INI COCOK BUAT PEMERINTAH
Ada opini di harian Washington Post hari ini, 3 Maret 2020. Judulnya "How to build public trust in the face of coronavirus". Mengacu pada kasus serupa di AS. Penulisnya, Ezekiel J. Emanuel, menyebut beberapa langkah penting harus disiapkan dan dilaksanakan. Ini dia saya bantu ringkaskan dan adaptasi sedikit:
1. Miliki rencana komunikasi yang realistik. Di AS, Wapres Mike Pence langsung ditunjuk Trump menangani isu ini. Di Indonesia, selain Menkes dan para ahli kesehatan, sertakanlah ahli komunikasi publik. Serius ini saya teh....
2. Bentuk Coronavirus War Room secepatnya alias pusat penanganan krisis. Di Indonesia, apakah itu masih otomatis di bawah Kemenkes atau perlu tim adhoc, silakanlah mangga tafadhol...
3. Panggil otoritas kesehatan di seluruh provinsi untuk menyelaraskan ide, tugas, pencapaian target di daerah masing-masing. Walhasil, apapun yang dikomunikasikan akan seragam dan jelas pesannya ke penjuru wilayah negeri.
4. Undang badan internasional seperti WHO untuk koordinasi tingkat regional dan internasional. Memastikan langkah negara tidak 'mlipir' dari jalur upaya global.
5. Mendistribusikan alat deteksi virus semerata mungkin, atau ke wilayah-wilayah yang dideteksi berpotensi tinggi. Kitinyi hirgi ilitnya mihil, ya tapi layaklah dengan harga nyiwi rikyit... (kok jadi gini sih ngomongnya)?
Poin 6 dan 7 lebih cocok utk AS (melobi Cina agar tim kesehatan AS bisa akses wilayahnya dalam hal menelisik virus ini; dan minta FDA mengamankan rantai suplai bahan baku untuk keperluan pembuatan obat).
8. Memanggil para produsen alat kesehatan dan obat agar mereka mendukung pemerintah. Pedagang masker jugalah, kira-kira begitu, kalau untuk negeri +62. Cocok ini. Enyah para pencari untung kemaruk!
9. Minta badan pencegahan dan penanggulangan penyakit (di AS namanya CDC) membantu RS di seantero negeri agar dapat merespon secara layak.
10. Menyatakan dengan tegas aturan main untuk pembatalan acara sekolah, kampus, kantor dan event publik lainnya, termasuk mungkin event nasional. Kalau dilarang, beri argumen dan jalan keluarnya.
Rasanya, meski ini konteks Amerika, tapi amat cocok dengan situasi Indonesia. (ah)
Wednesday, March 04, 2020
𝗖𝗢𝗥𝗢𝗡𝗔 𝗗𝗔𝗡 𝗡𝗔𝗧𝗨𝗡𝗔: 𝗧𝗜𝗡𝗝𝗔𝗨𝗔𝗡 𝗞𝗢𝗠𝗨𝗡𝗜𝗞𝗔𝗦𝗜 𝗢𝗥𝗚𝗔𝗡𝗜𝗦𝗔𝗦𝗜 𝗣𝗨𝗕𝗟𝗜𝗞
Tersiar berita kisruh di Natuna, ketika warga berbondong-bondong berdemonstrasi di kawasan Pangkalan Udara (Lanud) Raden Sajad Saleh, Natuna untuk mengadang kedatangan 243 WNI yang dipulangkan dari Wuhan, Cina. Massa menolak Natuna sebagai tempat observasi dan karantina WNI dari Wuhan lantaran menilai fasilitas kesehatan di Natuna tidak lengkap. Mereka juga khawatir muncul virus Corona yang menakutkan itu di wilayahnya.
Wakil Bupati Natuna, Ngesti Yuni Suprapti, angkat suara terkait penolakan masyarakat Natuna sebagai lokasi evakuasi WNI dari Wuhan. Diakui Ngesti, warga syok mendengar kabar tiba-tiba dari pemerintah pusat. Apalagi mereka dibayangi ganasnya virus Corona yang santer diberitakan di televisi. "Warga Natuna menolak. Kami dari Pemda juga tidak ada konfirmasi (dari pemerintah pusat)," kata Ngesti, kepada Batamnews, Sabtu (1/2/2020).
Menurutnya, warga hanya mengetahui dari surat kabar dan video yang beredar. "Tadi malam, mereka mendatangi Kantor DPRD juga ingin menanyakan ke pemerintah pusat yang mengurusi evakuasi tersebut," ujar Ngesti.
Kita turut prihatin dengan perkembangan ini. Yang mereka tolak itu sesungguhnya adalah saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Mereka tak bersalah dan justru sedang membutuhkan dukungan setelah terisolasi lebih kurang dua pekan di Wuhan dan kota-kota lain di Provinsi Hubei, RRT.
Di sisi lain, kegelisahan warga bisa sedikit dipahami. Mereka tak memperoleh informasi yang memadai. Bahkan pemerintahnya juga mengakui.
Di tingkat nasional, kita juga melihat respon soal virus Corona ini disikapi tidak melalui satu pintu melainkan beragam. Sebut saja Menteri Kesehatan angkat bicara. Lalu tak lama Menteri Luar Negeri beri penjelasan pers. Saat warga Natuna meradang, giliran Menko PMK yang sibuk menenangkan. Belum lagi Menteri Perhubungan, Menko Polhukam, bahkan Presiden RI.
Jadi, informasi siapa yang harus didahulukan dan diperhatikan?
𝗞𝗼𝗺𝘂𝗻𝗶𝗸𝗮𝘀𝗶 𝗣𝘂𝗯𝗹𝗶𝗸 𝗦𝗶𝘀𝘁𝗲𝗺𝗮𝘁𝗶𝘀
Penasaran, saya buka lagi buku karya Gerard M. Goldhaber dari State University of New York (at Buffalo) berjudul ”Organizational Communication”. Goldhaber menjelaskan pentingnya komunikasi organisasi, yang didefinisikannya sebagai “…pertukaran pesan dari organisasi kepada audiensnya atau publik.”
Istilah “publik” sendiri dimaknai oleh Edward Robinson sebagai “..𝘢𝘯𝘺 𝘨𝘳𝘰𝘶𝘱 𝘰𝘧 𝘱𝘦𝘰𝘱𝘭𝘦 𝘸𝘩𝘰 𝘩𝘢𝘷𝘦 𝘢 𝘤𝘰𝘮𝘮𝘰𝘯 𝘪𝘯𝘵𝘦𝘳𝘦𝘴𝘵...”
Menurut Goldhaber, komunikasi organisasi dengan publik harus direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis. Dalam Bab 8: Public Organizational Communication, ia menerangkan perbedaan antara komunikasi interpersonal (diadik) dan kelompok kecil dengan komunikasi organisasi publik.
Mengutip pendapat William Brooks dalam tulisannya “Speech Communication”, Ketika seorang individu bicara kepada yang lain (dalam jumlah besar), mereka mengonsentrasikan pesan ke hal-hal yang dimiliki bersama ketimbang bicara soal perbedaan satu dengan lainnya. Tipe komunikasi yang monologik seperti itu biasa dipakai untuk mengirim pesan ke publik.
Kualitas yang membedakan antara komunikasi organisasi publik dari komunikasi diadik dan kelompok kecil, adalah:
1. Komunikasinya berpola 𝘴𝘰𝘶𝘳𝘤𝘦 (𝘴𝘱𝘦𝘢𝘬𝘦𝘳) 𝘰𝘳𝘪𝘦𝘯𝘵𝘦𝘥. Di komunikasi organisasi kelompok kecil dan diadik, hubungan timba-balik antara sumber dan audiensnya terjadi. Sementara dalam komunikasi organisasi publik, yang ditekankan adalah pentingnya peran juru bicara; juru bicara inilah yang mendominasi hubungan.
2. Terlibatnya kelompok penerima komunikasi yang lebih besar. Jika komunikasi diadik melibatkan dua atau tiga orang (interpersonal), dan komunikasi kelompok kecil melibatkan tak lebih dari 5-7 anggota; maka pesan dalam komunikasi organisasi publik dibuat untuk menarik perhatian banyak orang, dari 200 hingga beberapa juta orang. Tak ada batasan yang disepakati mengenai besarnya ukuran publik ini.
3. Interaksi lebih sedikit antara pembicara dan pendengarnya. Harus dicatat, adanya penurunan interaksi merupakan fungsi langsung dari bentuk komunikasi yang terpusat pada pembicara/sumber. Brooks mengatakan, sangat mustahil mengetahui setiap orang secara spesifik sebagai individual karena itu hanya bisa berlaku untuk komuniaksi diadik dan kelompok kecil.
4. Bahasa lebih umum. Dalam komunikasi organisasi publik, pembicara harus menggunakan bahasa dengan gaya lebih umum karena besar (dan heterogennya) audiens. Biasanya pembicara meriset karakter audiens lalu bicara dalam konteks umum untuk audiens dan tidak berusaha mendekati masing-masing kelompok dalam publik dengan bahasa berbeda-beda.
𝗣𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗷𝗮𝗿𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗻𝘁𝗶𝗻𝗴
Hal-hal di atas tampaknya yang masih bolong-bolong dalam komunikasi yang dijalankan Pemerintah. Padahal sebenarnya ada contoh terbaik yang telah dipraktikkan selama ini. Pertama, BNPB. Semua ingat bagaimana informasi terkait bencana apapun, tak peduli skalanya, dikelola secara sangat baik oleh BNPB melalui sosok almarhum Sutopo Purwo Nugroho sebagai juru bicara. Atau isu pemberantasan korupsi oleh KPK dengan jubir mereka Johan Budi SP atau Febri Diansah.
Komunikasi yang diterapkan dalam kasus wabah virus Corona ini di Indonesia juga sebaiknya dikemas dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat awam. Menyiapkan pesan-pesan untuk kelompok target khusus seperti media massa dan kalangan masyarakat yang tinggal di Wuhan dan sekitarnya, misalnya, tentu tak salah. Namun berkonsentrasi untuk pesan-pesan kepada khalayak harus dikawal dengan serius. Pesan-pesannya harus masif dan terus-menerus sehingga mengisi ruang memori publik.
Jika semua dikelola, maka kejadian protes dan rusuh di Natuna tak perlu sampai terjadi. Masyarakat, sebagaimana disebut Goldhaber, sebagai sekelompok orang yang punya ketertarikan atau interest yang sama dengan apa yang tengah terjadi di Indonesia (dalam hal ini soal kesehatan yang menjadi kepentingan bersama) mendapat informasi yang cukup dari sumber yang dikenal dan dipercaya sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang tepat tentang isu yang tengah terjadi.
Pelajaran yang kadang-kadang mahal, tetapi akankah dicermati Pemerintah. Wallahu alam.
(𝘼𝙝𝙢𝙖𝙙 𝙃𝙪𝙨𝙚𝙞𝙣, 𝙥𝙧𝙖𝙠𝙩𝙞𝙨𝙞 𝙠𝙤𝙢𝙪𝙣𝙞𝙠𝙖𝙨𝙞, 𝙥𝙚𝙜𝙞𝙖𝙩 𝙠𝙚𝙢𝙖𝙣𝙪𝙨𝙞𝙖𝙖𝙣) - foto: Antara Foto.
Subscribe to:
Posts (Atom)