Thursday, April 07, 2005

Saatnya Melepas Kepedihan

Selasa lalu, tepat 100 hari pasca bencana tsunami. Air mata belum kering benar, memang. Tetapi hidup harus berlanjut. Di Banda Aceh dan kota-kota lainnya di NAD, hari itu semua orang berkumpul, berzikir, bersimpuh di masjid-masjid dan meunasah, merenungi kembali bagaimana lidah gelombang melibas kehidupan dan masa depan mereka dalam sekejap, membawa lari tanpa permisi orang-orang yang mereka cintai. Selasa lalu, mereka menyapa Tuhan dan berharap Ia memberikan kekuatan untuk semua orang untuk dapat tegak dan berkarya lagi.

Duka memang harus dienyahkan, segera. Namun tetap saja rasa sesak itu masih tinggal. Demikian juga dengan keluarga kami di Medan. Mula-mula, kenangan itu menguak lagi ketika Kak Inur dan Bang Jamil, akhirnya memutuskan untuk menerima semua dengan ikhlas. Bukan berarti sebelumnya mereka tidak ikhlas, bukan. Sejak si bungsu Agi hilang, usaha dan doa tak putus dilakukan seluruh anggota keluarga. Di setiap shalat, aku selalu memanjatkan permohonan, jikalau Allah menakdirkan ia selamat, di manapun ia berada, mudah-mudahan Allah mempertemukan anak ini dengan ayah-ibu dan kakaknya. Sebaliknya, jika Allah berkehendak lain, dan menakdirkan untuk memanggil si bungsu ke haribaan-Nya, maka mudah-mudahan Allah memberi petunjuk, kekuatan, ketabahan, dan kesabaran pada kami, keluarga yang ditinggalkan.

Pekan lalu, datanglah kabar dari adik Bang Jamil di Lhok Nga. Ia bercerita, malam hari sebelumnya ia bermimpi bertemu Agi. Si bungsu tampak sehat, gembira, dan bercahaya. Ketika sang Bibi menanyakan, ke mana saja Agi selama ini dan diajak untuk kembali, keponakanku itu dalam mimpi menjawab, "Agi sudah di surga, Cik (panggilannya buat sang Bibi)." Agi tidak mau kembali, Agi sudah senang di sini." Wahai, betapa gembiranya ia. Ketika bangun, mata sang Bibi sudah basah bersimbah air mata. Demikian juga Kak Inur, Abang, Mama', Teteh dan seluruh keluarga yang kemudian mendengar cerita itu. Adakah ini pertanda dari-Nya? Wallahu 'alam...

Entah kenapa, sesaat sebelum gempa mengguncang Nias dan Medan (malam Senin), sang kakak, Nurul Amalina, 7, juga tiba-tiba teringat akan si adik. Ia jatuh sakit, menangis, dan bertanya, mengapa adik lama sekali ditemukan. Ibunya tak kuasa menjawab, mereka cuma bisa bertangis-tangisan, seraya mengajak Alin Kecil untuk membuka al Quran, dan mengaji bersama. Dan ketika kabar mimpi sang bibi sampai padanya, Alin kembali bertanya, kenapa adik sudah bisa ada di surga. "Padahal, adik kan bandel kalau disuruh sholat," kata sang kakak dengan lugu.

Alin memang kakak yang rajin sholat. Tahukah kalian, selama lima hari ia hilang ketika tsunami melanda, ia tidak kehilangan solat sekali pun. Di tengah pengungsian, di antara ribuan orang yang tak ia kenal, di antara kebingungan karena orang tua dan adiknnya tidak jelas kabar berita, Alin tetap solat, meski tanpa mukena, tanpa wudhu. Ketika ditanya kenapa ia tetap solat, Alin menjawab, "Kata Mama', solat tidak boleh tinggal, nanti berdosa..." Aku yang mendengar cerita itu jadi gundah, antara ingin senyum dan menangis.

Ia juga tampaknya harus mendapat perhatian khusus, karena kini sering marah-marah tidak karuan, setiap orang sekarang menjadi pelampiasannya. "Ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan sukar dikeluarkan," kata Ibunya. Syukurlah, al Quran menjadi obat mujarab, ia selalu patuh dan tenang setiap kali usai mengaji. Sekarang, ia dibelikan sepeda, dan kegembiraannya mulai muncul. Bersama teman-teman barunya, Alin punya hobi baru, berkeliling komplek dengan sepedanya. Akan tetapi, suatu saat, aku merasa perlu untuk menyarankan perlunya memakai jasa psikiater demi menjaga kestabilan jiwanya.

Dan keluargaku akhirnya memutuskan untuk mengadakan pengajian, memanggil anak yatim, dan berkirim doa pada si kecil Agi. Kami menutup satu buku kecil padat, berisi cerita dan sejarah hebat tentang seorang bocah yang cerdas, pendiam, tetapi amat sayang pada ibu, kakak, nenek, dan ayah cut-nya. Seorang bocah yang ketika ditanya cita-citanya, ia menjawab ingin menjadi tentara (mengapa banyak anak Aceh punya cita-cita seperti ini? Ibunya, ketika mendengar cita-cita si anak, dengan arif mengamini lalu menambah komentar, "Asal jadi tentara yang baik ya, Nak...")

Kami menutup buku tentangnya, sekali-kali bukan untuk melupakannya. Bagaimanapun, ia tetap akan tinggal di lubuk hati kami yang paling dalam. Ini saat untuk melepas kesedihan, mengikhlaskannya untuk kembali ke pangkuan Rabbul "Izzati. Aku amat yakin, ia kini sedang bergembira melayang-layang di taman surga, mendoakan tak henti orang tuanya, sedikit dari orang tua terhebat yang pernah aku kenal.

Allahummagh fir lahu, warhamhu, wa'afihi, wa'fu 'anhu... Selamat jalan, Nak.... (ah)

3 comments:

frufundersam said...

semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan ya mas...

loper said...

subhanallah .. semoga anak itu hidup dengan damai disana

Anonymous said...

inna lilahi wa inna ilaihi rojiun. Alfatihah!

-maknyak-
http://serambirumahkita.blogspot.com