Sebelumnya, tak pernah terpikirkan oleh saya untuk bisa mengunjungi Derawan. Letaknya yang jauh di Kalimantan Timur tidak gampang dijangkau angkutan umum. Cara paling cepat tidak lain menggunakan angkutan udara dari Balikpapan menuju Tanjung Redeb, ibukota Kabupaten Berau, yang makan waktu satu jam perjalanan. Lewat darat? Boleh-boleh saja, tetapi butuh waktu 10 kali lipat!
Secara geografis, Kepulauan Derawan berada di semenanjung utara perairan laut Kabupaten Berau. Di kawasan ini, terdapat 31 pulau kecil, tersebar pada tiga kecamatan pesisir yakni Kecamatan Pulau Derawan, Kecamatan Maratua, dan Kecamatan Biduk-biduk. Yang cukup sering dikunjungi di antara puluhan pulau itu adalah Pulau Panjang, Pulau Semama, Pulau Sangalaki, Pulau Kakaban, Pulau Maratua, dan Pulau Derawan sendiri. Ada pula beberapa gosong karang seperti Muaras, Pinaka, Buliulin, Masimbung, dan Tababinga.
Turun dari pesawat ATR-42 milik Trigana Air di Tanjung Redeb, hawa laut sudah terasa. Kota ini tidak terlalu ramai, dan terkesan amat sederhana. Namun tidak susah untuk mencari makanan. Menjelang sore hari, puluhan warung mulai buka, menjajakan berbagai jenis hidangan yang biasa dijumpai di Jakarta, mulai pecel lele, soto lamongan, hingga ayam bakar. Penjualnya juga banyak dari Jawa.
Dari Tanjung Redeb, perjalanan justru baru dimulai. Untuk mencapai Pulau Derawan, orang masih harus menumpang perahu atau kapal. Paling cepat tentu jika memakai boat dengan dua mesin tempel, menyusuri muara Sungai Berau langsung menuju Laut Sulawesi. Total waktu yang diperlukan untuk mencapai Pulau Derawan dengan boat ini adalah 3 jam.
Kami beruntung karena bisa menumpang boat milik The Nature Conservancy, sebuah lembaga swadaya internasional. Di sepanjang perjalanan, cuaca cukup cerah. Musim angin Barat baru saja lewat, sehingga ombak tidak begitu besar. Jika jeli mengamati, sejak bergerak dari sungai di tengah kota tampak benar perubahan karakteristik ekosistem daratan menuju pesisir dan laut. Air sungai yang coklat perlahan-lahan berubah hijau dan akhirnya biru pekat.
Derawan sang Perawan
Tak ada kata yang bisa menggambarkan keindahan Derawan kecuali satu: menakjubkan. Pulau ini tampak tenang dan hening. Semburat merah jingga petang hari membuat pemandangan menjadi sangat eksotis. Dedaunan nyiur melambai-lambai diterpa angin. Perahu-perahu nelayan mengangguk-angguk digoyang riak air laut yang berangsur pasang. Dan, yang bikin semua ternganga, penyu-penyu hijau (Chelonia mydas) dengan santainya melintas di pantai sambil berenang acuh tak acuh. Kalau beruntung, pelancong juga bisa melihat penyu sisik (Erethmochelys fimbriata). Sementara air yang jernih membuat dasar perairan masih jelas terlihat, berikut ikan karang warna-warni yang berenang-renang lincah.
Kepulauan Derawan dikenal dunia sebagai habitat dan tempat bertelur penyu hijau. Penyu ini mencari makan di padang lamun (sea grass) di perairan dangkal Derawan. Yang memprihatinkan, sudah bertahun-tahun telur penyu sebenarnya dilindungi ini terus diambil, sehingga jumlahnya terus menyusut. Dari delapan pulau tempat penyu hijau biasa bertelur, kini jumlahnya tinggal lima pulau.
Nama Derawan sendiri belum banyak didengar orang sebagai tujuan ekowisata, mengingat letaknya yang jauh tersebut. Akan tetapi, wisatawan sudah mencapai daerah ini sejak 12 tahun silam. Biasanya, wisatawan datang dari manca negara, dan sebagian dari mereka adalah peneliti bidang kelautan. Mereka biasanya memilih berenang, snorkeling, dan menyelam (diving). Di malam hari, kegiatan menyelam banyak diminati, karena konon pemandangan bawah laut di kala malam lebih menawarkan sensasi tersendiri.
Saya sendiri sebenarnya berniat ikut menyelam, meski ini kali pertama mencoba penyelaman malam (night diving). Berenam dengan rekan-rekan lain, kami mengambil lokasi penyelaman tak jauh dari pantai. Penyelaman malam membutuhkan lebih banyak konsentrasi, plus perlengkapan tambahan seperti senter. Sayang, saya hanya sempat menyelam hingga kedalaman tiga meteran, sebelum kemudian terkena squeeze akibat perbedaan tekanan udara di dalam dan luar telinga. Sakit sekali rasanya. Meskipun sudah berusaha melakukan penyetaraan (equalizing), rasa sakit tetap mendera. Harus diakui, sudah lama saya tidak menyelam, sehingga kesiapan fisik dan mental tidak prima. Saya batalkan penyelaman dan memilih menunggu rekan-rekan lainnya di atas perahu.
Dari cerita mereka, pemandangan malam hari di bawah laut Derawan memang amat indah. Selain beragam koral dan ikan warna-warni, penyu hijau juga banyak dijumpai tengah beristirahat. “Ada yang sebesar VW Kodok,” kata seorang rekan. Luar biasa. Saya jadi menyesal tidak bisa ambil bagian. Mudah-mudahan lain kali, batin saya menghibur diri. Pulang dari menyelam, kami berkumpul bersama teman-teman lain di penginapan, makan malam sembari berbincang tentang kondisi sumberdaya pesisir dan laut di daerah ini. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dinihari, sebelum akhirnya satu-satu undur diri ke peraduan.
Demo Paus
Esok paginya, kami bertolak lagi menuju Pulau Maratua. Butuh waktu sekitar satu jam untuk mencapai pulau ini dari Derawan. Pelancong suka mampir di Maratua sebelum ke pulau lain seperti Sangalaki. Di Maratua, ada danau air asin yang unik dan hutan bakau yang rimbun. Beberapa warga juga membuat perahu, yang menjadi tontonan tersendiri.
Di berbagai lokasi di Kepulauan Derawan dapat dijumpai ekosistem terumbu karang yang amat indah. Tempat yang biasa menjadi menjadi tujuan penyelaman atau snorkeling biasanya di Pulau Kakaban dan Sangalaki. Terumbu karang Derawan terdiri atas karang tepi, karang penghalang, dan karang atol (berbentuk cincin). Atol di kepulauan ini telah terbentuk menjadi pulau, bahkan ada yang menjadi danau air asin, seperti yang ditemukan di Kakaban dan Maratua. Malah, Kakaban membuat jatuh hati para peneliti dari berbagai penjuru dunia karena adanya danau laut purba di tengah-tengah daratannya. Danau ini konon terbentuk sekitar 190 ribu tahun silam, dengan luas 459 hektar. Kedalamannya ditaksir hingga 11 meter.
Dari Maratua, kami menuju Kakaban yang tak berpenghuni. Pulau ini baru saja ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) oleh pemerintah. Di perjalanan inilah kami bertemu pemandangan luar biasa, yang rasanya tak semua orang beruntung mengalaminya. Di sekitar perairan Kakaban, ratusan ikan besar berenang-renang bergerombol. Menurut salah satu aktivis konservasi yang ikut bersama kami, itu adalah rombongan melon-headed whale (paus kepala melon). Ukurannya mirip dengan lumba-lumba. Mereka berlompatan ke sana ke kemari. Sebagian memilih berenang tenang sambil mencari makanan di sekeliling perairan. Kawasan perairan ini memang menjadi lintasan berbagai jenis Cetacean (ikan paus) dari berbagai tempat. Tak heran, kami menghabiskan waktu setengah jam hanya untuk menyaksikan paus-paus ini beraksi.
Mendekati Kakaban, boat terpaksa lempar sauh agak jauh di tengah, mengingat air masih surut. Untuk menuju danau yang amat aneh di tengah pulau ini, orang harus mendaki bukit yang dengan bantuan tangga-tangga kayu. Banyak di antara tangga kondisinya sudah keropos. Akan tetapi tenaga yang dikeluarkan untuk mendaki itu terbayar begitu melihat danau di sela-sela rimbunan pepohonan. Berada di tepi danau ini serasa berada di suatu tempat di masa silam. Perairannya tenang, sunyi, menimbulkan rasa aneh tersendiri.
Saya mencoba snorkeling di tepian danau air asin ini. Dasar perairannya dipenuhi alga Halimeda, sponges jenis Porifera dan ikan gobi. Dan yang paling terkenal, tidak lain ubur-ubur endemik jenis Cassiopea, yang dengan mudah ditemukan melayang-layang di kolom air, dan beberapa jenis ubur-ubur lainnya.
Keluar dari Kakaban, sebagian rombongan memilih menyelam di titik yang biasa disebut Barracuda Point. Mengacu namanya, di sini penyelam bisa melihat aksi gerombolan ratusan ikan barakuda melakukan gerakan berputar hingga membentuk pusaran vertikal. Tak jarang terlihat pula ikan Napoleon (Napoleon Wrasse), pari, hiu bintik putih (white tip shark), dan lain-lain. Snorkeling di wilayah sini pun cukup memuaskan. Terumbu karang terlihat jelas dari permukaan. Malah, kami bisa melihat rekan-rekan yang tengah menyelam di kedalaman sekitar 5 meter.
Suatu penelitian menunjukkan bahwasanya jumlah terumbu karang yang ditemukan di Derawan mencapai 460 hingga 470 spesies. Adapun ikan karang di kawasan Kepulauan Derawan, termasuk Sangalaki dan Kakaban mencapai 872 spesies. Keanekaragaman hayati Derawan dipercaya cuma kalah oleh kawasan Raja Ampat di Papua. Karena itu, tak heran menyelam menjadi kegiatan yang paling diandalkan. Tiap titik penyelaman kabarnya memberikan tantangan yang berlainan. Saat ini sudah ada tiga perusahaan swasata yang membuka resor penyelaman di Derawan dan sekitarnya.
Bertemu sang Hantu
Puas ber-snorkeling dan menyelam di Kakaban, perjalanan dilanjutkan ke Pulau Sangalaki, yang merupakan Taman Wisata Laut. Di pulau ini terdapat penangkaran penyu untuk konservasi. Perairan di sekitar Sangalaki terkenal subur karena efek mekanisme fisika upwelling (penaikan massa air), sehingga zat hara naik yang mengundang plankton berkumpul. Ikan-ikan pun berkumpul di sana untuk memangsa plankton, seperti Manta atau pari hantu (Manta birostris), Tuna (Thunnus sp.) dan Spannish Mackerel (Scomberomorus spp.). Karena itu, meskipun tidak bisa mendarat di pulau karena air masih surut --khawatir boat kandas—kami justru mengalami sesuatu yang paling heboh hari itu.
Ada belasan, bahkan puluhan ikan besar berenang-renang di permukaan memangsa plankton. Dan saya, seumur hidup, baru kali itu menyaksikan Pari Manta alias Pari Hantu dalam jumlah besar berputar-putar sambil membuka mulutnya, menyaring plankton masuk. Tanpa dikomando, hampir semua yang ada dalam perahu berebutan melompat dari kapal, mencebur ke kedalaman laut untuk melihat dari dekat.
Si Hantu ini ukurannya memang amat besar. Tampangnya menyeramkan, sehingga nama hantu memang cocok buatnya. Ia berenang laksana burung, mengepakkan sirip kanan-kirinya, yang jika dihitung lebarnya bisa mencapai 3 sampai 4 meter lebih. Hebatnya, hewan-hewan ini sama sekali tak terusik dengan kehadiran penyelam atau penggemar snorkeling yang mengikutinya. Malah, penyelam tidak khawatir bila pari ini berenang menuju mereka karena justru si Hantu-lah yang kemudian menyingkir. Sungguh si Hantu nan baik hati!
Di tengah-tengah seliweran belasan Hantu itu, saya memberanikan diri mengikuti salah satu dari mereka. Masya Allah, pari itu berada di atas saya, sehingga tampak detil mulutnya yang membuka dan kepakan siripnya yang begitu lebar. Kalau mungkin, saat itu saya ingin berteriak melampiaskan kesenangan karena bertemu momen seperti itu. Sungguh hewan laut yang luar biasa. Allahu Akbar! Kami menghabiskan waktu sekitar 15 menit bercanda bersama ikan-ikan itu. Seorang wisatawan asing tampak begitu takjub dan matanya berbinar-binar. Begitu naik ke perahu, ia mengacungkan jempolnya dan berujar: ”Incredible...!”
Tak terasa, hari sudah menjelang sore. Kami pun bergegas kembali ke Pulau Derawan, mengisi bahan bakar dan kembali ke Tanjung Redeb. Sepanjang jalan, saya masih terbayang-bayang betapa kayanya negeri ini. Apabila semua itu tak dijaga, dan hanya memperhatikan pembangunan belaka, tanpa memperhatikan kelestarian, maka sang Hantu, barakuda, terumbu karang, hingga makhluk lembut seperti ubur-ubur di kawasan ini bakal tinggal cerita. Semoga tangan-tangan jahil tidak diberi kesempatan merusaknya... (ah)
1 comment:
wah, aku dari dulu pengen banget ke derawan nggak jadi2. padahal aku tinggal di kaltim hampir 11 tahun lho :(
kakaban khan udah masuk world heritage ya.
eh, aku tuh penasaran, kamu kerja di dkp ya mad?
Post a Comment