NIAT mengunjungi "pulau bundar" ini sebenarnya sudah terbetik sejak lama. Kesempatan datang pertama kali sewaktu undangan peresmian daerah perlindungan laut (DPL) berbasis masyarakat di Pulau Sebesi datang, beberapa bulan silam. Sayang, waktu itu saya harus bertugas ke Balikpapan, sehingga peluang ini terlewat.
Lama tertunda, kali ini kesempatan kedua datang. Bersama Dr. Budi Wiryawan dan beberapa rekan, saya bertolak ke pulau tersebut pagi-pagi sekali, sehari setelah selesai acara di Bandar Lampung.
Durian dan Telat
Malam sebelum berangkat, rombongan kami dari Bogor menyempatkan diri menyantap durian yang dijajakan di sekitar kota Bandarlampung. Memang, musimnya sudah lewat, tapi tetap saja jajaran buah lezat tersebut di tepian jalan cukup mengundang selera. Lebih-lebih, beberapa rekan sudah melakukan persiapan yang aduhai. Mereka membawa wadah plastik sendiri untuk menempatkan daging buah durian sehingga bisa dibawa pulang, tanpa harus mengangkut buah utuhnya --yang harumnya cukup bikin mabok. Harganya pun terbilang sudah tak murah lagi. Paling rendah 9000 perak, itu pun harus pintar-pintar memilih. Saya dan beberapa teman lebih memilih mencari durian usai kembali dari pulau. Konon, di sepanjang jalan menuju Pelabuhan Canti, Kalianda, beberapa penduduk menjual durian yang langsung jatuh dari pohon.
Sebagaimana direncanakan, esok paginya kami -siap check out dari Hotel Sheraton Bandarlampung. Ada dua mobil yang kami pakai untuk menuju Pelabuhan Canti, sebagai titik tolak menuju Sebesi. Sedangkan rombongan lain memilih melakukan perjalanan ke Desa Pematang Pasir, Lampung Selatan. Awalnya, niatan kuat beberapa di antara kami adalah menjajal lokasi DPL di Pulau Sebesi untuk diselami (diving). Terumbu karang di sana dilaporkan patut dinikmati. Kebetulan, mayoritas dari kami sudah pernah menyelam. Perlengkapan pun, menurut Irfan, Extension Officer di Pulau Sebesi, bisa disediakan.
Tapi mengingat waktu, dan konon arus yang lumayan serius, membuat niat menyelam surut. Yang terbayang kemudian adalah, kami meninjau Sebesi lalu meneruskan perjalanan ke Kepulauan Krakatau, yang memang berdekatan dengan Sebesi. Alternatif ini tampaknya yang paling diminati.
Sayang, kami bergerak agak lambat. Baru setelah lewat pukul 8 pagi kami meninggalkan kota menuju Pelabuhan Canti di Kalianda. Perjalanan ke sana membutuhkan waktu sekitar satu jam. Untung jalanannya lumayan mulus, baik jalan utama yang biasa dilintasi oleh kendaraan yang menuju Jawa atau sebaliknya menuju Sumatera, maupun jalan dari pertigaan Kalianda menuju Canti.
Petai dan Gagal Diving
Setelah menempuh perjalanan selama lebih kurang satu jam, kami memasuki Pelabuhan Canti. Pelabuhan ini tak besar-besar amat, tapi merupakan tempat yang penting bagi penduduk tersebar dan bermukim di pulau-pulau kecil di Teluk Lampung. Canti menjadi pelabuhan tempat mereka meneruskan perjalanan ke kota untuk berbelanja atau menjual hasil bumi. Bertepatan dengan tibanya kami, sebuah kapal dari Pulau Sebuku baru saja merapat membawa bermacam hasil bumi. Yang paling mencolok adalah puluhan ikat petai yang, ehm, benar-benar mengundang minat. Pasus, rekan saya di kantor, tanpa pikir panjang langsung menawar buah pembangkit selera itu. Murah, seikat petai yang terdiri atas 100 lajur petai dilego seharga Rp 15 ribu.
Samar-samar di kejauhan, tampak bayangan pulau yang menjadi tujuan kami. Kebetulan perahu yang dicarter sudah siap. Namun kabar kurang menggembirakan kami terima dari awak kapal. Mereka menyebut perjalanan menuju Krakatau agak sulit karena arus dan ombak lumayan besar. Laju kapal akan terhambat, apalagi hari sudah menjelang siang. Sedikit saja berpindah ke petang, ombak bisa jadi persoalan serius.
Akhirnya kami sepakat untuk menuju Sebesi saja, dan sisanya, melihat kemungkinan yang tersedia di sana. Kapal mulai melaju menuju Sebesi. Beberapa dari kami lebih memilih duduk di atap kapal karena pemandangan lebih luas dan angin lebih banyak. Cuma, suara mesin yang keluar dari cerobong cukup memekakkan telinga sehingga untuk berbicara kami harus saling teriak.
Kelapa dan Pepes Cumi
Secara geografis, Pulau Sebesi terletak di Teluk Lampung dan merupakan wilayah administratif Desa Tejang Pulau Sebesi, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan. Pulau ini berjarak tepatnya 16 kilometer sebelah Tenggara Pulau Sumatera dengan luas 2620 hektare dan panjang pantai 19,55 kilometer. Desa Tejang terdiri atas 4 dusun yakni Regahan Lada, Segenom, Tejang, dan Gubuk Seng. Terdapat pulau-pulau yang berdekatan dengan Sebesi, baik yang memiliki penghuni maupun tidak seperti Pulau Sebuku, Pulau Umang, dan Pulau Sawo.
Apa yang sebenarnya menarik dari Pulau Sebesi? Sesungguhnya, pulau ini amat potensial karena kaya akan berbagai sumberdaya alam, baik di daratan maupun wilayah pesisir dan lautan, antara lain perkebunan cengkeh, kelapa, hutan, terumbu karang, mangrove, padang lamun (sea grass) dan sebagainya. Letaknya pun cukup dekat dengan kawasan Kepulauan Krakatau, yang sudah terkenal di penjuru dunia sebagai kawasan wisata eksotis.
Banyak wisatawan lokal dan mancanegara tertarik mengunjungi kawasan kepulauan tersebut yang terdiri dari Pulau Sertung, Pulau Anak Krakakatau, Pulau Krakakatau Kecil, dan Pulau Krakatau. Karena dekat dengan Krakatau, Sebesi sering dipakai sebagai tempat persinggahan semalam bagi pelancong yang hendak mengunjungi Krakatau dan sekitarnya. Karena itu pula di Sebesi terdapat sebuah penginapan yang diusahakan oleh perseorangan.
Dari Pelabuhan Canti ini, Pulau Sebesi dan Krakatau sama-sama dapat dicapai dengan waktu tempuh masing-masing sekitar 1 dan 2 jam. Selain itu, pulau ini juga bisa dicapai melalui Cilegon (Banten) dengan menggunakan perahu motor yang biasa mengangkut kelapa atau kopra. Terdapat tiga fasilitas dermaga yang menghubungkan dusun desa dengan daerah luar Sebesi. Ketiga dermaga tersebut terletak masing-masing di desa Inpres, Segenom, dan Regahan Lada. Di dusun Inpres terdapat kantor syahbandar, namun belum aktif sehingga digunakan sebagai pusat informasi pesisir oleh masyarakat setempat.
Sebesi punya bentuk unik; bundar. Dari kejauhan, wujudnya cukup gagah, dengan bukit yang menjulang tinggi, dan tubuh pulau yang tertutupi dengan pohon kelapa menghijau. Buah itu memang banyak terdapat di Sebesi sehingga sering diolah menjadi kopra dan diangkut ke Banten atau Sumatera. Sebagian daratan pulau ini tersusun dari endapan gunung api muda dan merupakan daratan perbukitan. Bukit yang tertinggi di Pulau Sebesi mencapai 884 meter dari permukaan laut berbentuk kerucut yang memiliki tiga puncak.
Selain terdapat pemandangan terumbu karang yang indah, juga terdapat potensi lainnya seperti perikanan, kehutanan, pertanian/perkebunan yang dapat dikembangkan untuk menunjang peningkatan kesejahteraan penduduk setempat. Sebagai contoh, Sebesi terkenal dengan hasil cumi-cuminya. Biasanya, musim tangkap cumi-cumi mulai berlangsung dari bulan November sampai Februari. Ada juga ikan Selar yang banyak terdapat sekitar Juli - Oktober.
Kami tiba pukul 11.00 langsung beristirahat. Rupanya, warga desa, terutama kelompok masyarakat yang selama ini dibina sudah menyiapkan segalanya, termasuk makan siang yang menunya cukup dahsyat. "Pepes cumi-cumi sini cukup dikenal kelezatannya," kata Dr. Budi, berpromosi. Dan ucapannya tidak salah. Menu ikan bakar, pepes cumi, dan lalapan sudah cukup membuat kami semua menambah porsi dengan sendirinya. Belum lagi sajian kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon.
Problem dan Belajar
Penduduk Sebesi berjumlah 471 KK atau 2.015 jiwa. Jumlah ini belum termasuk penduduk tidak tetap yang sebagian besar berprofesi sebagai buruh kelapa. Penduduk Pulau Sebesi pada awal sejarahnya merupakan pendatang yang bekerja sebagai buruh di kebun kelapa milik tuan tanah. Mereka berdatangan sejak tahun 1913. Namun lama kelamaan para buruh tersebut mendapat bagian menanami tanah kosong, yang akhirnya membentuk kelompok yang kemudian menjadi sebuah desa yang dipusatkan di desa Inpres.
Selama ini, masyarakat di wilayah pesisir dan lautan Pulau Sebesi mengalami banyak problem pelik, baik di bidang pendidikan, sosial ekonomi, dan lingkungan. Tingkat pendidikan, misalnya, masih amat rendah. Fasilitas yang ada di Pulau Sebesi baru terbatas Sekolah Dasar Negeri yang terletak di Dusun Inpres, Madrasah Ibtidaiyah di Dusun Segenom, dan program Kejar Paket B (setingkat SMP) di Di Dusun Tejang Inpres.
Taraf ekonomi masyarakat juga masih rendah. Dengan tingkat pendidikan yang terbatas, masyarakat tidak mengerti bagaimana cara mengelola sumberdaya alam dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Apalagi penduduk luar pulau ikut andil melakukan eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut di wilayah Sebesi. Ini ditunjukkan antara lain dengan dengan rusaknya kondisi terumbu karang di sekeliling pulau karena berbagai praktik penangkapan ikan dengan bom dan racun. Walhasil, tangkapan ikan yang nelayan setempat peroleh terus berkurang dari tahun ke tahun.
Mata pencaharian penduduk di sini sebagian besar adalah petani dan nelayan. Nelayan Sebesi terkonsentrasi di Dusun Regahan Lada, Tejang, dan Segenom. Sebagian besar nelayan tersebut merupakann pendatang dari Jawa Barat dan sebagian lagi Bugis. Mereka menangkap ikan dengan cara yang masih tradisional, karena pengetahuan tentang alat tangkap yang lebih maju masih terbatas. Hidup mereka boleh dikatakan amat bergantung pada kemurahan dan kekayaan sumberdayan alam di sekitarnya. Akibatnya, jika sumberdaya itu rusak sedikit saja, maka akan berpengaruh besar terhadap kehidupan mereka.
Masalah yang dihadapi penduduk Pulau Sebesi tampaknya merupakan problem umum yang terjadi pada hampir masyarakat di pulau-pulau kecil di wilayah Indonesia. Cukup ironis juga, mengingat Pulau Sebesi dapat dikatakan tak jauh letaknya dari ibukota propinsi dan negara.
Syukur, dalam upaya mengembalikan kondisi terumbu karang yang telah rusak di Pulau Sebesi, umpamanya, warga bergiat belajar membuat daerah perlindungan laut (DPL) berbasis masyarakat. Merekalah yang mengelola dan mengawasi DPL ini. Selain itu, penduduk mendapat bekal pengetahuan untuk pengelolaan sumberdaya pesisir mereka lewat berbagai penyuluhan, pelatihan, dan kegiatan lainnya.
Daerah Perlindungan Laut atau marine sanctuary sendiri adalah kawasan laut yang ditetapkan dan diatur sebagai daerah “larang ambil”. Secara permanen, kawasan ini tertutup untuk berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat ekstraktif/pengambilan. Cara ini diyakini efektif dalam mengurangi kerusakan ekosistem pesisir yaitu dengan melindungi habitat penting di wilayah pesisir, khususnya ekosistem terumbu karang. Selain itu DPL juga penting bagi masyarakat setempat sebagai salah satu cara meningkatkan produksi perikanan (terutama ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang), memperoleh pendapatan tambahan melalui kegiatan penyelaman wisata bahari, dan pemberdayaan masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya mereka.
Masyarakat desa menegakkan sebuah aturan yang mesti dipatuhi bersama. Aturan itu disusun bersama oleh masyarakat dengan tujuan melindungi terumbu karang yang ada dalam wilayah DPL. Mereka pun membentuk kelompok yang berfungsi mengelola DPL. Untuk berjaga-jaga, mereka berusaha melakukan penangkapan terhadap nelayan perusak yang melakukan aktifitas merusak seperti membom , bius, trawl, dan lain-lain.
Snorkeling dan Kram
Usai bersantap, kami bertolak menuju Dusun Regahan Lada. Kendaraannya adalah ojek, yang harus berliku-liku menyusuri jalan setapak dan semak belukar. Hanya ada satu lajur jalan yang lumayan bagus, meski tetap berdebu, yang melintasi kantor kepala desa.
Pantai di Regahan Lada lumayan indah, berpasir putih. Tahu-tahu saja, muncul lagi tawaran untuk melakuka snorkeling (berenang di permukaan dengan menggunakan masker/snorkel) di DPL yang selama ini sudah dibentuk dan dikelola oleh masyarakat. Kebetulan, terdapat dua perahu klotok milik badan pengelola yang bisa dimanfaatkan. Repotnya, karena tak mengira harus berbasah-basah, saya tidak membawa salinan baju sama sekali. Tapi tawaran ini rasanya sulit ditolak.
Akhirnya, kami berlima, termasuk Dr. Budi Wiryawan, naik ke perahu dan menuju DPL di kawasan Sianas. Tak jauh, sekitar 5 menit dari pantai. Dari penelitian yang dilakukan sebelumnya, diketahu bahwa sepanjang pantai Sebesi ditumbuhi terumbu karang yang indah dan menarik hati. Terumbu karang ini dapat ditemukan sampai kedalaman 10 meter dari permukaan laut.
Luas areal terumbu karang itu total mencapai 58,8 hektare, yang terdiri dari tutupan karang hidup seluas 31,6 hektare, dan sisanya 27,3 hektare berupa karang mati (pecahan karang). Lokasi DPL sendiri ada di 4 kawasan dengan luas kurang lebih 20 hektare, masing-masing di Sianas, Pulau Sawo, Pulau Umang, dan Kayu Duri.
Perairannya cukup jernih. Malah pandangan tanpa bantuan apapun bisa menembus ke bawah. Karangnya cukup rapat dan warna-warni, bagus sekali. Hanya saja, jumlah ikan kelihatan tak terlalu berlimpah. Begitupun, pemandangan ini cukup spektakuler.
Saya turun dari perahu dan langsung melakukan satu putaran sambil melihat-lihat situasi. Karang-karangnya cukup bagus dan dalam kondisi baik. Di sana-sini, ikan Kakaktua (Scarus sp) tampak bersliweran. Ikan jenis ini memang merupakan langganan penghuni terumbu karang. Ikan giru (clown fish, Amphiprion sp) juga banyak terlihat. Indra, rekan saya lainnya yang ikut ber-snorkeling, menunjuk ke satu titik dan berkata, "Platax!". Rupanya ia menemukan Platax sp atau ikan bendera, yang bentuknya sekilas mirip bawal, dengan tubuh pipih dan badan berwarna kuning.
Sekali-sekali, saya melakukan skin diving, yakni masuk ke dalam air dengan tegak lurus dan menyelam mendekati terumbu, untuk menikmati dari dekat pemandangan yang luar biasa ini. Meskipun sensasinya kalah dibandingkan menyelam, snorkeling di kawasan DPL ini cukup menghibur dan memuaskan saya.
Melihat kekayaan alam yang sedemikian bagus, didukung dengan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, sesungguhnya potensi sumberdaya alam yang terdapat di pulau ini dapat dikembangkan/dikelola sebagai obyek wisata yang cukup menarik. Khususnya untuk kawasan wilayah pesisir atau pulau kecil di Propinsi Lampung, ia menjadi sarana untuk dapat menenunjang PAD (Pendapatan Asli Daerah). Imbas positifnya akan mengena kepada peningkatan taraf hidup rakyat, yang dapat mengambil keuntungan dari kegiatan pariwisata (ekoturisme) yang dijalankan. Entah kapan ini dapat diwujudkan.
Seperti biasa, saya kena kram dan harus bersusah payah menaiki perahu yang bodinya cukup sempit. Arus di perairan tersebut sore itu lumayan membuat kami harus rajin mengayuh fin agar tidak terdorong ke arah yang tak dikehendaki. Setelah sekitar 1 jam menjelajahi kawasan tersebut, kami memutuskan pulang.
Pulang dan Masuk Angin
Resiko pertama yang harus saya hadapi setelah snorkeling adalah, menahan dingin karena tak punya pakaian pengganti. Setelah mandi, baju kaos yang saya gunakan untuk snorkeling harus saya kenakan kembali, demikian juga dengan celana panjang yang basah kuyup. Kami kembali menuju Canti pukul 4 sore. Saya baru dapat bertukar pakaian kering dalam perjalanan menuju Bakauheni. Akibatnya, dapat ditebak, masuk angin! Kepala pusing dan badan meriang. Untung, setelah mengisi perut, plus jamu anti masuk angin, kondisi saya lumayan pulih.
Bagaimanapun, saya beruntung bisa melihat Pulau Sebesi dengan segenap potensi, kondisi, dan problem yang dihadapinya. Agaknya, ini merupakan kondisi dan problem umum yang dihadapi masyarakat pulau-pulau kecil di Nusantara. Sebuah pekerjaan rumah buat kita semua, yang konon punya nenek moyang para pelaut.... (ah)
No comments:
Post a Comment