Wednesday, August 02, 2006

Kisah Buku (I): Dari Masyarakat Industri ke Masyarakat Informasi

Istilah buku dapat dilihat dari sudut pandang fisik dan fungsional (Encyclopedia Americana Vol. 4/1998: halaman 220). Secara fisik, setiap objek dapat disebut buku jika ia merupakan kumpulan lembaran yang dijilid di satu sisinya dan diberi sampul muka-belakang --sebagai “cover” untuk membuatnya lebih tahan lama. Dalam definisi ini, textbook, novel, Quran dan Bible termasuk dalam kategori buku, sebagaimana juga buku catatan dan buku cek. Jika digunakan secara historis, definisi ini tidak mencakup beberapa cetakan penting yang sebenarnya masuk dalam istilah buku.

Sedangkan secara fungsional, buku kurang lebih didefinisikan sebagai suatu kumpulan bentuk komunikasi grafis yang isinya dibagi-bagi ke dalam beberapa unit dengan tujuan agar tampil sistematik dan menjaga isinya tetap terpelihara dalam waktu lama. Dalam elemen pemeliharaan ini, aspek ‘rekaman’ dari pengalaman, observasi, dan ekspresi kreatif merupakan hal yang membedakan buku dari ragam komunikasi lainnya.

Medium cetak seperti buku sesungguhnya telah mulai ada sejak dahulu kala, meskipun kertas belum lagi ditemukan. Straubhaar dan LaRose (2004), misalnya, menyebutkan tentang karya puisi Illiad dari Yunani pada tahun 800 Sebelum Masehi (S.M.) atau Tale of Genji dari Jepang (abad ke-11 Masehi, ditulis oleh Murasaki Shikibu).

Awal pengembangan tulisan, kertas, dan barang cetakan terjadi di Timur Tengah dan Cina. Orang Cina, misalnya, sudah dapat membuat kertas dari rags (potongan-potongan kain) pada tahun 105 S.M., hingga akhirnya memakai cetakan blok kayu dan lempung yang dapat digerakkan. Orang Korea malah menemukan cetakan logam yang dapat digerakkan (movable metal type) pada tahun 1234.
Kertas menjadi populer di dunia Barat lewat perantara pedagang-pedagang Arab. Proses pencetakan (buku) sudah mulai dikenal, terutama untuk buku-buku agama (kitab suci) dan yang terkait dengan ilmu pengetahuan. Peruntukannya pun terbatas bagi kalangan agamawan, ilmuwan, dan bangsawan. Kemajuan besar-besaran terjadi setelah ditemukannya mesin cetak oleh Johann Gensfleich, atau yang lebih dikenal Johannes Guttenberg di Mainz, Jerman, pada tahun 1445, yang memproduksi Bible. Di Amerika, tercatat ada Bay Psalm Book yang dicetak tahun 1640.

Masyarakat Industri

Menurut Straubhaar dan LaRose (2004), Masyarakat Industri mengacu pada terjadinya Revolusi Industri, yang umumnya dikaitkan dengan penemuan mesin uap. Namun sesungguhnya, pemicu penting menuju era industri tersebut dimulai dengan penemuan di bidang komunikasi, yakni publikasi Bible yang diproduksi dengan mesin cetak pengembangan dari Johannes Guttenberg (1455). Mesin cetak ini merupakan yang pertama kalinya di Eropa yang menggunakan cetak logam yang dapat digerakkan (movable metal type). Penemuan ini secara dramatis meningkatkan kecepatan produksi buku dan mengurangi waktu yang digunakan seperti pada produksi buku sebelumnya (hand-copied book). Jenis hand-copied book ini lama-kelamaan digantikan dengan buku cetakan dengan harga lebih murah dan bersifat massal. Target pembacanya juga makin meluas seiring dengan makin beragamnya jenis buku yang ditulis dan ditawarkan.

Masyarakat Industri dicirikan oleh beberapa hal:

  • Meluasnya produksi massa barang-barang industri dengan menggunakan mesin, yang terpusat di kota-kota besar
  • Migrasi massal dari pedesaan ke kota-kota (urbanisasi)
  • Peralihan dari pekerjaan sektor pertanian kepada pekerjaan di sektor pabrik.
  • Jumlah penduduk kota yang melek huruf seiring kebutuhan bidang pekerjaan yang lebih komplek
  • Munculnya surat kabar untuk kaum urban sebagai sarana untuk mengiklankan produk-produk baru industri
  • Penemuan teknologi baru seperti film, radio, dan televisi sebagai hiburan kaum urban.

Perkembangan Buku dalam Masyarakat Industri

Hingga abad ke-19, buku masih belum dianggap sebagai media untuk massa, karena dibeli dan dibaca terbatas oleh orang-orang yang tingkat pendidikannya lebih tinggi (Potter, 2001). Revolusi industri dan perkembangannya yang terjadi mulai abad ke-18 merupakan penyebab perubahan besar bagi masyarakat dalam hal memperoleh dan mengakses media cetak yang sebelumnya terbatas tersebut. Urbanisasi meningkat pesat. Sebagai contoh di Inggris, pada awal abad ke-19, sekitar 30% warga Inggris hidup di kota, dan 21% di kota yang berpenduduk lebih dari 10.000 jiwa. Pada akhir abad ke-19, 80% dari populasi telah terurbanisasi, dan ada 74 kota dengan populasi lebih dari 50.000 jiwa. Terjadi penurunan 40% jumlah kaum pekerja pria di desa antara tahun 1861-1901 karena beralih ke pekerjaan pabrik di kota-kota. (lihat artikel Caroline Davis: Publishing in an Industrial Age. Oxford Brookes University (http://apm.brookes.ac.uk/ publishing/contexts/industry/content.htm).

Secara perlahan, kelas pekerja mulai berkesempatan mengakses medium cetak sejalan dengan perbaikan pendidikan sekolah dan pendidikan orang dewasa. Juga dengan mulainya berdiri perpustakaan, penyediaan material cetak untuk keagamaan, dan buku-buku murah. Pada masa itu, teknologi industri percetakan makin maju sehingga proses komposisi, percetakan, dan produksi kertas telah berlangsung secara mekanis. Ini berarti memungkinkan dilakukannya produksi secara massal sehingga harga produksi dapat menjadi lebih rendah.

Apalagi dengan ditemukannya proses cetak litografi[2] yang diperkenalkan Alois Snefelder, yang makin mempercepat proses percetakan. Juga ditemukannya mesin cetak kecepatan tinggi (highspeed machine) oleh Friedrich König, kemudian mesin penyusun (composing machine).

Dengan turunnya ongkos percetakan, maka harga jual dapat ditekan menjadi lebih murah. Perluasan khalayak pembaca ini terjadi di Inggris dan Amerika serta Eropa pada umumnya. Di Inggris, pada tahun 1800-1850, ada 95 judul buku yang dipublikasikan tiap tahun. Pada awal abad 20, jumlah ini melonjak berlipat ganda hingga mencapai 600 judul buku per tahun. Upah pekerja yang meningkat membuat penerbit berinisiatif mengeluarkan paperback book (buku murah). Minat baca yang makin tinggi juga menjadi salah satu faktor. Masih di Inggris, perluasan ini dipengaruhi pula oleh meningkatnya pembangunan sarana transportasi seperti kereta api. Pada tahun 1800, dibangun rel kereta api sepanjang 200 mil, meningkat menjadi 6000 mil 30 tahun berikutnya, dan terus berlanjut selama dua dekade berikutnya. Untuk memenuhi kebutuhan membaca ini, didirikan Routledge’s Railway Library, sebagai perpustakaan pertama di atas kereta, yang volume buku koleksinya mencapai 1000 buah.

Pada akhir abad ke-19, didirikan beberapa asosiasi terkait dengan penerbitan buku. Pertama adalah asosiasi perdagangan buku yang berfungsi sebagai kelompok lobby ekonomi dan politik. Selain itu, dibentuk Masyarakat Penulis (The Society of Authors) oleh Walter Besant tahun 1883, yang secara khusus mengajak sesama penulis lebih memedulikan soal hak cipta. Mereka menerbitkan jurnal The Author pada tahun 1890. Dalam kurun waktu sama, berdiri pula Asosiasi Penjual Buku Inggris Raya (The Associated Booksellers) tahun 1895. Mereka berupaya mendekati penerbit dalam rangka memperoleh harga buku dan diskon semenarik mungkin. Jumlah anggota asosiasi yang awalnya 178 terus bertambah hingga mencapai 1150 sekitar empat puluh tahun kemudian (tahun 1934).

Perkembangan industri buku ini sempat terhambat dengan terjadinya Perang Dunia I (1914-1918) akibat kekurangan pasokan kertas dan hilangnya banyak pekerja karena harus berperang. Harga buku meroket kembali. Untuk mengatasinya. Penerbit banyak menggunakan tenaga kaum perempuan. Di perusahaan Ward and Locke, misalnya, jumlah pekerja perempuan meningkat dari hanya satu menjadi 60 orang saat perang[3]

Sementara itu di Amerika Serikat (AS), perluasan buku ke kelas pekerja baru terjadi pada pertengahan abad 20. Alasannya sama, yakni dengan meningkatnya kebutuhan untuk menikmati masa santai yang diisi dengan kegiatan membaca (Rivers, et al., 2003).

Sampai pada akhir abad 19, buku-buku yang beredar di AS diimpor dari Inggris. Ketika ketersediaan kertas makin murah karena percetakan mulai menjamur, buku-buku pun tidak lagi sebatas yang dijilid mewah penuh hiasan serta dijual terbatas untuk kalangan tertentu, melainkan lebih meluas. Buku-buku impor, terutama novel-novel dari Inggris, disalin dan dicetak kembali, yang kadang dijual sebagai suplemen koran.

Secara berangsur, terbentuklah pasar untuk buku, meskipun terbatas untuk buku-buku murah seharga 10 sen. Meskipun hanya salinan dari buku asli, ini sudah cukup untuk memuaskan keinginan membaca banyak orang. Saat itu hak cipta belum terlalu dipentingkan sehingga penerbit AS lebih suka mencetak ulang buku Inggris tanpa membayar royalti, ketimbang mereka mencetak buku baru dengan membayar penulis Amerika. Karena cara ini murah, maka buku-buku Inggris pun beredar cukup banyak, lebih banyak dari buku aslinya di Inggris sendiri.

Penyebaran buku murah secara massal baru mulai terjadi di tahun 1939, ketika tiga penerbit membentuk pocket book yang khusus menyediakan buku-buku ukuran saku dengan format sederhana dan murah (hanya 25 sen). Peminat buku ini ternyata banyak sehingga para penerbit lainnya pun turut membuat buku ukuran saku yang memang mudah dijual di kedai koran, supermarket, stasiun kereta api dan pusat-pusat keramaian lainnya. Dalam 25 tahun pertama keberadaannya, pocket book menerbitkan 3000 judul yang terjual sebanyak satu miliar buku. Ini revolusi pertama.

Revolusi kedua dalam perbukuan AS terjadi pada tahun 1950-an dengan munculnya buku dengan sampul kertas biasa yang murah namun bermutu (paperbacks). Buku ini sedikit lebih mahal daripada edisi sederhana terdahulu, namun memikat minat kalangan terpelajar sehingga ikut mendorong popularitas buku di AS.


Masyarakat Informasi

Masyarakat Informasi, menurut Straubhaar dan LaRose (2004) dicirikan dengan:

  • Pertukaran informasi menjadi kegiatan yang dominan
  • Pekerjaan di bidang informasi menjadi lebih dominan dibandingkan masa pra-pertanian, pertanian, dan industri
  • Komputer hadir sebagai medium dominan yang berguna untuk menciptakan, menyimpan, dan memproses informasi.

Di Amerika Serikat, perubahan dari dominasi pekerjaan di bidang industri ke bidang informasi terjadi tahun 1960. Secara relatif, baru sedikit negara di dunia yang telah mengalami hal serupa, yakni transisi dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi.

Buku dalam Masyarakat Informasi

Pasca Perang Dunia II, cetak offset diperkenalkan dan menghasilkan cetakan lebih cepat, lebih baik kualitasnya, dan ekonomis. Ketika teknologi digital[4] diperkenalkan dan komputer makin memasyarakat, kegiatan type-setting dan lay out yang sebelumnya dilakukan manual atau dengan mesin, kini dapat dengan cepat dilakukan lewat komputer.

Termasuk membuat plat film siap cetak langsung dari komputer. Mesin fotokopi ditemukan dan amat berguna menggantikan mesin cetak offset, khususnya untuk keperluan dalam jumlah kecil. Hal sama berlaku dengan dikembangkannya teknologi cetak laser (laser printer), dikombinasikan dengan pengerjaan halaman cetakan dengan program tertentu di komputer, yang kemudian populer disebut dengan desktop publishing.

Teknologi cetak yang lazim dilakukan untuk hampir seluruh buku dan majalah saat ini adalah Computer to File (CTF), yang halaman per halaman data digital dikonversi menjadi lembar film. Kemudian dibuat plat-nya sebagai acuan cetak. Yang paling mutakhir adalah teknik CTP (Computer to Plate), yakni proses pembuatan image (citra/gambar) pada plat tanpa menggunakan proses pembuatan film fotografi. Citra atau gambar langsung dicetak pada plat langsung dari file komputer. Dengan ini, satu proses yaitu pembuatan film dapat dipotong sehingga mempersingkat waktu pencetakan[5].

Di tahun 1990-an, percetakan digital mulai dikenal, berawal dari diperkenalkannya DocuTech oleh perusahaan Xerox[6]. Mesin ini mirip seperti “mesin fotokopi raksasa”. Tak seperti alat cetak lain yang memerlukan plat, tinta, film, dan sebagainya yang konvensional, mesin cetak DocuTech langsung terhubung dengan monitor komputer sebagai pengontrolnya. Data dapat dikirim dari mana saja, lantas diolah dan diproses oleh seorang operator khusus, kemudian langsung dicetak.

Buku tidak lagi sekadar diterbitkan dalam bentuk cetak, melainkan juga dalam bentuk e-book (electronic book), seiring dengan makin populernya internet. E-book merupakan buku yang ditampilkan pada layar perangkat elektronik khusus (Potter, 2001). Namun e-book dapat juga berupa dokumen buku yang ditampilkan di suatu situs web dalam WWW (world wide web). E-book diperkenalkan pertama kali tahun 1998. Saat itu, perangkat khusus untuk membaca e-book ini hanya terjual kurang dari 10.000 buah. Hingga tahun 1999, telah ada 1500 cerita fiksi dan nonfiksi yang dibuat dalam bentuk e-book.

Dengan e-book dan e-publishing, biaya cetak dapat dikurangi, bahkan dalam kasus di atas dapat didistribusikan secara gratis. Buku ini juga tidak memerlukan tempat penyimpanan yang luas. Pengguna dapat menyimpannya di hard disk komputer. Hanya saja, jika nantinya e-book diluncurkan dengan harga tertentu, kekhawatiran muncul mengenai hak cipta, karena file dapat dikopi tanpa izin. Hal ini masih menjadi perdebatan hingga kini.

Ada pula yang disebut Print on Demand (POD), yang dapat membuat buku setebal 300 halaman dan dijilid rapi dalam waktu setengah jam setelah data digital buku termasuk dimasukkan. POD muncul merupakan tren cetak sesuai permintaan, yakni mencetak buku dalam jumlah sedikit. Ini dimungkinkan dengan majunya teknologi printer, yang minimal menghasilkan tulisan dengan resolusi 600 dot per inch (dpi). Penerbit merasa lebih aman dengan cara ini, karena tidak harus mencetak banyak dengan resiko tidak terjual. Sebagai contoh, di Amerika tingkat retur buku mencapai 40%. Cara ini juga lebih bersifat personalisasi, yang memanjakan calon pembeli[7].

Ekonomi Buku dan Majalah

Terbitnya buku sampul sederhana (paperback) pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 menjadikan buku dapat dicetak massal dan dan murah. Di Amerika, muncul buku-buku yang sangat laris seperti In the Cold Blood yang memberi penulisnya, Truman Capote, imbalan sebesar US$ 500.000, atau The Source yang memberi pembayaran US$ 700.000 kepada James Michener. Buku-buku yang masuk ke klub-klub baca dijamin memperoleh imbalan minimal sebesar US$ 75.000. Penulis akan makin kaya jika bukunya difilmkan. Bisnis buku pun berkembang pesat, Reynolds mengatakan, “penerbitan menjadi bisnis yang sangat menggiurkan.” (Rivers et al., 2003).

Buku yang sejak era industri mulai terpopulariasi sekaligus makin mengikuti selera pembacanya, terus bersaing dengan media massa lainnya untuk menjangkau pembeli. Industri buku di masa kini beradaptasi menjadi semakin berorientasi pada niche (ceruk) atau segmentasi khusus, yang tiap niche menawarkan jens buku yang berbeda, untuk konsumen yang berbeda pula (Potter, 2001).

Masih menurut Potter (2001), kini ada sekitar 3000 penerbit buku di AS, memproduksi sekitar 65.000 judul setiap tahun (sekitar 2 juta eksemplar). Tiap tahun, sepertiga judul merupakan jenis publikasi massa, 24% adalah jenis trade book, 20% textbook, 10% club edition. Sisanya adalah buku-buku agama, profesional, dan buku khusus[8]. Segmentasi terbesar ada pada buku tradebook dewasa, termasuk di dalamnya fiksi umum dan nonfiksi, buku advis, dan buku manual praktis (how to). Jenis buku seperti ini kebanyakan ada di toko buku di mal-mal.

Sampai tahun 1960, tiap jenis media (termasuk buku) belum banyak mencoba menggabungkan beberapa jenis media sekaligus. Dewasa ini , cakupan, gaya, dan substansi kepemilikan media sudah berubah. Banyak bisnis komunikasi yang berkembang dan meluas ke bidang-bidang lain sehingga membentuk konglomerasi besar. Esquire Inc., misalnya, adalah penerbitan majalah, namun perusahaan lain yang dikuasainya seperti Wide-Light Corp., Rig-a-Lit Inc., White Night Company dan sebagainya, bergerak di bidang yang sama sekali berbeda, yakni mulai jasa kelistrikan, tata lampu, dan sebagainya.

Terjadi merger (konsolidasi), salah satu alasannya adalah desakan untuk memperluas dukungan keuangan. Sebagai contoh, penerbitan majalah jarang mendatangkan keuntungan luar biasa sehingga pemiliknya akan berusaha mencari sumber pendapatan lain, termasuk menerbitkan buku. Alasan kedua adalah memanfaatkan pasar pendidikan yang terus berkjembang. Banyak penerbit kemudian tertarik mencetak buku-buku pelajaran atau teks, memproduksi alat-alat pengajaran, dan sebagainya untuk TK hingga universitas. Alasan ketiga adalah revolusi teknologi yang mengaburkan perbedaan antara berbagai jenis media.

Kini banyak perusahaan media cetak yang bergandengan dengan perusahaan media elektronik. Time Inc. dengan General Electric, atau RCA dengan Random House dan Harcourt, Brace, Jovanovich. Time membeli saham perusahaan film MGM senilai US$ 17,7 juta tahun 1967 atas dasar sebuah laporan yang berjudul Information Technology: An Overview of the 70s. Time Inc. tertarik bukan saja karena MGM adalah sebuah perusahaan film, melainkan juga karena MGM telah mendiversifikasikan produknya mulai dari program acara televisi, rekaman musik, dan sebagainya. Kecenderungan ini, di lain pihak, meresahkan pengawas dari FCC (Federal Communication Commission), Amerika.

Kehadiran internet juga membuat buku harus menyesuaikan diri. Penjualan buku via internet dilakukan pertama kali oleh Amazon.com (Taryadi, 1999), yang dengan efektif menjajakan dari penerbit kepada konsumen tanpa menyimpannya dalam gudang.

****

[1] Editor Tamu INSANI Monthly Islamic Digest (2002-2005), penikmat amatir beragam jenis buku

[2] Litografi berasal dari kata Yunani: lithos=batu, graphein=menulis. Litografi adalah proses cetak secara langsung dengan menggunakan permukaan yang rata, memanfaatkan prinsip saling tolak antara air dan lemak. Untuk mencetak, maka gambar-gambar dan teks harus dituliskan secara terbalik (dari belakang ke muka). Lihat Scheder (1977) : Perihal Cetak-Mencetak, juga http://www.kertasgrafis.com.

[3] Disebutkan dalam artikel Caroline Davis: Early 20th Century Publishing. Oxford Brookes University (http://apm.brookes.ac.uk/ publishing/contexts/20thcent/content.htm

[4] Straubhaar dan LaRose (2004) mengartikan digital sebagai computer readable (mampu dibaca oleh komputer)

[5] Tentang CTP ini dapat dilihat pada situs Kertas Grafis (http://www.kertasgrafis.com); juga Straubhaar dan LaRose (2004) halaman 75.

[6] History; Getting Ready to Speak Digital Esperanto (http://www.dotprint.com)

[7] Dipaparkan oleh Putut Widjanarko dalam Rubrik Selisik (http://www.mizan.com)

[8] Trade book adalah buku dengan sampul keras atau lunak, kebanyakan jenis nonfiksi, dan ada pula jenis fiksi serius. Professional book: buku referensi untuk pendidikan professional seperti buat dokter, pengacara, ilmuwan, manajer, insiinyur, dan lain-lain. Club edition: klub yang mempublikasikan, menjual, dan mendistribusikan buku edisi mereka sendiri ataupun massal, buku professional, dan buku khusus lainnya (Straubhaar dan LaRose, 2004).

3 comments:

Anonymous said...

bagus, sangat bermanfaat articlenya...
apa POD dijakarta sudah ada?
mencoba google tidak ketemu infonya...
jika ada, bolehlah diberitahu..
makasih

Anonymous said...

Good, rare article. Insightful and informative.

The Well Do Well said...

thanks artikelnya karena artikel ini saya bisa ngerjain tugas saya di ssekolah.