Sebelumnya, tak pernah terpikirkan oleh saya untuk bisa mengunjungi Derawan. Letaknya yang jauh di Kalimantan Timur tidak gampang dijangkau angkutan umum. Cara paling cepat tidak lain menggunakan angkutan udara dari Balikpapan menuju Tanjung Redeb, ibukota Kabupaten Berau, yang makan waktu satu jam perjalanan. Lewat darat? Boleh-boleh saja, tetapi butuh waktu 10 kali lipat!
Secara geografis, Kepulauan Derawan berada di semenanjung utara perairan laut Kabupaten Berau. Di kawasan ini, terdapat 31 pulau kecil, tersebar pada tiga kecamatan pesisir yakni Kecamatan Pulau Derawan, Kecamatan Maratua, dan Kecamatan Biduk-biduk. Yang cukup sering dikunjungi di antara puluhan pulau itu adalah Pulau Panjang, Pulau Semama, Pulau Sangalaki, Pulau Kakaban, Pulau Maratua, dan Pulau Derawan sendiri. Ada pula beberapa gosong karang seperti Muaras, Pinaka, Buliulin, Masimbung, dan Tababinga.
Turun dari pesawat ATR-42 milik Trigana Air di Tanjung Redeb, hawa laut sudah terasa. Kota ini tidak terlalu ramai, dan terkesan amat sederhana. Namun tidak susah untuk mencari makanan. Menjelang sore hari, puluhan warung mulai buka, menjajakan berbagai jenis hidangan yang biasa dijumpai di Jakarta, mulai pecel lele, soto lamongan, hingga ayam bakar. Penjualnya juga banyak dari Jawa.
Dari Tanjung Redeb, perjalanan justru baru dimulai. Untuk mencapai Pulau Derawan, orang masih harus menumpang perahu atau kapal. Paling cepat tentu jika memakai boat dengan dua mesin tempel, menyusuri muara Sungai Berau langsung menuju Laut Sulawesi. Total waktu yang diperlukan untuk mencapai Pulau Derawan dengan boat ini adalah 3 jam.
Kami beruntung karena bisa menumpang boat milik The Nature Conservancy, sebuah lembaga swadaya internasional. Di sepanjang perjalanan, cuaca cukup cerah. Musim angin Barat baru saja lewat, sehingga ombak tidak begitu besar. Jika jeli mengamati, sejak bergerak dari sungai di tengah kota tampak benar perubahan karakteristik ekosistem daratan menuju pesisir dan laut. Air sungai yang coklat perlahan-lahan berubah hijau dan akhirnya biru pekat.
Derawan sang Perawan
Tak ada kata yang bisa menggambarkan keindahan Derawan kecuali satu: menakjubkan. Pulau ini tampak tenang dan hening. Semburat merah jingga petang hari membuat pemandangan menjadi sangat eksotis. Dedaunan nyiur melambai-lambai diterpa angin. Perahu-perahu nelayan mengangguk-angguk digoyang riak air laut yang berangsur pasang. Dan, yang bikin semua ternganga, penyu-penyu hijau (Chelonia mydas) dengan santainya melintas di pantai sambil berenang acuh tak acuh. Kalau beruntung, pelancong juga bisa melihat penyu sisik (Erethmochelys fimbriata). Sementara air yang jernih membuat dasar perairan masih jelas terlihat, berikut ikan karang warna-warni yang berenang-renang lincah.
Kepulauan Derawan dikenal dunia sebagai habitat dan tempat bertelur penyu hijau. Penyu ini mencari makan di padang lamun (sea grass) di perairan dangkal Derawan. Yang memprihatinkan, sudah bertahun-tahun telur penyu sebenarnya dilindungi ini terus diambil, sehingga jumlahnya terus menyusut. Dari delapan pulau tempat penyu hijau biasa bertelur, kini jumlahnya tinggal lima pulau.
Nama Derawan sendiri belum banyak didengar orang sebagai tujuan ekowisata, mengingat letaknya yang jauh tersebut. Akan tetapi, wisatawan sudah mencapai daerah ini sejak 12 tahun silam. Biasanya, wisatawan datang dari manca negara, dan sebagian dari mereka adalah peneliti bidang kelautan. Mereka biasanya memilih berenang, snorkeling, dan menyelam (diving). Di malam hari, kegiatan menyelam banyak diminati, karena konon pemandangan bawah laut di kala malam lebih menawarkan sensasi tersendiri.
Saya sendiri sebenarnya berniat ikut menyelam, meski ini kali pertama mencoba penyelaman malam (night diving). Berenam dengan rekan-rekan lain, kami mengambil lokasi penyelaman tak jauh dari pantai. Penyelaman malam membutuhkan lebih banyak konsentrasi, plus perlengkapan tambahan seperti senter. Sayang, saya hanya sempat menyelam hingga kedalaman tiga meteran, sebelum kemudian terkena squeeze akibat perbedaan tekanan udara di dalam dan luar telinga. Sakit sekali rasanya. Meskipun sudah berusaha melakukan penyetaraan (equalizing), rasa sakit tetap mendera. Harus diakui, sudah lama saya tidak menyelam, sehingga kesiapan fisik dan mental tidak prima. Saya batalkan penyelaman dan memilih menunggu rekan-rekan lainnya di atas perahu.
Dari cerita mereka, pemandangan malam hari di bawah laut Derawan memang amat indah. Selain beragam koral dan ikan warna-warni, penyu hijau juga banyak dijumpai tengah beristirahat. “Ada yang sebesar VW Kodok,” kata seorang rekan. Luar biasa. Saya jadi menyesal tidak bisa ambil bagian. Mudah-mudahan lain kali, batin saya menghibur diri. Pulang dari menyelam, kami berkumpul bersama teman-teman lain di penginapan, makan malam sembari berbincang tentang kondisi sumberdaya pesisir dan laut di daerah ini. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dinihari, sebelum akhirnya satu-satu undur diri ke peraduan.
Demo Paus
Esok paginya, kami bertolak lagi menuju Pulau Maratua. Butuh waktu sekitar satu jam untuk mencapai pulau ini dari Derawan. Pelancong suka mampir di Maratua sebelum ke pulau lain seperti Sangalaki. Di Maratua, ada danau air asin yang unik dan hutan bakau yang rimbun. Beberapa warga juga membuat perahu, yang menjadi tontonan tersendiri.
Di berbagai lokasi di Kepulauan Derawan dapat dijumpai ekosistem terumbu karang yang amat indah. Tempat yang biasa menjadi menjadi tujuan penyelaman atau snorkeling biasanya di Pulau Kakaban dan Sangalaki. Terumbu karang Derawan terdiri atas karang tepi, karang penghalang, dan karang atol (berbentuk cincin). Atol di kepulauan ini telah terbentuk menjadi pulau, bahkan ada yang menjadi danau air asin, seperti yang ditemukan di Kakaban dan Maratua. Malah, Kakaban membuat jatuh hati para peneliti dari berbagai penjuru dunia karena adanya danau laut purba di tengah-tengah daratannya. Danau ini konon terbentuk sekitar 190 ribu tahun silam, dengan luas 459 hektar. Kedalamannya ditaksir hingga 11 meter.
Dari Maratua, kami menuju Kakaban yang tak berpenghuni. Pulau ini baru saja ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) oleh pemerintah. Di perjalanan inilah kami bertemu pemandangan luar biasa, yang rasanya tak semua orang beruntung mengalaminya. Di sekitar perairan Kakaban, ratusan ikan besar berenang-renang bergerombol. Menurut salah satu aktivis konservasi yang ikut bersama kami, itu adalah rombongan melon-headed whale (paus kepala melon). Ukurannya mirip dengan lumba-lumba. Mereka berlompatan ke sana ke kemari. Sebagian memilih berenang tenang sambil mencari makanan di sekeliling perairan. Kawasan perairan ini memang menjadi lintasan berbagai jenis Cetacean (ikan paus) dari berbagai tempat. Tak heran, kami menghabiskan waktu setengah jam hanya untuk menyaksikan paus-paus ini beraksi.
Mendekati Kakaban, boat terpaksa lempar sauh agak jauh di tengah, mengingat air masih surut. Untuk menuju danau yang amat aneh di tengah pulau ini, orang harus mendaki bukit yang dengan bantuan tangga-tangga kayu. Banyak di antara tangga kondisinya sudah keropos. Akan tetapi tenaga yang dikeluarkan untuk mendaki itu terbayar begitu melihat danau di sela-sela rimbunan pepohonan. Berada di tepi danau ini serasa berada di suatu tempat di masa silam. Perairannya tenang, sunyi, menimbulkan rasa aneh tersendiri.
Saya mencoba snorkeling di tepian danau air asin ini. Dasar perairannya dipenuhi alga Halimeda, sponges jenis Porifera dan ikan gobi. Dan yang paling terkenal, tidak lain ubur-ubur endemik jenis Cassiopea, yang dengan mudah ditemukan melayang-layang di kolom air, dan beberapa jenis ubur-ubur lainnya.
Keluar dari Kakaban, sebagian rombongan memilih menyelam di titik yang biasa disebut Barracuda Point. Mengacu namanya, di sini penyelam bisa melihat aksi gerombolan ratusan ikan barakuda melakukan gerakan berputar hingga membentuk pusaran vertikal. Tak jarang terlihat pula ikan Napoleon (Napoleon Wrasse), pari, hiu bintik putih (white tip shark), dan lain-lain. Snorkeling di wilayah sini pun cukup memuaskan. Terumbu karang terlihat jelas dari permukaan. Malah, kami bisa melihat rekan-rekan yang tengah menyelam di kedalaman sekitar 5 meter.
Suatu penelitian menunjukkan bahwasanya jumlah terumbu karang yang ditemukan di Derawan mencapai 460 hingga 470 spesies. Adapun ikan karang di kawasan Kepulauan Derawan, termasuk Sangalaki dan Kakaban mencapai 872 spesies. Keanekaragaman hayati Derawan dipercaya cuma kalah oleh kawasan Raja Ampat di Papua. Karena itu, tak heran menyelam menjadi kegiatan yang paling diandalkan. Tiap titik penyelaman kabarnya memberikan tantangan yang berlainan. Saat ini sudah ada tiga perusahaan swasata yang membuka resor penyelaman di Derawan dan sekitarnya.
Bertemu sang Hantu
Puas ber-snorkeling dan menyelam di Kakaban, perjalanan dilanjutkan ke Pulau Sangalaki, yang merupakan Taman Wisata Laut. Di pulau ini terdapat penangkaran penyu untuk konservasi. Perairan di sekitar Sangalaki terkenal subur karena efek mekanisme fisika upwelling (penaikan massa air), sehingga zat hara naik yang mengundang plankton berkumpul. Ikan-ikan pun berkumpul di sana untuk memangsa plankton, seperti Manta atau pari hantu (Manta birostris), Tuna (Thunnus sp.) dan Spannish Mackerel (Scomberomorus spp.). Karena itu, meskipun tidak bisa mendarat di pulau karena air masih surut --khawatir boat kandas—kami justru mengalami sesuatu yang paling heboh hari itu.
Ada belasan, bahkan puluhan ikan besar berenang-renang di permukaan memangsa plankton. Dan saya, seumur hidup, baru kali itu menyaksikan Pari Manta alias Pari Hantu dalam jumlah besar berputar-putar sambil membuka mulutnya, menyaring plankton masuk. Tanpa dikomando, hampir semua yang ada dalam perahu berebutan melompat dari kapal, mencebur ke kedalaman laut untuk melihat dari dekat.
Si Hantu ini ukurannya memang amat besar. Tampangnya menyeramkan, sehingga nama hantu memang cocok buatnya. Ia berenang laksana burung, mengepakkan sirip kanan-kirinya, yang jika dihitung lebarnya bisa mencapai 3 sampai 4 meter lebih. Hebatnya, hewan-hewan ini sama sekali tak terusik dengan kehadiran penyelam atau penggemar snorkeling yang mengikutinya. Malah, penyelam tidak khawatir bila pari ini berenang menuju mereka karena justru si Hantu-lah yang kemudian menyingkir. Sungguh si Hantu nan baik hati!
Di tengah-tengah seliweran belasan Hantu itu, saya memberanikan diri mengikuti salah satu dari mereka. Masya Allah, pari itu berada di atas saya, sehingga tampak detil mulutnya yang membuka dan kepakan siripnya yang begitu lebar. Kalau mungkin, saat itu saya ingin berteriak melampiaskan kesenangan karena bertemu momen seperti itu. Sungguh hewan laut yang luar biasa. Allahu Akbar! Kami menghabiskan waktu sekitar 15 menit bercanda bersama ikan-ikan itu. Seorang wisatawan asing tampak begitu takjub dan matanya berbinar-binar. Begitu naik ke perahu, ia mengacungkan jempolnya dan berujar: ”Incredible...!”
Tak terasa, hari sudah menjelang sore. Kami pun bergegas kembali ke Pulau Derawan, mengisi bahan bakar dan kembali ke Tanjung Redeb. Sepanjang jalan, saya masih terbayang-bayang betapa kayanya negeri ini. Apabila semua itu tak dijaga, dan hanya memperhatikan pembangunan belaka, tanpa memperhatikan kelestarian, maka sang Hantu, barakuda, terumbu karang, hingga makhluk lembut seperti ubur-ubur di kawasan ini bakal tinggal cerita. Semoga tangan-tangan jahil tidak diberi kesempatan merusaknya... (ah)
Thursday, March 31, 2005
Friday, March 18, 2005
Empat "Cacat Kecil"
Percaya atau tidak, bagi saya bangsa ini tidak akan pernah maju. Setidaknya sampai 10 tahun mendatang. Bukan mau mendoakan hal buruk. Tetapi semua itu semata karena kesimpulan dari perilaku yang dilakukan masyarakat sendiri.
Demokrasi? Berjuang sejajar dengan bangsa lain? Mengejar pertumbuhan ekonomi? Ganyang Malaysia? Lawan antek kapitalis? Berantas korupsi?
S**T! Tidak akan pernah. Maaf, itu faktanya.
Persoalannya, bangsa kita lebih suka bercita-cita dan bermimpi menanggulangi hal-hal besar, daripada mengurusi cacat-cacat “kecil”. Padahal, dari yang kecillah kita dapat memahami bagaimana yang besar. Ada banyak cacat-cacat kecil, yang sadar tidak sadar kita selalu lakukan, dan menjadi “habit” alias kebiasaan, yang sejatinya itu adalah perbuatan buruk, teramat buruk. Dan saya selalu benci dengan orang-orang yang masuk golongan ini. Sampai kapan pun.
Silakan Buang Sampah Sembarangan
Betapa saya sering melihat banyak pria dan wanita, usia 20-40an, pakaian licin tersetrika, parlente pokoknya. Mereka kerap tampak duduk manis di kereta, bis, atau menunggu di halte dan stasiun. Tampilannya bergengsi, dan semua adalah cermin mereka sebagai kelas menengah yang membikin hati iri. Tapi lihatlah adegan berikutnya. Entah itu usai makan roti, membuka kulit buah jeruk atau menyobek bungkus majalah, mereka senantiasa melakukan hal “luar biasa”: sampahnya selalu dibuang begitu saja. Seolah sudah sewajarnya, tidak ada rasa aneh, canggung, apalagi bersalah.
Buang sampah sembarangan memang bukan cuma milik orang bawah/kecil yang kumuh dan lusuh. Kaum mentereng seperti di atas pun sama parahnya. Sampah, bagi mereka ini, ya sekadar sampah, yang harus dibuang segera. Celakanya: dibuang ke sembarang tempat. Kalau sudah begini, bagi saya, wajah cantik kinyis-kinyis, atau pria berdasi mahal, langsung jatuh derajatnya, sama seperti sampah, ketika mereka melakukan kebiasaan buruk itu.
The most egoistic person in the world
Kalau ada yang menanyakan kepada saya, siapakah orang paling egois sedunia, saya tidak menjawab George Bush, Tony Blair, atau John Howard. Jawaban paling tepat untuk itu (menurut saya) adalah para perokok, khususnya perokok di tempat umum.
Merokok juga merupakan aktivitas yang saya tidak akan pernah bisa mengerti seumur hidup. Menghisap nikotin dan tar, berikut asap, ditelan lewat mulut, melalui tenggorokan, yang entah berapa juta bakteri nempel di sana, lalu masuk sebagian ke paru-parunya, dan separo lagi mengalir ke saluran hidung (entah kuman dan lendir apa saja yang ada di situ), untuk kemudian dihembuskan ke luar. Dan orang-orang di sekitarnya, yang tidak ada urusan dengannya, tidak pernah menyakitinya, tidak berbuat dosa kepadanya, tiba-tiba dipaksa menyedot asap yang sudah mampir dari mulut, tenggorokan, dan rongga hidungnya yang menjijikkan. Bayangkanlah...
Lebih gila lagi, ketika ditegur, si perokok malah marah, dengan dalih hak asasi. Lho, mana kata hak asasi itu ketika ia menghembuskan asap seenaknya ke khalayak?
Membangun Kerajaan di Jalanan
Tiga hari silam saya seperti biasa naik sepeda motor pagi hari ke stasiun. Di persimpangan Jalan Baru Bogor, saya harus berbelok ke kanan, menuju Cimanggu. Dari arah sana menuju Jalan Baru, kenderaan berderet-deret; macet. Sementara sebaliknya jalur ke sana lebih lengang.
Tahu-tahu ada mobil L-300 mengangkut anak sekolah dengan santainya mengambil jalur itu dari arah Cimanggu. Dapat ditebak, semua kendaraan menuju sana jadi terhambat, dan akhirnya berhadap-hadapan dengan mobil itu (rupanya itu mobil yang mengantar anak sekolahan). Tentu saja tindakan supir gelo ini tidak dapat diterima. Eh, dia malah tanpa rasa bersalah menyuruh semua pengendara jalan pelan-pelan (harusnya dia yang mundur dan minta maaf karena mengambil jalur salah). Waktu saya tegur dia dengan kalimat ia seharusnya tertib, saya dihadiahi sebuah kata yang “indah” berikut wajah penuh amarah (hm, belajar dari mana dia ya, televisi? Saya sering lihat tampang marah seperti itu di hampir setiap sinetron): “MONYET kamu!”
Saudara, yang menegur anda karena kebenaran saja disebut monyet, lalu bagaimana dia mendefinisikan dirinya sendiri? Babi, ulat keket, atau apa?
Jalanan seperti menjadi kerajaan tersendiri bagi setiap orang. Jalanan membuat orang yang salah tiba-tiba menjadi penguasa, dan orang yang taat peraturan tiba-tiba menjadi pesakitan. Mungkin anda pernah mengalami, ketika lampu merah menyala dan semua pengendara antri, tiba-tiba dari arah belakang makian supir menghampiri kita diiringi suara klakson bertubi-tubi, hanya karena meminta kita menerobos jalan, sebab persimpangan lengang. Persoalannya adalah: apakah karena jalanan lengang, maka lampu rambu jalan otomatis tidak perlu diindahkan? Atau, apa guna marka jalan? Gunanya, sudah pasti, untuk dilanggar.
Time is Mine, Not Yours
Kalau semisal anda diundang pengajian pukul 19.30 malam, pukul berapa anda tiba di tempat pengajian? Jawab paling jujur mungkin pukul 20.00. Kenapa? Karena kalau kita datang pukul 19.30, kita bakal disebut sebagai orang paling pandir di dunia, mengingat jam segitu berarti anda lah orang pertama yang hadir.
Lihatlah undangan-undangan rapat dan seminar. Kebanyakan waktu yang tertulis tidak bisa ditepati. Malah sengaja dibuat dengan memasukkan unsur keterlambatan sekian menit sebagai skenario.
Susah bagi banyak dari kita untuk datang tepat waktu, dan meninggalkan yang datang terlambat. Ada seseorang yang pernah terlambat datang di suatu taklim dengan tanpa alasan yang kuat. Ketika ia ditolak masuk ke majelis oleh sang guru, yang muncul adalah reaksi ngambek, tersinggung, dipermalukan, dan marah, lalu tidak pernah lagi menghadiri taklim tersebut. Siapa salah siapa yang benar?
Jangan Pernah Berharap
Lagi-lagi, bagi saya, selama orang-orang Indonesia ini tidak bisa mengubah empat perilaku di atas, maka selamanya jangan pernah berharap kita bisa keluar dari krisis, dan menggapai kemakmuran. Nonsens.
Jangan pernah mengeluh soal penanganan korupsi yang lemah, DPR yang seperti TK, BBM yang naik, harkat bangsa yang terpuruk, atau kemajuan yang malah menjauh. Jangan, jangan pernah mengeluh soal itu. Tanya dulu diri kita masing-masing, apakah empat cacat kecil itu masih kita lakukan atau tidak. Jika masih melakukannya, janganlah lagi mengajukan pertanyaan. Percuma. Anda sama saja dengan mempermalukan diri sendiri. (ah)
Demokrasi? Berjuang sejajar dengan bangsa lain? Mengejar pertumbuhan ekonomi? Ganyang Malaysia? Lawan antek kapitalis? Berantas korupsi?
S**T! Tidak akan pernah. Maaf, itu faktanya.
Persoalannya, bangsa kita lebih suka bercita-cita dan bermimpi menanggulangi hal-hal besar, daripada mengurusi cacat-cacat “kecil”. Padahal, dari yang kecillah kita dapat memahami bagaimana yang besar. Ada banyak cacat-cacat kecil, yang sadar tidak sadar kita selalu lakukan, dan menjadi “habit” alias kebiasaan, yang sejatinya itu adalah perbuatan buruk, teramat buruk. Dan saya selalu benci dengan orang-orang yang masuk golongan ini. Sampai kapan pun.
Silakan Buang Sampah Sembarangan
Betapa saya sering melihat banyak pria dan wanita, usia 20-40an, pakaian licin tersetrika, parlente pokoknya. Mereka kerap tampak duduk manis di kereta, bis, atau menunggu di halte dan stasiun. Tampilannya bergengsi, dan semua adalah cermin mereka sebagai kelas menengah yang membikin hati iri. Tapi lihatlah adegan berikutnya. Entah itu usai makan roti, membuka kulit buah jeruk atau menyobek bungkus majalah, mereka senantiasa melakukan hal “luar biasa”: sampahnya selalu dibuang begitu saja. Seolah sudah sewajarnya, tidak ada rasa aneh, canggung, apalagi bersalah.
Buang sampah sembarangan memang bukan cuma milik orang bawah/kecil yang kumuh dan lusuh. Kaum mentereng seperti di atas pun sama parahnya. Sampah, bagi mereka ini, ya sekadar sampah, yang harus dibuang segera. Celakanya: dibuang ke sembarang tempat. Kalau sudah begini, bagi saya, wajah cantik kinyis-kinyis, atau pria berdasi mahal, langsung jatuh derajatnya, sama seperti sampah, ketika mereka melakukan kebiasaan buruk itu.
The most egoistic person in the world
Kalau ada yang menanyakan kepada saya, siapakah orang paling egois sedunia, saya tidak menjawab George Bush, Tony Blair, atau John Howard. Jawaban paling tepat untuk itu (menurut saya) adalah para perokok, khususnya perokok di tempat umum.
Merokok juga merupakan aktivitas yang saya tidak akan pernah bisa mengerti seumur hidup. Menghisap nikotin dan tar, berikut asap, ditelan lewat mulut, melalui tenggorokan, yang entah berapa juta bakteri nempel di sana, lalu masuk sebagian ke paru-parunya, dan separo lagi mengalir ke saluran hidung (entah kuman dan lendir apa saja yang ada di situ), untuk kemudian dihembuskan ke luar. Dan orang-orang di sekitarnya, yang tidak ada urusan dengannya, tidak pernah menyakitinya, tidak berbuat dosa kepadanya, tiba-tiba dipaksa menyedot asap yang sudah mampir dari mulut, tenggorokan, dan rongga hidungnya yang menjijikkan. Bayangkanlah...
Lebih gila lagi, ketika ditegur, si perokok malah marah, dengan dalih hak asasi. Lho, mana kata hak asasi itu ketika ia menghembuskan asap seenaknya ke khalayak?
Membangun Kerajaan di Jalanan
Tiga hari silam saya seperti biasa naik sepeda motor pagi hari ke stasiun. Di persimpangan Jalan Baru Bogor, saya harus berbelok ke kanan, menuju Cimanggu. Dari arah sana menuju Jalan Baru, kenderaan berderet-deret; macet. Sementara sebaliknya jalur ke sana lebih lengang.
Tahu-tahu ada mobil L-300 mengangkut anak sekolah dengan santainya mengambil jalur itu dari arah Cimanggu. Dapat ditebak, semua kendaraan menuju sana jadi terhambat, dan akhirnya berhadap-hadapan dengan mobil itu (rupanya itu mobil yang mengantar anak sekolahan). Tentu saja tindakan supir gelo ini tidak dapat diterima. Eh, dia malah tanpa rasa bersalah menyuruh semua pengendara jalan pelan-pelan (harusnya dia yang mundur dan minta maaf karena mengambil jalur salah). Waktu saya tegur dia dengan kalimat ia seharusnya tertib, saya dihadiahi sebuah kata yang “indah” berikut wajah penuh amarah (hm, belajar dari mana dia ya, televisi? Saya sering lihat tampang marah seperti itu di hampir setiap sinetron): “MONYET kamu!”
Saudara, yang menegur anda karena kebenaran saja disebut monyet, lalu bagaimana dia mendefinisikan dirinya sendiri? Babi, ulat keket, atau apa?
Jalanan seperti menjadi kerajaan tersendiri bagi setiap orang. Jalanan membuat orang yang salah tiba-tiba menjadi penguasa, dan orang yang taat peraturan tiba-tiba menjadi pesakitan. Mungkin anda pernah mengalami, ketika lampu merah menyala dan semua pengendara antri, tiba-tiba dari arah belakang makian supir menghampiri kita diiringi suara klakson bertubi-tubi, hanya karena meminta kita menerobos jalan, sebab persimpangan lengang. Persoalannya adalah: apakah karena jalanan lengang, maka lampu rambu jalan otomatis tidak perlu diindahkan? Atau, apa guna marka jalan? Gunanya, sudah pasti, untuk dilanggar.
Time is Mine, Not Yours
Kalau semisal anda diundang pengajian pukul 19.30 malam, pukul berapa anda tiba di tempat pengajian? Jawab paling jujur mungkin pukul 20.00. Kenapa? Karena kalau kita datang pukul 19.30, kita bakal disebut sebagai orang paling pandir di dunia, mengingat jam segitu berarti anda lah orang pertama yang hadir.
Lihatlah undangan-undangan rapat dan seminar. Kebanyakan waktu yang tertulis tidak bisa ditepati. Malah sengaja dibuat dengan memasukkan unsur keterlambatan sekian menit sebagai skenario.
Susah bagi banyak dari kita untuk datang tepat waktu, dan meninggalkan yang datang terlambat. Ada seseorang yang pernah terlambat datang di suatu taklim dengan tanpa alasan yang kuat. Ketika ia ditolak masuk ke majelis oleh sang guru, yang muncul adalah reaksi ngambek, tersinggung, dipermalukan, dan marah, lalu tidak pernah lagi menghadiri taklim tersebut. Siapa salah siapa yang benar?
Jangan Pernah Berharap
Lagi-lagi, bagi saya, selama orang-orang Indonesia ini tidak bisa mengubah empat perilaku di atas, maka selamanya jangan pernah berharap kita bisa keluar dari krisis, dan menggapai kemakmuran. Nonsens.
Jangan pernah mengeluh soal penanganan korupsi yang lemah, DPR yang seperti TK, BBM yang naik, harkat bangsa yang terpuruk, atau kemajuan yang malah menjauh. Jangan, jangan pernah mengeluh soal itu. Tanya dulu diri kita masing-masing, apakah empat cacat kecil itu masih kita lakukan atau tidak. Jika masih melakukannya, janganlah lagi mengajukan pertanyaan. Percuma. Anda sama saja dengan mempermalukan diri sendiri. (ah)
Monday, March 14, 2005
Rayuan Pulau Sebesi
NIAT mengunjungi "pulau bundar" ini sebenarnya sudah terbetik sejak lama. Kesempatan datang pertama kali sewaktu undangan peresmian daerah perlindungan laut (DPL) berbasis masyarakat di Pulau Sebesi datang, beberapa bulan silam. Sayang, waktu itu saya harus bertugas ke Balikpapan, sehingga peluang ini terlewat.
Lama tertunda, kali ini kesempatan kedua datang. Bersama Dr. Budi Wiryawan dan beberapa rekan, saya bertolak ke pulau tersebut pagi-pagi sekali, sehari setelah selesai acara di Bandar Lampung.
Durian dan Telat
Malam sebelum berangkat, rombongan kami dari Bogor menyempatkan diri menyantap durian yang dijajakan di sekitar kota Bandarlampung. Memang, musimnya sudah lewat, tapi tetap saja jajaran buah lezat tersebut di tepian jalan cukup mengundang selera. Lebih-lebih, beberapa rekan sudah melakukan persiapan yang aduhai. Mereka membawa wadah plastik sendiri untuk menempatkan daging buah durian sehingga bisa dibawa pulang, tanpa harus mengangkut buah utuhnya --yang harumnya cukup bikin mabok. Harganya pun terbilang sudah tak murah lagi. Paling rendah 9000 perak, itu pun harus pintar-pintar memilih. Saya dan beberapa teman lebih memilih mencari durian usai kembali dari pulau. Konon, di sepanjang jalan menuju Pelabuhan Canti, Kalianda, beberapa penduduk menjual durian yang langsung jatuh dari pohon.
Sebagaimana direncanakan, esok paginya kami -siap check out dari Hotel Sheraton Bandarlampung. Ada dua mobil yang kami pakai untuk menuju Pelabuhan Canti, sebagai titik tolak menuju Sebesi. Sedangkan rombongan lain memilih melakukan perjalanan ke Desa Pematang Pasir, Lampung Selatan. Awalnya, niatan kuat beberapa di antara kami adalah menjajal lokasi DPL di Pulau Sebesi untuk diselami (diving). Terumbu karang di sana dilaporkan patut dinikmati. Kebetulan, mayoritas dari kami sudah pernah menyelam. Perlengkapan pun, menurut Irfan, Extension Officer di Pulau Sebesi, bisa disediakan.
Tapi mengingat waktu, dan konon arus yang lumayan serius, membuat niat menyelam surut. Yang terbayang kemudian adalah, kami meninjau Sebesi lalu meneruskan perjalanan ke Kepulauan Krakatau, yang memang berdekatan dengan Sebesi. Alternatif ini tampaknya yang paling diminati.
Sayang, kami bergerak agak lambat. Baru setelah lewat pukul 8 pagi kami meninggalkan kota menuju Pelabuhan Canti di Kalianda. Perjalanan ke sana membutuhkan waktu sekitar satu jam. Untung jalanannya lumayan mulus, baik jalan utama yang biasa dilintasi oleh kendaraan yang menuju Jawa atau sebaliknya menuju Sumatera, maupun jalan dari pertigaan Kalianda menuju Canti.
Petai dan Gagal Diving
Setelah menempuh perjalanan selama lebih kurang satu jam, kami memasuki Pelabuhan Canti. Pelabuhan ini tak besar-besar amat, tapi merupakan tempat yang penting bagi penduduk tersebar dan bermukim di pulau-pulau kecil di Teluk Lampung. Canti menjadi pelabuhan tempat mereka meneruskan perjalanan ke kota untuk berbelanja atau menjual hasil bumi. Bertepatan dengan tibanya kami, sebuah kapal dari Pulau Sebuku baru saja merapat membawa bermacam hasil bumi. Yang paling mencolok adalah puluhan ikat petai yang, ehm, benar-benar mengundang minat. Pasus, rekan saya di kantor, tanpa pikir panjang langsung menawar buah pembangkit selera itu. Murah, seikat petai yang terdiri atas 100 lajur petai dilego seharga Rp 15 ribu.
Samar-samar di kejauhan, tampak bayangan pulau yang menjadi tujuan kami. Kebetulan perahu yang dicarter sudah siap. Namun kabar kurang menggembirakan kami terima dari awak kapal. Mereka menyebut perjalanan menuju Krakatau agak sulit karena arus dan ombak lumayan besar. Laju kapal akan terhambat, apalagi hari sudah menjelang siang. Sedikit saja berpindah ke petang, ombak bisa jadi persoalan serius.
Akhirnya kami sepakat untuk menuju Sebesi saja, dan sisanya, melihat kemungkinan yang tersedia di sana. Kapal mulai melaju menuju Sebesi. Beberapa dari kami lebih memilih duduk di atap kapal karena pemandangan lebih luas dan angin lebih banyak. Cuma, suara mesin yang keluar dari cerobong cukup memekakkan telinga sehingga untuk berbicara kami harus saling teriak.
Kelapa dan Pepes Cumi
Secara geografis, Pulau Sebesi terletak di Teluk Lampung dan merupakan wilayah administratif Desa Tejang Pulau Sebesi, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan. Pulau ini berjarak tepatnya 16 kilometer sebelah Tenggara Pulau Sumatera dengan luas 2620 hektare dan panjang pantai 19,55 kilometer. Desa Tejang terdiri atas 4 dusun yakni Regahan Lada, Segenom, Tejang, dan Gubuk Seng. Terdapat pulau-pulau yang berdekatan dengan Sebesi, baik yang memiliki penghuni maupun tidak seperti Pulau Sebuku, Pulau Umang, dan Pulau Sawo.
Apa yang sebenarnya menarik dari Pulau Sebesi? Sesungguhnya, pulau ini amat potensial karena kaya akan berbagai sumberdaya alam, baik di daratan maupun wilayah pesisir dan lautan, antara lain perkebunan cengkeh, kelapa, hutan, terumbu karang, mangrove, padang lamun (sea grass) dan sebagainya. Letaknya pun cukup dekat dengan kawasan Kepulauan Krakatau, yang sudah terkenal di penjuru dunia sebagai kawasan wisata eksotis.
Banyak wisatawan lokal dan mancanegara tertarik mengunjungi kawasan kepulauan tersebut yang terdiri dari Pulau Sertung, Pulau Anak Krakakatau, Pulau Krakakatau Kecil, dan Pulau Krakatau. Karena dekat dengan Krakatau, Sebesi sering dipakai sebagai tempat persinggahan semalam bagi pelancong yang hendak mengunjungi Krakatau dan sekitarnya. Karena itu pula di Sebesi terdapat sebuah penginapan yang diusahakan oleh perseorangan.
Dari Pelabuhan Canti ini, Pulau Sebesi dan Krakatau sama-sama dapat dicapai dengan waktu tempuh masing-masing sekitar 1 dan 2 jam. Selain itu, pulau ini juga bisa dicapai melalui Cilegon (Banten) dengan menggunakan perahu motor yang biasa mengangkut kelapa atau kopra. Terdapat tiga fasilitas dermaga yang menghubungkan dusun desa dengan daerah luar Sebesi. Ketiga dermaga tersebut terletak masing-masing di desa Inpres, Segenom, dan Regahan Lada. Di dusun Inpres terdapat kantor syahbandar, namun belum aktif sehingga digunakan sebagai pusat informasi pesisir oleh masyarakat setempat.
Sebesi punya bentuk unik; bundar. Dari kejauhan, wujudnya cukup gagah, dengan bukit yang menjulang tinggi, dan tubuh pulau yang tertutupi dengan pohon kelapa menghijau. Buah itu memang banyak terdapat di Sebesi sehingga sering diolah menjadi kopra dan diangkut ke Banten atau Sumatera. Sebagian daratan pulau ini tersusun dari endapan gunung api muda dan merupakan daratan perbukitan. Bukit yang tertinggi di Pulau Sebesi mencapai 884 meter dari permukaan laut berbentuk kerucut yang memiliki tiga puncak.
Selain terdapat pemandangan terumbu karang yang indah, juga terdapat potensi lainnya seperti perikanan, kehutanan, pertanian/perkebunan yang dapat dikembangkan untuk menunjang peningkatan kesejahteraan penduduk setempat. Sebagai contoh, Sebesi terkenal dengan hasil cumi-cuminya. Biasanya, musim tangkap cumi-cumi mulai berlangsung dari bulan November sampai Februari. Ada juga ikan Selar yang banyak terdapat sekitar Juli - Oktober.
Kami tiba pukul 11.00 langsung beristirahat. Rupanya, warga desa, terutama kelompok masyarakat yang selama ini dibina sudah menyiapkan segalanya, termasuk makan siang yang menunya cukup dahsyat. "Pepes cumi-cumi sini cukup dikenal kelezatannya," kata Dr. Budi, berpromosi. Dan ucapannya tidak salah. Menu ikan bakar, pepes cumi, dan lalapan sudah cukup membuat kami semua menambah porsi dengan sendirinya. Belum lagi sajian kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon.
Problem dan Belajar
Penduduk Sebesi berjumlah 471 KK atau 2.015 jiwa. Jumlah ini belum termasuk penduduk tidak tetap yang sebagian besar berprofesi sebagai buruh kelapa. Penduduk Pulau Sebesi pada awal sejarahnya merupakan pendatang yang bekerja sebagai buruh di kebun kelapa milik tuan tanah. Mereka berdatangan sejak tahun 1913. Namun lama kelamaan para buruh tersebut mendapat bagian menanami tanah kosong, yang akhirnya membentuk kelompok yang kemudian menjadi sebuah desa yang dipusatkan di desa Inpres.
Selama ini, masyarakat di wilayah pesisir dan lautan Pulau Sebesi mengalami banyak problem pelik, baik di bidang pendidikan, sosial ekonomi, dan lingkungan. Tingkat pendidikan, misalnya, masih amat rendah. Fasilitas yang ada di Pulau Sebesi baru terbatas Sekolah Dasar Negeri yang terletak di Dusun Inpres, Madrasah Ibtidaiyah di Dusun Segenom, dan program Kejar Paket B (setingkat SMP) di Di Dusun Tejang Inpres.
Taraf ekonomi masyarakat juga masih rendah. Dengan tingkat pendidikan yang terbatas, masyarakat tidak mengerti bagaimana cara mengelola sumberdaya alam dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Apalagi penduduk luar pulau ikut andil melakukan eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut di wilayah Sebesi. Ini ditunjukkan antara lain dengan dengan rusaknya kondisi terumbu karang di sekeliling pulau karena berbagai praktik penangkapan ikan dengan bom dan racun. Walhasil, tangkapan ikan yang nelayan setempat peroleh terus berkurang dari tahun ke tahun.
Mata pencaharian penduduk di sini sebagian besar adalah petani dan nelayan. Nelayan Sebesi terkonsentrasi di Dusun Regahan Lada, Tejang, dan Segenom. Sebagian besar nelayan tersebut merupakann pendatang dari Jawa Barat dan sebagian lagi Bugis. Mereka menangkap ikan dengan cara yang masih tradisional, karena pengetahuan tentang alat tangkap yang lebih maju masih terbatas. Hidup mereka boleh dikatakan amat bergantung pada kemurahan dan kekayaan sumberdayan alam di sekitarnya. Akibatnya, jika sumberdaya itu rusak sedikit saja, maka akan berpengaruh besar terhadap kehidupan mereka.
Masalah yang dihadapi penduduk Pulau Sebesi tampaknya merupakan problem umum yang terjadi pada hampir masyarakat di pulau-pulau kecil di wilayah Indonesia. Cukup ironis juga, mengingat Pulau Sebesi dapat dikatakan tak jauh letaknya dari ibukota propinsi dan negara.
Syukur, dalam upaya mengembalikan kondisi terumbu karang yang telah rusak di Pulau Sebesi, umpamanya, warga bergiat belajar membuat daerah perlindungan laut (DPL) berbasis masyarakat. Merekalah yang mengelola dan mengawasi DPL ini. Selain itu, penduduk mendapat bekal pengetahuan untuk pengelolaan sumberdaya pesisir mereka lewat berbagai penyuluhan, pelatihan, dan kegiatan lainnya.
Daerah Perlindungan Laut atau marine sanctuary sendiri adalah kawasan laut yang ditetapkan dan diatur sebagai daerah “larang ambil”. Secara permanen, kawasan ini tertutup untuk berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat ekstraktif/pengambilan. Cara ini diyakini efektif dalam mengurangi kerusakan ekosistem pesisir yaitu dengan melindungi habitat penting di wilayah pesisir, khususnya ekosistem terumbu karang. Selain itu DPL juga penting bagi masyarakat setempat sebagai salah satu cara meningkatkan produksi perikanan (terutama ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang), memperoleh pendapatan tambahan melalui kegiatan penyelaman wisata bahari, dan pemberdayaan masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya mereka.
Masyarakat desa menegakkan sebuah aturan yang mesti dipatuhi bersama. Aturan itu disusun bersama oleh masyarakat dengan tujuan melindungi terumbu karang yang ada dalam wilayah DPL. Mereka pun membentuk kelompok yang berfungsi mengelola DPL. Untuk berjaga-jaga, mereka berusaha melakukan penangkapan terhadap nelayan perusak yang melakukan aktifitas merusak seperti membom , bius, trawl, dan lain-lain.
Snorkeling dan Kram
Usai bersantap, kami bertolak menuju Dusun Regahan Lada. Kendaraannya adalah ojek, yang harus berliku-liku menyusuri jalan setapak dan semak belukar. Hanya ada satu lajur jalan yang lumayan bagus, meski tetap berdebu, yang melintasi kantor kepala desa.
Pantai di Regahan Lada lumayan indah, berpasir putih. Tahu-tahu saja, muncul lagi tawaran untuk melakuka snorkeling (berenang di permukaan dengan menggunakan masker/snorkel) di DPL yang selama ini sudah dibentuk dan dikelola oleh masyarakat. Kebetulan, terdapat dua perahu klotok milik badan pengelola yang bisa dimanfaatkan. Repotnya, karena tak mengira harus berbasah-basah, saya tidak membawa salinan baju sama sekali. Tapi tawaran ini rasanya sulit ditolak.
Akhirnya, kami berlima, termasuk Dr. Budi Wiryawan, naik ke perahu dan menuju DPL di kawasan Sianas. Tak jauh, sekitar 5 menit dari pantai. Dari penelitian yang dilakukan sebelumnya, diketahu bahwa sepanjang pantai Sebesi ditumbuhi terumbu karang yang indah dan menarik hati. Terumbu karang ini dapat ditemukan sampai kedalaman 10 meter dari permukaan laut.
Luas areal terumbu karang itu total mencapai 58,8 hektare, yang terdiri dari tutupan karang hidup seluas 31,6 hektare, dan sisanya 27,3 hektare berupa karang mati (pecahan karang). Lokasi DPL sendiri ada di 4 kawasan dengan luas kurang lebih 20 hektare, masing-masing di Sianas, Pulau Sawo, Pulau Umang, dan Kayu Duri.
Perairannya cukup jernih. Malah pandangan tanpa bantuan apapun bisa menembus ke bawah. Karangnya cukup rapat dan warna-warni, bagus sekali. Hanya saja, jumlah ikan kelihatan tak terlalu berlimpah. Begitupun, pemandangan ini cukup spektakuler.
Saya turun dari perahu dan langsung melakukan satu putaran sambil melihat-lihat situasi. Karang-karangnya cukup bagus dan dalam kondisi baik. Di sana-sini, ikan Kakaktua (Scarus sp) tampak bersliweran. Ikan jenis ini memang merupakan langganan penghuni terumbu karang. Ikan giru (clown fish, Amphiprion sp) juga banyak terlihat. Indra, rekan saya lainnya yang ikut ber-snorkeling, menunjuk ke satu titik dan berkata, "Platax!". Rupanya ia menemukan Platax sp atau ikan bendera, yang bentuknya sekilas mirip bawal, dengan tubuh pipih dan badan berwarna kuning.
Sekali-sekali, saya melakukan skin diving, yakni masuk ke dalam air dengan tegak lurus dan menyelam mendekati terumbu, untuk menikmati dari dekat pemandangan yang luar biasa ini. Meskipun sensasinya kalah dibandingkan menyelam, snorkeling di kawasan DPL ini cukup menghibur dan memuaskan saya.
Melihat kekayaan alam yang sedemikian bagus, didukung dengan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, sesungguhnya potensi sumberdaya alam yang terdapat di pulau ini dapat dikembangkan/dikelola sebagai obyek wisata yang cukup menarik. Khususnya untuk kawasan wilayah pesisir atau pulau kecil di Propinsi Lampung, ia menjadi sarana untuk dapat menenunjang PAD (Pendapatan Asli Daerah). Imbas positifnya akan mengena kepada peningkatan taraf hidup rakyat, yang dapat mengambil keuntungan dari kegiatan pariwisata (ekoturisme) yang dijalankan. Entah kapan ini dapat diwujudkan.
Seperti biasa, saya kena kram dan harus bersusah payah menaiki perahu yang bodinya cukup sempit. Arus di perairan tersebut sore itu lumayan membuat kami harus rajin mengayuh fin agar tidak terdorong ke arah yang tak dikehendaki. Setelah sekitar 1 jam menjelajahi kawasan tersebut, kami memutuskan pulang.
Pulang dan Masuk Angin
Resiko pertama yang harus saya hadapi setelah snorkeling adalah, menahan dingin karena tak punya pakaian pengganti. Setelah mandi, baju kaos yang saya gunakan untuk snorkeling harus saya kenakan kembali, demikian juga dengan celana panjang yang basah kuyup. Kami kembali menuju Canti pukul 4 sore. Saya baru dapat bertukar pakaian kering dalam perjalanan menuju Bakauheni. Akibatnya, dapat ditebak, masuk angin! Kepala pusing dan badan meriang. Untung, setelah mengisi perut, plus jamu anti masuk angin, kondisi saya lumayan pulih.
Bagaimanapun, saya beruntung bisa melihat Pulau Sebesi dengan segenap potensi, kondisi, dan problem yang dihadapinya. Agaknya, ini merupakan kondisi dan problem umum yang dihadapi masyarakat pulau-pulau kecil di Nusantara. Sebuah pekerjaan rumah buat kita semua, yang konon punya nenek moyang para pelaut.... (ah)
Lama tertunda, kali ini kesempatan kedua datang. Bersama Dr. Budi Wiryawan dan beberapa rekan, saya bertolak ke pulau tersebut pagi-pagi sekali, sehari setelah selesai acara di Bandar Lampung.
Durian dan Telat
Malam sebelum berangkat, rombongan kami dari Bogor menyempatkan diri menyantap durian yang dijajakan di sekitar kota Bandarlampung. Memang, musimnya sudah lewat, tapi tetap saja jajaran buah lezat tersebut di tepian jalan cukup mengundang selera. Lebih-lebih, beberapa rekan sudah melakukan persiapan yang aduhai. Mereka membawa wadah plastik sendiri untuk menempatkan daging buah durian sehingga bisa dibawa pulang, tanpa harus mengangkut buah utuhnya --yang harumnya cukup bikin mabok. Harganya pun terbilang sudah tak murah lagi. Paling rendah 9000 perak, itu pun harus pintar-pintar memilih. Saya dan beberapa teman lebih memilih mencari durian usai kembali dari pulau. Konon, di sepanjang jalan menuju Pelabuhan Canti, Kalianda, beberapa penduduk menjual durian yang langsung jatuh dari pohon.
Sebagaimana direncanakan, esok paginya kami -siap check out dari Hotel Sheraton Bandarlampung. Ada dua mobil yang kami pakai untuk menuju Pelabuhan Canti, sebagai titik tolak menuju Sebesi. Sedangkan rombongan lain memilih melakukan perjalanan ke Desa Pematang Pasir, Lampung Selatan. Awalnya, niatan kuat beberapa di antara kami adalah menjajal lokasi DPL di Pulau Sebesi untuk diselami (diving). Terumbu karang di sana dilaporkan patut dinikmati. Kebetulan, mayoritas dari kami sudah pernah menyelam. Perlengkapan pun, menurut Irfan, Extension Officer di Pulau Sebesi, bisa disediakan.
Tapi mengingat waktu, dan konon arus yang lumayan serius, membuat niat menyelam surut. Yang terbayang kemudian adalah, kami meninjau Sebesi lalu meneruskan perjalanan ke Kepulauan Krakatau, yang memang berdekatan dengan Sebesi. Alternatif ini tampaknya yang paling diminati.
Sayang, kami bergerak agak lambat. Baru setelah lewat pukul 8 pagi kami meninggalkan kota menuju Pelabuhan Canti di Kalianda. Perjalanan ke sana membutuhkan waktu sekitar satu jam. Untung jalanannya lumayan mulus, baik jalan utama yang biasa dilintasi oleh kendaraan yang menuju Jawa atau sebaliknya menuju Sumatera, maupun jalan dari pertigaan Kalianda menuju Canti.
Petai dan Gagal Diving
Setelah menempuh perjalanan selama lebih kurang satu jam, kami memasuki Pelabuhan Canti. Pelabuhan ini tak besar-besar amat, tapi merupakan tempat yang penting bagi penduduk tersebar dan bermukim di pulau-pulau kecil di Teluk Lampung. Canti menjadi pelabuhan tempat mereka meneruskan perjalanan ke kota untuk berbelanja atau menjual hasil bumi. Bertepatan dengan tibanya kami, sebuah kapal dari Pulau Sebuku baru saja merapat membawa bermacam hasil bumi. Yang paling mencolok adalah puluhan ikat petai yang, ehm, benar-benar mengundang minat. Pasus, rekan saya di kantor, tanpa pikir panjang langsung menawar buah pembangkit selera itu. Murah, seikat petai yang terdiri atas 100 lajur petai dilego seharga Rp 15 ribu.
Samar-samar di kejauhan, tampak bayangan pulau yang menjadi tujuan kami. Kebetulan perahu yang dicarter sudah siap. Namun kabar kurang menggembirakan kami terima dari awak kapal. Mereka menyebut perjalanan menuju Krakatau agak sulit karena arus dan ombak lumayan besar. Laju kapal akan terhambat, apalagi hari sudah menjelang siang. Sedikit saja berpindah ke petang, ombak bisa jadi persoalan serius.
Akhirnya kami sepakat untuk menuju Sebesi saja, dan sisanya, melihat kemungkinan yang tersedia di sana. Kapal mulai melaju menuju Sebesi. Beberapa dari kami lebih memilih duduk di atap kapal karena pemandangan lebih luas dan angin lebih banyak. Cuma, suara mesin yang keluar dari cerobong cukup memekakkan telinga sehingga untuk berbicara kami harus saling teriak.
Kelapa dan Pepes Cumi
Secara geografis, Pulau Sebesi terletak di Teluk Lampung dan merupakan wilayah administratif Desa Tejang Pulau Sebesi, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan. Pulau ini berjarak tepatnya 16 kilometer sebelah Tenggara Pulau Sumatera dengan luas 2620 hektare dan panjang pantai 19,55 kilometer. Desa Tejang terdiri atas 4 dusun yakni Regahan Lada, Segenom, Tejang, dan Gubuk Seng. Terdapat pulau-pulau yang berdekatan dengan Sebesi, baik yang memiliki penghuni maupun tidak seperti Pulau Sebuku, Pulau Umang, dan Pulau Sawo.
Apa yang sebenarnya menarik dari Pulau Sebesi? Sesungguhnya, pulau ini amat potensial karena kaya akan berbagai sumberdaya alam, baik di daratan maupun wilayah pesisir dan lautan, antara lain perkebunan cengkeh, kelapa, hutan, terumbu karang, mangrove, padang lamun (sea grass) dan sebagainya. Letaknya pun cukup dekat dengan kawasan Kepulauan Krakatau, yang sudah terkenal di penjuru dunia sebagai kawasan wisata eksotis.
Banyak wisatawan lokal dan mancanegara tertarik mengunjungi kawasan kepulauan tersebut yang terdiri dari Pulau Sertung, Pulau Anak Krakakatau, Pulau Krakakatau Kecil, dan Pulau Krakatau. Karena dekat dengan Krakatau, Sebesi sering dipakai sebagai tempat persinggahan semalam bagi pelancong yang hendak mengunjungi Krakatau dan sekitarnya. Karena itu pula di Sebesi terdapat sebuah penginapan yang diusahakan oleh perseorangan.
Dari Pelabuhan Canti ini, Pulau Sebesi dan Krakatau sama-sama dapat dicapai dengan waktu tempuh masing-masing sekitar 1 dan 2 jam. Selain itu, pulau ini juga bisa dicapai melalui Cilegon (Banten) dengan menggunakan perahu motor yang biasa mengangkut kelapa atau kopra. Terdapat tiga fasilitas dermaga yang menghubungkan dusun desa dengan daerah luar Sebesi. Ketiga dermaga tersebut terletak masing-masing di desa Inpres, Segenom, dan Regahan Lada. Di dusun Inpres terdapat kantor syahbandar, namun belum aktif sehingga digunakan sebagai pusat informasi pesisir oleh masyarakat setempat.
Sebesi punya bentuk unik; bundar. Dari kejauhan, wujudnya cukup gagah, dengan bukit yang menjulang tinggi, dan tubuh pulau yang tertutupi dengan pohon kelapa menghijau. Buah itu memang banyak terdapat di Sebesi sehingga sering diolah menjadi kopra dan diangkut ke Banten atau Sumatera. Sebagian daratan pulau ini tersusun dari endapan gunung api muda dan merupakan daratan perbukitan. Bukit yang tertinggi di Pulau Sebesi mencapai 884 meter dari permukaan laut berbentuk kerucut yang memiliki tiga puncak.
Selain terdapat pemandangan terumbu karang yang indah, juga terdapat potensi lainnya seperti perikanan, kehutanan, pertanian/perkebunan yang dapat dikembangkan untuk menunjang peningkatan kesejahteraan penduduk setempat. Sebagai contoh, Sebesi terkenal dengan hasil cumi-cuminya. Biasanya, musim tangkap cumi-cumi mulai berlangsung dari bulan November sampai Februari. Ada juga ikan Selar yang banyak terdapat sekitar Juli - Oktober.
Kami tiba pukul 11.00 langsung beristirahat. Rupanya, warga desa, terutama kelompok masyarakat yang selama ini dibina sudah menyiapkan segalanya, termasuk makan siang yang menunya cukup dahsyat. "Pepes cumi-cumi sini cukup dikenal kelezatannya," kata Dr. Budi, berpromosi. Dan ucapannya tidak salah. Menu ikan bakar, pepes cumi, dan lalapan sudah cukup membuat kami semua menambah porsi dengan sendirinya. Belum lagi sajian kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon.
Problem dan Belajar
Penduduk Sebesi berjumlah 471 KK atau 2.015 jiwa. Jumlah ini belum termasuk penduduk tidak tetap yang sebagian besar berprofesi sebagai buruh kelapa. Penduduk Pulau Sebesi pada awal sejarahnya merupakan pendatang yang bekerja sebagai buruh di kebun kelapa milik tuan tanah. Mereka berdatangan sejak tahun 1913. Namun lama kelamaan para buruh tersebut mendapat bagian menanami tanah kosong, yang akhirnya membentuk kelompok yang kemudian menjadi sebuah desa yang dipusatkan di desa Inpres.
Selama ini, masyarakat di wilayah pesisir dan lautan Pulau Sebesi mengalami banyak problem pelik, baik di bidang pendidikan, sosial ekonomi, dan lingkungan. Tingkat pendidikan, misalnya, masih amat rendah. Fasilitas yang ada di Pulau Sebesi baru terbatas Sekolah Dasar Negeri yang terletak di Dusun Inpres, Madrasah Ibtidaiyah di Dusun Segenom, dan program Kejar Paket B (setingkat SMP) di Di Dusun Tejang Inpres.
Taraf ekonomi masyarakat juga masih rendah. Dengan tingkat pendidikan yang terbatas, masyarakat tidak mengerti bagaimana cara mengelola sumberdaya alam dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Apalagi penduduk luar pulau ikut andil melakukan eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut di wilayah Sebesi. Ini ditunjukkan antara lain dengan dengan rusaknya kondisi terumbu karang di sekeliling pulau karena berbagai praktik penangkapan ikan dengan bom dan racun. Walhasil, tangkapan ikan yang nelayan setempat peroleh terus berkurang dari tahun ke tahun.
Mata pencaharian penduduk di sini sebagian besar adalah petani dan nelayan. Nelayan Sebesi terkonsentrasi di Dusun Regahan Lada, Tejang, dan Segenom. Sebagian besar nelayan tersebut merupakann pendatang dari Jawa Barat dan sebagian lagi Bugis. Mereka menangkap ikan dengan cara yang masih tradisional, karena pengetahuan tentang alat tangkap yang lebih maju masih terbatas. Hidup mereka boleh dikatakan amat bergantung pada kemurahan dan kekayaan sumberdayan alam di sekitarnya. Akibatnya, jika sumberdaya itu rusak sedikit saja, maka akan berpengaruh besar terhadap kehidupan mereka.
Masalah yang dihadapi penduduk Pulau Sebesi tampaknya merupakan problem umum yang terjadi pada hampir masyarakat di pulau-pulau kecil di wilayah Indonesia. Cukup ironis juga, mengingat Pulau Sebesi dapat dikatakan tak jauh letaknya dari ibukota propinsi dan negara.
Syukur, dalam upaya mengembalikan kondisi terumbu karang yang telah rusak di Pulau Sebesi, umpamanya, warga bergiat belajar membuat daerah perlindungan laut (DPL) berbasis masyarakat. Merekalah yang mengelola dan mengawasi DPL ini. Selain itu, penduduk mendapat bekal pengetahuan untuk pengelolaan sumberdaya pesisir mereka lewat berbagai penyuluhan, pelatihan, dan kegiatan lainnya.
Daerah Perlindungan Laut atau marine sanctuary sendiri adalah kawasan laut yang ditetapkan dan diatur sebagai daerah “larang ambil”. Secara permanen, kawasan ini tertutup untuk berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat ekstraktif/pengambilan. Cara ini diyakini efektif dalam mengurangi kerusakan ekosistem pesisir yaitu dengan melindungi habitat penting di wilayah pesisir, khususnya ekosistem terumbu karang. Selain itu DPL juga penting bagi masyarakat setempat sebagai salah satu cara meningkatkan produksi perikanan (terutama ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang), memperoleh pendapatan tambahan melalui kegiatan penyelaman wisata bahari, dan pemberdayaan masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya mereka.
Masyarakat desa menegakkan sebuah aturan yang mesti dipatuhi bersama. Aturan itu disusun bersama oleh masyarakat dengan tujuan melindungi terumbu karang yang ada dalam wilayah DPL. Mereka pun membentuk kelompok yang berfungsi mengelola DPL. Untuk berjaga-jaga, mereka berusaha melakukan penangkapan terhadap nelayan perusak yang melakukan aktifitas merusak seperti membom , bius, trawl, dan lain-lain.
Snorkeling dan Kram
Usai bersantap, kami bertolak menuju Dusun Regahan Lada. Kendaraannya adalah ojek, yang harus berliku-liku menyusuri jalan setapak dan semak belukar. Hanya ada satu lajur jalan yang lumayan bagus, meski tetap berdebu, yang melintasi kantor kepala desa.
Pantai di Regahan Lada lumayan indah, berpasir putih. Tahu-tahu saja, muncul lagi tawaran untuk melakuka snorkeling (berenang di permukaan dengan menggunakan masker/snorkel) di DPL yang selama ini sudah dibentuk dan dikelola oleh masyarakat. Kebetulan, terdapat dua perahu klotok milik badan pengelola yang bisa dimanfaatkan. Repotnya, karena tak mengira harus berbasah-basah, saya tidak membawa salinan baju sama sekali. Tapi tawaran ini rasanya sulit ditolak.
Akhirnya, kami berlima, termasuk Dr. Budi Wiryawan, naik ke perahu dan menuju DPL di kawasan Sianas. Tak jauh, sekitar 5 menit dari pantai. Dari penelitian yang dilakukan sebelumnya, diketahu bahwa sepanjang pantai Sebesi ditumbuhi terumbu karang yang indah dan menarik hati. Terumbu karang ini dapat ditemukan sampai kedalaman 10 meter dari permukaan laut.
Luas areal terumbu karang itu total mencapai 58,8 hektare, yang terdiri dari tutupan karang hidup seluas 31,6 hektare, dan sisanya 27,3 hektare berupa karang mati (pecahan karang). Lokasi DPL sendiri ada di 4 kawasan dengan luas kurang lebih 20 hektare, masing-masing di Sianas, Pulau Sawo, Pulau Umang, dan Kayu Duri.
Perairannya cukup jernih. Malah pandangan tanpa bantuan apapun bisa menembus ke bawah. Karangnya cukup rapat dan warna-warni, bagus sekali. Hanya saja, jumlah ikan kelihatan tak terlalu berlimpah. Begitupun, pemandangan ini cukup spektakuler.
Saya turun dari perahu dan langsung melakukan satu putaran sambil melihat-lihat situasi. Karang-karangnya cukup bagus dan dalam kondisi baik. Di sana-sini, ikan Kakaktua (Scarus sp) tampak bersliweran. Ikan jenis ini memang merupakan langganan penghuni terumbu karang. Ikan giru (clown fish, Amphiprion sp) juga banyak terlihat. Indra, rekan saya lainnya yang ikut ber-snorkeling, menunjuk ke satu titik dan berkata, "Platax!". Rupanya ia menemukan Platax sp atau ikan bendera, yang bentuknya sekilas mirip bawal, dengan tubuh pipih dan badan berwarna kuning.
Sekali-sekali, saya melakukan skin diving, yakni masuk ke dalam air dengan tegak lurus dan menyelam mendekati terumbu, untuk menikmati dari dekat pemandangan yang luar biasa ini. Meskipun sensasinya kalah dibandingkan menyelam, snorkeling di kawasan DPL ini cukup menghibur dan memuaskan saya.
Melihat kekayaan alam yang sedemikian bagus, didukung dengan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, sesungguhnya potensi sumberdaya alam yang terdapat di pulau ini dapat dikembangkan/dikelola sebagai obyek wisata yang cukup menarik. Khususnya untuk kawasan wilayah pesisir atau pulau kecil di Propinsi Lampung, ia menjadi sarana untuk dapat menenunjang PAD (Pendapatan Asli Daerah). Imbas positifnya akan mengena kepada peningkatan taraf hidup rakyat, yang dapat mengambil keuntungan dari kegiatan pariwisata (ekoturisme) yang dijalankan. Entah kapan ini dapat diwujudkan.
Seperti biasa, saya kena kram dan harus bersusah payah menaiki perahu yang bodinya cukup sempit. Arus di perairan tersebut sore itu lumayan membuat kami harus rajin mengayuh fin agar tidak terdorong ke arah yang tak dikehendaki. Setelah sekitar 1 jam menjelajahi kawasan tersebut, kami memutuskan pulang.
Pulang dan Masuk Angin
Resiko pertama yang harus saya hadapi setelah snorkeling adalah, menahan dingin karena tak punya pakaian pengganti. Setelah mandi, baju kaos yang saya gunakan untuk snorkeling harus saya kenakan kembali, demikian juga dengan celana panjang yang basah kuyup. Kami kembali menuju Canti pukul 4 sore. Saya baru dapat bertukar pakaian kering dalam perjalanan menuju Bakauheni. Akibatnya, dapat ditebak, masuk angin! Kepala pusing dan badan meriang. Untung, setelah mengisi perut, plus jamu anti masuk angin, kondisi saya lumayan pulih.
Bagaimanapun, saya beruntung bisa melihat Pulau Sebesi dengan segenap potensi, kondisi, dan problem yang dihadapinya. Agaknya, ini merupakan kondisi dan problem umum yang dihadapi masyarakat pulau-pulau kecil di Nusantara. Sebuah pekerjaan rumah buat kita semua, yang konon punya nenek moyang para pelaut.... (ah)
Friday, March 04, 2005
Republik (Kereta) Indonesia...
Hmm... Kereta Api. Moda angkutan darat ini termasuk yang paling banyak menemani hidup saya sejak mulai mencari nafkah di Jakarta. Murah, meriah, meski penuh perjuangan dan doa.
Kalo situ mau mandi sauna di spa tapi ndak punya uang, saya sarankan naik KRL ekonomi Bogor-Jakarta aja, ditanggung mirip kok. Malah ada bonusnya segala. Coba, mana ada ruang sauna di spa yang tiba-tiba bisa lewat bapak separuh baya sambil bawa selebaran sumbangan mesjid: "Assalaaaamu'alaikum...dst...dst." Atau, mana ada di spa lewat tukang tahu yang suka bikin gerr penumpang satu gerbong karena teriak: "Tahu, tahu sumedang, beli 10 bonus cabe...." Kadang-kadang ada juga tukang jual buah yang bualannya bikin bingung: "Apel Bandung, apel Bandung, murah meriah buat ibu-ibu di dapur..." Karena penasaran, ada yang nanya apel bandung itu yang seperti apa. Si tukang dagang dengan enaknya buka keranjangnya. Apa itu? Tomat, saudara-saudara... Norak nggak sih? Atau, kadang nongol juga anak kecil seraya pegang kerecekan dari tutup botol sambil bernyanyi merem-melek niruin Ariel Peter Pan (eh, ini yang mbuntingin anak orang itu ya? Tobatlah, bung): "Ada apaaa denganmuuu..??"
Ya, ada apa denganmu PT KAI? Sejak dahulu jaman kereta kotak-kotak, hingga masuk KRL biru Holec (orang-orang bilangnya si Komo, ntah kenapa, aku tak tahu...), Pakuan ex Jepang, sampai made in dewe keluaran Madiun, rasanya layanan tidak berubah. Tak manusiawi. Penuh sesak, manusia identik dengan sarden kaleng. Bedanya, "sarden-sarden" ini harus bayar duit tiket.
KRL juga zona rawan pelecehan seksual bagi para perempuan. Juga zona enak untuk selingkuh, lho....! Saya pernah tau, satu ketika, pagi-pagi, ketika KRL ekonomi mau "take off" (cie, bahasanya) dari setatsiun Mbogor, eh ada seorang ibu naik dan langsung ke satu gerbong. Di sana, di hadapan seorang wanita karir (bukan carrier) yang molegh bin geboy, itu ibu langsung damprat, "Dasar perempuan %$%@(*$ (sensorrr....). Selidik punya selidik, itu perempuan kantoran rupanya selalu pulang-pergi ke Jakarta bareng suami si ibu, plus beberapa karyawan lain. Istilahnya, mereka bikin geng, lah. Ada yang rela beliin tiket, nge-tek tempat duduk, dan sebangsanya. Dan setan nggak milih tempat, biar KRL ekonomi juga, kalau ada yang bisa digoda, why not (kecuali setan di KitKat 'kali ya, bisa ada gencatan senjata sama malaikat). Dan karena sering bareng-bareng, cin-ka (singkatan dari Cinta Ka Er El, sejenis Cinlok alias cinta lokasi) akhirnya terbentuk. Dan keluarga jadi berantakan....
Dan jangan salah, KRL juga sarang copet, terutama KRL ekonomi. Modusnya primitif punya, nempel sana-nempel sini, terutama pas brenti di stasiun, terus embat tas orang. Yang agak pinter pake cara nyilet. Yang rada sadis ya seperti kejadian copet/todong yang menewaskan lulusan anyar UI itu, baru-baru ini.
Di KRL pula ada praktik mafia terselubung, mulai dari yang kelas kambing sampe yang eksekutif. ada petugas karcis yang selalu bilang tiket dengan nomor duduk udah abis. Tetapi begitu ada nona asoy geboy yang modal rok di atas dengkul lemah gemulai sambil main mata nanya tiket, eh, dari balik laci adaaaa aja tiket bernomor kursi. Asem deh... Atau, gerombolan penumpang tertentu suka nongkrong di gerbong sekian, tidak beli tiket. Begitu kondektur datang, nah ada jubir khususnya. Cukup kumpulin duit separo harga (kadang cuma seperempat harga), tinggal di-mangsupin ke sakunya pak kondektur. Awww, rejeki di tengah krismon, siapa yang nolak? Termasuk juga di KRL Eksekutif, praktik sama berlangsung. Pak kondektur yang kayak gini, biasanya baru berlagak alim kalau ada sidak dari Polsuska (polisi khusus KA). Demikian juga masinis, udah tau di stasiun tertentu ndak boleh berhenti, eh, cukup bayar 2000 perak, itu KA yang sudah punya jadwal tegas, bisa aja brenti semaunya, nurunin penumpang... Ck...ck..ck..
Kadang-kadang, ada kondektur yang tegas. Kagak peduli orang parlente atau kumuh, asal nggak punya tiket, dia giring itu orang ke stasiun terdekat, diturunkan dengan tidak hormat. Nah, saya angkat jempol buat kondektur kayak gini...
Sering kali gangguan tidak datang dari dalam, tapi dari luar. Entah sudah berapa kereta yang kacanya bolong-bolong dilempar batu oleh orang yang tak bertanggung jawab. Atau anak-anak sekolah yang nyelonong masuk stasiun dan naik ke atap KRL, dengan risiko "wassalam" disengat listrik.
Pokoknya, semuanya yang nyeleneh2x ada di kereta. Persis seperti kehidupan sehari-hari di Indonesia. Kehidupan di kereta api dan stasiun itu adalah miniatur kehidupan negara ini. Persis sama: ada bad guys, ada good guys, ada intrik, ada tragedi. Dan saya, cuma satu dari sekian ribu orang yang statusnya di dalam kereta dan di dalam negara persis sama: jadi penumpang, tergencet, dan tidak ada yang peduli.... Masih syukur, sekarang saya naik KRL Eksekutif. Tetapi tiap kali melihat KRL Ekonomi melintas, saya merasa seakan ikut terjepit dan terengah-engah.
Saya yakin, persoalan ini bisa dipecahkan. Salah satunya, kalo Pak SBY kebetulan nge-warnet, atau surfing di istana negara malam ini, lalu iseng masuk blognya sayah di http://duamata.blogspot.com ini, dan baca artikel ini. Kayaknya, siapa tau, besok pagi keluar maklumat presiden: BBM batal dinaikkan, pemerintah akan membuat lebih banyak KRL eksekutif buat rakyat kecil, dan pemberantasan korupsi dimulai dari tubuh PT KAI.... Huebaaat.... Dan (mungkin lagi), lusanya SBY muncul di depan pintu rumah saya di Cimanggu, malam-malam, menyamar sebagai tukang ojek, lalu berbisik: "Eh, bagaimana kalau malam ini kita survey ke tempat pembuangan sampah?" Sudah pasti saya bakal tersipu malu dan mengangguk sambil berujar, "Ah, Bapak bisa aja..." (ah)
**menyongsong kenaikan harga BBM, perkenankan saya berucap: kaciaaaaan deh, kita....**
Kalo situ mau mandi sauna di spa tapi ndak punya uang, saya sarankan naik KRL ekonomi Bogor-Jakarta aja, ditanggung mirip kok. Malah ada bonusnya segala. Coba, mana ada ruang sauna di spa yang tiba-tiba bisa lewat bapak separuh baya sambil bawa selebaran sumbangan mesjid: "Assalaaaamu'alaikum...dst...dst." Atau, mana ada di spa lewat tukang tahu yang suka bikin gerr penumpang satu gerbong karena teriak: "Tahu, tahu sumedang, beli 10 bonus cabe...." Kadang-kadang ada juga tukang jual buah yang bualannya bikin bingung: "Apel Bandung, apel Bandung, murah meriah buat ibu-ibu di dapur..." Karena penasaran, ada yang nanya apel bandung itu yang seperti apa. Si tukang dagang dengan enaknya buka keranjangnya. Apa itu? Tomat, saudara-saudara... Norak nggak sih? Atau, kadang nongol juga anak kecil seraya pegang kerecekan dari tutup botol sambil bernyanyi merem-melek niruin Ariel Peter Pan (eh, ini yang mbuntingin anak orang itu ya? Tobatlah, bung): "Ada apaaa denganmuuu..??"
Ya, ada apa denganmu PT KAI? Sejak dahulu jaman kereta kotak-kotak, hingga masuk KRL biru Holec (orang-orang bilangnya si Komo, ntah kenapa, aku tak tahu...), Pakuan ex Jepang, sampai made in dewe keluaran Madiun, rasanya layanan tidak berubah. Tak manusiawi. Penuh sesak, manusia identik dengan sarden kaleng. Bedanya, "sarden-sarden" ini harus bayar duit tiket.
KRL juga zona rawan pelecehan seksual bagi para perempuan. Juga zona enak untuk selingkuh, lho....! Saya pernah tau, satu ketika, pagi-pagi, ketika KRL ekonomi mau "take off" (cie, bahasanya) dari setatsiun Mbogor, eh ada seorang ibu naik dan langsung ke satu gerbong. Di sana, di hadapan seorang wanita karir (bukan carrier) yang molegh bin geboy, itu ibu langsung damprat, "Dasar perempuan %$%@(*$ (sensorrr....). Selidik punya selidik, itu perempuan kantoran rupanya selalu pulang-pergi ke Jakarta bareng suami si ibu, plus beberapa karyawan lain. Istilahnya, mereka bikin geng, lah. Ada yang rela beliin tiket, nge-tek tempat duduk, dan sebangsanya. Dan setan nggak milih tempat, biar KRL ekonomi juga, kalau ada yang bisa digoda, why not (kecuali setan di KitKat 'kali ya, bisa ada gencatan senjata sama malaikat). Dan karena sering bareng-bareng, cin-ka (singkatan dari Cinta Ka Er El, sejenis Cinlok alias cinta lokasi) akhirnya terbentuk. Dan keluarga jadi berantakan....
Dan jangan salah, KRL juga sarang copet, terutama KRL ekonomi. Modusnya primitif punya, nempel sana-nempel sini, terutama pas brenti di stasiun, terus embat tas orang. Yang agak pinter pake cara nyilet. Yang rada sadis ya seperti kejadian copet/todong yang menewaskan lulusan anyar UI itu, baru-baru ini.
Di KRL pula ada praktik mafia terselubung, mulai dari yang kelas kambing sampe yang eksekutif. ada petugas karcis yang selalu bilang tiket dengan nomor duduk udah abis. Tetapi begitu ada nona asoy geboy yang modal rok di atas dengkul lemah gemulai sambil main mata nanya tiket, eh, dari balik laci adaaaa aja tiket bernomor kursi. Asem deh... Atau, gerombolan penumpang tertentu suka nongkrong di gerbong sekian, tidak beli tiket. Begitu kondektur datang, nah ada jubir khususnya. Cukup kumpulin duit separo harga (kadang cuma seperempat harga), tinggal di-mangsupin ke sakunya pak kondektur. Awww, rejeki di tengah krismon, siapa yang nolak? Termasuk juga di KRL Eksekutif, praktik sama berlangsung. Pak kondektur yang kayak gini, biasanya baru berlagak alim kalau ada sidak dari Polsuska (polisi khusus KA). Demikian juga masinis, udah tau di stasiun tertentu ndak boleh berhenti, eh, cukup bayar 2000 perak, itu KA yang sudah punya jadwal tegas, bisa aja brenti semaunya, nurunin penumpang... Ck...ck..ck..
Kadang-kadang, ada kondektur yang tegas. Kagak peduli orang parlente atau kumuh, asal nggak punya tiket, dia giring itu orang ke stasiun terdekat, diturunkan dengan tidak hormat. Nah, saya angkat jempol buat kondektur kayak gini...
Sering kali gangguan tidak datang dari dalam, tapi dari luar. Entah sudah berapa kereta yang kacanya bolong-bolong dilempar batu oleh orang yang tak bertanggung jawab. Atau anak-anak sekolah yang nyelonong masuk stasiun dan naik ke atap KRL, dengan risiko "wassalam" disengat listrik.
Pokoknya, semuanya yang nyeleneh2x ada di kereta. Persis seperti kehidupan sehari-hari di Indonesia. Kehidupan di kereta api dan stasiun itu adalah miniatur kehidupan negara ini. Persis sama: ada bad guys, ada good guys, ada intrik, ada tragedi. Dan saya, cuma satu dari sekian ribu orang yang statusnya di dalam kereta dan di dalam negara persis sama: jadi penumpang, tergencet, dan tidak ada yang peduli.... Masih syukur, sekarang saya naik KRL Eksekutif. Tetapi tiap kali melihat KRL Ekonomi melintas, saya merasa seakan ikut terjepit dan terengah-engah.
Saya yakin, persoalan ini bisa dipecahkan. Salah satunya, kalo Pak SBY kebetulan nge-warnet, atau surfing di istana negara malam ini, lalu iseng masuk blognya sayah di http://duamata.blogspot.com ini, dan baca artikel ini. Kayaknya, siapa tau, besok pagi keluar maklumat presiden: BBM batal dinaikkan, pemerintah akan membuat lebih banyak KRL eksekutif buat rakyat kecil, dan pemberantasan korupsi dimulai dari tubuh PT KAI.... Huebaaat.... Dan (mungkin lagi), lusanya SBY muncul di depan pintu rumah saya di Cimanggu, malam-malam, menyamar sebagai tukang ojek, lalu berbisik: "Eh, bagaimana kalau malam ini kita survey ke tempat pembuangan sampah?" Sudah pasti saya bakal tersipu malu dan mengangguk sambil berujar, "Ah, Bapak bisa aja..." (ah)
**menyongsong kenaikan harga BBM, perkenankan saya berucap: kaciaaaaan deh, kita....**
Subscribe to:
Posts (Atom)