Kompas menulis tentang kehidupan di desa sekitar Gunung Sorik Merapi di Tapanuli Selatan (sekarang masuk wilayah Kabupaten Mandailing Natal atau Madina). Kampung ayah juga di kawasan sana juga, meski lumayan jauh dari Sorik Merapi. Namanya Muara Sipongi, sekitar 22 km dari Kotanopan, 60 kilometeran dari Panyabungan, serta 120 kilometeran dari Padang Sidempuan.
Melihat foto-foto suasana kampung berikut gambaran situasi kehidupan sehari-hari, ah, tak salah lagi. Itu khas yang memang selalu dirasakan, tiap kali mengunjungi dan tinggal di sana. Muara Sipongi, saudara-saudara! Mungkin kota (kecamatan) ini asing di telinga anda. Tapi coba aku sebutkan nama orang-orang ternama ini: Sanusi Pane (sastrawan), Armyn Pane (sastrawan, budayawan, salah satu pendiri HMI), Muhammad Kasim (sastrawan handal), lahir di tempat ini. Adnan Buyung Nasution pun juga kampung asalnya dari Muara Sipongi, kalo tak salah di desa Pakantan.
Kami sekeluarga, dahulu, kerap menyambangi kakek dan nenek (keduanya kini sudah tiada, allahummaghfir lahuma warhamhuma). Entah itu ketika liburan, lebaran, atau kadang kapan saja, ketika rindu itu datang. Aku malah punya pengalaman menarik, ketika baru saja pengumuman kelulusan SD, pagi-pagi buta ayah membangunkanku dan bertanya, “Mau ikut ke kampung? Ayah ada tugas dan lewat sana, nanti kita mampir ke nenek barang sehari-dua,” katanya. Belakangan, aku tahu kalau ajakan itu adalah bentuk hadiah dari beliau, karena aku menjadi juara umum di sekolah. Persiapan kilat pun dilakukan. Mama’ menyiapkan pakaian, baju hangat, dan tak lupa mewanti-wantiku agar jangan membiarkan perut kosong di perjalanan. Dan benar, saking buru-burunya, waktu itu makan pun tak selera lagi. Akibatnya, masuk angin dan mabuk perjalanan, apalagi saat melewati kelok 40, Sibolga (waktu itu jalur nyaman lewat Kisaran belum lagi dibuka). Waktu itu, dari Medan ke Muara Sipongi (atau biasa disebut Morsip) membutuhkan 14 jam perjalanan.
Tetapi tetap saja mengunjungi kampung halamanku itu menjadi sebuah kenikmatan tiada tara. Bayangkanlah. Kampung ini berada di tepi Batang Gadis (nama sungai), yang airnya jernih bukan kepalang. Dinginnya jangan tanya. Aku tak pernah bisa mandi kecuali jarum jam sudah menunjuk angka 11 siang. Saking dinginnya, di permukaan air terlihat kabut yang mengapung-apung hingga tengah hari. Kawanan burung Belibis suka mandi di tepian dekat hutan, dan menghambur berterbangan jika diusik anak-anak yang asik mandi. Kadang, babi hutan suka mengintip di balik dedaunan. Harimau? Satu-dua orang pernah mengaku bertemu. Ayahku juga pernah, dan suka menceritakan pengalaman itu berkali-kali kepada kami, anak-anaknya. Kami selalu suka mendengar cerita itu dan senantiasa terkagum-kagum. Mata kami berbinar-binar kalau cerita tentang harimau, babi hutan, bahkan tentang cerita seram sekali pun, terutama tentang inyik (sebutan sopan untuk harimau) jadi-jadian yang suka terlihat melintasi sungai di tengah malam, dengan seorang nenek berjubah kelabu di atas punggung sang harimau.
Di belakang rumah-rumah penduduk, baik yang di sebelah utara maupun selatan jalan lintas Sumatera, hutan dan semak belukar lebat sudah menyambut. Belukar ini terus menyambung hingga menuju rimba bebukitan. Sinar matahari baru bisa nongol setelah jam 11 karena tertutup bebukitan itu. Jadi, dinginnya sudah terkira, bukan?
Tiap orang bertemankan sarung dan kemul. Pagi-pagi, sehabis subuh, pekerjaan paling nikmat adalah nongkrong di depan rumah sambil berkemul dan ngobrol ngalor ngidul, atau masuk warung dan ngopi atau minum teh, plus ditemani pisang goreng yang rasanya tidak bisa disamai pisang goreng mana pun di dunia. Sumpah!
Sembari ngobrol (orang sana menyebutnya “mahota”), aku dan sanak saudara sebaya dulu sering menghitung bus-bus antarkota dan pulau yang selalu lewat di jalanan kampung. Coba, apa yang tidak ada, mulai dari ALS (Antar Lintas Sumatera), ANS (singkatan dari ANAS, punya orang Padang?), PM Toh, Sibual-buali, Sampagul, hingga Mawar Merah). Entah di mana letak kesenangannya, yang jelas, tiap bus yang lewat selalu kami sambut dengan sorakan dan lambaian tangan. Bangga rasanya menghibur para musafir yang dari dalam mobil tampak tersenyum sambil balas melambai. Kadang, mereka juga berhenti di mesjid jami di tepi sungai dekat jembatan, sekadar membasuh muka dan menunaikan solat.
Mandi di sungai adalah kenikmatan yang lain lagi. Air yang jernih membuat ikan di dasar perairan tampak dengan jelas. Kadang kami main ke daerah larangan, sebutan buat kawasan sungai yang ditetapkan desa sebagai daerah larang ambil, karena ditebar berbagai bibit ikan. Biasanya pada hari kedua atau ketiga lebaran idul fitri, larangan itu diakhiri, dan warga desa boleh mengambil dengan jala, pancing, tombak, dan segala rupa perangkat, dengan membayar sejumlah uang pendaftaran. Uang itu dipakai untuk kepentingan desa. Di sungai larangan ini, kami bawa nasi basi dari rumah nenek. Begitu nasi ditebar di tepi, dan permukaan air ditepuk-tepuk, ikan-ikan beragam jenis muncul mendekat dan berpesta. Jinak-jinak. Pemandangan eksotik apa lagi yang bisa menyainginya?
Ketika ayah memiliki ladang jeruk, kami rela berjalan kaki 2 kilometer menuju ladang itu, mendaki hingga puncak bukit dan membawakan kakek nasi rantang untuk makan siang. Di puncak bukit ada saung, berikut kolam di bawahnya. Untuk cucu-cucunya, kakek suka mengambil ikan mas yang ada di kolam, untuk digulai atau digoreng dan disantap bersama. Yang lucu, di kaki bukit, sebelum masuk ladang jeruk, ada pengumuman unik, ditulis dengan cat putih di papan tipis. Isinya: “Dilarang Mencuri. Kebun Ini Berubat!!” (maksudnya berobat, diberi jampi-jampi yang membuat pencurinya bakal celaka). Kakek yang membuatnya. Konon, dia termasuk tabib atau dukun kampung yang lumayan disegani...
(bersambung, udah menjelang jam 22.30. ngantuk...)
No comments:
Post a Comment