Thursday, May 12, 2005

McDonaldisasi: Rasional vs Irasional

Inilah contoh konsep rasionalitas demi memburu kemajuan. Yang terjadi justru sebaliknya.

Siapa tak kenal McDonald? Inilah perusahaan yang bergerak di bidang makanan cepat saji (fast food) terdahsyat yang pernah ada di bumi. Setidaknya, jika melihat kemajuan pesat yang dicapainya sejak pertama kali berdiri.

Adalah Ray Kroc, si pengembang kerajaan McDonald, yang mematenkan metode brilian dalam menjual dan mengembangkan produknya. Cerita awalnya adalah usaha dua bersaudara, Mac dan Dic McDonald, yang membuka restoran di Pasadena, California, tahun 1937. Strategi mereka berjualan adalah menyediakan pelayanan dengan kecepatan tinggi, volume yang besar, dan harga terjangkau. Agar rapi jali dan menghindari kekacauan akibat banyaknya pembeli, dua bersaudara ini menyusun rangkaian menu siap pesan yang amat rinci. Belum lagi model “ban berjalan” ala pabrik untuk kegiatan produksinya. Waktu memasak kentang dan ayam, misalnya, sudah diatur sedemikian rupa, demikian juga pelayanan. Dua bersaudara ini pula yang mula-mula memperkenalkan pekerjaan spesifik untuk tiap pegawai. Ada “grill men” yang khusus memanggang daging, “fry men” yang menggoreng kentang dan ayam, atau “dresser” yang khusus menambahkan ekstra di atas burger dan yang membungkusnya.

Kroc tertarik dengan model bisnis makanan yang dikembangkan dua McDonald itu. Kesempatannya mengembangkan strategi dimulai dengan menjadi mitra dua bersaudara tersebut sebagai agen waralaba sejak 1954. Kroc membuka warung burger sederhana setahun kemudian di San Bernardino, California. Lama-kelamaan, usaha tersebut berkembang, namun McDonald bersaudara masih memegang kendali usaha. Baru setelah Kroc membeli seluruh aset McDonald’s seharga US$ 2,7 juta tahun 1961, ia mulai menciptakan strategi resto yang diimpikannya.

Dan hasilnya, kini McDonald’s –yang popular disebut McD-- sudah memiliki 31 ribu outlet di seluruh dunia yang tersebar di 119 negara. Termasuk di Mekkah! Mereka melayani lebih dari 47 juta pelanggan tiap hari. Pada tahun 1993 alias 11 tahun silam, total penjualan McD mencapai US$23 milyar dengan keuntungan hampir US$ 1.1 milyar. Rata-rata outlet di AS total penjualannya waktu itu kira-kira US$1.6 juta per tahun. Kota Moskow sebagai simbol kekuatan Soviet waktu itu juga ‘ditembus’ McD. Di outlet kota itu, sejumlah 30 ribu burger McD dijual tiap harinya dengan mempekerjakan tak kurang dari 1200 anak muda. Kini, jumlahnya tentu lebih berlipat ganda. McD bahkan menjadi ikon baru kekuatan Amerika di bidang ekonomi.

Inovasi Ray Kroc yang sukses ini mewabah ke mana-mana. Yang Kroc tidak sadari, model bisnisnya tersebut ternyata mempengaruhi sendi-sendi kehidupan manusia di dunia, yang akhirnya dikaji banyak pihak dari berbagai disiplin. Pelaku usaha berlomba-lomba meniru atau mengadaptasi model bisnis McD ke dalam usaha mereka masing-masing.

Prinsip Rasionalisasi

George Ritzer, seorang ahli bidang teori sosial, menulis sebuah buku berjudul “McDonaldization of Society: An Investigation into the Changing Character of Contemporary Social Life” pada tahun 1995. Isinya membahas kesuksesan McD dan pengaruhnya terhadap perubahan karakter dan kehidupan sosial masa kini. Buku ini hingga sekarang menjadi rujukan banyak pihak yang ingin mendiskusikan pengaruh upaya rasionalisasi terhadap hidup manusia.

Wabah McD sesungguhnya berakar dari ide rasionalitas, yang bisa diartikan sebagai penggunaan pikiran untuk menentukan untung-rugi segala sesuatu. Dalam usaha ekonomi, tak pelak orang harus berpikir rasional agar memperoleh keuntungan. Dan upaya rasionalisasi salah satunya adalah melalui birokrasi, yakni dengan membentuk hirarki dan tanggung jawab kerja terstruktur dalam sebuah organisasi. Masing-masing kerja didefinisikan agar tujuan organisasi tercapai, seperti yang diungkap oleh Max Weber, seorang sosiolog Jerman,

Dan itulah yang ditawarkan McDonald’s. Pertama adalah efisiensi atau metode optimal untuk memindahkan orang dari satu titik ke titik lain. McD menerjemahkannya sebagai perubahan secepatnya dari lapar ke kenyang. Maka, orang tak perlu repot berpikir apa yang harus dimakan, atau di mana harus makan. Cukup ke McD, pesan,dan,.. kenyang.

McD menerapkan juga prinsip kalkulabilitas, alias aspek kepastian terukur tentang kuantitas produk yang diperoleh. Semua orang tahu, berapa kocek yang harus dirogoh kalau ingin makan dua potong burger, termasuk besar rotinya. Atau, jika ingin makan yang lebih besar, orang pasti memesan BigMac, bukan yang medium.

Unsur lainnya adalah prediktabilitas. Dalam hal ini, semua orang tahu persis, bahwa produk dan jasa yang mereka beli akan sama di mana pun mereka cari di dunia. Rasa French fries alias kentang goreng di Kalimalang tak ada bedanya dengan yang di California. Demikian juga dengan sistem kerja mereka sudah dapat diprediksi, berapa lama waktu untuk masak, umpamanya.

Sedangkan unsur terakhir adalah kontrol ketat lewat substitusi tenaga manusia kepada teknologi. Jalur produksi yang sudah ditetapkan atau menu yang sudah diatur sehingga orang hanya bisa memesan sesuai menu yang ditetapkan, merupakan contoh dari betapa terkendalinya kegiatan usaha tersebut. Termasuk tentang perilaku dan kerja pegawainya juga distandarisasi.

Semuanya dilakukan dengan tujuan rasional yang ujungnya menghasilkan keuntungan. Dan karena sukses, berbondong-bondonglah orang meniru prinsip di atas. McD menjadi wabah, yang kemudian oleh Ritzer disebut sebagai “McDonaldisasi”. Artinya kira-kira adalah suatu proses masuk dan mendominasinya prinsip-prinsip restoran siap saji ini ke berbagai sektor lain dalam kehidupan masyarakat Amerika, juga dunia.

Untuk urusan perut, Kentucky Fried Chicken, Burger King, Pizza Hut, dan lain-lain boleh dibilang mengikuti jejak McD. Di luar itu, kini berkembang usaha dengan prinsip sama, seperti McDentist (Urusan Dokter Gigi), McDoctor (medis), dan segala Mc lainnya. Media massa pun terimbas. Di Amerika, ada surat kabar USA Today, yang isinya ringkas, sehingga membantu bagi yang sibuk karena mereka cukup membaca berita yang ringkas. Atau, kita semua menggunakan mesin ATM (anjungan tunai mandiri) bukan? Itu tak lain menggunakan empat prinsip tadi. Anda tahu persis apa yang akan anda dapatkan, atau yang bisa diurus oleh ATM.

Rasional versus Irasional

Pertanyaannya, benarkah semua prinsip itu membawa kita ke arah yang lebih baik? Dalam beberapa hal, harus diakui ya. Tapi dalam banyak hal lain, yang terjadi adalah ironi. Manusia jadi kehilangan rasa kemanusiaannya. Hal ini tak mengherankan, karena manusia sesungguhnya hidup bukan hanya dengan rasionalitas, tapi juga nilai-nilai. Dan nilai-nilai tersebut, termasuk di dalamnya keyakinan/iman, bisa jadi yang utama diperjuangkan ketimbang sekadar urusan untung-rugi.

Dalam kasus McDonaldisasi alias “wabah” McDonald’s, semua prinsip demi rasionalisasi tadi pada kenyataannya justru muncul ketidakefisienan. Hal yang diharapkan rasional justru menjadi tidak rasional. Ritzer menyebutnya sebagai ”Irrationality of Rationality" (Irasionalitas dari Rasionalitas).

Kecepatan untuk mengubah lapar menjadi kenyang yang didengungkan, pada kenyataannya malah membuat antrian konsumen yang panjang. Ingin makan segera, malah disuruh menunggu, menyebalkan bukan? Juga antrian di ATM, yang membuat orang stres. Jika satu orang menghabiskan waktu 2 menit, berarti anda butuh waktu 20 menit di antrian kesebelas. Padahal, anda hanya ingin mengecek, apakah kiriman uang dari kantor sudah masuk atau belum. Belum lagi ketika ternyata anda salah pencet, dan kiriman uang masuk ke rekening orang lain. Urusannya jadi panjang: bikin laporan kejadian, hubungi customer service, menanti proses pengecekan, dan berharap uang salah kirim tadi dapat kembali. Jika tidak, anda akan makin frustrasi.

Yang pernah belanja di pusat grosir besar, tentu tahu betapa banyaknya lorong-lorong yang disediakan untuk tiap jenis barang. Alih-alih menyediakan pilihan terbaik bagi konsumen, yang terjadi adalah orang kesal karena harus berputar-putar setiap kali memberi barang yang berbeda. Bandingkan dengan kios tetangga, misalnya, yang tinggal pesan, maka barang datang. Plus, masih bisa ngobrol soal Mulyana Kusuma dan korupsi KPU. Atau, menang mana Liverpool lawan AC Milan. Lebih manusiawi.

Prinsip ala Kroc juga secara nyata mengakibatkan dehumanisasi. Makanan cepat saji pada akhirnya membuat orang tak lagi memikirkan kandungan gizi yang tepat. Belum lagi soal teknologi, dengan membuat bahan produksi secara khusus, misalnya budidaya tanaman secara intensif, tapi mengorbankan lingkungan bahkan kesehatan manusia, seperti yang kini banyak dicemaskan orang.

Dehumanisasi lainnyan adalah hubungan antar-manusia yang kering. Coba, ketika kita memesan suatu menu di depan kassa makanan sebuah restoran. Begitu anda selesai membayar, pelayan dengan senyum mengembang mengatakan, “Terima kasih, selamat menikmati”. Sekilas, ini adalah bentuk keramahan. Tapi di balik itu, sadarkah kita kalau sesungguhnya restoran ingin menyatakan kepada Anda, “Terima kasih, mohon pergi selekasnya, pelanggan lain yang mau membayar sudah menunggu..”. Demikian juga hubungan dengan sesama pekerja di sebuah perusahaan, menjadi kaku dan singkat karena disibukkan dengan pekerjaan masing-masing dan kehilangan waktu untuk bersosialisasi.

Faktor negatif lainnya adalah adanya homogenisasi. Konsumen tidak lagi punya hak meminta hal spesifik kecuali yang sudah tertera di menu. Padahal, apa susahnya menambahkan buah ceri di atas es krim yang kita pesan buat putra-putri. Tapi, karena tidak ada dalam manual, maka permintaan sepele itu tidak akan pernah bisa dikabulkan.

Membeli baju juga bukan lagi seperti masa lalu, pesan ke tukang jahit dan diukur sesuai tubuh. Yang ada, di swalayan tersedia ukuran S, M, L, XL, dan seterusnya. Kalau pas di tubuh, tapi lengannya terlalu panjang, anda tidak bisa protes. Yang bisa dilakukan, pakai dan permak di rumah, atau cari satu yang betul-betul pas sampai ketemu !

Hidup di Era Irasional

Malapetaka-kah hidup di era seperti itu? Belum tentu. Ada banyak cara untuk berkelit dan bertekad hidup tidak dengan “ala McDonald’s” seperti fenomena di atas. Dalam bukunya, Ritzer memberikan beberapa tips (lihat boks) untuk menghindari terjerumus dalam akibat-akibat negatif yang terjadi.

Banyak perusahaan juga memodifikasi model usahanya sehingga tidak terperosok menjadi perusahaan efisien tapi bak robot. Ada banyak kafe, misalnya, yang menyediakan lebih banyak ruang baca, tempat bersantai, atau bermain. Restoran menyediakan layanan bagi pelanggan untuk memilih menu yang disukai, di luar yang sudah tercantum. Majalah dan koran hadir memperbanyak ruang cerpen atau sastra, dan menghindari berita-berita kaku.

Intinya, prinsip-prinsip McDonaldisasi memang bisa diambil seperlunya demi kemajuan. Namun pada saat bersamaan, hidup harus dibuat berwarna agar terhindar dari jebakan irasionalitas, dehumanisasi, atau homogenisasi. Hidup terlalu indah untuk disetir dengan prinsip untung-rugi.

Tips Hidup di era McDonaldisasi

1. Agama tentu pegangan utama. Dengan iman, anda tidak akan mengalami kegoyahan hidup sehari-hari, tahu mana yang harus dikerjakan dan mana yang tidak.


2. Bagi yang mampu, usahakan tidak tinggal di apartemen. Cobalah hidup di lingkungan yang bisa bersosialiasi. Kalau terpaksa hidup di lingkungan apartemen, upayakan tidak menjadi kaum asosial.

3. Daripada membeli di swalayan, mal, atau grosir raksasa, cobalah sesering mungkin belanja di pasar tradisional. Atau belilah buah dari pedagang pinggir jalan. Mahal sedikit tak mengapa, tapi anda membantu mereka dan bebas dari kekakuan ala supermarket.

4. Bersantaplah di resto Padang, atau warung pecel lele, ketimbang di resto siap saji atau resto besar lainnya.

5. Coba menulis untuk keluarga dengan pena dan layanan pos, meski e-mail memungkinkan. Upayakan telepon famili langsung, tidak lewat SMS.

6. Hindari membeli barang-barang impor yang mahal dan tak perlu. Cintai produk dalam negeri.

7. Kalau harus menonton televisi, tontonlah stasiun yang kecil atau yang menawarkan program pendidikan, bukan hiburan film.

8. Daripada membawa liburan anak-anak ke pusat permainan (game), bawalah mereka ke Kebun Raya, atau Taman Margasatwa.

9. Cegah rutinitas sehari-hari. Bikinlah sesuatu dengan cara berbeda setiap hari, bila mungkin. Dan jika bisa dikerjakan sendiri, kerjakan, tak usah menggunakan jasa layanan komersial.

(ah)

No comments: