Friday, March 18, 2005

Empat "Cacat Kecil"

Percaya atau tidak, bagi saya bangsa ini tidak akan pernah maju. Setidaknya sampai 10 tahun mendatang. Bukan mau mendoakan hal buruk. Tetapi semua itu semata karena kesimpulan dari perilaku yang dilakukan masyarakat sendiri.

Demokrasi? Berjuang sejajar dengan bangsa lain? Mengejar pertumbuhan ekonomi? Ganyang Malaysia? Lawan antek kapitalis? Berantas korupsi?

S**T! Tidak akan pernah. Maaf, itu faktanya.

Persoalannya, bangsa kita lebih suka bercita-cita dan bermimpi menanggulangi hal-hal besar, daripada mengurusi cacat-cacat “kecil”. Padahal, dari yang kecillah kita dapat memahami bagaimana yang besar. Ada banyak cacat-cacat kecil, yang sadar tidak sadar kita selalu lakukan, dan menjadi “habit” alias kebiasaan, yang sejatinya itu adalah perbuatan buruk, teramat buruk. Dan saya selalu benci dengan orang-orang yang masuk golongan ini. Sampai kapan pun.

Silakan Buang Sampah Sembarangan

Betapa saya sering melihat banyak pria dan wanita, usia 20-40an, pakaian licin tersetrika, parlente pokoknya. Mereka kerap tampak duduk manis di kereta, bis, atau menunggu di halte dan stasiun. Tampilannya bergengsi, dan semua adalah cermin mereka sebagai kelas menengah yang membikin hati iri. Tapi lihatlah adegan berikutnya. Entah itu usai makan roti, membuka kulit buah jeruk atau menyobek bungkus majalah, mereka senantiasa melakukan hal “luar biasa”: sampahnya selalu dibuang begitu saja. Seolah sudah sewajarnya, tidak ada rasa aneh, canggung, apalagi bersalah.

Buang sampah sembarangan memang bukan cuma milik orang bawah/kecil yang kumuh dan lusuh. Kaum mentereng seperti di atas pun sama parahnya. Sampah, bagi mereka ini, ya sekadar sampah, yang harus dibuang segera. Celakanya: dibuang ke sembarang tempat. Kalau sudah begini, bagi saya, wajah cantik kinyis-kinyis, atau pria berdasi mahal, langsung jatuh derajatnya, sama seperti sampah, ketika mereka melakukan kebiasaan buruk itu.

The most egoistic person in the world

Kalau ada yang menanyakan kepada saya, siapakah orang paling egois sedunia, saya tidak menjawab George Bush, Tony Blair, atau John Howard. Jawaban paling tepat untuk itu (menurut saya) adalah para perokok, khususnya perokok di tempat umum.

Merokok juga merupakan aktivitas yang saya tidak akan pernah bisa mengerti seumur hidup. Menghisap nikotin dan tar, berikut asap, ditelan lewat mulut, melalui tenggorokan, yang entah berapa juta bakteri nempel di sana, lalu masuk sebagian ke paru-parunya, dan separo lagi mengalir ke saluran hidung (entah kuman dan lendir apa saja yang ada di situ), untuk kemudian dihembuskan ke luar. Dan orang-orang di sekitarnya, yang tidak ada urusan dengannya, tidak pernah menyakitinya, tidak berbuat dosa kepadanya, tiba-tiba dipaksa menyedot asap yang sudah mampir dari mulut, tenggorokan, dan rongga hidungnya yang menjijikkan. Bayangkanlah...

Lebih gila lagi, ketika ditegur, si perokok malah marah, dengan dalih hak asasi. Lho, mana kata hak asasi itu ketika ia menghembuskan asap seenaknya ke khalayak?

Membangun Kerajaan di Jalanan

Tiga hari silam saya seperti biasa naik sepeda motor pagi hari ke stasiun. Di persimpangan Jalan Baru Bogor, saya harus berbelok ke kanan, menuju Cimanggu. Dari arah sana menuju Jalan Baru, kenderaan berderet-deret; macet. Sementara sebaliknya jalur ke sana lebih lengang.

Tahu-tahu ada mobil L-300 mengangkut anak sekolah dengan santainya mengambil jalur itu dari arah Cimanggu. Dapat ditebak, semua kendaraan menuju sana jadi terhambat, dan akhirnya berhadap-hadapan dengan mobil itu (rupanya itu mobil yang mengantar anak sekolahan). Tentu saja tindakan supir gelo ini tidak dapat diterima. Eh, dia malah tanpa rasa bersalah menyuruh semua pengendara jalan pelan-pelan (harusnya dia yang mundur dan minta maaf karena mengambil jalur salah). Waktu saya tegur dia dengan kalimat ia seharusnya tertib, saya dihadiahi sebuah kata yang “indah” berikut wajah penuh amarah (hm, belajar dari mana dia ya, televisi? Saya sering lihat tampang marah seperti itu di hampir setiap sinetron): “MONYET kamu!”

Saudara, yang menegur anda karena kebenaran saja disebut monyet, lalu bagaimana dia mendefinisikan dirinya sendiri? Babi, ulat keket, atau apa?

Jalanan seperti menjadi kerajaan tersendiri bagi setiap orang. Jalanan membuat orang yang salah tiba-tiba menjadi penguasa, dan orang yang taat peraturan tiba-tiba menjadi pesakitan. Mungkin anda pernah mengalami, ketika lampu merah menyala dan semua pengendara antri, tiba-tiba dari arah belakang makian supir menghampiri kita diiringi suara klakson bertubi-tubi, hanya karena meminta kita menerobos jalan, sebab persimpangan lengang. Persoalannya adalah: apakah karena jalanan lengang, maka lampu rambu jalan otomatis tidak perlu diindahkan? Atau, apa guna marka jalan? Gunanya, sudah pasti, untuk dilanggar.

Time is Mine, Not Yours

Kalau semisal anda diundang pengajian pukul 19.30 malam, pukul berapa anda tiba di tempat pengajian? Jawab paling jujur mungkin pukul 20.00. Kenapa? Karena kalau kita datang pukul 19.30, kita bakal disebut sebagai orang paling pandir di dunia, mengingat jam segitu berarti anda lah orang pertama yang hadir.

Lihatlah undangan-undangan rapat dan seminar. Kebanyakan waktu yang tertulis tidak bisa ditepati. Malah sengaja dibuat dengan memasukkan unsur keterlambatan sekian menit sebagai skenario.

Susah bagi banyak dari kita untuk datang tepat waktu, dan meninggalkan yang datang terlambat. Ada seseorang yang pernah terlambat datang di suatu taklim dengan tanpa alasan yang kuat. Ketika ia ditolak masuk ke majelis oleh sang guru, yang muncul adalah reaksi ngambek, tersinggung, dipermalukan, dan marah, lalu tidak pernah lagi menghadiri taklim tersebut. Siapa salah siapa yang benar?

Jangan Pernah Berharap

Lagi-lagi, bagi saya, selama orang-orang Indonesia ini tidak bisa mengubah empat perilaku di atas, maka selamanya jangan pernah berharap kita bisa keluar dari krisis, dan menggapai kemakmuran. Nonsens.

Jangan pernah mengeluh soal penanganan korupsi yang lemah, DPR yang seperti TK, BBM yang naik, harkat bangsa yang terpuruk, atau kemajuan yang malah menjauh. Jangan, jangan pernah mengeluh soal itu. Tanya dulu diri kita masing-masing, apakah empat cacat kecil itu masih kita lakukan atau tidak. Jika masih melakukannya, janganlah lagi mengajukan pertanyaan. Percuma. Anda sama saja dengan mempermalukan diri sendiri. (ah)

1 comment:

kuspoes said...

Dulu seorang CEO dari sebuah terbitan koran terkemuka di tanah air pernah bilang ... Think big start small but act now! saya pikir bangsa kita ini sudah mulai berpikir tinggi namun memulai dengan yg tinggi pula dan sudah dilakukan sekarang, dan lihatlah hasilnya.... kadang dimulai dari yg kecil memang menghasilkan kesempurnaan , namun jika memulai dari yg besar dan OK maka why not?
semua berbalik kepada pribadi aja .. seseorang kadang salah kadang benar .. dimana - mana sama gak ada yg sempurna.
Kusaeni.
http://kusaeni.com