Kolumnis handal, almarhum Mahbub Djunaidi, menuliskan judul tersebut dalam sebuah kolomnya di Majalah Tempo, 32 tahun silam, tepatnya bulan Juni 1973. Seperti biasa, Mahbub lihai bermain dengan fakta dan kata-kata. Orang Jerman, sebutnya, tak ubahnya bak serigala. Beraninya main keroyok. Ia tak sembarang ucap. Keterangan itu dikutip Mahbub dari buku W. Trotter, Instinct of The Herd in Peace and War, tahun 1916. Trotter sendiri adalah orang Inggris. Mohon maklum.
Lain lagi orang Cina, yang identik dengan naga. Singapura, mungkin, cocok diwakilkan dengan hewan singa. Sementara warga Spanyol, barangkali bangga disebut punya semangat sebagai banteng, meskipun faktanya di arena laga hewan ini lebih banyak mati dicucuk sang matador sendiri. Untuk Indonesia, Mahbub punya banyak perumpaan. Walau lambang negara menggunakan burung garuda, dari sudut beranak pinak, orang Indonesia lazim diumpamakan sebagai marmot, katanya. Waktu itu tentu program Keluarga Berencana tengah digalakkan. Dari sudut kepatuhannya, orang Indonesia bisa pula dimisalkan dengan bebek. Untuk ukuran situasi sosial dan politik tahun-tahun itu, perumpamaan tokoh intelektual NU ini cukup pedas dan bikin perih kuping penguasa.
Di masa kini, sesungguhnya ungkapan Mahbub tadi bukan sesuatu yang main-main dan retorika belaka. Pertanyaannya masih amat relevan dilontarkan kembali. Meskipun di jaman internet yang super modern ini sudah tak pantas memirip-miripkan manusia dengan hewan, kenyataannya manusia sebagai makhluk yang diciptakan termulia oleh Tuhan ini kerap berpikir, berucap, dan bertingkah laku bagai hewan, bahkan lebih rendah dari itu.
Bukankah akhirnya ada pepatah “homo homini lupus”? Itu terkenal tak lain karena manusia sering bersikap sebagai serigala bagi yang lain. Dalam banyak urusan dunia, dari kursi kepala desa sampai intrik di gedung DPR-MPR, sikap sebagai serigala adalah sesuatu yang sering dijumpai. Tak hanya mencakar, bila perlu lawan bisnis dan politik dicabik-cabik untuk kemudian bangkainya dinikmati.
Untuk soal serigala ini, tokoh PDI Perjuangan, Arifin Panigoro bisa jadi sedikit berbeda paham. Sebagai salah satu tokoh utama yang bersama Poros Tengah merancang lengsernya Abdurrahman Wahid dan naiknya Megawati di Sidang Istimewa MPR akhir Juli 2001 silam, ia sempat diguncang kasus utang perusahaannya. Dalam pandangan bos Medco ini, kasus tersebut dirancang untuk menjegalnya. Maka, kepada pers, ia menyebut orang-orang yang merekayasa itu sebagai hyena. Ini hewan Afrika yang buruk rupa dan punya kebiasaan bergerombol menyerang mangsanya. Mirip-mirip serigala juga.
Kita mungkin bisa disamakan juga dengan ular. Meski ular meliliti gelas dijadikan simbol pengobatan di dunia farmasi, dalam istilah sehari-hari hewan melata ini jadi simbol penipu, tukang bual. Rakyat kecil yang kini terlunta-lunta karena rumahnya tergusur oleh aparat Tramtib dan Pemda DKI -- dengan dalih tak ada ijin tinggal di lokasi tersebut dan demi keindahan Jakarta—dapat menuding pemerintah sebagai ular karena menipu mereka. Mayoritas mereka tak paham dengan ilmu lanskap atau tata kota metropolitan. Tapi Undang-Undang Dasar Pasal 34 jelas-jelas menyebut orang miskin dan anak yatim dipelihara oleh negara. Walhasil, itu terasa kontradiktif dengan kejadian yang mereka alami sekarang. Meski kartu miskin dibagikan bagi keluarga miskin untuk mendapatkan biaya kompensasi BBM sebesar Rp 100 ribu di kantor pos tiap bulan, tetap saja jutaan penduduk lainnya tidak menerima, dengan alasan ketiadaan tanda/identitas kependudukan yang jelas. Nasib ditentukan oleh selembar identitas, yang untuk memperolehnya pun kerap harus menyumpal mulut pegawai kelurahan dengan uang. Ular sekali, bukan? Bagi yang geli atau tidak suka melihat ular, barangkali dapat ‘memisuhi’ keadaan dengan hewan lain yang lebih kecil tapi punya konotasi sama; kadal.
Bahkan, dalam beberapa hal, kitab suci membuat perumpamaan manusia sebagai binatang. Al Quran ada menyebut orang-orang yang berdosa sebagai ternak atau hewan melata, bahkan lebih rendah dari itu. Dalam satu bagian dari Surat Al Baqarah yang menceritakan Bani Israil (Yahudi), dikisahkan bagaimana kaum ini suka sekali melecehkan nabi-nabi mereka sendiri, termasuk melanggar hari yang telah dikhususkan bagi mereka untuk beribadat. Oleh Al Quran, mereka disebut menjadi kera yang hina (qiradatan khaasyi’in). Ada ahli tafsir yang menganggap hati merekalah yang bagai kera, sementara yang lain menyebut mereka memang menjadi kera yang sesungguhnya. Dalam konteks sekarang, Dr. Mushthafa Mahmud (Monyet di Abad Manusia, Husaini 1987) menggambarkan masa yang penuh dekadensi moral saat ini sebagai abad kera.
Sedangkan kebebalan dan rasa tak tahu malu manusia biasa dicerminkan dengan sifat badak. Tebal muka, tak tahu malu, dan asal seruduk, sepertinya hal lazim yang banyak ditemui di masyarakat. Sifat itu malah dipertontonkan di depan khalayak. Kelas paling rendah, sebut saja contoh, tentulah baku hantam antaranggota dewan yang terjadi terdalam pembukaan Sidang Tahunan 2001 silam. Bukannya malu, insiden itu dianggap biasa dengan alasan parlemen negeri lain punya kebiasaan yang lebih buruk dari itu. Atau, para orang pintar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) sana, yang dengan tega memakan uang rakyat untuk memperkaya kantong mereka secara kolektif, lalu dengan wajah tak berdosa mengaku tidak pernah kecipratan. Kalau disebut badak, mungkin mereka ini masuk kategori badak yang mukanya “kapalen” (mengalami penebalan jaringan kulit, kata orang Jawa). Tebal muka dan tak sensitif terhadap persoalan rakyat ini agaknya memang menjadi penyakit lama dari para pelaku politik dalam negeri, baik mereka yang duduk di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Tak selalu sifat, sikap, dan perilaku manusia itu mirip dengan hewan besar. Dalam banyak hal lain, manusia bisa menyaingi hewan kecil seperti lintah, nyamuk, atau tungau. Kerjanya hampir sama, mengisap darah mangsanya sepuas hati untuk kemudian lepas begitu saja. Ada berapakah lintah, nyamuk, atau tungau di masyarakat kita? Konon sepertiga dari dana pembangunan Indonesia bocor di tengah jalan. ‘Bagi-bagi rejeki’ itu sudah berakar cukup kuat dan dilakukan dari eselon rendah sampai puncak. Membandingkan akar yang sudah terhujam kuat itu dengan slogan pencanangan pemberantasan KKN oleh pemerintahan SBY-JK membuat hati menjadi miris dan harap-harap cemas.
Entah berapa triliun rupiah dana masyarakat di bank tersedot oleh para konglomerat lewat permainan liar mereka. Dana itu digunakan untuk kepentingan bisnis grupnya sendiri di bidang-bidang yang kerap tak bersentuhan langsung dengan kepentingan publik. Ketika bank bersangkutan kolaps, alih-alih dimintai pertanggungjawabannya di pengadilan, para konglomerat hitam itu –meminjam istilah Kwik Kian Gie—malah dibantu pemerintah, yang dengan pontang-panting menyelamatkan bank sekarat tersebut dengan injeksi dana segarnya.
Mereka, meminjam istilah Yasraf Amir Piliang (Sebuah Dunia yang Menakutkan, Mizan 2001), sesungguhnya adalah mesin parasit, organisme yang menumpang dengan modal seadanya dan menghisap negara semau-maunya. Di negeri ini ada banyak mesin parasit ekonomi, mesin parasit politik, mesin parasit hukum, mesin parasit spiritual, dan sebagainya.
Sesungguhnya, ada banyak lagi hewan yang mewakili wajah buruk kita sehari-hari --bunglon, buaya, kambing hitam, ulat, burung nasar, beo, dan lain sebagainya. Sifat kehewanan itu, sadar atau tidak, semakin hari semakin merasuk dalam diri kita, manusia Indonesia. Akibatnya, lama-kelamaan kita sendiri makin sulit membedakan, apakah kita ini manusia atau memang hewan asli yang jadi perumpamaan tadi. Jiwa manusia Indonesia, dengan semua ini, tak lama lagi bakal berubah menjadi ‘kebun binatang’ keburukan.
Begitupun, Tuhan sungguh Maha Pengasih dan Penyayang. Ditetapkan-Nya sebuah bulan, yang dengan bulan itu setiap orang berkesempatan mencuci sifat kehewanannya. Meski Ramadhan diciptakannya buat segenap umat Islam, entah kenapa rasanya yang patut paling bersyukur dalam hal ini adalah manusia Indonesia, kita semua. Allah bermurah hati memberi waktu pada kita sebulan penuh untuk menggelontor sifat hewani yang sudah menebal, segera sebelum kita sendiri terlambat menyadari dan tak dapat memulihkan sikap kebinatangan itu.
Persoalannya sekarang, seberapa jauh kemahapengasihan Allah itu diterima oleh kita dengan rasa syukur, sehingga upaya pengembalian fitrah sebagai manusia itu dimanfaatkan sebaik mungkin, serta diwujudkan kelak dalam kehidupan sehari-hari. Jika dengan waktu yang terbuka luas ini kita juga gagal menemukan jati diri kemanusiaan kita, apa boleh buat. Tubuh boleh insani, namun jiwa tetap hewani. Bahkan, hewan yang dinisbahkan namanya pun bisa jadi tak sudi dijadikan perumpamaan sifat buruk kita itu. Seburuk-buruknya hewan, mereka masih tetap berzikir pada Sang Pencipta. Sedangkan kita? Ah, betapa menyedihkan…
Selamat Shiyam Ramadhan. Mohon maaf lahir batin… (ah)
Friday, September 30, 2005
Sunday, September 18, 2005
Yogya dan Perempuan
Malioboro tinggal dua puluh langkah lagi. Empat hari di Yogya, dua pekan lalu, tentu tidak absah jika tidak menyusuri kawasan populer ini. Malam itu, saya dan rekan sekantor, Mar Ir., berniat mencari makan di depan Pasar Beringharjo. "Sekalian mau nostalgia," katanya. Mas Ir pernah di kota gudeg ini cukup lama, konon sekitar 8 tahun.
Seperti biasa, tukang becak mengerumuni kami, mencari peluang untuk mengantarkan turis (emang saya turis?) keliling kota, atau ke mana saja yang diinginkan. Ongkos tidak mahal-mahal amat. Ada yang menawarkan 2000 perak sekali jalan.
Tetapi, sekonyong-konyong ada yang sangat mengganggu saya. Tawaran mereka berubah menjadi bisikan. "Mau cewek, Mas? Ada, bisa diantar ke sana. Ayu-ayu lho," kata tukang becak yang berkaos parpol, mengikuti saya dengan gigih dari belakang. Saya tolak halus. Mas Ir cuma senyum. Eh, nggak kapok. Yang lain juga menempel, menjajakan usulan 'menarik' lainnya. "Mau yang mahasiswi, Mas, bisa, untuk pijet-pijet..."
Bahwa bisnis wisata dan urusan sahwat hubungannya persis seperti sate kambing dengan bumbu kecap (pas nggak sih, padanannya? ngarang, deh), semua juga tau. Namu kenyataan tawaran soal perempuan itu, entah kenapa, tetap saja sangat mengecewakan saya. Kok jadi begini??
Saya tidak akrab dengan Yogya. Kalaupun pernah ke sini, urusannya cuma sekadar mampir, melanjutkan perjalanan ke kota lain. Meskipun begitu, dalam hati sanubari saya yang paling dalam, saya amat menghormati kota ini. Kota dengan budaya yang tinggi, katanya. Kota dengan suasana intelektual yang lebih kental, bahkan mungkin lebih di atas Bogor, yang jadi kota kedua saya selama ini. Dan spirit itu sudah saya tangkap dan nikmati ketika nongkrong hingga tengah malam di depan Benteng Vredeburg, diselingi kunjungan tak henti para pengamen jalanan. Di sela-sela becak warna-warni, dan guyonan akrab mbok penjual pecel.
Dan itu jadi buyar tidak karuan dengan adanya bisik-bisik tawaran soal perempuan itu. Selalu jika soal perempuan menjadi obyek sahwat seperti ini, saya jadi muak. Saya tanya ke Mas Ir, apakah sudah biasa begini, atau tren-nya baru-baru saja. Dia tidak menjawab pasti. Tetapi, "Dulu juga saya tidak pernah lihat cewek pakai pakaian mini kayak begitu di Yogya ini," katanya, menunjuk sekelompok perempuan muda tengah bercengkerama di bawah pohon beringin, di seberang benteng.
Lalu, bayangan saya terlempar kembali ke beberapa tahun silam, ketika berada di kereta malam Jayabaya dari Nganjuk menuju Jakarta. Seorang lelaki parlente, 40-tahunan, naik dari Madiun hendak ke Yogya, duduk di sebelah saya. Lama ngalor-ngidul, lelaki ini cerita kalau dia ke Yogya ingin bertemu dengan 'peliharaannya". Kucing anggora atau anjing herder? Bukan, peliharaannya itu adalah seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri di kota tersebut. Itu pengakuannya. Ia bertutur, sudah lama menjalin hubungan yang lumayan bergelora dengan perempuan itu. "Kalau mas mau coba, boleh suatu saat kunjungi saya," katanya, berpromosi. Lha? Sial, nggak. Waktu itu, saya lagi tidak berselera menggebuk orang, sungguh. Padahal kalau dipikir-pikir, omongan si pria parlente itu amat saru, tidak sopan, dan sungguh bercita rasa exhibisionist. Entahlah.... Yang jelas, ia turun di Yogya, sambil bersiul-siul dan menyisir rambutnya yang hitam licin.
Apakah Yogya sudah berubah. Atau, memangnya kalau sudah berubah, kenapa? Jangan-jangan saya yang terlalu sensitif. Mengapa saya merisaukan Yogya dan perempuannya, sedangkan di Jakarta soal itu sudah jamak terjadi.
Di Jakarta, di tepian kali dekat jalan Latuharhari, saya pernah observasi, saat menjadi wartawan dahulu. Ketika masuk ke daerah itu pukul 7 malam, segerombolan wanita setengah baya sudah mengerumuni dan memberi tawaran servis dengan harga ala diskon swalayan. Cuma Rp 10.000. Saya abaikan. Ketika berbincang dengan penjual teh botol di lapak liar di sana, tepat di depan lapak ada gubuk plastik hitam, yang pasangan lelaki-perempuan gonta-ganti keluar masuk. Tahu sendiri, apa yang mereka perbuat di sana. Masuk rapi, keluar berantakan. Ketika saya keluar dari sana, perempuan-perempuan yang sama masih memburu, dengan harga kian miring. Rp 3000 short time. Busyet dah....
Lalu, kenapa saya jadi uring-uringan dengan fenomena tawar-menawar perempuan di Yogya tadi? Jawabnya, tidak tahu. Mungkin karena saya terlalu menaruh respek pada Yogya dalam benak saya selama ini. Saya yang tidak terlalu akrab pada kota ini, tetapi percaya bahwa ia memang berbeda dari kota-kota lain. Kota yang saya anggap lebih bermartabat (ah, perasaan terlalu bermain di sini). Atau, saya saja yang terlalu cepat mengambil kesimpulan. Cerita soal perempuan yang bisa melayani macem-macem di Yogya mungkin saja hanya di sekitar hotel. Bukan di kawasan lain. Ya, bisa jadi.
Yang jelas, selain soal insiden ditawari perempuan itu, aura positif Yogya memang seperti bayangan saya. Lain kali saya pasti ke sini. Dengan uang sendiri :) dan mudah-mudahan tidak bertemu lagi dengan tukang becak yang menawari perempuan seperti kemarin. Ampun deh...
Seperti biasa, tukang becak mengerumuni kami, mencari peluang untuk mengantarkan turis (emang saya turis?) keliling kota, atau ke mana saja yang diinginkan. Ongkos tidak mahal-mahal amat. Ada yang menawarkan 2000 perak sekali jalan.
Tetapi, sekonyong-konyong ada yang sangat mengganggu saya. Tawaran mereka berubah menjadi bisikan. "Mau cewek, Mas? Ada, bisa diantar ke sana. Ayu-ayu lho," kata tukang becak yang berkaos parpol, mengikuti saya dengan gigih dari belakang. Saya tolak halus. Mas Ir cuma senyum. Eh, nggak kapok. Yang lain juga menempel, menjajakan usulan 'menarik' lainnya. "Mau yang mahasiswi, Mas, bisa, untuk pijet-pijet..."
Bahwa bisnis wisata dan urusan sahwat hubungannya persis seperti sate kambing dengan bumbu kecap (pas nggak sih, padanannya? ngarang, deh), semua juga tau. Namu kenyataan tawaran soal perempuan itu, entah kenapa, tetap saja sangat mengecewakan saya. Kok jadi begini??
Saya tidak akrab dengan Yogya. Kalaupun pernah ke sini, urusannya cuma sekadar mampir, melanjutkan perjalanan ke kota lain. Meskipun begitu, dalam hati sanubari saya yang paling dalam, saya amat menghormati kota ini. Kota dengan budaya yang tinggi, katanya. Kota dengan suasana intelektual yang lebih kental, bahkan mungkin lebih di atas Bogor, yang jadi kota kedua saya selama ini. Dan spirit itu sudah saya tangkap dan nikmati ketika nongkrong hingga tengah malam di depan Benteng Vredeburg, diselingi kunjungan tak henti para pengamen jalanan. Di sela-sela becak warna-warni, dan guyonan akrab mbok penjual pecel.
Dan itu jadi buyar tidak karuan dengan adanya bisik-bisik tawaran soal perempuan itu. Selalu jika soal perempuan menjadi obyek sahwat seperti ini, saya jadi muak. Saya tanya ke Mas Ir, apakah sudah biasa begini, atau tren-nya baru-baru saja. Dia tidak menjawab pasti. Tetapi, "Dulu juga saya tidak pernah lihat cewek pakai pakaian mini kayak begitu di Yogya ini," katanya, menunjuk sekelompok perempuan muda tengah bercengkerama di bawah pohon beringin, di seberang benteng.
Lalu, bayangan saya terlempar kembali ke beberapa tahun silam, ketika berada di kereta malam Jayabaya dari Nganjuk menuju Jakarta. Seorang lelaki parlente, 40-tahunan, naik dari Madiun hendak ke Yogya, duduk di sebelah saya. Lama ngalor-ngidul, lelaki ini cerita kalau dia ke Yogya ingin bertemu dengan 'peliharaannya". Kucing anggora atau anjing herder? Bukan, peliharaannya itu adalah seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri di kota tersebut. Itu pengakuannya. Ia bertutur, sudah lama menjalin hubungan yang lumayan bergelora dengan perempuan itu. "Kalau mas mau coba, boleh suatu saat kunjungi saya," katanya, berpromosi. Lha? Sial, nggak. Waktu itu, saya lagi tidak berselera menggebuk orang, sungguh. Padahal kalau dipikir-pikir, omongan si pria parlente itu amat saru, tidak sopan, dan sungguh bercita rasa exhibisionist. Entahlah.... Yang jelas, ia turun di Yogya, sambil bersiul-siul dan menyisir rambutnya yang hitam licin.
Apakah Yogya sudah berubah. Atau, memangnya kalau sudah berubah, kenapa? Jangan-jangan saya yang terlalu sensitif. Mengapa saya merisaukan Yogya dan perempuannya, sedangkan di Jakarta soal itu sudah jamak terjadi.
Di Jakarta, di tepian kali dekat jalan Latuharhari, saya pernah observasi, saat menjadi wartawan dahulu. Ketika masuk ke daerah itu pukul 7 malam, segerombolan wanita setengah baya sudah mengerumuni dan memberi tawaran servis dengan harga ala diskon swalayan. Cuma Rp 10.000. Saya abaikan. Ketika berbincang dengan penjual teh botol di lapak liar di sana, tepat di depan lapak ada gubuk plastik hitam, yang pasangan lelaki-perempuan gonta-ganti keluar masuk. Tahu sendiri, apa yang mereka perbuat di sana. Masuk rapi, keluar berantakan. Ketika saya keluar dari sana, perempuan-perempuan yang sama masih memburu, dengan harga kian miring. Rp 3000 short time. Busyet dah....
Lalu, kenapa saya jadi uring-uringan dengan fenomena tawar-menawar perempuan di Yogya tadi? Jawabnya, tidak tahu. Mungkin karena saya terlalu menaruh respek pada Yogya dalam benak saya selama ini. Saya yang tidak terlalu akrab pada kota ini, tetapi percaya bahwa ia memang berbeda dari kota-kota lain. Kota yang saya anggap lebih bermartabat (ah, perasaan terlalu bermain di sini). Atau, saya saja yang terlalu cepat mengambil kesimpulan. Cerita soal perempuan yang bisa melayani macem-macem di Yogya mungkin saja hanya di sekitar hotel. Bukan di kawasan lain. Ya, bisa jadi.
Yang jelas, selain soal insiden ditawari perempuan itu, aura positif Yogya memang seperti bayangan saya. Lain kali saya pasti ke sini. Dengan uang sendiri :) dan mudah-mudahan tidak bertemu lagi dengan tukang becak yang menawari perempuan seperti kemarin. Ampun deh...
Monday, September 05, 2005
UK Menanti...(Soon)
Sengaja menuliskan ini, agar Mbak Hani percaya bahwa saya benar-benar mau berangkat ke UK alias Ujung Kulon, hehehe.
Jadi, ceritanya, ide ini sudah disusun sejak Juli lalu dan klimaksnya pada Agustus awal. Teman2x para petualang pesisir amatir seperti saya, Tony, Pasus, Tammy, dan Glaudy sudah siap dengan segala perlengkapan. Bahkan tim luar ikut bergabung seperti Agung yg pegawai bank ("itung-itung refreshing," katanya yg abis dibantai ujian S2), dan beberapa sobat lain.
Kabar buruk datang. Tukang perahu di Kampung Sumur telepon bahwa ombak lagi tinggi, 4 meteran. Malah semua pengunjung di sekitar Taman Nasional terpaksa diungsikan sementara. "Bisa aja sih Mas nerusin niatnya, cuma resiko tanggung sendiri," kata si Mamang, yang mau nggak mau bikin kita semua keder juga.
Walhasil, joran yang udah disetel terpaksa dilipat lagi. Pasus jadi manyun melulu, makanya hasil design lay outnya jadi berantakan (hehehe, canda, Cus...). Maka, jadwal harus digeser. Rencananya mungkin pekan ketiga September, sebelum puasa masuk.
Jadi, mudah-mudahan saja berjalan lancar. Sudah lama juga tidak menulis soal petualangan di pesisir semacam ini. Konon, di Handeleum dan sekitarnya ada banyak tantangan yang menggiurkan (berperahu di tengah hutan bakau, dengan ikan kerapu segede paha berenang2x di bawahnya, plus buaya-buaya muara yang memandang kita dengan mesra di kejauhan -- kali-kali juga mereka berdoa menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, agar ada mangsa yang sial kecebur dan bisa dicicipi. Hiii....)
Jadi, ceritanya, ide ini sudah disusun sejak Juli lalu dan klimaksnya pada Agustus awal. Teman2x para petualang pesisir amatir seperti saya, Tony, Pasus, Tammy, dan Glaudy sudah siap dengan segala perlengkapan. Bahkan tim luar ikut bergabung seperti Agung yg pegawai bank ("itung-itung refreshing," katanya yg abis dibantai ujian S2), dan beberapa sobat lain.
Kabar buruk datang. Tukang perahu di Kampung Sumur telepon bahwa ombak lagi tinggi, 4 meteran. Malah semua pengunjung di sekitar Taman Nasional terpaksa diungsikan sementara. "Bisa aja sih Mas nerusin niatnya, cuma resiko tanggung sendiri," kata si Mamang, yang mau nggak mau bikin kita semua keder juga.
Walhasil, joran yang udah disetel terpaksa dilipat lagi. Pasus jadi manyun melulu, makanya hasil design lay outnya jadi berantakan (hehehe, canda, Cus...). Maka, jadwal harus digeser. Rencananya mungkin pekan ketiga September, sebelum puasa masuk.
Jadi, mudah-mudahan saja berjalan lancar. Sudah lama juga tidak menulis soal petualangan di pesisir semacam ini. Konon, di Handeleum dan sekitarnya ada banyak tantangan yang menggiurkan (berperahu di tengah hutan bakau, dengan ikan kerapu segede paha berenang2x di bawahnya, plus buaya-buaya muara yang memandang kita dengan mesra di kejauhan -- kali-kali juga mereka berdoa menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, agar ada mangsa yang sial kecebur dan bisa dicicipi. Hiii....)
Ramai-ramai Ganti Rupa
Note: Mengingat 'penggemar' saya, Latief "Poltak" Siregar beserta istri menjelang puasa nanti akan kembali ke tanah air setelah bertapa selama setahun penuh di Norwich, London -- maka tak ada salahnya kita sambut dengan bahasan tentang media menjelang puasa. Sebuah tulisan daur ulang yang masih layak direnungkan. Begitu, Bro? (AH)
Sekarang sudah September 2005. Siapa nyana, tak sampai sebulan lagi, Ramadhan bakal menghampiri. Dan terkait soal media massa, rasanya bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat yang peduli lainnya, Ramadhan mungkin satu-satunya bulan yang bikin mereka sedikit lega. Pasalnya, selama 30 hari tontonan dan bacaan di media massa bisa agak “beradab” dibanding masa-masa di luar itu.
Biasanya, di luar waktu itu, ke saluran mana pun remote diarahkan, tayangan yang muncul tak jauh dari film tak senonoh, berita kriminal, infotainment nyinyir, atau pertunjukan musik dengan busana dan goyang penyanyinya yang vulgar. Juga tentang sinetron yang dipenuhi peran pria banci, program hantu dan mistik, reality show yang mengundang habisnya pulsa pemirsa, dan lain-lain.
Namun, ajaib, di bulan Ramadhan, kebanyakan semuanya berubah. Sejenak, memang. Yang hobi bergoyang sensual, tiba-tiba saja berbusana lebih tertutup dan hadir pula di program pengajian live. Hantu-hantu dan sebangsanya menghilang, atau setidaknya menyingkir ke jam tayang larut malam. Sementara itu, ada artis yang dikenal membawa acara gosip menjelma menjadi presenter acara rohani. Film dewasa menjadi film dakwah. Belum lagi hadirnya sinetron yang sudah dipersiapkan rumah produksi khusus buat slot bulan puasa, rata-rata bertema pertarungan kebaikan dan kejahatan dan happy ending. Si jahat keok, si baik menang dan sejahtera.
Media Massa dan Etika
Media massa sesungguhnya punya etika. Yang dimaksud etika di sini adalah aturan moral yang memandu kegiatan mereka sehari-hari. Etika membimbing para profesional media masa harus berlaku pada setiap aktivitas mereka yang bisa mengakibatkan efek negatif pada orang lain. Panduan-panduan ini banyak disusun oleh organisasi-organisasi profesional sesuai bidangnya. Jurnalis dan praktisi komunikasi lainnya secara terus-menerus membuat keputusan etis mengenai hal-hal yang secara spesifik diatur hukum.
Di negara Barat seperti Amerika, persoalan etika di dunia media massa telah muncul dan dibahas sejak lama, terutama mengenai cara media menampilkan isu tentang seksualitas, kekerasaan, dan material sensasi lainnya untuk membuat khalayak tertarik pada media tersebut. Acara televisi, isi media cetak, dan film sebagai telah dketahui berdampak bagi besar bagi publik. Para pembuat film, misalnya, sekarang marak membuat film kekerasan, berbau seksual, rasis, sensasional, dan lain-lain. Demikian pula pengelola koran dan majalah, serta pengelola stasiun televisi. Semua produk mereka diyakini bisa mempengaruhi penontonnya. Apakah mereka harus bertanggung jawab kepada publik atas yang mereka produksi?
Para produsen biasanya punya dua kalimat pembelaan. Pertama, pembaca atau penonton sesungguhnya tidaklah serapuh itu dalam menerima pesan film. Kedua, penonton atau orangtuanya (dalam kasus kanak-kanak) harusnya bertanggung jawab sendiri tentang keputusan mereka tentang terbitan yang harus mereka baca, film dan program yang mereka tonton, dan sebagainya.
Khusus bulan suci, fenomenanya memang menarik. Media massa sadar bahwa dalam waktu itu mayoritas umat Islam tengah menjalankan ibadah puasa. Suasana kerohanian mereka tengah tinggi-tingginya. Jika media massa nekad menjalankan program yang menurut umat tidak sejalan dengan semangat kerohaniannya saat itu, maka media massa bisa mendapat masalah besar. Mereka bisa ditinggal konsumennya di masa mendatang.
Karena itu, mengikuti selera pasar adalah jalan teraman dan paling logis,. Jadi, media masa bukan memenuhi etika belaka. Fenomena ini bukan hanya milik Indonesia. Kevin Keena dan Sultana Yeni, dua peneliti di University of America, Kairo, dalam penelitian mereka menemukan bahwa di Mesir pun terjadi kecenderungan sama (thx to Bro Yayan, yang memberi data ini). Selama bulan Ramadhan, mereka mengamati 508 iklan yang ditayangkan stasiun televisi setempat. Ternyata, iklan dalam bulan suci jumlahnya lebih sedikit di banding di luar bulan Ramadhan. Isinya pun mayoritas mengangkat soal-soal rohani. Demikian juga dengan tampilan dan busana bintang-bintangnya lebih rapi dan tertutup.
Media = Powerful?
Telah lama orang percaya bahwa media massa punya pengaruh dan kekuatan yang besar. Itu karena publik melihat media massa bisa mempengaruhi opini publik dan pemegang kebijakan. Apa yang ditayangkan media bisa menjadi tren yang diikuti masyarakat.
Benarkah demikian? Tidak selalu. Sebagian pihak malah percaya sebaliknya, media massa sesungguhnya tidak sekuat dan sekokoh yang dibayangkan. Asal tahu saja, untuk bisa hidup survive, media massa harus berprinsip sebagaimana lembaga bisnis lainnya. Media massa amat tergantung pada beberapa pihak penting sebagai “penyambung nyawa” mereka. Pihak itu antara lain pemilik perusahaan atau para pemegang saham.
Contoh gampang, misalnya, dulu sebuah stasiun TV dengan gencar menayangkan seri final Piala Thomas dan Uber, sementara stasiun lain tidak melakukannya. Mengapa? Karena pemilik stasiun televisi itu kebetulan juga adalah ketua organisasi olahraga tersebut. Atau, sebuah koran di Sumatera kerap memasang jurnal kegiatan pemiliknya di edisi minggu harian tersebut. Padahal, kegiatan si pemilik bisa jadi tak layak berita.
Media massa juga bergantung dari para pemasang iklannya. Jika ada pemasang iklan yang merasa tidak terpenuhi keinginannya, mereka bisa hengkang dan ogah memasang produknya untuk dipromosikan lewat media massa itu. Gawat, sumber penghasilan bisa berkurang, apalagi jika klien pemasang iklan itu adalah perusahaan gede.
Selain itu, rumah-rumah produksi, distributor film/program atau berita juga jadi gantungan harapan pengelola media. Terutama di televisi, para penjual film ini amat dominan mempengaruhi stasiun televisi. Jika tidak, jangan harap pengelola mendapatkan acara atau film bagus Lama-lama, mereka bisa ditinggal penontonnya.
Terakhir, yang tak kalah penting, masyarakat atau publik juga punya kekuatan yang memaksa media melakukan sesuatu. Beberapa acara atau program yang tak senonoh di masa lalu sempat diprotes kalangan Islam, dan akhirnya tidak ditayangkan lagi. Seorang presenter televisi swasta, karena silap menjadikan cacat salah satu presiden waktu itu, terpaksa di-grounded oleh redaksinya, karena mereka mendapat ancaman dari organisasi massa pendukung sang presiden.
Jalan Masih Panjang
Dengan banyaknya pihak yang patut diwaspadai oleh pengelola, tak heran kalau media massa berusaha mencari jalan seaman mungkin. Sayangnya, yang paling kuat pengaruhnya selama ini tetap saja adalah dari pihak pemilik atau pemegang saham serta para pengiklan dan rumah produksi. Adapun masyarakat, sepanjang suara mereka masih bisa diredam, maka pengaruhnya sering kali diabaikan. RCTI, misalnya, karena mendapat pukulan telak dari seorang warga yang tak terima dilecehkan dalam sebuah program reality show – oleh pembuat program dan oknum polisi ia ditakut-takuti dan dituduh sebagai pembawa narkoba hingga akhirnya si korban marah dan melapor – baru akhirnya memutuskan tidak menayangkan program-program acara yang bertujuan ‘mengerjai’ orang.
Khusus televisi, secara faktual harus diakui selama ini lebih menonjolkan peran sebagai medium hiburan (entertainment). Padahal dua tokoh komunikasi massa, Laswell dan Right, dengan tegas menyebut bahwa fungsi sosial komunikasi massa yang diemban media bukan cuma sebagai sarana hiburan, melainkan juga sebagai sarana pengawasan lingkungan, korelasi sosial, dan sosialisasi.
“Jangan berharap banyak,” begitu kata seorang petinggi sebuah stasiun TV saat berdiskusi dengan mahasiswa dalam kuliah soal media di Salemba. Sedikit-banyak ia mengaku bahwa jalan menuju sebuah tayangan yang bermartabat dan terhindar dari kekerasan, pornografi, kebohongan, serta sensasi, masih amat jauh. Itu bermakna, untuk tahun ini dan beberapa tahun mendatang, sepertinya tayangan dan program TV, acara radio, bacaan di koran dan majalah, masih mengikuti pola yang sudah-sudah: bersopan-sopan di bulan suci, dan kembali garang dan liar selepasnya.
Tentu, bukan berarti seluruh pengelola media massa berpikir bisnis praktis seperti itu. Ketika Islam, misalnya, mengajarkan bahwa informasi haruslah untuk tujuan mendidik dan makin mendekatkan umat pada Sang Pencipta, cara dan jalan menuju ke sana pastilah selalu ada. Buktinya, beberapa terbitan dan program televisi dan radio bernafaskan dakwah –baik di dalam maupun di luar bulan suci-- setidaknya telah menunjukkan bahwa semuanya mungkin dicapai. Lagipula, bisnis maju dan pencapaian predikat takwa bukanlah dua tujuan yang melulu harus ditempuh dengan kenderaan berbeda. Bukan begitu?
Karena itu, meskipun kuat dugaan bahwa media bakal berlaku sama seperti tahun-tahun kemarin di bulan puasa, toh tak ada salahnya kita tetap memasang mata dan telinga mengamati aksi mereka bulan-bulan ini. (ah)
Sekarang sudah September 2005. Siapa nyana, tak sampai sebulan lagi, Ramadhan bakal menghampiri. Dan terkait soal media massa, rasanya bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat yang peduli lainnya, Ramadhan mungkin satu-satunya bulan yang bikin mereka sedikit lega. Pasalnya, selama 30 hari tontonan dan bacaan di media massa bisa agak “beradab” dibanding masa-masa di luar itu.
Biasanya, di luar waktu itu, ke saluran mana pun remote diarahkan, tayangan yang muncul tak jauh dari film tak senonoh, berita kriminal, infotainment nyinyir, atau pertunjukan musik dengan busana dan goyang penyanyinya yang vulgar. Juga tentang sinetron yang dipenuhi peran pria banci, program hantu dan mistik, reality show yang mengundang habisnya pulsa pemirsa, dan lain-lain.
Namun, ajaib, di bulan Ramadhan, kebanyakan semuanya berubah. Sejenak, memang. Yang hobi bergoyang sensual, tiba-tiba saja berbusana lebih tertutup dan hadir pula di program pengajian live. Hantu-hantu dan sebangsanya menghilang, atau setidaknya menyingkir ke jam tayang larut malam. Sementara itu, ada artis yang dikenal membawa acara gosip menjelma menjadi presenter acara rohani. Film dewasa menjadi film dakwah. Belum lagi hadirnya sinetron yang sudah dipersiapkan rumah produksi khusus buat slot bulan puasa, rata-rata bertema pertarungan kebaikan dan kejahatan dan happy ending. Si jahat keok, si baik menang dan sejahtera.
Media Massa dan Etika
Media massa sesungguhnya punya etika. Yang dimaksud etika di sini adalah aturan moral yang memandu kegiatan mereka sehari-hari. Etika membimbing para profesional media masa harus berlaku pada setiap aktivitas mereka yang bisa mengakibatkan efek negatif pada orang lain. Panduan-panduan ini banyak disusun oleh organisasi-organisasi profesional sesuai bidangnya. Jurnalis dan praktisi komunikasi lainnya secara terus-menerus membuat keputusan etis mengenai hal-hal yang secara spesifik diatur hukum.
Di negara Barat seperti Amerika, persoalan etika di dunia media massa telah muncul dan dibahas sejak lama, terutama mengenai cara media menampilkan isu tentang seksualitas, kekerasaan, dan material sensasi lainnya untuk membuat khalayak tertarik pada media tersebut. Acara televisi, isi media cetak, dan film sebagai telah dketahui berdampak bagi besar bagi publik. Para pembuat film, misalnya, sekarang marak membuat film kekerasan, berbau seksual, rasis, sensasional, dan lain-lain. Demikian pula pengelola koran dan majalah, serta pengelola stasiun televisi. Semua produk mereka diyakini bisa mempengaruhi penontonnya. Apakah mereka harus bertanggung jawab kepada publik atas yang mereka produksi?
Para produsen biasanya punya dua kalimat pembelaan. Pertama, pembaca atau penonton sesungguhnya tidaklah serapuh itu dalam menerima pesan film. Kedua, penonton atau orangtuanya (dalam kasus kanak-kanak) harusnya bertanggung jawab sendiri tentang keputusan mereka tentang terbitan yang harus mereka baca, film dan program yang mereka tonton, dan sebagainya.
Khusus bulan suci, fenomenanya memang menarik. Media massa sadar bahwa dalam waktu itu mayoritas umat Islam tengah menjalankan ibadah puasa. Suasana kerohanian mereka tengah tinggi-tingginya. Jika media massa nekad menjalankan program yang menurut umat tidak sejalan dengan semangat kerohaniannya saat itu, maka media massa bisa mendapat masalah besar. Mereka bisa ditinggal konsumennya di masa mendatang.
Karena itu, mengikuti selera pasar adalah jalan teraman dan paling logis,. Jadi, media masa bukan memenuhi etika belaka. Fenomena ini bukan hanya milik Indonesia. Kevin Keena dan Sultana Yeni, dua peneliti di University of America, Kairo, dalam penelitian mereka menemukan bahwa di Mesir pun terjadi kecenderungan sama (thx to Bro Yayan, yang memberi data ini). Selama bulan Ramadhan, mereka mengamati 508 iklan yang ditayangkan stasiun televisi setempat. Ternyata, iklan dalam bulan suci jumlahnya lebih sedikit di banding di luar bulan Ramadhan. Isinya pun mayoritas mengangkat soal-soal rohani. Demikian juga dengan tampilan dan busana bintang-bintangnya lebih rapi dan tertutup.
Media = Powerful?
Telah lama orang percaya bahwa media massa punya pengaruh dan kekuatan yang besar. Itu karena publik melihat media massa bisa mempengaruhi opini publik dan pemegang kebijakan. Apa yang ditayangkan media bisa menjadi tren yang diikuti masyarakat.
Benarkah demikian? Tidak selalu. Sebagian pihak malah percaya sebaliknya, media massa sesungguhnya tidak sekuat dan sekokoh yang dibayangkan. Asal tahu saja, untuk bisa hidup survive, media massa harus berprinsip sebagaimana lembaga bisnis lainnya. Media massa amat tergantung pada beberapa pihak penting sebagai “penyambung nyawa” mereka. Pihak itu antara lain pemilik perusahaan atau para pemegang saham.
Contoh gampang, misalnya, dulu sebuah stasiun TV dengan gencar menayangkan seri final Piala Thomas dan Uber, sementara stasiun lain tidak melakukannya. Mengapa? Karena pemilik stasiun televisi itu kebetulan juga adalah ketua organisasi olahraga tersebut. Atau, sebuah koran di Sumatera kerap memasang jurnal kegiatan pemiliknya di edisi minggu harian tersebut. Padahal, kegiatan si pemilik bisa jadi tak layak berita.
Media massa juga bergantung dari para pemasang iklannya. Jika ada pemasang iklan yang merasa tidak terpenuhi keinginannya, mereka bisa hengkang dan ogah memasang produknya untuk dipromosikan lewat media massa itu. Gawat, sumber penghasilan bisa berkurang, apalagi jika klien pemasang iklan itu adalah perusahaan gede.
Selain itu, rumah-rumah produksi, distributor film/program atau berita juga jadi gantungan harapan pengelola media. Terutama di televisi, para penjual film ini amat dominan mempengaruhi stasiun televisi. Jika tidak, jangan harap pengelola mendapatkan acara atau film bagus Lama-lama, mereka bisa ditinggal penontonnya.
Terakhir, yang tak kalah penting, masyarakat atau publik juga punya kekuatan yang memaksa media melakukan sesuatu. Beberapa acara atau program yang tak senonoh di masa lalu sempat diprotes kalangan Islam, dan akhirnya tidak ditayangkan lagi. Seorang presenter televisi swasta, karena silap menjadikan cacat salah satu presiden waktu itu, terpaksa di-grounded oleh redaksinya, karena mereka mendapat ancaman dari organisasi massa pendukung sang presiden.
Jalan Masih Panjang
Dengan banyaknya pihak yang patut diwaspadai oleh pengelola, tak heran kalau media massa berusaha mencari jalan seaman mungkin. Sayangnya, yang paling kuat pengaruhnya selama ini tetap saja adalah dari pihak pemilik atau pemegang saham serta para pengiklan dan rumah produksi. Adapun masyarakat, sepanjang suara mereka masih bisa diredam, maka pengaruhnya sering kali diabaikan. RCTI, misalnya, karena mendapat pukulan telak dari seorang warga yang tak terima dilecehkan dalam sebuah program reality show – oleh pembuat program dan oknum polisi ia ditakut-takuti dan dituduh sebagai pembawa narkoba hingga akhirnya si korban marah dan melapor – baru akhirnya memutuskan tidak menayangkan program-program acara yang bertujuan ‘mengerjai’ orang.
Khusus televisi, secara faktual harus diakui selama ini lebih menonjolkan peran sebagai medium hiburan (entertainment). Padahal dua tokoh komunikasi massa, Laswell dan Right, dengan tegas menyebut bahwa fungsi sosial komunikasi massa yang diemban media bukan cuma sebagai sarana hiburan, melainkan juga sebagai sarana pengawasan lingkungan, korelasi sosial, dan sosialisasi.
“Jangan berharap banyak,” begitu kata seorang petinggi sebuah stasiun TV saat berdiskusi dengan mahasiswa dalam kuliah soal media di Salemba. Sedikit-banyak ia mengaku bahwa jalan menuju sebuah tayangan yang bermartabat dan terhindar dari kekerasan, pornografi, kebohongan, serta sensasi, masih amat jauh. Itu bermakna, untuk tahun ini dan beberapa tahun mendatang, sepertinya tayangan dan program TV, acara radio, bacaan di koran dan majalah, masih mengikuti pola yang sudah-sudah: bersopan-sopan di bulan suci, dan kembali garang dan liar selepasnya.
Tentu, bukan berarti seluruh pengelola media massa berpikir bisnis praktis seperti itu. Ketika Islam, misalnya, mengajarkan bahwa informasi haruslah untuk tujuan mendidik dan makin mendekatkan umat pada Sang Pencipta, cara dan jalan menuju ke sana pastilah selalu ada. Buktinya, beberapa terbitan dan program televisi dan radio bernafaskan dakwah –baik di dalam maupun di luar bulan suci-- setidaknya telah menunjukkan bahwa semuanya mungkin dicapai. Lagipula, bisnis maju dan pencapaian predikat takwa bukanlah dua tujuan yang melulu harus ditempuh dengan kenderaan berbeda. Bukan begitu?
Karena itu, meskipun kuat dugaan bahwa media bakal berlaku sama seperti tahun-tahun kemarin di bulan puasa, toh tak ada salahnya kita tetap memasang mata dan telinga mengamati aksi mereka bulan-bulan ini. (ah)
Subscribe to:
Posts (Atom)