Kolumnis handal, almarhum Mahbub Djunaidi, menuliskan judul tersebut dalam sebuah kolomnya di Majalah Tempo, 32 tahun silam, tepatnya bulan Juni 1973. Seperti biasa, Mahbub lihai bermain dengan fakta dan kata-kata. Orang Jerman, sebutnya, tak ubahnya bak serigala. Beraninya main keroyok. Ia tak sembarang ucap. Keterangan itu dikutip Mahbub dari buku W. Trotter, Instinct of The Herd in Peace and War, tahun 1916. Trotter sendiri adalah orang Inggris. Mohon maklum.
Lain lagi orang Cina, yang identik dengan naga. Singapura, mungkin, cocok diwakilkan dengan hewan singa. Sementara warga Spanyol, barangkali bangga disebut punya semangat sebagai banteng, meskipun faktanya di arena laga hewan ini lebih banyak mati dicucuk sang matador sendiri. Untuk Indonesia, Mahbub punya banyak perumpaan. Walau lambang negara menggunakan burung garuda, dari sudut beranak pinak, orang Indonesia lazim diumpamakan sebagai marmot, katanya. Waktu itu tentu program Keluarga Berencana tengah digalakkan. Dari sudut kepatuhannya, orang Indonesia bisa pula dimisalkan dengan bebek. Untuk ukuran situasi sosial dan politik tahun-tahun itu, perumpamaan tokoh intelektual NU ini cukup pedas dan bikin perih kuping penguasa.
Di masa kini, sesungguhnya ungkapan Mahbub tadi bukan sesuatu yang main-main dan retorika belaka. Pertanyaannya masih amat relevan dilontarkan kembali. Meskipun di jaman internet yang super modern ini sudah tak pantas memirip-miripkan manusia dengan hewan, kenyataannya manusia sebagai makhluk yang diciptakan termulia oleh Tuhan ini kerap berpikir, berucap, dan bertingkah laku bagai hewan, bahkan lebih rendah dari itu.
Bukankah akhirnya ada pepatah “homo homini lupus”? Itu terkenal tak lain karena manusia sering bersikap sebagai serigala bagi yang lain. Dalam banyak urusan dunia, dari kursi kepala desa sampai intrik di gedung DPR-MPR, sikap sebagai serigala adalah sesuatu yang sering dijumpai. Tak hanya mencakar, bila perlu lawan bisnis dan politik dicabik-cabik untuk kemudian bangkainya dinikmati.
Untuk soal serigala ini, tokoh PDI Perjuangan, Arifin Panigoro bisa jadi sedikit berbeda paham. Sebagai salah satu tokoh utama yang bersama Poros Tengah merancang lengsernya Abdurrahman Wahid dan naiknya Megawati di Sidang Istimewa MPR akhir Juli 2001 silam, ia sempat diguncang kasus utang perusahaannya. Dalam pandangan bos Medco ini, kasus tersebut dirancang untuk menjegalnya. Maka, kepada pers, ia menyebut orang-orang yang merekayasa itu sebagai hyena. Ini hewan Afrika yang buruk rupa dan punya kebiasaan bergerombol menyerang mangsanya. Mirip-mirip serigala juga.
Kita mungkin bisa disamakan juga dengan ular. Meski ular meliliti gelas dijadikan simbol pengobatan di dunia farmasi, dalam istilah sehari-hari hewan melata ini jadi simbol penipu, tukang bual. Rakyat kecil yang kini terlunta-lunta karena rumahnya tergusur oleh aparat Tramtib dan Pemda DKI -- dengan dalih tak ada ijin tinggal di lokasi tersebut dan demi keindahan Jakarta—dapat menuding pemerintah sebagai ular karena menipu mereka. Mayoritas mereka tak paham dengan ilmu lanskap atau tata kota metropolitan. Tapi Undang-Undang Dasar Pasal 34 jelas-jelas menyebut orang miskin dan anak yatim dipelihara oleh negara. Walhasil, itu terasa kontradiktif dengan kejadian yang mereka alami sekarang. Meski kartu miskin dibagikan bagi keluarga miskin untuk mendapatkan biaya kompensasi BBM sebesar Rp 100 ribu di kantor pos tiap bulan, tetap saja jutaan penduduk lainnya tidak menerima, dengan alasan ketiadaan tanda/identitas kependudukan yang jelas. Nasib ditentukan oleh selembar identitas, yang untuk memperolehnya pun kerap harus menyumpal mulut pegawai kelurahan dengan uang. Ular sekali, bukan? Bagi yang geli atau tidak suka melihat ular, barangkali dapat ‘memisuhi’ keadaan dengan hewan lain yang lebih kecil tapi punya konotasi sama; kadal.
Bahkan, dalam beberapa hal, kitab suci membuat perumpamaan manusia sebagai binatang. Al Quran ada menyebut orang-orang yang berdosa sebagai ternak atau hewan melata, bahkan lebih rendah dari itu. Dalam satu bagian dari Surat Al Baqarah yang menceritakan Bani Israil (Yahudi), dikisahkan bagaimana kaum ini suka sekali melecehkan nabi-nabi mereka sendiri, termasuk melanggar hari yang telah dikhususkan bagi mereka untuk beribadat. Oleh Al Quran, mereka disebut menjadi kera yang hina (qiradatan khaasyi’in). Ada ahli tafsir yang menganggap hati merekalah yang bagai kera, sementara yang lain menyebut mereka memang menjadi kera yang sesungguhnya. Dalam konteks sekarang, Dr. Mushthafa Mahmud (Monyet di Abad Manusia, Husaini 1987) menggambarkan masa yang penuh dekadensi moral saat ini sebagai abad kera.
Sedangkan kebebalan dan rasa tak tahu malu manusia biasa dicerminkan dengan sifat badak. Tebal muka, tak tahu malu, dan asal seruduk, sepertinya hal lazim yang banyak ditemui di masyarakat. Sifat itu malah dipertontonkan di depan khalayak. Kelas paling rendah, sebut saja contoh, tentulah baku hantam antaranggota dewan yang terjadi terdalam pembukaan Sidang Tahunan 2001 silam. Bukannya malu, insiden itu dianggap biasa dengan alasan parlemen negeri lain punya kebiasaan yang lebih buruk dari itu. Atau, para orang pintar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) sana, yang dengan tega memakan uang rakyat untuk memperkaya kantong mereka secara kolektif, lalu dengan wajah tak berdosa mengaku tidak pernah kecipratan. Kalau disebut badak, mungkin mereka ini masuk kategori badak yang mukanya “kapalen” (mengalami penebalan jaringan kulit, kata orang Jawa). Tebal muka dan tak sensitif terhadap persoalan rakyat ini agaknya memang menjadi penyakit lama dari para pelaku politik dalam negeri, baik mereka yang duduk di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Tak selalu sifat, sikap, dan perilaku manusia itu mirip dengan hewan besar. Dalam banyak hal lain, manusia bisa menyaingi hewan kecil seperti lintah, nyamuk, atau tungau. Kerjanya hampir sama, mengisap darah mangsanya sepuas hati untuk kemudian lepas begitu saja. Ada berapakah lintah, nyamuk, atau tungau di masyarakat kita? Konon sepertiga dari dana pembangunan Indonesia bocor di tengah jalan. ‘Bagi-bagi rejeki’ itu sudah berakar cukup kuat dan dilakukan dari eselon rendah sampai puncak. Membandingkan akar yang sudah terhujam kuat itu dengan slogan pencanangan pemberantasan KKN oleh pemerintahan SBY-JK membuat hati menjadi miris dan harap-harap cemas.
Entah berapa triliun rupiah dana masyarakat di bank tersedot oleh para konglomerat lewat permainan liar mereka. Dana itu digunakan untuk kepentingan bisnis grupnya sendiri di bidang-bidang yang kerap tak bersentuhan langsung dengan kepentingan publik. Ketika bank bersangkutan kolaps, alih-alih dimintai pertanggungjawabannya di pengadilan, para konglomerat hitam itu –meminjam istilah Kwik Kian Gie—malah dibantu pemerintah, yang dengan pontang-panting menyelamatkan bank sekarat tersebut dengan injeksi dana segarnya.
Mereka, meminjam istilah Yasraf Amir Piliang (Sebuah Dunia yang Menakutkan, Mizan 2001), sesungguhnya adalah mesin parasit, organisme yang menumpang dengan modal seadanya dan menghisap negara semau-maunya. Di negeri ini ada banyak mesin parasit ekonomi, mesin parasit politik, mesin parasit hukum, mesin parasit spiritual, dan sebagainya.
Sesungguhnya, ada banyak lagi hewan yang mewakili wajah buruk kita sehari-hari --bunglon, buaya, kambing hitam, ulat, burung nasar, beo, dan lain sebagainya. Sifat kehewanan itu, sadar atau tidak, semakin hari semakin merasuk dalam diri kita, manusia Indonesia. Akibatnya, lama-kelamaan kita sendiri makin sulit membedakan, apakah kita ini manusia atau memang hewan asli yang jadi perumpamaan tadi. Jiwa manusia Indonesia, dengan semua ini, tak lama lagi bakal berubah menjadi ‘kebun binatang’ keburukan.
Begitupun, Tuhan sungguh Maha Pengasih dan Penyayang. Ditetapkan-Nya sebuah bulan, yang dengan bulan itu setiap orang berkesempatan mencuci sifat kehewanannya. Meski Ramadhan diciptakannya buat segenap umat Islam, entah kenapa rasanya yang patut paling bersyukur dalam hal ini adalah manusia Indonesia, kita semua. Allah bermurah hati memberi waktu pada kita sebulan penuh untuk menggelontor sifat hewani yang sudah menebal, segera sebelum kita sendiri terlambat menyadari dan tak dapat memulihkan sikap kebinatangan itu.
Persoalannya sekarang, seberapa jauh kemahapengasihan Allah itu diterima oleh kita dengan rasa syukur, sehingga upaya pengembalian fitrah sebagai manusia itu dimanfaatkan sebaik mungkin, serta diwujudkan kelak dalam kehidupan sehari-hari. Jika dengan waktu yang terbuka luas ini kita juga gagal menemukan jati diri kemanusiaan kita, apa boleh buat. Tubuh boleh insani, namun jiwa tetap hewani. Bahkan, hewan yang dinisbahkan namanya pun bisa jadi tak sudi dijadikan perumpamaan sifat buruk kita itu. Seburuk-buruknya hewan, mereka masih tetap berzikir pada Sang Pencipta. Sedangkan kita? Ah, betapa menyedihkan…
Selamat Shiyam Ramadhan. Mohon maaf lahir batin… (ah)
1 comment:
aku suka sekali nonton harun yahya. sekalian ngajarin anak2ku betapa luar biasanya kehidupan hewan dimuka bumi ini. suka nonton harun yahya nggak mad?
sekalian saya mau minta ma'af lahir batin. selamat menjalankan ibadah puasa ya :)
Post a Comment