Malioboro tinggal dua puluh langkah lagi. Empat hari di Yogya, dua pekan lalu, tentu tidak absah jika tidak menyusuri kawasan populer ini. Malam itu, saya dan rekan sekantor, Mar Ir., berniat mencari makan di depan Pasar Beringharjo. "Sekalian mau nostalgia," katanya. Mas Ir pernah di kota gudeg ini cukup lama, konon sekitar 8 tahun.
Seperti biasa, tukang becak mengerumuni kami, mencari peluang untuk mengantarkan turis (emang saya turis?) keliling kota, atau ke mana saja yang diinginkan. Ongkos tidak mahal-mahal amat. Ada yang menawarkan 2000 perak sekali jalan.
Tetapi, sekonyong-konyong ada yang sangat mengganggu saya. Tawaran mereka berubah menjadi bisikan. "Mau cewek, Mas? Ada, bisa diantar ke sana. Ayu-ayu lho," kata tukang becak yang berkaos parpol, mengikuti saya dengan gigih dari belakang. Saya tolak halus. Mas Ir cuma senyum. Eh, nggak kapok. Yang lain juga menempel, menjajakan usulan 'menarik' lainnya. "Mau yang mahasiswi, Mas, bisa, untuk pijet-pijet..."
Bahwa bisnis wisata dan urusan sahwat hubungannya persis seperti sate kambing dengan bumbu kecap (pas nggak sih, padanannya? ngarang, deh), semua juga tau. Namu kenyataan tawaran soal perempuan itu, entah kenapa, tetap saja sangat mengecewakan saya. Kok jadi begini??
Saya tidak akrab dengan Yogya. Kalaupun pernah ke sini, urusannya cuma sekadar mampir, melanjutkan perjalanan ke kota lain. Meskipun begitu, dalam hati sanubari saya yang paling dalam, saya amat menghormati kota ini. Kota dengan budaya yang tinggi, katanya. Kota dengan suasana intelektual yang lebih kental, bahkan mungkin lebih di atas Bogor, yang jadi kota kedua saya selama ini. Dan spirit itu sudah saya tangkap dan nikmati ketika nongkrong hingga tengah malam di depan Benteng Vredeburg, diselingi kunjungan tak henti para pengamen jalanan. Di sela-sela becak warna-warni, dan guyonan akrab mbok penjual pecel.
Dan itu jadi buyar tidak karuan dengan adanya bisik-bisik tawaran soal perempuan itu. Selalu jika soal perempuan menjadi obyek sahwat seperti ini, saya jadi muak. Saya tanya ke Mas Ir, apakah sudah biasa begini, atau tren-nya baru-baru saja. Dia tidak menjawab pasti. Tetapi, "Dulu juga saya tidak pernah lihat cewek pakai pakaian mini kayak begitu di Yogya ini," katanya, menunjuk sekelompok perempuan muda tengah bercengkerama di bawah pohon beringin, di seberang benteng.
Lalu, bayangan saya terlempar kembali ke beberapa tahun silam, ketika berada di kereta malam Jayabaya dari Nganjuk menuju Jakarta. Seorang lelaki parlente, 40-tahunan, naik dari Madiun hendak ke Yogya, duduk di sebelah saya. Lama ngalor-ngidul, lelaki ini cerita kalau dia ke Yogya ingin bertemu dengan 'peliharaannya". Kucing anggora atau anjing herder? Bukan, peliharaannya itu adalah seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri di kota tersebut. Itu pengakuannya. Ia bertutur, sudah lama menjalin hubungan yang lumayan bergelora dengan perempuan itu. "Kalau mas mau coba, boleh suatu saat kunjungi saya," katanya, berpromosi. Lha? Sial, nggak. Waktu itu, saya lagi tidak berselera menggebuk orang, sungguh. Padahal kalau dipikir-pikir, omongan si pria parlente itu amat saru, tidak sopan, dan sungguh bercita rasa exhibisionist. Entahlah.... Yang jelas, ia turun di Yogya, sambil bersiul-siul dan menyisir rambutnya yang hitam licin.
Apakah Yogya sudah berubah. Atau, memangnya kalau sudah berubah, kenapa? Jangan-jangan saya yang terlalu sensitif. Mengapa saya merisaukan Yogya dan perempuannya, sedangkan di Jakarta soal itu sudah jamak terjadi.
Di Jakarta, di tepian kali dekat jalan Latuharhari, saya pernah observasi, saat menjadi wartawan dahulu. Ketika masuk ke daerah itu pukul 7 malam, segerombolan wanita setengah baya sudah mengerumuni dan memberi tawaran servis dengan harga ala diskon swalayan. Cuma Rp 10.000. Saya abaikan. Ketika berbincang dengan penjual teh botol di lapak liar di sana, tepat di depan lapak ada gubuk plastik hitam, yang pasangan lelaki-perempuan gonta-ganti keluar masuk. Tahu sendiri, apa yang mereka perbuat di sana. Masuk rapi, keluar berantakan. Ketika saya keluar dari sana, perempuan-perempuan yang sama masih memburu, dengan harga kian miring. Rp 3000 short time. Busyet dah....
Lalu, kenapa saya jadi uring-uringan dengan fenomena tawar-menawar perempuan di Yogya tadi? Jawabnya, tidak tahu. Mungkin karena saya terlalu menaruh respek pada Yogya dalam benak saya selama ini. Saya yang tidak terlalu akrab pada kota ini, tetapi percaya bahwa ia memang berbeda dari kota-kota lain. Kota yang saya anggap lebih bermartabat (ah, perasaan terlalu bermain di sini). Atau, saya saja yang terlalu cepat mengambil kesimpulan. Cerita soal perempuan yang bisa melayani macem-macem di Yogya mungkin saja hanya di sekitar hotel. Bukan di kawasan lain. Ya, bisa jadi.
Yang jelas, selain soal insiden ditawari perempuan itu, aura positif Yogya memang seperti bayangan saya. Lain kali saya pasti ke sini. Dengan uang sendiri :) dan mudah-mudahan tidak bertemu lagi dengan tukang becak yang menawari perempuan seperti kemarin. Ampun deh...
2 comments:
wah makin ngetop aja ya. awas nyaingin blog saya ya. awas!
Hmmm... Aku pernah kuliah dan kerja di Yogya selama 6 tahun. Aku suka travelling & menetap di kota itu untuk waktu yang lumayan lama. Kota yang paling nyaman, enak, dan selalu memintaku untuk kembali ya cuma Yogya. Apalagi kalo udah denger lagunya Kla Project yang Yogyakarta, whew... Jadi inget yang engga2 :p
Yogya masih tetep nyaman & aku kurang setuju kalo blog ini dikasi judul "Yogya & Perempuan"
Yogya engga identik dengan perempuan. Yang identik dengan perempuan ya cuma kawasan Sarkem yang kebetulan deket dengan Malioboro dan kebetulan Mas dolannya mungkin deket dengan kawasan itu. Engga bisa dipungkiri bahwa setiap kota sekecil apapun pasti ada suatu kawasan yang identik dengan "perempuan".
Yogya masih nyaman, & still my "never ending Asia"
Post a Comment