Note: Mengingat 'penggemar' saya, Latief "Poltak" Siregar beserta istri menjelang puasa nanti akan kembali ke tanah air setelah bertapa selama setahun penuh di Norwich, London -- maka tak ada salahnya kita sambut dengan bahasan tentang media menjelang puasa. Sebuah tulisan daur ulang yang masih layak direnungkan. Begitu, Bro? (AH)
Sekarang sudah September 2005. Siapa nyana, tak sampai sebulan lagi, Ramadhan bakal menghampiri. Dan terkait soal media massa, rasanya bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat yang peduli lainnya, Ramadhan mungkin satu-satunya bulan yang bikin mereka sedikit lega. Pasalnya, selama 30 hari tontonan dan bacaan di media massa bisa agak “beradab” dibanding masa-masa di luar itu.
Biasanya, di luar waktu itu, ke saluran mana pun remote diarahkan, tayangan yang muncul tak jauh dari film tak senonoh, berita kriminal, infotainment nyinyir, atau pertunjukan musik dengan busana dan goyang penyanyinya yang vulgar. Juga tentang sinetron yang dipenuhi peran pria banci, program hantu dan mistik, reality show yang mengundang habisnya pulsa pemirsa, dan lain-lain.
Namun, ajaib, di bulan Ramadhan, kebanyakan semuanya berubah. Sejenak, memang. Yang hobi bergoyang sensual, tiba-tiba saja berbusana lebih tertutup dan hadir pula di program pengajian live. Hantu-hantu dan sebangsanya menghilang, atau setidaknya menyingkir ke jam tayang larut malam. Sementara itu, ada artis yang dikenal membawa acara gosip menjelma menjadi presenter acara rohani. Film dewasa menjadi film dakwah. Belum lagi hadirnya sinetron yang sudah dipersiapkan rumah produksi khusus buat slot bulan puasa, rata-rata bertema pertarungan kebaikan dan kejahatan dan happy ending. Si jahat keok, si baik menang dan sejahtera.
Media Massa dan Etika
Media massa sesungguhnya punya etika. Yang dimaksud etika di sini adalah aturan moral yang memandu kegiatan mereka sehari-hari. Etika membimbing para profesional media masa harus berlaku pada setiap aktivitas mereka yang bisa mengakibatkan efek negatif pada orang lain. Panduan-panduan ini banyak disusun oleh organisasi-organisasi profesional sesuai bidangnya. Jurnalis dan praktisi komunikasi lainnya secara terus-menerus membuat keputusan etis mengenai hal-hal yang secara spesifik diatur hukum.
Di negara Barat seperti Amerika, persoalan etika di dunia media massa telah muncul dan dibahas sejak lama, terutama mengenai cara media menampilkan isu tentang seksualitas, kekerasaan, dan material sensasi lainnya untuk membuat khalayak tertarik pada media tersebut. Acara televisi, isi media cetak, dan film sebagai telah dketahui berdampak bagi besar bagi publik. Para pembuat film, misalnya, sekarang marak membuat film kekerasan, berbau seksual, rasis, sensasional, dan lain-lain. Demikian pula pengelola koran dan majalah, serta pengelola stasiun televisi. Semua produk mereka diyakini bisa mempengaruhi penontonnya. Apakah mereka harus bertanggung jawab kepada publik atas yang mereka produksi?
Para produsen biasanya punya dua kalimat pembelaan. Pertama, pembaca atau penonton sesungguhnya tidaklah serapuh itu dalam menerima pesan film. Kedua, penonton atau orangtuanya (dalam kasus kanak-kanak) harusnya bertanggung jawab sendiri tentang keputusan mereka tentang terbitan yang harus mereka baca, film dan program yang mereka tonton, dan sebagainya.
Khusus bulan suci, fenomenanya memang menarik. Media massa sadar bahwa dalam waktu itu mayoritas umat Islam tengah menjalankan ibadah puasa. Suasana kerohanian mereka tengah tinggi-tingginya. Jika media massa nekad menjalankan program yang menurut umat tidak sejalan dengan semangat kerohaniannya saat itu, maka media massa bisa mendapat masalah besar. Mereka bisa ditinggal konsumennya di masa mendatang.
Karena itu, mengikuti selera pasar adalah jalan teraman dan paling logis,. Jadi, media masa bukan memenuhi etika belaka. Fenomena ini bukan hanya milik Indonesia. Kevin Keena dan Sultana Yeni, dua peneliti di University of America, Kairo, dalam penelitian mereka menemukan bahwa di Mesir pun terjadi kecenderungan sama (thx to Bro Yayan, yang memberi data ini). Selama bulan Ramadhan, mereka mengamati 508 iklan yang ditayangkan stasiun televisi setempat. Ternyata, iklan dalam bulan suci jumlahnya lebih sedikit di banding di luar bulan Ramadhan. Isinya pun mayoritas mengangkat soal-soal rohani. Demikian juga dengan tampilan dan busana bintang-bintangnya lebih rapi dan tertutup.
Media = Powerful?
Telah lama orang percaya bahwa media massa punya pengaruh dan kekuatan yang besar. Itu karena publik melihat media massa bisa mempengaruhi opini publik dan pemegang kebijakan. Apa yang ditayangkan media bisa menjadi tren yang diikuti masyarakat.
Benarkah demikian? Tidak selalu. Sebagian pihak malah percaya sebaliknya, media massa sesungguhnya tidak sekuat dan sekokoh yang dibayangkan. Asal tahu saja, untuk bisa hidup survive, media massa harus berprinsip sebagaimana lembaga bisnis lainnya. Media massa amat tergantung pada beberapa pihak penting sebagai “penyambung nyawa” mereka. Pihak itu antara lain pemilik perusahaan atau para pemegang saham.
Contoh gampang, misalnya, dulu sebuah stasiun TV dengan gencar menayangkan seri final Piala Thomas dan Uber, sementara stasiun lain tidak melakukannya. Mengapa? Karena pemilik stasiun televisi itu kebetulan juga adalah ketua organisasi olahraga tersebut. Atau, sebuah koran di Sumatera kerap memasang jurnal kegiatan pemiliknya di edisi minggu harian tersebut. Padahal, kegiatan si pemilik bisa jadi tak layak berita.
Media massa juga bergantung dari para pemasang iklannya. Jika ada pemasang iklan yang merasa tidak terpenuhi keinginannya, mereka bisa hengkang dan ogah memasang produknya untuk dipromosikan lewat media massa itu. Gawat, sumber penghasilan bisa berkurang, apalagi jika klien pemasang iklan itu adalah perusahaan gede.
Selain itu, rumah-rumah produksi, distributor film/program atau berita juga jadi gantungan harapan pengelola media. Terutama di televisi, para penjual film ini amat dominan mempengaruhi stasiun televisi. Jika tidak, jangan harap pengelola mendapatkan acara atau film bagus Lama-lama, mereka bisa ditinggal penontonnya.
Terakhir, yang tak kalah penting, masyarakat atau publik juga punya kekuatan yang memaksa media melakukan sesuatu. Beberapa acara atau program yang tak senonoh di masa lalu sempat diprotes kalangan Islam, dan akhirnya tidak ditayangkan lagi. Seorang presenter televisi swasta, karena silap menjadikan cacat salah satu presiden waktu itu, terpaksa di-grounded oleh redaksinya, karena mereka mendapat ancaman dari organisasi massa pendukung sang presiden.
Jalan Masih Panjang
Dengan banyaknya pihak yang patut diwaspadai oleh pengelola, tak heran kalau media massa berusaha mencari jalan seaman mungkin. Sayangnya, yang paling kuat pengaruhnya selama ini tetap saja adalah dari pihak pemilik atau pemegang saham serta para pengiklan dan rumah produksi. Adapun masyarakat, sepanjang suara mereka masih bisa diredam, maka pengaruhnya sering kali diabaikan. RCTI, misalnya, karena mendapat pukulan telak dari seorang warga yang tak terima dilecehkan dalam sebuah program reality show – oleh pembuat program dan oknum polisi ia ditakut-takuti dan dituduh sebagai pembawa narkoba hingga akhirnya si korban marah dan melapor – baru akhirnya memutuskan tidak menayangkan program-program acara yang bertujuan ‘mengerjai’ orang.
Khusus televisi, secara faktual harus diakui selama ini lebih menonjolkan peran sebagai medium hiburan (entertainment). Padahal dua tokoh komunikasi massa, Laswell dan Right, dengan tegas menyebut bahwa fungsi sosial komunikasi massa yang diemban media bukan cuma sebagai sarana hiburan, melainkan juga sebagai sarana pengawasan lingkungan, korelasi sosial, dan sosialisasi.
“Jangan berharap banyak,” begitu kata seorang petinggi sebuah stasiun TV saat berdiskusi dengan mahasiswa dalam kuliah soal media di Salemba. Sedikit-banyak ia mengaku bahwa jalan menuju sebuah tayangan yang bermartabat dan terhindar dari kekerasan, pornografi, kebohongan, serta sensasi, masih amat jauh. Itu bermakna, untuk tahun ini dan beberapa tahun mendatang, sepertinya tayangan dan program TV, acara radio, bacaan di koran dan majalah, masih mengikuti pola yang sudah-sudah: bersopan-sopan di bulan suci, dan kembali garang dan liar selepasnya.
Tentu, bukan berarti seluruh pengelola media massa berpikir bisnis praktis seperti itu. Ketika Islam, misalnya, mengajarkan bahwa informasi haruslah untuk tujuan mendidik dan makin mendekatkan umat pada Sang Pencipta, cara dan jalan menuju ke sana pastilah selalu ada. Buktinya, beberapa terbitan dan program televisi dan radio bernafaskan dakwah –baik di dalam maupun di luar bulan suci-- setidaknya telah menunjukkan bahwa semuanya mungkin dicapai. Lagipula, bisnis maju dan pencapaian predikat takwa bukanlah dua tujuan yang melulu harus ditempuh dengan kenderaan berbeda. Bukan begitu?
Karena itu, meskipun kuat dugaan bahwa media bakal berlaku sama seperti tahun-tahun kemarin di bulan puasa, toh tak ada salahnya kita tetap memasang mata dan telinga mengamati aksi mereka bulan-bulan ini. (ah)
No comments:
Post a Comment