Sunday, February 27, 2005
Welcome to the Hell Week!
Sementara pekan depan beberapa kegiatan menanti, semuanya top priority... Really a hell week! Waaakkks... Departemen Kelautan dan Perikanan minta re-print beberapa buku panduan. Sudah diestimasi biayanya. Terserah my boss, lah.. Kalau dia oke ya jalan, kalau nggak ya tinggal call balik and say, "Sorry, we have no budget..." Plus, harus merampungkan beberapa laporan, edit dan panggil designer utk mulai layout buku portfolio livelihood program, Sulut. Dan, meneruskan rencana program magang mahasiswa. Udah lama tak terurus. Harus segera diumumkan siapa yang berhak ikut magang di kantor-kantor daerah.
Rabu ini aku juga harus maju untuk seminar rancangan penelitian program magisterku. Aku ambil topik pengelolaan media cetak, khususnya peran freelance writer/editor dalam sebuah penerbitan. Termasuk langka sih, topiknya, konon. Mudah-mudahan "tidak dibantaiii...." Amiiin..
My friend Zulfi kirim e-mail dan naskah 3 bab dari bukunya tentang pemberdayaan karyawan. Aku diminta menjadi editor. Hmmm, bolehlah. Sekali-sekali ngedit buku manajemen, setelah berkali-kali ngedit buku jenis ilmiah populer, hitung-hitung variasi kerja/hobi (tapi lain kali jangan cuma ngedit, mbok ya bikin buku.... I'm thinking of it.. It's only about time). Hari ini sudah 6 halaman yang dikerjakan. This book needs much editing and revision... Tapi kata Zulfi, dia rela bukunya diobrak-abrik. Bahagia banget kalau penulisnya udah pasrah tak berdaya begitu... hahaha....
Dan malam ini, sudah menjelang pukul 22.oo. Ditemani Scorpion's "Under the Same Sun" kerjaan harus dikelarkan sedikit. Abis itu tidur (hey, as a Chelski's fans, how about Chelsea vs Liverpool match, tonight or tomorrow?)
Besok hingga sepekan ini, energiku harus dialokasikan setepat dan seketat mungkin...
Friday, February 25, 2005
Dari Resepsi sampai Laundry
Sembari nunggu, eh ingat postingan di blog Gembull ttg missunderstanding situation (gathering~katering, dan sebangsanya itu hehehe). Saya kok jadi pengen nulis tentang kisah-kisah 'kepleset lidah' atau "nggak matching" komunikasi seperti itu....
Nah, setelah tak pikir-pikir, setidaknya ada 4 cerita beginian yang saya pernah tahu/alami. Ini ndak bohong-bohongan. Bukan sulap, bukan sihir. Serieus, fakta, histori.
Kisah 1. Resepsi Kita Berbeda
Kategori: Fakta (sahih)
Setting: Ruang tamu kos mahasiswa, diskusi para aktivis (cie...)
Waktu/Tempat: Masa taon 1991-1992/Darmaga, Bogor
Sebut saja si tokoh namanya Badu. Ceritanya, kita sedang diskusi tentang perkembangan politik Islam di tanah air. Waktu itu dalam diskusi mencuatlah wacana tentang pentingnya masuk ke dalam sistem atau bermain di luar sistem.
Nah, Badu angkat bicara menanggapi soal ini. "Kalau saya pikir, itu tergantung dari resepsi yang kita adakan sendiri. Sepanjang kita memiliki resepsi bahwa di dalam lebih bisa berperan, silakan. Tetapi jika berjuang di luar pemerintahan dianggap lebih aman, resepsi semacam itu juga sah saja..., " ujarnya.
Semua orang manggut-manggut, nggak jelas karena kagum atau nggak ngerti. Tetapi para senior yang duduk di barisan belakang saling memandang dengan mimik bingung, lalu dahi berkerut. Resepsi, siapa yang mau bikin acara walimahan, nih? Satu, dua, tiga, lima, sepuluh detik.... baru senyum kita mengembang dan terkikik-kikik geli (tapi ndak boleh ditampakkan. Lha senior, jaga imej doong).
Yah, ternyata Badu dan kita agak berbeda paham tentang kata resepsi, eh, persepsi.
==
Kisah 2. Mas Parlan
Kategori: Fakta (mendekati sahih)
Setting: Ruang Dosen Pembimbing S1
Waktu/Tempat: 1992-1993/Wet Lab, Biotrop, Tajur, Bogor
Rekan saya sedang konsultasi skripsi dengan ibu dosen pembimbing kami di ruangannya, Ibu dosen ini dikenal lumayan “killer” (tapi sebenarnya baik kok…). Di saat sama, ada mahasiswa angkatan di bawah (kami angkatan 25, dia angkatan 26) yang baru mulai penelitian. Sebut namanya Amin. Si Amin ini disuruh ibu dosen membiakkan bakteri Aeromonas hydrophila untuk bahan risetnya.
Ketika lagi asyik ngobrol, Amin ngetuk pintu. “Bu, maaf, jumlah bakterinya berapa yang mau di-stok, dan caranya gimana?,” tanya Amin, sopan sekali.
“Bikin sejuta, 10 juta, dan 100 juta. Caranya, bandingkan dengan Mc Farland,” ujar si ibu dosen. Mc Farland adalah rangkaian tabung berisi larutan khusus yang biasa dipakai untuk memperkirakan jumlah bakteri dengan cara membandingkan kepekatan larutannya.
Si Amir mengangguk, dan menutup pintu lagi. Lantas, 5, 10, 15, 20, 30 menit. Amir ketuk pintu lagi dan dengan takut-takut bertanya,
“Maaf lagi, Bu…. Saya sudah mau membandingkan, tapi masih ndak ketemu dengan Mas Parlan-nya. Kalau boleh tahu, Mas Parlan yang angkatan berapa, Bu?”
Ibu Dosen: ??? (bingung, dahi berkerut, tangan meremas-remas gelisah – ah, ini fiktif)
Rekan saya: ??? (sok mikir keras, siapa Mas Parlan yang dimaksud)…
Sekian detik kemudian, ruangan itu heboh dengan tawa dan cekikikan.
Amin terlalu stress dan tegang, sehingga pendengarannya sulit membedakan antara Mc Farland dengan Mas Parlan….
==
Kisah 3. Tawon
Kategori: Fakta (sahih)
Setting: Wawancara dengan Narasumber Pengusaha Obat Tradisional
Waktu/Tempat: 1993-1994/Suatu tempat di Madura
Kali ini yg mengalami adalah rekan Iqbal Setyarso, semasa masih menjadi reporter majalah Kartini. Ketika tugas ke Madura, dia wawancara dengan seorang pengusaha jamu tradisional di –kalau ndak salah—daerah Bangkalan.
Cerita punya cerita, semua sudut rumah dan produk jamu-nya dilihat oleh Iqbal. Termasuk produk yang jadi andalan si pengusaha kecil ini, yaitu madu lebah hutan aseli.. Tiba saat wawancara, Iqbal bertanya dengan serius.
“Jadi, seperti produk madu hutan ini, bapak semua yang produksi ya?,” tanya Iqbal, serius.
Apa jawab si bapak?
(dengan logat Madura yang khas itu): “Oh..oh, ndak.. ndak begitu, Mas. Kalo madu ini, yang mbuat ya tawonnya ….. (dengan mimik lebih serius, sumpah…!!)
Iqbal: %#%*()(*& (dalam hati)
Pertanyaannya: Iqbal yg salah nanya, atau si bapak yg terlalu sensitif..?
===
Kisah 4. Laundry Buku
Kategori: Fakta (sahih, suwwer…)
Setting: Sekelompok pemuda alumnus IPB tengah diskusi tentang proyek sambilan…
Waktu/Tempat: 1994-1995/rumah kos-kosan Gunung Batu, Bogor
Nama tokohnya terpaksa diganti, supaya ndak marah. Sebut aja Anto. Jadi kita sedang ngumpul ngobrolin kerjaan sambilan, ya istilah kerennya mroyek, gitu. Ada buku keluaran salah satu penerbit akan diluncurkan dan teman2x dapat kesempatan ngurusin acaranya.
Waktu masuk pembicaraan tentang teknis acara, Anto ini bicara serius (serius lho, dia bicaranya serius, tidak dibuat-buat).
“Jadi, sebaiknya penetapan tempat untuk laundry ini harus ditentukan dengan teliti, supaya orang ndak kesulitan menghadirinya. Dan juga, biasanya, kalau laundry buku seperti ini kita baiknya mengundang temen-temen wartawan. Buku-buku yang baru di-laundry kan paling pas kalau mau diresensi di media….”
Adegan berulang: semua melongo, dahi berkerut2x, saling pandang. Mau peluncuran buku di tempat laundry? Atau maksudnya buku-buku itu di-laundry? Apa nggak rusak? Trus, skian detik kemudian, semua ngakak tidak ketulungan.
Mas Anto, kalau buku jelas nggak boleh di-laundry. Tetapi kalau kain kotor, nah itu bisa di-launching…….
"Bertemu" Tuhan di Bawah Sana (Part 2.)
HARI SABTU, kami bertemu di Pier 15 Marina, Ancol. Pelancong yang akan berangkat ke Kepulauan Seribu tampak padat, terlebih yang sama dengan kami, ingin ke Pulau Kotok. Pulau ini dapat ditempuh dengan boat dalam waktu 1 jam. Pulau Kotok dikenal karena formasi karangnya masih cukup lumayan dibandingkan tempat lain di Kepulauan Seribu. Jarak pandangnya (visibility) cukup lumayan, berkisar 8 hingga 15 meter. Arusnya pun tak galak. Ikannya amat bervariasi.
Wilayah Kepulauan Seribu (jumlah sesungguhnya adalah 110 pulau) yang tersebar di utara Jakarta memang merupakan tempat populer bagi para penyelam, terutama yang tidak sempat pergi jauh ke Bunaken atau Bali. Saat akhir pekan, sentra-sentra selam di beberapa pulau di sana penuh sesak oleh pengunjung, termasuk Pulau Kotok. Setidaknya, hari itu, ada dua boat --masing-masing dipenuhi lebih 30 penumpang-- yang menuju ke sana.
Pulau Kotok, dengan resort yang dikenal dengan nama Alam Raya Kotok (dulu Kul-Kul Kotok), memiliki puluhan bungalow, dari yang hanya dilengkapi kipas angin hingga yang ber-AC. Modelnya tradisional dan eksotik. Di sekeliling bungalow, adalah hutan yang lebat dan dari kejauhan tampak pantai yang menggoda. Berbagai jenis burung dengan santainya melintas di depan teras rumah. Kalau beruntung, anda bertemu dengan kawanan biawak yang suka berjemur malas di tepi pantai, untuk kemudian terbirit-birit masuk ke hutan begitu melihat rombongan manusia. Ada juga beberapa biawak yang ternyata sudah akrab 'bersosialisasi' dengan pengunjung, Jam datangnya pun istimewa, yakni pukul 12.00, tepat pada saat makan siang. Pelayan di sana seolah sudah hafal, dengan memberikan biawak tersebut sisa-sisa tulang ayam. Para turis mancanegara rupanya terhibur dengan kehadiran biawak-biawak 'gaul' tersebut.
Di Pulau Kotok, orang bisa menyelam dan snorkeling menikmati keindahan bawah lautnya. Yang enggan berbasah-basah, bisa duduk dan berjemur di dermaga sambil menikmati sunrise atau sunset. Saat sarapan pagi, saya malah sempat melihat seekor ikan Pari Totol Biru (Blue Spotted Stingray) mampir mendekati restoran apung. Warnanya yang coklat terang, dengan bintik-bintik biru di sekujur tubuhnya, menjadikan pari ini amat cantik. Ia tengah mencari makan, tampaknya. Namun jangan salah, pari ini punya sengat yang berbahaya di ekornya. Sekali kena, ya tahu rasa, bisa panas dingin dan harus dilarikan ke rumah sakit. Itu masih beruntung ketimbang kalau kita bertemu dengan ikan Lepu Tembaga (Stone Fish) yang berwajah 'jelek' dan suka bersembunyi di dasar perairan berpasir. Sengatannya bisa membuat nyawa melayang. Ia setara dengan bahaya bisa ular laut.
Kami semua cuma berdoa agar tidak bertemu dan berurusan dengan makhluk semacam ini. Walaupun demikian, sesungguhnya hewan-hewan ini takkan menganggu, bahkan cenderung menghindar jika bertemu manusia, termasuk hiu. Dalam kenyataannya, mayoritas kasus serangan hewan laut disebabkan karena ulah 'provokasi' manusia. Hewan-hewan itu hanya menunjukkan reaksi defensifnya. Untuk itu, kami sudah dibekali tips jika harus bertemu, misalnya hiu, di bawah air.
"Bertemu" Tuhan
Tak lama setelah tiba dan menaruh tas di bungalow, kami berkumpul di dermaga. Proses persiapan yang sama kami lakukan. Karena telah berlatih beberapa kali, lama-lama kami cukup terbiasa dan hafal urut-urutan pemasangan dan pemeriksaannya. Tapi tak dapat dipungkiri, wajah tegang berbaur dengan lekas-lekas ingin menikmati dunia bawah air, tampak pada kami semua. Untuk penyelaman pertama dan kedua, lokasinya tepat di depan dermaga. Kali ini, instruktur memasang pelampung dan tali sebagai alat bantu. Pada penyelaman berikutnya, pelampung dan tali ini tak digunakan lagi.
Satu-persatu kami masuk ke air dan berkumpul di titik pelampung. Sebelum masuk, kami kembali berlatih ketrampilan memulihkan kram kaki, yang sering terjadi pada setiap penyelam. Begitu semuanya siap, kode turun diberikan dan satu-persatu kami melakukan deflate. Detik-detik ini adalah waktu yang tak dapat dilupakan, terutama oleh saya. Begitu masker membelah permukaan dan turun senti demi senti, yang ada hanyalah perasaan campur-aduk tak terperi. Takjub bukan kepalang dengan pengalaman pertama ini, sekaligus was-was dengan apa yang bakal ditemui dan dilakukan di bawah sana.
Seperti biasa, saya mengalami squeeze lagi. Kali ini di kedalaman 3 meter. Tapi entah kenapa, saya lebih tenang. Abi, yang tepat di bawah saya, dengan bahasa isyarat mengajak untuk terus turun hingga kedalaman 6 meter. Kepadanya saya berikan kode telapak tangan yang dibuka menghadap ke bawah dan digoyang-goyangkan ke kiri-kanan, berikut kode menunjuk telinga. "I'm squeezing..." Ia memaklumi. Dengan sedikit melakukan kick (kayuhan) pada fin, saya terdorong sedikit ke atas, berhenti sejenak dan melakukan ekualisasi. Sukses. Telinga tak mengalami problem. Saya turun lagi, dan masih kena beberapa kali. Tapi ekualisasi terus-menerus akhirnya membuat segalanya beres. Kami semua berkumpul di kedalaman tersebut sambil memegang tali.
Begitu kode diberikan, perlahan-lahan dengan masih memegang tali kami menyusuri jalan terus menuju ke 7, 8, 9 meter,.... Gila, pikir saya, sambil berkali-kali melirik SPG (Submersible Pressure Gauge) alias alat penunjuk tekanan bawah air, yang akhirnya menunjukkan kedalaman 10 meter! Reflek, saya mengingat lagi pelajaran yang diberikan: bernafas dalam dan rileks, jangan sekali-kali menahannya, dan cek lagi SPG. Aman, tekanan tabung penuh saya (3000 psi atau 200 bar) saat di permukaan, kini mulai turun, tapi masih amat sangat memadai. Jika jarum masuk zona merah, yakni 500 psi ke bawah, barulah kita patut waspada dan biasanya segera memberi tahu buddy dengan kode mengepalkan tangan kanan di dada. Artinya: Udara saya menipis. Biasanya saat itu juga keputusan naik ke permukaan akan diambil, setelah melakukan STELA (Sign, Time, Elevation, Look Around, and Ascent -- Beri tanda, Cek waktu, Lihat sudut dengan tangan kanan di atas, Lihat sekeliling, dan Naik).
Di kedalaman itulah kami sekali lagi mempraktikkan apa-apa yang sudah diajarkan di kolam. Yang paling utama adalah fin pivot, yakni menjaga dan mengontrol daya apung agar dapat menyelam selincah ikan tanpa harus tenggelam atau malah naik mengapung. Sambil menunggu giliran, saya melihat pemandangan sekeliling. Subhanallah, indah bukan kepalang. Kecerahan dan jarak pandang dalam air cukup bagus, sekitar 7 meter, dengan suhu 28 derajat Celcius. Karang-karang warna-warni duduk di tempatnya, melambai-lambai menyapa kami. Merah, kuning, jingga, ungu. Dahsyat. Saya sampai tercenung. Sementara ikan-ikan kecil berenang-renang dengan gembira di sekitar kami tanpa rasa takut. Yang paling banyak ditemukan dan cukup saya kenal semasa kuliah adalah Ikan Kakatua atau Parrot Fish (Scarus sp) dari keluarga Scaridae. Ada pula ikan iseng menggigiti kaki saya, karena kebetulan tak terlindungi wet suit atau pakaian selam khusus.
Selain tes fin pivot, kami juga mempraktekkan mask clearing, dan latihan kekurangan udara dan meminta udara lewat octopus (regulator cadangan) milik buddy. Semuanya berjalan lancar sampai akhirnya instruktur memberi kode kepada kami untuk mengikutinya berjalan-jalan. Ah, ini dia, jalan-jalan!
Maka dimulailah petualangan pertama saya di bawah air. Kami bergerak tenang menyusuri slope yang dipenuhi beragam jenis terumbu karang. Jenis-jenis Acropora, Lili laut dan (kemungkinan) karang jenis Goniastrea, yang berbentuk seperti bongkahan batu, berdiri kokoh. Luar biasa indahnya. Padahal, menurut para penyelam yang sudah biasa berkelana ke berbagai situs penyelaman, terumbu karang di Kepulauan Seribu kalah jauh. Batin saya berkata, "Di sini saya 'melihat' Tuhan Yang Maha Agung lewat segala ciptaannya yang sempurna."
Meskipun demikian, kami tetap harus hati-hati karena ada satu hewan yang selalu tampak di mana-mana. Ia tak lain adalah Bulu Babi atau Sea Urchin. Hewan ini masuk bangsa Holothuridea. Bentuknya bulat dengan duri tajam di sekujur tubuhnya seperti landak. Jenisnya bermacam-macam. Yang kami temui selama penyelaman konon dari jenis Diademe setosum, yang berciri hitam dan berduri panjang. Kalau durinya yang mengandung bahan kapur kena kulit, ia akan menghujam dan tak bisa dikeluarkan begitu saja. Sakitnya lumayan. Yang lebih berbahaya, bongkahan kapur dari duri tersebut bisa terbawa aliran darah dan menyumbatnya sehingga berakibat fatal. Begitupun, jangan salah, dagingnya terkenal enak dimakan, teruma kelenjar kelaminnya (gonadia).
Total jenderal, kami menghabiskan waktu sekitar 35 menit di bawah air dengan kedalaman maksimum 11 meter sambil menikmati pemandangan yang ada. Puas dengan itu, kami segera naik perlahan. Kecepatan naik tidak boleh lebih dari 18 meter per menit. Sebelum menyudahi penyelaman pertama, kami mempraktekkan cara membawa rekan yang kelelahan di permukaan, kemudian istirahat makan siang. Penyelaman kedua dilanjutkan satu jam setelah makan siang. Setiap kali usai menyelam, setiap orang harus mengisi buku log-nya. Untuk penyelaman repetitif (dilakukan berulang lebih dari sekali dalam sehari), ada beberapa perhitungan yang harus diketahui lewat tabel selam yang disediakan. Perhitungan ini berguna untuk mengetahui berapa lama kita dapat menyelam berikutnya dan pada kedalaman maksimum berapa agar terhindar dari dekompresi nitrogen.
Penyelaman kedua dilakukan lebih dangkal, pada kedalaman 8 meter. Hanya saja, waktunya lebih lama, sekitar 40 menit. Kali ini kami lebih banyak mempraktikkan beberapa ketrampilan, seperti melakukan naik ke permukaan secara darurat jika udara di tabung habis dan tak ada buddy yang tampak. Caranya adalah dengan Berenang Naik Darurat secara Terkontrol atau CESA (Controlled Emergency Swimming Ascent). Udara sisa yang kita punyai dikeluarkan perlahan-lahan sambil terus naik sampai ke permukaan.
Hari pertama dilalui dengan sukses. Yang menarik, saat berjalan-jalan sebentar sebelum naik, tiba-tiba instruktur memberi isyarat dan menunjuk sesuatu di kejauhan. Karena masker saya penuh dengan embun, saya tak bisa melihat dengan jelas. Setelah melakukan mask clearing, barulah saya sadar apa yang ditunjuknya. Masya Allah! Nun jauh di sana, pada jarak sekitar 5 meter, schooling (segerombolan) ikan Bendera (Platax sp.) yang mirip bawal, dengan warna kuning dan cukup besar tengah asyik santai di atas karang. Kami nikmati pemandangan spektakuler tersebut beberapa saat, dan kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri wilayah terumbu karang yang luas ini.
Saya mengakhiri hari itu dengan rasa puas. Kalaupun ada gangguan, itu adalah telinga saya yang kemasukan air laut. Rasanya sungguh tak nyaman.
Menyelam Lagi dan Lulus
Esok harinya, penyelaman ketiga dilakukan agak jauh dari pulau, tepatnya di Gosong Kotok Kecil. Untuk mencapai lokasi itu, kami menggunakan boat. Berbeda dengan kemarin, penyelaman tidak lagi menggunakan bantuan tali dan pelampung sebagai tanda. Penyelaman betul-betul bebas. Kami turun ke hingga kedalaman 12 meter dan belajar menggunakan kompas, sebagai sebuah ketrampilan yang wajib diketahui. Kecerahan dalam air dan arus relatif sama dengan kemarin.
Saya diuji melakukan hovering, melayang-layang di kolom air dengan memanfaatkan hembusan dan tarikan nafas sebagai kontrolnya. Sukses. Kali ini, saya beruntung menemukan hewan lain yang sebenarnya sering saya baca laporannya di kantor, namun belum pernah melihatnya langsung. Hewan itu adalah Bintang Laut Berduri atau Crown of Thorn Starfish (Acanthaster planci). Hewan ini punya kegemaran unik, memakan karang. Jika jumlahnya membengkak dan tak terkontrol, ia bisa membahayakan keberadaan terumbu. Saya biarkan hewan ini menggeliat dan meneruskan perjalanan.
Seperti kemarin, kami kembali dihidangkan pemandangan yang bukan main mempesona. Dua kali pula saya bertemu dengan kerang raksasa atau yang sering disebut Kima (Tridacna sp). Katupnya langsung merapat ketika tangan kami bergerak di atasnya. Dan, aha..., tahu-tahu saja ada hewan melata kecil dengan tubuh warni-warni, persis motif batik, melintas. Saya tak dapat memperkirakan ukuran persisnya, mengingat di dalam air suatu obyek mengalami pembesaran 25%. Hewan itu adalah flat worm (cacing pipih). Kelak setelah kembali ke Jakarta, saya dapat menduga kalau jenis cacing ini adalah Pseudoceros sp. Entahlah. Yang pasti, dengan ornamen tubuhnya yang meriah, cacing itu melambai-lambai berenang di kolom air. Lucu dan eksotis. Lalu, yang tak kalah populer dan sempat kami pergoki adalah ikan Badut atau Giru (Amphiprion sp), yang berukuran kecil berwarna putih-oranye. Ini jenis ikan yang populer disebut orang sebagai ikan Nemo.
Bagi saya, penyelaman ketiga ini adalah penyelaman terbaik dan ter-enjoy yang saya alami. Mungkin karena situasi emosional saya yang sudah stabil, rasa kekhawatiran yang makin tipis, dan semangat keingintahuan yang besar. Begitu usai penyelaman ketiga, kami langsung pulang, mengganti tabung udara, dan langsung cabut lagi dengan boat, kali ini menuju Gosong Munggu. Bersama kami bergabung tiga penyelam lain. Seorang di antaranya, kemudian saya tahu dari situs internet bernama Budhi, ternyata pernah mengalami penyelaman di Lampung dan terseret arus hingga terkatung-katung antara Merak dan Bakauheni selama 28 jam. Ck..ck..ck..
Di Gosong Munggu, arus tampaknya lebih terasa dibandingkan sebelumnya. Kami sampai harus terhempas-hempas saat berada di permukaan air, demikian pula saat usai penyelaman. Di Munggu ini pula kami mencapai kedalaman tertinggi, yakni 15 meter. Hanya saja, penyelaman cukup singkat, sekitar 25 menit. Selain, mungkin, karena arus (saya sampai terseret dari kedalaman sekitar 12 meter sampai ke 3 meter, sebelum mencoba turun dan kehilangan jejak buddy saya sejenak), juga karena rombongan kami tak utuh lagi. Seorang rekan ternyata tertinggal dan sesuai prosedur, setelah satu menit mencari tak bertemu, ia memutuskan naik ke atas. Demikian pula kami. Syukur, di atas jumlah peserta dihitung lagi dan lengkap. Sebagai penghibur, saya dan beberapa rekan lain melakukan snorkeling dan mempraktekkan skin diving (menyelam dengan hanya perlengkapan snorkel). Skin diving inilah yang kerap saya lakukan jika berkunjung ke berbagai kawasan pesisir di nusantara, jika kebetulan tengah bertugas.
Lepas tengah hari, kami kembali ke dermaga dan makan siang. Setelah mengisi buku log penyelaman, akhirnya saya dan rekan-rekan dinyatakan lulus dan mendapatkan kartu sementara sertifikat sebagai Open Water Diver. Kartu aslinya akan dikirim langsung dari kantor cabang PADI di Australia jika selesai diproses. Kami memperoleh pula badge dari PADI dengan tulisan Open Water Diver. Saya sudah berencana akan menjahitnya di jaket saya (khusus soal ini, kelak jaket dengan badge kebanggaan itu akhirnya saya hadiahkan ke Dadang, seorang pengungsi korban tsunami di posko bantuan bencana di Banda Aceh --- kisah lengkap perjalanan ke Banda Aceh silakan baca di arsip ya....).
Lepas senja, kami kembali ke Marina, dan berpisah. Kepada kami semua, instruktur menyampaikan pesan singkat saja: "Keep Diving!..." Tentu, saya sudah tak sabar untuk 'bertemu' lagi dengan Sang Pencipta lewat terumbu karang dan ikan-ikan ciptaan-Nya yang menawan itu. Lain waktu, janji saya dalam hati, saya akan turun lagi ke bawah air....
(AH)
Wednesday, February 23, 2005
"Bertemu" Tuhan di Bawah Sana (Part 1.)
BEGITU mendapat kabar kepastian mengikuti kursus menyelam (scuba diving), reaksi pertama saya justru panik dan khawatir. Pertama, sungguh mati, ini pengalaman pertama mengikuti kursus untuk kegiatan bawah air. Scuba diving, bah! Yang saya tahu cuma menyelam sekian detik di kali atau kolam renang. Selebihnya, ya berenang santai. Kedua, saya makin stres karena sebelum kursus pun sudah disodori tetek-bengek pernyataan kesehatan, lengkap surat keterangan dokter. Isinya, menyatakan kita sehat, cukup fit mengikuti kegiatan tersebut dan tidak menderita jantung, masalah pendengaran (THT), dan seabreg persyaratan lainnya. Ketiga, ada syarat harus bisa berenang 200 meter nonstop.
Ini dia! Terus-terang, saya sudah tidak pernah menyentuh kolam renang sejak setahun silam. Begitu resahnya saya, sehingga dua hari sebelum kursus dimulai, saya mengajak sahabat karib saya ke sebuah kolam renang di sekitar kota, pagi-pagi buta. Tujuannya, tak lain mencoba sendiri kemampuan renang yang sudah lama tak terpakai. Hasilnya sungguh mengecewakan.. :( Saya cuma tahan berenang nonstop hingga 140 meter. Rasa nggak pede pun semakin menggunung.
Teori, Gampang
Namun, suka tak suka, hari pertama kursus akhirnya datang juga. Kami berdelapan, dengan dibimbing dua orang instruktur dari Bubbles Divers, Jakarta. Dua-duanya cukup ramah dan komunikatif. Sebelum dimulai, mereka menyebarkan lembar pernyataan yang wajib diisi, tentang kesehatan diri dan persetujuan segala resiko yang bisa saja terjadi pada olahraga ini.
Kursus yang kami ikuti adalah Open Water Divers (terjemahan harfiahnya Penyelam Perairan Terbuka). Ini adalah tahap pertama kemampuan selam bersertifikat yang diselenggarakan PADI (Professional Association Dive Instructors), organisasi pelatihan selam terbesar di dunia yang berpusat di Amerika. Prasyarat untuk mendapatkan sertifikat/lisensi OWD ini adalah minimal berusia 15 tahun dan familiar dengan dunia air. Peserta harus menyelesaikan 5 modul. Tiap modul (1 hingga 4) diakhiri dengan menyelesaikan 10 soal kuis dengan nilai minimal 80%. Sedangkan setelah modul 5 beres, peserta harus mengikuti kuis akhir 50 soal, dan nilai minimal untuk bisa lulus adalah 75%. Selain itu, peserta harus mengikuti Confined Water Diving, yakni praktik selam di kolam renang dengan segenap tekniknya. Baru kemudian dilakukan penyelaman sebenarnya di perairan terbuka (laut).
Dengan lisensi OWD, seorang penyelam dapat melakukan diving di manapun di dunia di perairan dengan kedalaman maksimum 18 meter dan perairan dengan ketinggian maksimum 300 meter di atas permukaan laut. Seseorang harus mempunyai ketrampilan khusus lewat pelatihan khusus pula apabila ingin menyelam lebih dari itu. OWD berbeda dengan kursus scuba diving biasa. Seorang scuba diver hanya diizinkan menyelam hingga kedalaman 12 meter, itu pun harus senantiasa ditemani oleh instruktur. Setelah OWD, penyelam bisa saja langsung mengikuti kursus untuk tingkatan Advance OWD, yang mengizinkan kedalaman maksimum hingga 30 meter. Di atasnya, ada Rescue Diver, Specialty Diver, hingga Dive Master. Di setiap selang tingkatan, ada banyak kursus peningkatan ketrampilan yang dapat diambil seperti First Aid (P3K).
Pelajaran tiap modul tidak begitu sulit, apalagi dibantu dengan video tutorial yang amat bagus. Setiap usai pemutaran video, instruktur membahas lebih lanjut diselingi tanya jawab. Lalu, kuis 10 soal. Rata-rata semua dapat melampaui skor minimum yang ditetapkan. Jawaban yang salah dibahas kembali letak kekeliruannya. Saya dan rekan lainnya sukses melampaui ujian tulis terakhir yang diberikan. Hanya dua teman yang akhirnya harus mengulang sebelum kemudian dinyatakan lulus.
Mahal dan Mengapung
Sebagaimana namanya, SCUBA adalah singkatan dari Self Contained Underwater Breathing Apparatus atau secara populer diartikan sebagai perangkat bernafas di bawah air. Tak seperti kebanyakan bayangan orang, belajar dan menguasai selam tidak harus cuma jatah atlet dengan ketrampilan hebat. Orang biasa pun ternyata bisa. Hanya saja, kebugaran fisik tetap merupakan penentu kenyamanan dan keselamatan dalam kegiatan ini.
Menyelam juga disebut-sebut sebagai olahraga mahal. Hal tersebut tidak sepenuhnya salah. Lihat saja, baju selam (wet suit), yang terbuat dari bahan neopren dengan ketebalan bervariasi (3 milimeter, 5 milimeter) harganya sudah sekitar Rp 1 juta. Belum masker/snorkel yang ratusan ribu berikut fin (kaki katak). Jaket selam atau BCD (buoyance control device) malah berharga jutaan. Tetapi patut diingat bahwa tingkat kemahalan tersebut setara dengan tingkat keselamatan yang dijamin dalam olahraga yang termasuk beresiko ini. Untuk tabung, yang berisi nitrox (nitrogen dan oksigen seperti yang kita hirup sehari-hari), bisa disewa dengan harga pengisian bervariasi, belasan hingga puluhan ribu perak.
Dalam menyelam, paling tidak ada tiga prinsip yang mau tak mau harus dipahami sebelum seseorang melakukannya. Salah satunya adalah memahami prinsip buoyancy alias daya apung. Dalam selam dikenal istilah positive buoyancy (mengapung), neutral buoyancy (tidak tenggelam tapi tidak mengapung), dan negative buoyancy (tenggelam). Prinsip ini amat penting karena dengan demikian seorang penyelam tahu kapan dan bagaimana ia harus turun ke bawah air, menyelam laksana ikan, atau harus mengapung di permukaan.
Pengaturan buoyancy ini bisa dilakukan dengan 4 cara. Pertama dengan menggunakan jaket selam atau BCD sebagai alat pengendali daya apung. BCD dapat diisi udara lewat tombol inflator yang dihubungkan ke tabung udara. Jika berada di permukaan air dan ingin menghemat tenaga, biasanya BCD diisi penuh sehingga pemakainya akan terapung tanpa harus bersusah payah mengayuh. Buoyancy juga bisa dikendalikan lewat pemasangan atau pencopotan pemberat. Yang sederhana berupa ikat pinggang dengan lempeng besi yang kiloan yang dapat ditambah. Jika terlalu cepat tenggelam, besi dapat dikurangi. Atau bisa pula menggunakan kombinasi dua-duanya. Sedang cara terakhir adalah dengan memanfaatkan paru-paru kita sebagai alat pemberian Tuhan. Jika kita menarik nafas, secara otomatis udara dalam paru-paru terisi dan kita perlahan akan terapung. Sebaliknya, jika nafas dihembuskan, secara perlahan kita akan tenggelam.
Waspada Tekanan dan Buddy
Hal kedua yang patut diwaspadai penyelam adalah soal tekanan (pressure). Dalam air, tekanan amat berpengaruh, karena semakin bertambah kedalaman, maka semakin kuat tekanan mendera. Di permukaan air (0 meter), misalnya, tekanan udara yang ada 1 atmosfer (atm). Begitu turun menjadi 10 meter (33 kaki), tekanan bertambah dua kali lipat menjadi 2 atm. Pada kedalaman 20 meter (66 kaki), tekanan menjadi 3 atm, dan di 30 meter (99 kaki) menjadi 4 atm. Demikian juga dengan kerapatan udara (air density), dengan perubahan kedalaman yang sama, ia bertambah hingga 4 kali dan seterusnya. Sebaliknya, dengan perubahan kedalaman tersebut, volume udara justru semakin berkurang.
Apa konsekuensinya? Di dalam air, kita bisa merasakan dan memahani perubahan yang terjadi dan pengaruhnya bagi tubuh, baik saat turun ke bawah permukaan maupun naik. Jika turun dan naik permukaan dilakukan secara tergesa-gesa --meski cuma semeter-- bila tidak memahami prinsip ini, alamat seorang penyelam akan mengalami persoalan yang menyebabkan kecelakaan fatal, bahkan kematian. Apalagi dengan memakai udara dari SCUBA, paru-paru disuplai udara pengganti sehingga bentuknya tetap normal meski di kedalaman. Jika naik ke permukaan dengan cepat, maka paru-paru yang normal itu akan menggembung dengan cepat dan akan seperti balon udara yang dipompa terus-menerus hingga akhirnya pecah! Karena itu pula, prinsip utama lainnya dalam menyelam adalah "breathe continuously and never hold breath" (bernafaslah dengan normal dan jangan sekali-kali menahannya). Sebagai pemula, tentu saya manggut-manggut dengan penjelasan tersebut. Secara ilmiah, keterangan itu 100% tak dapat disangkal. Kami semua diam-diam menghafal prinsip itu, supaya jangan terlupakan saat mulai praktik menyelam.
Prinsip lainnya apalagi kalau bukan buddy system. Dalam menyelam, seseorang hendaknya tidak sekali-kali melakukannya seorang diri tanpa seorang teman. Justru inilah prinsip universal menyelam. Banyak alasan pentingnya teman (buddy) dalam meyelam, antara lain kepraktisan, keselamatan, dan lebih enjoy. Jadi, kalau melihat sebuah film yang menggambarkan penyelam rekreasi berada di bawah air seorang diri, kemungkinan besar pembuatnya tak tahu aturan khas menyelam!
Di Kolam Renang
Esok jarinya, confined water diving di kolam renang dimulai. Deg-degan, tentu saja. Yang lebih bikin down adalah dimulainya tes berenang nonstop 200 meter. Ketika turun ke air dan menempati lintasan masing-masing, rasanya campur aduk. Seorang rekan sudah 'memprovokasi' dengan memulai renang dengan gaya bebas. Akhirnya, bismillah, dengan memberanikan diri saya memulai dan mengatur strategi agar tak memforsir tenaga di 100 meter awal. Lima puluh, tujuh puluh lima, seratus meter, semuanya kelihatan aman. Namun memasuki 125 meter alias di tengah-tengah lintasan, badan sudah mulai nyeri, tenaga mulai habis. Waduh, gawat ... Tapi saya masih bertahan sampai ke 150 meter. Dan detik demi detik di 50 meter terakhir tak ubahnya bagaikan siksaan yang tak terperi. Akhirnya, finish...
Cuma, ada risiko yang harus ditanggung. Begitu naik dari kolam, mata berkunang-kunang. Rasanya ingin langsung menggeletak. Saat itu, baru saya merasa menyesal tidak pernah melakukan olahraga dengan teratur. Tapi, toh, 'prestasi' saya tak jelek-jelek amat dibanding beberapa teman, misalnya, yang harus mencuri-curi nafas di tiap 50 meter... hehehe. Penderitaan itu ditambah lagi dengan keharusan tes mengapung selama 10 menit di akhir sesi hari pertama.
Kali ini, Abi instruktur kami yang ambil peran menjelaskan segala sesuatu mengenai perlengkapan menyelam dan cara memasangnya. Dari mulai memegang regulator, mendirikan tabung, memasang yoke ke tabung secara benar, semua diperagakan. Salah pasang, hasilnya bisa berabe. Benarlah kata orang, olahraga menyelam justru menyedot perhatian dan konsentrasi sejak persiapan, bukan hanya ketika di bawah air. BCD, misalnya, harus terasa cocok dan pas di badan, tak boleh kesempitan dan kelonggaran, jika tak mau kena masalah kelak. Pemberat pun harus diukur dengan cara tertentu, dan berbeda antara di air tawar dengan laut. Bahkan detik terakhir sebelum mencebur ke kolam, masing-masing harus mengecek kesiapannya bersama rekan (buddy) yang ditunjuk. Buddy inilah teman seia sekata, sehidup semati di dalam air. Bila terjadi sesuatu di dalam air, maka motto yang harus dipegang adalah "Solve everything under water" (Bereskan segera di dalam air), karena tindakan naik ke permukaan malah menandakan kepanikan dan dapat membahayakan jiwa.
Turun ke bawah air untuk pertama kali --meski cuma di kolam renang-- tetap saja membuat dada berdebar-debar. Gugup, setengah stres, bercampur rasa ingin tahu yang membuncah. Memakai pemberat, BCD, lalu fin, masker, cek persiapan, semua oke. Kami belajar turun ke air dengan berbagai cara, dari duduk di tepi kolam, dengan melangkah (giant straight), hingga back roll (berguling ke belakang). Instruktur memberi kode SORT-D (Sign, Orientation, exchange snorkle to Regulator, Time, and Descent-- Beri tanda, Orientasi arah penyelaman, Tukar snorkel ke regulator, Cek Waktu, dan Turun), kami pun perlahan-lahan bergerak ke bawah dengan men-deflate inflator di tangan kiri. Pemandangan permukaan berganti menjadi pemandangan bawah air, sementara kami terus turun menuju kedalaman 3 meter.
Celaka, Squeeze!!
Ketika turun, tekanan udara yang berubah juga berpengaruh pada telinga, demikian pula saat naik. Karena tekanan bertambah, telinga akan terasa seperti tertusuk-tusuk. Hal ini tidak boleh terjadi, dan kalaupun terjadi tidak boleh dibiarkan. Tekanan itu akan mendera telinga, sinus, dan mempengaruhi pula masker kita. Tanda-tandanya adalah perasaan menjadi tak nyaman pada telinga atau pada masker.Gejala ini disebut squeeze, yakni ketika tekanan udara di luar melebihi tekanan udara dalam telinga/tubuh. Squeeze juga terjadi pada masker sehingga masker terasa menekan wajah. Saya mengalaminya saat confined water diving pertama. Usai menyelam, di sekeliling wajah tercetak bekas masker yang mendera kulit. Saat naik, kejadian sama juga dapat terjadi, disebut dengan reverse block.
Syukur, ada cara mengatasinya, yakni sering-sering melakukan equalization atau ekualisasi (penyetaraan tekanan). Caranya relatif gampang, dengan menelan ludah sehingga udara mendorong tekanan dari dalam ke luar (balance), atau dengan memencet hidung lalu mendorong udara, menggerak-gerakkan rahang ke kanan-kiri, atau menelan ludah berulang kali. Kegiatan ini, meski kelihatan sepele, merupakan tindakan yang harus sesering dan sedini mungkin dilakukan selama menyelam, meski perbedaan kedalamannya cuma semeter. Jika squeeze terjadi dan ekualisasi gagal dilakukan, bisa berakibat gawat. Rasa sakit akan menghantam. Jika sudah begitu, yang dapat dilakukan adalah berhenti sejenak dan naik satu meter ke atas, ekualisasi, lalu mencoba turun kembali. Begitu juga sebaliknya ketika akan naik ke atas. Bila ketika turun ekualisasi terus-menerus gagal dan rasa sakit terus menyerang, apa boleh buat, satu-satunya cara adalah menghentikan penyelaman! Jika dipaksakan, kita bisa cedera seperti mengalami pecahnya gendang telinga, dan menyebabkan vertigo (kehilangan koordinasi).
Saya sedikit frustrasi karena mengalami squeeze berkali-kali. Tak heran, karena saya baru saja sembuh dari pilek. Pilek membuat proses penyeimbangan tak berhasil karena ada cairan yang menyumbat, sehingga ekualisasi tak sempurna atau malah gagal sama sekali. Meskipun jarang terjadi, gigi berlubang bisa menyebabkan hal sama, karena tekanan ke dalam rongga tersebut akan memberikan pengaruh. Demikian pula dengan memakai penutup kepala yang ketat atau penutup telinga (ear plug). Karena itu, jika sedang pilek, seseorang dianjurkan tidak melakukan penyelaman demi keselamatannya.
Beruntung, saya kemudian menemukan pemecahannya. Karena menyemburkan nafas dari hidung dengan membuka sedikit masker merupakan sebuah cara untuk mengatasi squeeze pada masker, saya melakukannya. Ternyata, setiap kali selesai melakukan hal tersebut, ekualisasi saya menjadi lebih mudah dan berhasil. Karuan saja, cara ini saya pakai seterusnya. Dan, surprise, saya sudah berada di kedalaman 3 meter. Suara yang terdengar paling nyata adalah tarikan dan hembusan nafas dari mulut dan regulator saya berikut suara dari gelembung air yang keluar berkejar-kejaran ke permukaan.
Fantastis. Sejenak, saya harus membiasakan diri dengan pemandangan di sekitar dasar kolam. Rekan-rekan lain sudah berkumpul dan duduk dengan melipat kedua lutut. Rangkaian pelajaran pun dimulai, dari belajar melepas masker, mencari bantuan pernafasan kepada buddy, fin pivot (mempertahankan buoyancy di tengah kolom air dengan mengatur inflator dan nafas sehingga yang menyentuh dasar hanya fin kita), melepas BCD di dalam dan mengenakannya kembali, dan lain-lain. Tak terasa, dua hari di kolam, saya sudah melahap seluruh praktik yang diajarkan. Hari kedua di kolam, kami mencoba ke kedalaman 5 meter. Sukses. Kami sempat berjalan-jalan di bawah, berlatih seolah-olah sudah berada di antara rimbunan terumbu karang di lautan.
"Kita siap berangkat ke Pulau Kotok!" seru Abi.... (to be continued)
Tuesday, February 22, 2005
Bapak, Ibu, Awas Dampak Media (TV)...!
Kakak ipar saya, yang tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Timur, bercerita dengan mimik cemas. Anaknya yang baru duduk di bangku Taman Kanak-Kanak suatu hari, tanpa ada angin dan hujan, melontarkan pertanyaan yang menyentak. “Bunda, kalau bunuh diri itu kan bisa dengan menyilet tangan, kan?” tanyanya dengan lugu sambil mempraktikkan caranya. Selidik punya selidik, si anak bercerita kalau teman-temannya di sekolah pun sering beraksi main “bunuh diri-bunuh dirian” dengan cara bergaya seolah menyilet nadi di tangan, kemudian ambruk ke tanah. Mereka mengaku sering melihat adegan itu di televisi.
Cerita itu tampaknya sejalan dengan ramainya kasus kanak-kanak dan remaja mengakhiri hidup dengan bunuh diri, atau setidaknya mencoba bunuh diri. Baru-baru ini seorang anak bunuh diri di Tangerang, karena diminta ibunya tidak melanjutkan sekolah akibat ketiadaan biaya. Dulu, ada Linda Utami, yang nekad gantung diri di kamar tidur rumahnya di Jalan Nipah, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia baru berusia 15 tahun, duduk di kelas II SLTP. Penyebabnya, malu diejek temen-temennya karena tidak naik kelas. Atau, Nurdin bin Adas yang baru berumur 12 tahun. Warga Kampung Cikareo, Desa Salakuray, Garut, itu ditemukan tewas tergantung di plafon dapur rumah kakaknya. Konon, Nurdin tak kuat menahan kerinduan kepada almarhumah ibunya. Masih kurang? Ada Nazar Ali Julian, 13 tahun. Anak yang dikenal rajin dan tergolong pandai ini rajin ke masjid, shalat, dan puasa Senin-Kamis. Tetapi suatu ketika ia masuk ke dapur, mengambil pisau dan menusuk perutnya berulang kali hingga bersimbah darah. Ia kesepian karena orang tuanya bekerja di luar negeri.
Selain bunuh diri, muncul pula kasus perbuatan tak senonoh kepada lawan jenis oleh kanak-kanak dan remaja. Juga mencuri kecil-kecilan, minum-minuman keras, sikap agresif dan penuh kekerasan, hingga penggunaan narkoba dan pembunuhan. Kebanyakan dari mereka, ketika diusut dan ditanya asa-muasal ide melakukan kejahatan atau perbuatan asosial lainnya tersebut menjawab, karena sering menonton hal sama di televisi. Untuk orang dewasa, efeknya sudah lebih dahulu banyak diketahui. Banyak pelaku kejahatan, misalnya, mengaku mendapat ilham merampok dari tayangan televisi atau pemberitaan di majalah.
Memang, kejahatan dan kekerasan yang terjadi tidak melulu karena efek media. Ada banyak faktor lain yang berpengaruh, mulai dari tingkat pendidikan, pendapatan, kondisi geografis, dan sebagainya. Akan tetapi, media tetap punya andil yang tidak kecil.
Efek Media
Di sekeliling masyarakat kini banyak bertaburan jenis media komunikasi yang dengan gampang menghujani setiap individu dengan berbagai ragam informasi, mulai dari televisi, radio, surat kabar, majalah, hingga internet, hingga peralatan komunikasinya seperti ponsel dan komputer. Langsung atau tidak, hal itu akan berpengaruh terhadap penggunanya.
Di kalangan praktisi komunikasi, hal itu dikenal populer sebagai efek dari media. Pakar komunikasi Yoseph Straubhaar dan Robert LaRose, misalnya, menjelaskan efek media sebagai perubahan dalam pengetahuan (kognisi), sikap, emosi, atau perilaku yang merupakan hasil dari terpaan (eksposure) media massa.
Untuk meneliti efek ini, banyak cara dan metode yang telah ditempuh oleh para pakar. Ada yang menggunakan model pemikiran deduktif, yakni prediksi tentang dampak media dari teori-teori tentang perilaku dan budaya manusia, kemudian secara empirik menguji prediksi ini lewat pengamatan yang sistematis. Sebaliknya, penelitian induktif melakukan observasi terlebih dulu, baru kemudian memunculkan teori.
Ada pula pendekatan administratif versus kritikal. Riset administratif menggunakan institusi media sebagai obyek dan mendokumentasikan penggunaan serta efek yang dihasilkan oleh media tersebut. Sementara riset kritikal mengkritisi institusi media itu dari perspektif cara melayani kelompok-kelompok sosial dominan dalam masyarakat. Di sisi lain, dikenal penelitian kuantitatif versus kualitatif. Metode kuantitatif menghitung penemuan yang ada dan menganalisis hubungan secara statistik antara variabel independen dan dependen. Adapun metode kualitatif dilakukan anara lain dengan mempelajari simbol-simbol dalam konten/isi media atau mengamati perilaku dalam setting alami.
Salah satu jenis penelitian adalah dengan analisis isi media. Ini merupakan deskripsi kuantitatif terhadap isi media dengan sampel sistematik isi media tersebut. Peneliti melakukan pendefinisian obyektif untuk mengklasifikasikan kata-kata dalam media, gambar, dan tema yang diangkat. Analisis isi ini menghasilkan profil detil media yang diteliti dan mengidentifikasi kecenderungan isinya dari waktu ke waktu. Yang terkenal, misalnya, analisis isi mengenai tayangan kekerasan di TV oleh Federman (1998), yang meneliti program 23 TV kabel di Amerika selama tiga musim penyiaran.
Selain contoh-contoh di atas, ada pula riset eksperimental yang melakukan studi tentang efek media dalam bentuk uji coba. Biasanya ini dilakukan dengan menguji suatu kelompok kecil dengan tampilan media dengan kandungan isi tertentu. Albert Bandura pada tahun 1965 meneliti anak usia prasekolah dengan mempertontonkan mereka adegan seorang aktor cilik yang agresif memukuli boneka model. Ia lalu melihat respon subyek penelitian. Hasilnya, setelah tayangan selesai dan kanak-kanak itu bermain dengan boneka yang sama, tindakan agresif serupa mereka perlihatkan dengan memukuli boneka tersebut
Dalam teorinya, dampak media dapat dilihat dari berbagai pendekatan. Yang paling terkenal adalah teori Jarum Suntik (hypothermic needle) yang juga disebut sebagai model peluru (bullet theory). Teori ini menyatakan bahwa pengaruh kuat media massa itu sama halnya seperti peluru atau jarum suntik yang diinjeksikan kepada audiens. Jika penonton menyaksikan tayangan aksi perampokan, di benaknya akan tertancap dengan dalam bentuk aksi tersebut. Contoh lain adalah iklan shampoo. Dengan berbagai eksploitasi keunggulan dan iming-iming, maka iklan ini akan melekat di benak penonton. Walhasil, ketika mereka belanja dan melihat produk tersebut, mereka langsung ingat keunggulan yang digembar-gemborkan, lalu membelinya.
Barangkali banyak di antara kita yang mengalami bagaimana anak-anak menjadi takut ke kamar mandi di waktu malam, atau menjerit histeris saat mati lampu. Dalam bayangan mereka, di dalam situasi seperti itu pastilah ada makhluk gaib yang akan mendatangi. Pemahaman ini muncul akibat tayangan yang mereka saksikan. Pandangan sang anak tentang suatu hal di dunia nyata mengadopsi apa yang disampaikan oleh televisi. Teori ini disebut dengan teori kultivasi.
Agenda Setting dan Katarsis
Suatu ketika, koran-koran, radio, dan televisi ramai-ramai meliput tentang perseteruan antara “Ratu Ngebor” Inul Daratista dengan “Raja Dangdut” Rhoma Irama. Begitu gencarnya, sehingga penonton atau pembaca punya kesimpulan dalam benaknya bahwa perseteruan itu benar-benar hal penting dan patut diketahui khalayak. Padahal, sesungguhnya, apa sih nilai berita tentang perseteruan seseorang yang mencari nafkah dengan menjual bokongnya? Tetapi karena semua media memuatnya, maka khalayak lama-kelamaan menganggap masalah ini memang pantas diangkat.
Contoh di atas adalah salah satu konsep yang disebut agenda setting. Dalam konsep ini, pemahaman audiens dalam menerima suatu berita berproses. Mereka menganggap suatu kabar menjadi penting karena cenderung mengikuti apa yang media massa liput dan anggap penting.
Berlawanan dengan beberapa teori di atas, ada Hipotesis Katarsis yang menyatakan bahwa tayangan dan berita seks serta kekerasan pada media sesungguhnya memiliki efek positif. Menurut hipotesis ini, berita tersebut memungkinkan orang merasa lebih rileks dan terhibur lewat perantaraan dunia fantasi. Misalnya, menurut teori ini, kalau anda suntuk tidak mendapat pekerjaan, atau uang di kantor cekak, lalu membaca berita syur di koran atau majalah, setidaknya anda akan lupa dengan problem yang tengah hinggap (hehehe, teori gile, tapi saya kutip supaya semua tahu, ada teori macam begini).
Perilaku Antisosial
Yang dimaksud dengan perilaku antisosial adalah perilaku yang berlawanan dengan norma-norma sosial yang berlaku. Media amat berperan menampilkan tayangan yang mengakibatkan adanya perubahan perilaku tersebut, antara lain. Salah satu yang paling dikhawatirkan adalah tayangan kekerasan. Efek kekerasan, khususnya dari tayangan televisi, menarik banyak minat peneliti, terutama efek pada anak-anak. Ini dikarenakan anak-anak sukar membedakan antara tayangan film dan kejadian sehari-hari di alam nyata.
Seorang kenalan di Bogor bercerita bagaimana ia kini mencegah anaknya menonton film kartun “Tom and Jerry”. Pasalnya, si anak sering melakukan tindakan berbahaya dengan berusaha melompat dari atas lemari atau meja ke lantai. Ia rupanya ingin meniru adegan Tom sang kucing yang jatuh terhempas lalu gepeng, kemudian kembali seperti sedia kala.
Ada pula perilaku prasangka, seksisme, rasialisme, dan segala bentuk intoleransi lainnya yang kerap dipromosikan media. Tayangan media kerap mendorong pen-stereotipe-an, terbentuknya generalisasi terhadap sekelompok orang tertentu akibatnya kurangnya informasi. Stereotipe ini bisa berbahaya jika mereka yang dipengaruhi akan terasionalisasi hingga bertindak tidak adil pada kelompok lain. Orang negro, misalnya, diidentikkan dengan pemalas dan suka bertindak kriminal. Orang Amerika Latin digambarkan senang berpakaian norak. Orang kulit putih biasanya cerdas dan kuat. Sementara di dalam negeri, orang Batak terlanjur diasosiasikan bersuara keras, tidak tahu sopan santun, dan berprofesi sebagai, maaf, tukang copet. Sementara Cina diidentikkan dengan manusia licik dan tukang mengeruk untung. Banyak contoh stereotipe lain, seperti penggambaran bahwa wanita itu lemah dan pasif, sementara pria itu kuat dan agresif.
Khusus media televisi, terdapat suatu hasil penelitian yang menarik antara menonton TV dengan prestasi di sekolah. Meski tidak terlalu kuat, diduga ada sedikit hubungan negatif antara keduanya. Remaja yang banyak menonton TV cenderung kurang berprestasi di sekolah dibandingkan rekannya yang sedikit menonton. Dari sebuah studi pada lebih dari 600 siswa kelas 6 hingga 9 di Amerika, diketahui bahwa pada penggemar berat TV memiliki skor tes kosa kata dan bahasa yang cenderung lebih rendah dibandingkan rekannya yang sedikit menonton.
Seks dan Media
Perilaku antisiosial lain yang juga mengancam khalayak adalah tentang masalah seksual. Seks dalam media menjadi isu hangat sejak tahun 1920-an, terutama di Amerika Serikat, setelah adanya skandal seks di Hollywood. Jika dulu Hollywood, yang menjadi pusat perfilman Amerika, ketat dalam sensor dan mencegah adanya perilaku seks, pada dekade terakhir ini tingkat tayangan pornografi melesat tinggi lewat majalah, TV, video, dan internet. Pada saat sama, norma-norma sosial perlahan mulai permisif dan mentoleransi hal-hal semacam itu. Penelitian menunjukkan, pria yang terekspose materi pornografi ternyata bersikap dan perilaku negatif terhadap wanita. Bukankah sudah kerap muncul berita bahwa seorang lelaki berbuat tidak senonoh pada perempuan karena alasan terangsang sehabis menonton film porno?
Tindakan penyalahgunaan obat-obatan juga menjadi masalah pelik saat ini. Ini terjadi lewat penayangan iklan atau program yang menyertakan obat-obatan, minuman keras, rokok, dan sebagainya. Barang semacam ini, meski beberapa dilarang tayang langsung dalam iklan, mempengaruhi pemirsa untuk konsumtif dan mencobanya.
Komputer, Antisosial
Dampak komputer sebagai media baru ini, juga internet, tak kalah seriusnya. Salah satunya adalah perilaku antisosial, misalnya yang ditimbulkan akibat permainan video game yang banyak berisi adegan kekerasan. Internet juga membawa materi pornografi yang dapat diakses bebas oleh setiap pengguna (pada kesempatan lain, saya akan postingkan tulisan khusus mengenai video game, menarik kok... hik hik hik, promosi ni yee).
Para ahli kini banyak meneliti gejala “computer anxiety”, yaitu dampak karena penggunaan komputer yang berlebihan, yang dikenal pula dengan nama cyberphobia dan computerphobia. Gejala ini berupa ketakutan akan computer karena berbagai efek buruk dari penggunaannya. Sebaliknya, ada pula yang kecanduan internet (internet addict), yakni orang penggila berat penggunaan internet. Ia menjadi tidak bisa lepas dari komputer, berulang kali mengecek e-mail, dan khawatir ditinggal teman-temannya di komunitas maya tersebut.. Malah di Amerika kini ada yang kecanduan akan judi online (online gambling addict).
Perilaku Prososial
Begitu pun, tidak berarti media komunikasi saat ini punya efek buruk 100 persen. Sesungguhnya, media tersebut juga menyediakan sarana agar penonton atau pembaca dapat dipengaruhi untuk berperilaku prososial, yakni perilaku yang memiliki nilai sosial dan dianjurkan, merupakan kebalikan dari antisosial.
Televisi dapat digunakan salah satunya sebagai wadah kampanye informasi yang memanfaatkan teknik kehumasan dan periklanan untuk memperkenalkan dan memasyarakatkan perilaku prososial. Kampanye ini dapat menggunakan social marketing sebagai suatu pendekatan komunikasi yang terpadu. Misalnya, memperbanyak tayangan ceramah dan siraman rohani seperti acara Aa Gym, diharapkan bisa menarik perhatian pemirsa dan membuat mereka menikmati isinya. Ajakan hidup sehat di surat kabar dan anjuran menanam sejuta pohon dalam rangka Hari Lingkungan juga merupakan salah satu keuntungan yang diperoleh dari adanya media.
Media massa seperti TV juga dapat digunakan sebagai sarana pendidikan jarak jauh (distance education). Ini sudah banyak dilakukan di luar negeri. Tujuannya, tak lain untuk membuat pendidikan menjadi lebih dapat diakses oleh berbagai kalangan yang tak punya kesempatan belajar di sekolah atau tempat kursus. Di Indonesia, hal itu sudah dilakukan dalam skala tertentu, misalnya lewat program panduan masak-memasak di televisi. Atau, tips dan trik merawat komputer di lembar khusus surat kabar harian, dan lain-lain. Bahkan di internet, kini hadir apa yang disebut virtual university.
Bahkan iklan-iklan, yang disebut sebelumnya ‘meracuni’ pikiran penonton, masih punya sisi positif. Setidaknya, dengan banyaknya iklan, konsumen menjadi lebih peduli terhadap adanya produk-produk alternatif yang menciptakan persaingan bagi produk yang sudah ada, sehingga membuat harga terdorong turun.
Efek lainnya
Penggunaan TV ternyata dapat menurunkan keterlibatan masyarakat, karena orang lebih suka duduk di depan layar kaca daripada harus hadir di rapat kelurahan, misalnya. Masyarakat virtual di internet juga bisa menggantikan hubungan tatap muka yang selama ini terjadi, sehingga orang mulai malas berkunjung. “Toh bisa chatting di internet, atau kirim SMS,” kilah sebagian orang.
Internet dalam beberapa hal mengakibatkan depresi dan isolasi sosial bagi para penggilanya. Tetapi hal ini masih menjadi perdebatan hangat. Pasalnya, survei lain mengatakan bahwa internet ternyata tidak punya dampak siginifikan pada keterlibatan sosial nyata. Artinya, para netter tidak harus menjadi seseorang yang asosial, mengingat mereka tidak saja menciptakan teman di dunia cyber, tapi juga mengubah teman cyber-nya menjadi teman dalam dunia nyata.
Dari segi kesehatan dan lingkungan, penelitian menyebutkan pengaruh menonton TV terhadap kegemukan bagi anak. Juga, film kartun yang aneka warna menyala membuat sindrom pada penglihatan anak dan membuat mereka tak sadar serta tak terkontrol dalam sesaat. Demikian juga radiasi VLF (very low frequency) dari alat-alat elektronik bisa menimbulkan ancaman kesehatan. Radiasi telepon portabel/ponsel disebut-sebut dapat menimbulkan kanker otak, juga radiasi elektromagnetik sistem microwave dan satelit mempengaruhi kesehatan jaringan tubuh. Sementara penggunaan komputer yang sering dapat menimbulkan cedera dan stres. (ahmad husein)
Monday, February 21, 2005
Bebas...!!
Eh, ketika laporan dari Amman ditayangkan, yang melaporkan justru Haji Awan.... Kok tahu-tahu udah sampai di sana, dikau, Ji...? Heibat..heibat... bahasa Arabnya ternyata bermanfaat ya, setidaknya jadi penerjemah Suryo Paloh, hahaha.... Selamat buat kalian semua...
(ahmad husein)
Saturday, February 19, 2005
Wartawan dan Kenangan Itu.....
Mereka yang disandera itu....
Begitu membaca berita itu, saya terbayang kembali betapa kerasnya dunia wartawan. Harus diakui, saya tumbuh di dunia itu, sejak 1994. Dalam hal-hal tertentu, peristiwa yang menimpa Meutia dan Budiyanto ini seperti mata peluru, tak peduli mengenai siapa saja. Sebelumnya juga ada Ferry Santoro dan Ersa Siregar (alm.) yang disandera di sarang GAM, malah hingga berbulan-bulan. Ersa akhirnya gugur, sementara Ferry bebas kemudian.
Dan kenangan lama kembali muncul, karena bersama teman-teman, saya sempat mengalami berbagai situasi yang tak pernah terlupakan --tentu intensitasnya tidak seberat sebagaimana yang dialami wartawan Metro TV itu. Tahun 1998, ketika itu mahasiswa bergolak, DPR diduduki, Trisakti berdarah karena tembakan pasukan yang menewaskan 4 mahasiswanya. Tanggal 13 Mei, saya dan rekan (Nur Hidayat), berangkat ke Trisakti meliput upacara pemakaman mahasiwa. Situasi kacau, massa yang entah dari mana datangnya berkerumun di depan Citraland, makin siang makin banyak. Di tengah-tengah jalan, ada pasukan polisi dan tentara. Sementara di Trisakti, belasan tokoh datang berorasi dan berbelangsungkawa.
Dan entah dari mana datangnya, tiba-tiba truk meluncur, dibakar. Massa mulai merangsek maju, melempari aparat. Krak...krak, saya dengar polisi dan tentara mengokang senjatanya, siaga menghalau massa. Beberapa wartawan, termasuk saya dan Nur, terjebak di tengah-tengah antara massa dan aparat. Saya ingat, suara letusan senjata (peluru hampa?) beberapa kali dilepaskan. "Bakar, bakar, serang saja..." suara massa bergemuruh, dan mereka makin maju dengan beringas. Batu berseliweran di udara, kami pun menunduk. Nur sempat bertanya pada saya, "Kita harus ngapain, lari ke arah tentara, atau lari ke arah massa?" Dua-duanya penuh resiko. Namun pada detik-detik akhir, kami memilih lari ke arah massa, dan merangsek menuju kerumunan belakang, agar aman dari jangkauan batu dan peluru (siapa tahu?)...
Dan tiba-tiba, suara senjata mulai menyalak tak henti-henti. Desingannya sebagian terasa dekat sekali di telinga. Kami berdua komat-kamit berdoa, agar tak jadi sasaran empuk, mengingat kita tidak tau persis jenis peluru apa yang ditembakkan (karet atau jangan-jangan peluru tajam). Yang saya ingat, massa kocar-kacir, dan kami ikut berlari dalam kerumunan. Tahu-tahu kami berdua entah sudah berada di mana, rasanya sudah jauh berlari. Merasa agak aman, kami menyewa bajaj, dan diturunkan di dekat Petamburan. Untung masih ada taksi, dari situ kami berusaha kembali ke kantor. Jalanan lengang. Esok harinya, bakar-bakaran makin marak, dan akhirnya 14-15 Mei itulah Jakarta rusuh dan terbakar di mana-mana.
Dalam kesempatan lain, ketika mencoba menembus barikade demonstrasi massa, dekat gedung DPR, tahu-tahu tabung gas air mata dilontarkan, seluruh demonstran bubar, asap mengepul di mana-mana. Kami hanya bermodal handuk mencoba menutup mata. Gagal, mata tetap terasa perih, dan air mata mengalir terus. Untung tak sempat lama, kami menyingkir ke tempat aman.
Kali lain, ketika tembak-tembakan terjadi di depan Universitas Atmajaya beberapa bulan kemudian (ada mahasiswa yang tewas karena kejadian itu), saya dan rekan Kris juga berada dekat-dekat situ. Kawasan itu selepas Magrib seolah terang-benderang karena cahaya dari rentetan senjata tentara dan polisi. Suara orang berteriak-teriak panik. Kami masih mencoba meliput dan berdiri di dekat Benhil, sampai akhirnya harus berlari ke Gedung Dharmala karena situasi makin panas. Untung Pak Satpam-nya berbaik hati memanggil untuk berlindung di posnya. Suara panser, derap sepatu tentara, ambulance yang meraung-raung menuju RS Jakarta, membuat suasana senja itu amat mencekam.
Namun yang tak terlupakan adalah ketika rekan-rekan wartawan sekantor, di tengah-tengah situasi kacau itu, tiba-tiba bertemu seorang anak usia 11 tahun terkapar di gorong-gorong dekat Semanggi, dengan pinggang membiru. Menggelepar meregang nyawa. Masya-allah. Seorang temannya, mendampingi dengan wajah pucat pasi. Konon, ia ditendang tentara. Sang teman mengaku mereka tak tahu pasal kejadian, karena cuma ikut-ikutan bergabung dalam rombongan pro Sidang Istimewa. Keduanya mengaku dari Demak, dan sehari-hari kerjanya mengamen, dan sore tidur di komplek Mesjid Istiqlal.
Keduanya dilarikan ke kantor. Tetapi si anak yang pinggangnya membiru itu sudah setengah tak sadar. Saya ingat benar, seorang rekan berbisik, “Jangan-jangan ginjalnya pecah, atau apa.... “ Kami larikan ia ke klinik di dekat kantor, tapi petugas di sana menyerah. Akhirnya, si anak kami larikan ke RS Cipto. Di sana, puluhan orang, terutama mahasiswa, juga bergeletakan luka-luka. Begitu diterima petugas, si anak ini langsung dibaringkan di atas brankar ditemani temannya. Kepada kami, petugas mengatakan biar mereka yang mengurus, dan melarang kami ikut ke dalam. Itu terakhir kalinya saya melihat si anak didorong ke dalam lorong dan hilang dari pandangan. Saya tidak pernah tahu lagi, seperti apa nasibnya. Selamatkah? Atau...
Saya sendiri bersyukur belum pernah digebuki, atau masuk dalam situasi yang lebih gawat (beberapa rekan dari wartawan foto kenalan saya sudah kenyang ditendang dan kameranya dibanting di saat-saat meliput dahulu... Nggak tau sekarang, mungkin lebih tenang, terutama di Jakarta). Paling banter: dibentak dan ditelepon oleh aparat yang ngamuk karena tulisan saya.
Dan kini, mengingat Meutia dan Budiyanto, sekali lagi, mengembalikan ingatan saya, betapa tugas wartawan tidaklah mudah, dan amat membutuhkan mental baja. Meski kini tidak lagi terjun langsung di dunia peliputan, saya paham benar, Insya-Allah, tentang resiko yang mereka hadapi, tiap kali bertugas di lapangan. Dan saya amat kagum akan semangat dan ketegaran mereka. Semoga Allah memberikan yang terbaik...
(ahmad husein)
Friday, February 18, 2005
Membelah Buih di Cicatih
Sabtu pagi, Kota Bogor. Dengan mengendarai Kijang kapsul, sembilan rekan menjemput saya di depan Kantor PLN Merdeka. Kami bersepuluh memang janjian menuju Warung Kiara, Sukabumi. Niatnya satu: menjajal jeram dan riam Sungai Cicatih.
Hanya satu orang di antara kami yang sudah berkali-kali mengikuti arung jeram alias white water rafting ini. Selebihnya mengaku, ini pengalaman pertama kali. Maka, perjalanan mendebarkan pun dimulai menuju Warung Kiara, yang menjadi titik pertemuan kami dengan Cherokee --operator arung jeram di wilayah Cicatih. Warung Kiara ditempuh dengan jarak dua jam dari Jakarta atau satu jam dari Bogor. Itu kalau lancar. Faktanya, kemacetan --maklum akhir pekan-- terjadi di beberapa titik, terutama di kawasan pasar Cicurug.
Dari Ciawi, mobil melaju ke arah Sukabumi. Di daerah Cibadak, spanduk arung jeram milik Cherokee menyambut, dan mobil berbelok kanan menuju arah Pelabuhan Ratu. Setelah sekitar 1,5 jam di jalan, kami tiba di meeting point yakni stop over Cherooke, Desa Bojong Kerta. Tempat ini berada di tepi jalan, dekat jajaran hutan karet dan kekayuan lainnya.
Usai mendaftar dan menitipkan barang-barang berharga, masing-masing kami mulai berganti baju. Untuk berarung jeram, setiap orang hendaknya mengenakan kaos, lebih baik lagi lengan panjang. Sengatan matahari, ditimpali dinginnya air sungai akan mendera setiap saat di perjalanan. Celana pendek, dan sepatu atau sandal karet, berikut krem anti sengatan panas dan sinar matahari juga tak boleh dilupakan. Kalau ada kaca mata hitam, boleh juga.
Pilih Rutenya
Di aliran Cicatih ini, setidaknya ada dua operator yang menjalankan kegiatan arung jeram, yaitu Cherooke dan Riam Jeram. Di Cherokee sendiri, ada 3 paket perjalanan yang bisa diambil. Kami mengambil paket C1-Jeram-Jeram, dengan tingkat kesulitan riam (class atau grade) mencapai 3 hingga 4 (Lihat: Lain Riam Lain Kelasnya). Untuk pilihan ini, peserta harus berumur minimal 12 tahun. Jarak perjalanan adalah 12 kilometer dengan jarak tempuh sekitar 2 - 2,5 jam, finish di Desa Sirnajaya di kecamatan yang sama, Warung Kiara. Biayanya tak bisa dibilang murah, tapi masih terjangkau, Rp 195 ribu per orang (weekend), dan bisa lebih murah jika di hari kerja bisa, yakni Rp 175 ribu.
Semua harga itu sudah mencakup tanggungan asuransi, peralatan berstandar international, snack dan buffet ala Sunda. Setiap grup peserta juga didampingi oleh seorang pemandu (guide) yang profesional dan terlatih, berikut tim penyelamat (rescue) bersertifikat. Dan tak lupa, tiap peserta yang telah sukses mengikuti arung jeram akan mendapat sertifikat dari operator.
Tak lebih 15 menit, kami sudah siap dengan 'seragam' arung jeram: ber-life jacket yang ngepres di tubuh, helm, dan paddle (dayung) seorang satu. Dari pondok ini, kami memilih menuju start point dengan diantar mobil operator. Maka, kami bersepuluh pun duduk berhimpitan dengan seragam lengkap, terhempas-hempas di jalanan mendaki dan berbatu-batu. Ada yang bercanda, ada juga yang diam, memikirkan seperti apa rasanya berperahu karet sembari dihempas gelombang riam Cicatih.
Mengalahkan Pamor Citarik
Arung jeram alias rafting termasuk olahraga yang berisiko, sebagaimana menyelam (diving), dan terjun payung. Di Amerika, rafting termasuk olahraga populer, dan bahkan laris dibisniskan. Di Colorado, misalnya, bisnis ini termasuk menjadi sumber penyumbang terbesar pendapatan negara bagian itu.
Untuk Indonesia, sejarah rafting belumlah lama. Ia dipopulerkan sekitar tahun 1980-an. Saat ini, sebenarnya banyak jeram dan sungai Indonesia yang amat potensial dijadikan lokasi rafting. Yang sudah terkenal tentulah Citarik, Sukabumi, yang konon dibuka untuk umum tahun 1996. Tempat ini merupakan lokasi keempat untuk arung jeram di Indonesia setelah Bali, Sulawesi, dan Aceh. Ada juga Sungai Progo di Jawa Tengah (pernah memakan korban dalam perlombaan rafting beberapa tahun lalu), Sungai Serayu, Sungai Ireng-Ireng di di Lumajang, Jawa Timur, dan beberapa sungai di kawasan Sumatera Utara dan Aceh.
Jeram-jeram Sungai Citarik, salah satu anak Sungai Citarum, diakui secara internasional termasuk aman bagi pemula yang ingin mencoba olahraga ini. Adapun Cicatih --dan Cimandiri-- belakangan mulai mengalahkan pamor Citarik sebagai daerah arung jeram menantang. Apalagi dari segi lebar sungai, Cicatih lebih lebar (sekitar 20 meteran). Banyak pengunjung dan turis 'lari' ke Cicatih pada minggu-minggu belakangan, setelah lama tak turun hujan. Itu karena ketingggian air menyusut dan kurang menantang untuk dilalui. Sementara di Cicatih, tinggi air masih amat memadai.
Belajar Singkat
Kami tiba di start point pukul 10 lewat. Perahu karet dijejer di bantaran sungai. Untuk mencapainya, orang harus menuruni undakan dari semen, yang sekitarnya dikelilingi hutan bambu. Kami dipecah menjadi 2 kelompok. Kelompok saya dipandu oleh petugas bernama Dedi. Sementara petugas rescue-nya bernama Edi, yang khusus menggunakan kayak sambil mengawasi perjalanan kami nantinya.
Sebelum jalan, kami di-briefing singkat soal rafting dan seluk-beluknya. Untuk melakukan kegiatan mendayung, ternyata dibutuhkan teknik tersendiri. Memegang dayung yang berbentuk huruf T, misalnya, dilakukan dengan meletakkan ibu jari di bagian bawah dan empat jari lainnya mencengkeram atas. Sementara tangan lainnya memegang gagang di tengah, agar tercapai keseimbangan dan daya kayuh yang maksimal. Dalam mengayuh, seluruh panel dayung harus masuk ke air, jika tidak, power-nya akan berkurang. "Kalau nggak ada tenaga, itu mah bukan ngedayung, tapi ngaduk," kata Sukma, petugas briefing, sambil bercanda.
Aba-aba dalam rafting cukup ringkas. Ada istilah "Maju" (kanan atau kiri), yang berarti kita harus mengayuh dari depan ke belakang di kiri atau kanan. Sebaliknya, jika disebut "Mundur" (kanan-kiri), maka dayung dikayuh dari belakang ke depan. Jika diteriakkan "Stop", maka kita harus berhenti dan meletakkan dayung di atas pangkuan, dengan sirip/panel dayung di bagian luar. Kadang kala, ada aba-aba "Pindah Kiri" atau "Pindah Kanan". Pedayung yang ada di kanan, tinggal menggeser duduknya ke arah tengah, demikian sebaliknya. Sedangkan istilah "Boom" ditujukan jika ada benda, batu, ranting dan sebagainya di depan perahu yang akan menghantam. Pedayung harus memiringkan tubuh lebih rendah ke arah dalam perahu.
Tak lupa, kami diajarkan bagaimana caranya self rescue. Jika terlempar, perenang hendaknya mengatur posisi agar terlentang mengarah ke hilir, dengan kaki agak diangkat. Gunanya, jika di depan ada batu menghadang, ia tinggal menahan dan menolaknya dengan kedua kaki. Jika jarak jatuh dekat dengan perahu, perenang bisa langsung ditarik dengan cara memegang pelampung di kedua bagian bahu dan tarik. Kalau cukup berat, bisa juga dibantu dengan menarik bagian belakang pelampung. Atau, bisa pula dengan menjulurkan pangkal dayung yang berbentuk T.
Mafhum dengan tutorial singkat tadi, kami menutup briefing itu dengan doa bersama, dan mulai turun berurutan ke sungai, menaiki perahu karet. Posisinya sudah diatur, dua di depan kiri-kanan, dua di tengah kiri-kanan, dan belakang kiri. Pemandu mengambil posisi di belakang agak ke kanan. Lalu, perahu perlahan meluncur mengikuti aliran air ke hilir.
Maju, Stop, Boom!
Sepuluh menit pertama, biasa-biasa saja, tak ada ombak dan pusaran besar, atau riam yang menganga di depan mata. Perahu karet berjalan pelan. Sekali-sekali, aba-aba pemandu memerintahkan saya dan 4 rekan lain untuk mengayuh. "Maju...., Stop...., Maju...., Stop." Suasana sepi, yang ada hanya deburan arus sungai, dan suara burung hutan. .
Baru saja saya mengayuh dua tarikan, "Stop..!" tiba-tiba Dedi si pemandu memberi aba-aba. Tahu-tahu, di depan, riam berbuncah-buncah sudah menganga. Ini dia, kesempatan pertama. Dan, byurrr..... perahu oleng ke kiri, limpasan air menghantam seluruh pendayung yang ada di sisi tersebut. Teriakan membahana di perahu karet. Saya dan dua rekan lain di sayap kiri basah kuyup. Yang lain tertawa-tawa. Adrenalin tampaknya mulai terpicu. Perjalanan yang sesungguhnya mulai tampak.
Dan benar. Kami bertemu lagi dengan beberapa jeram. "Mundur.... Stop, Majuu....., Stop!" begitu teriak pemandu berkali-kali. Kami bekerja keras. Sementara suara teriakan pendayung dari perahu di belakang kami juga terdengar ketika mereka melewati jeram yang baru kami lalui. "Pindah kiri....." teriak pemandu, berusaha membuat manuver ke kiri, ketika perahu karet kami tertahan di celah sempit alur sungai. Lepas dari sana, perahu berputar-putar sebentar sebelum....
"Maju..... Stop, Booom...!" Alamak. Di depan, jalur kiri sungai, jeram menanti dengan ketinggian setengah meteran, sementara di depannya arus memutar dan berakhir di sebuah cadas dengan ranting-ranting pohon menjulur ke bawah. Serempak kami menghentikan dayung dan guncangan keras melontarkan perahu ke kiri, menghantam cadas sebelum kemudian terpental ke sebelah kanan. Saya relatif aman, dan langsung merunduk seraya menggeser badan ke arah dalam perahu. Sementara dua pengayuh di depan, wah, tipis sekali. Cadas hampir menerpa pipi kiri, Tak urung, ranting-ranting pohon tadi menghantam helm. Semua tanpa sadar berteriak histeris.
Namun di situlah rupanya letak petualangannya. Rasanya bebas bukan kepalang. Dan puas melalui riam yang lumayan 'mengerikan' barusan, perasaan berganti dengan kepuasan lain menyaksikan pemandangan hutan dan tebing di kiri-kanan sungai. Di tepian sungai hingga di atas tebing, banyak terdapat pohon aren atau kolang-kaling (Arenga pinnata). Saya juga menghitung, sepanjang perjalanan, setidaknya ada 2 jembatan gantung tradisional, yakni di daerah Bojong dan Cilulumpang. Sekali waktu, di bukit sebelah kanan, tampak petani tengah membajak sawah dengan 3 kerbaunya. Baru saya tersadar, sudah lama saya tidak melihat pemandangan klasik seperti itu.
"Biawak!" kata Burhan, rekan saya seperahu. Benar, di tepi sungai, sepasang mata tajam, dengan panjang tubuh kira-kira kurang semeter, sebagian tersembunyi di balik batu, seolah mengawasi perahu yang melintas. Biawak (Varanus salvator) merupakan hewan lazim yang menghuni sungai. Seekor yang lebih besar kami temukan beberapa puluh meter dari tempat biawak pertama. Yang satu ini langsung lari lintang pukang begitu perahu mendekati tempatnya berjemur.
Sepanjang perjalanan hari itu, perahu yang saya tumpangi mengalami 3 kali boom. Dan satu jam pertama tampaknya arah jalur sungai lebih banyak menikung ke kiri. Itu menyebabkan kami yang berada di sisi kiri lebih basah kuyup ketimbang sebelah kanan. Tapi basah itu terlupakan, apalagi ketika saat menuruni sebuah jeram lagi, nun di depan sana seorang staf Cherokee membidik aksi tersebut dengan lensa tele-nya.
Hayoo, yang manakah diriku.....???
Bule, Mbacang, dan Teroris
Setelah sekitar satu jam, kami menepi di pos antara. Tempat perhentian ini disebut daerah jeram S, mengingat bentuk alur sungainya meliuk seperti huruf S. Di sini, kami bertemu dengan 9 perahu dari kelompok lain, 12 di antaranya adalah turis asing. Sebagai pengisi perut, kami disuguhi penganan mbacang, sejenis lontong beras yang diisi daging dibungkus sedemikian rupa sehingga berbentuk segi tiga. Makanan ini biasanya banyak terlihat dijajakan di pasar dan terminal di kawasan Jawa Barat. "Mmm, yummy...," puji seorang bule yang mengaku baru pertama kali mencicipi jenis makanan seperti itu.
Saya mulai merasakan lengan kanan pegal. Tapi nyeri itu tak terlalu mengganggu. Usai istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Sial buat rekan-rekan saya di perahu karet lain. Entah kenapa, belum 100 meter melaju, mereka menepi kembali. Rupanya, perahu karet itu bocor. Untung ada tim penolong yang senantiasa mengawal, dan dengan sigap menggantikan perahu bocor tadi dengan perahu lain. Anggota tim tersebut dari awal senantiasa mendampingi peserta dengan perahu kayak-nya. Bedanya dengan perahu karet biasa, kayak lebih ramping, dan panel dayungnya terdapat di dua sisi.
Perahu karet kami melaju lagi. Kali ini semua lebih santai dan percaya diri. Beberapa kali kami berpapasan dengan grup lain dan saling menyiramkan air. Yang agak mengagetkan, salah seorang turis mancanegara yang kami temui tadi terlempar dari perahunya dan hanyut. Untung, arus tidak terlalu kencang, dan dia dengan segera mempraktikkan self rescue yang telah diajarkan sebelumnya. Rekan-rekannya sesama turis datang dan menyodorkan dayung untuk membantu menariknya. Dalam situasi begitu, masih ada yang bercanda dan nyeletuk, "Nggak usah ditolong, nanti yang nolong malah dituduh teroris lagi." Humor pahit ini mengundang tawa. Masih untung, turis asing tadi tidak mengerti.
Kami sampai di daerah yang merupakan pertemuan antara Sungai Cicatih dan Cimandiri, yang airnya tampak lebih tenang, Sambil menunggu grup yang perahunya bocor tadi, kami menceburkan diri ke luar dan berlatih bagaimana menarik rekan dari air. Posisi mengayuh pun sudah berubah. Kini saya memegang kendali di tengah kanan. Yang lain juga mengubah posisi mereka. Tak terhitung berapa jeram dan kelokan yang kami lalui. Semuanya dengan kecepatan tinggi dan menimbulkan emosi yang luar biasa.
Finish dan Pegal
Dari kejauhan, tampak jembatan beton di Leuwilalay, Desa Sinar Jaya. Itulah titik finish bagi semuanya. Sepuluh perahu pelan-pelan bergantian merapat. Di Saung Pinggir Padi --nama tempat peristirahatan ini-- seluruh peserta bisa melepas penat mereka. Ada kelapa muda, dan nasi timbel yang lezat. Bagi yang ingin melemaskan otot, ada pijat gratis 15 menit, terpisah pria dan wanita. Peristirahatan tersebut terdiri atas bangunan utama bertingkat dua dari kayu, yang lantai atasnya (anjungan) dipergunakan sebagai tempat solat. Sekeliling saung adalah persawahan dengan padi menghijau. Sebelah selatan membentang jajaran bukit hijau dengan Cicatih meliuk-liuk bak ular naga coklat. Dari sini, usai mengaso, orang bisa langsung kembali ke titik pertemuan di Warung Kiara, kembali melewati jalan berbatu dan mendaki. Sore hari, kami melaju pulang ke Bogor.
Dua jam membelah buih Cicatih, rasanya benar-benar menimbulkan sensasi. Perjalanan perdana yang mengesankan. Arus, ombak, buih, batu, dan tebing Cicatih, berpadu dengan, sawah-ladang, dan rimbun pepohonan. Kini tinggal satu pekerjaan yang siap menanti saya di rumah: mengolesi lengan yang luar biasa pegal dengan balsem! (ahmad husein)
Thursday, February 17, 2005
Kepadamu Aku Menjura...
Wednesday, February 16, 2005
Hutan Samudera nan Merana
Keindahan terumbu karang tidak terbantahkan. Ulah rakus manusia membuatnya makin hancur
TONTONLAH film kartun Disney yang berjudul “Finding Nemo”. Nikmati adegan ketika Nemo si ikan badut (giru) bangun pagi di sela-sela tentakel anemon --yang beracun bagi hewan lain tapi tidak bagi giru—lalu berangkat sekolah diantar ayahnya, Marlin. Sekolah di kawasan terumbu karang itu mirip sekolah internasional, terdiri atas berbagai ‘suku bangsa’ ikan, di tengah warna-warni belantara karang yang amat luas. Indah sekali.
Di alam aslinya, gambaran kartun itu tak terlalu salah, malah lebih indah dan mengagumkan. Setidaknya, bagi mereka yang pernah melihat langsung pemandangan bawah laut, atau yang pernah melihatnya di layar kaca, pasti mengakui betapa fantastisnya alam bawah laut di kawasan terumbu karang.
Dan bersyukurkah, Indonesia dianugerahi kawasan terumbu karang yang paling spektakuler, diakui oleh kalangan mana pun di dunia. Maka, semua penggemar selam atau snorkeling pasti tahu, setidaknya pernah mendengar, eksotisnya isi bawah laut Taman Laut Bunaken di Sulawesi Utara. Atau di kawasan Pulau Derawan dan Sangalaki di Kalimantan Timur, Takabonerate di Sulawesi Selatan, kawasan Raja Ampat di Papua, perairan Pulau Komodo, hingga yang cukup dekat seperti di Kepulauan Seribu, Jakarta.
Bandingkan dengan negara-negara di daerah subtropis, yang tak punya lokasi semacam itu. Jadi, bukan hal yang mengherankan jika pernah mendengar bagaimana banyak wisatawan mancanegara bersusah-payah menabung untuk dapat menyelam atau ber-snorkeling di kawasan terumbu karang di Indonesia.
Tumbuhan atau Hewan?
Konon, nenek moyang kita orang bahari, yang gemar mengarung luas samudera. Celakanya, kalau ditanyakan soal (terumbu) karang, cuma segelintir masyarakat kita yang keturunan orang bahari tersebut paham tentang samudera dan segala isinya. Hal paling sederhana, misalnya, soal status terumbu karang sebagai makhluk hidup. Sebagian besar orang pasti dengan yakin menjawab, karang adalah jenis tumbuhan. Alasannya simpel. Dari segi fisik sudah terlihat bentuknya yang menyamai tanaman kebanyakan. Ada yang seperti bunga, rumput, tanaman kipas, bercabang ke sana-sini, dan sebagainya.
Benarkah karang adalah kelompok tumbuhan? Jawabnya, tidak. Sebaliknya, karang justru termasuk dalam golongan hewan. Ia terbentuk dari aktivitas biologi dan merupakan komunitas laut tropis yang khas di antara berbagai komunitas laut lainnya. Terumbu karang merupakan endapan masif kalsium karbonat (kapur) yang direkatkan oleh zat perekat sejenis semen yang dihasilkan oleh alga (ganggang) berkapur dan organisme lain penghasil kalsium karbonat.
Sebagai hewan, karang tergolong dalam Filum Cnidaria, Ordo Scleratina. Walaupun hewan, organisme ini tidak dapat bergerak atau berpindah. Dalam istilah biologi, ia tergolong sebagai organisme yang menetap atau sesile.
Sebuah koloni atau kumpulan karang terbentuk dari ribuan individu yang disebut polip. Polip ini, kalau dilihat, berbentuk bak bunga-bunga kecil. Polip memiliki sejumlah tentakel, dan di bagian tengahnya terdapat mulut. Tentakel ini terdiri dari sel penyengat (stinging cell) yang disebut nematosist—berbentuk seperti panah kecil beracun. Fungsi nematosist ialah untuk menangkap makanan.
Di dalam tentakel dan tubuh karang terdapat alga yang disebut zooxanthellae. Alga ini menghasilkan makanan yang dibutuhkan karang melalui proses fotosintesis. Sebaliknya, polip karang melindungi alga zooxanthellae tadi dari pemangsa dan makhluk lain, karena koral polip merupakan rumah yang cocok bagi alga untuk hidup dan berkembang biak. Hubungan atau simbiosis antara polip karang dan alga tersebut dikenal sebagai hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).
Yang mencengangkan, untuk membentuk karang menjadi koloni besar dan tampak seperti yang kita saksikan di bawah laut, dibutuhkan waktu beratus-ratus tahun. Simbiosis dengan waktu yang amat panjang itu dibuktikan dengan diketahuinya usia karang yang berevolusi pertama kali, yakni sejak lebih 200 juta tahun lalu. Maka dapat dibayangkan jika sekelompok karang rusak atau diganggu hidupnya. Untuk pemulihan, dibutuhkan waktu yang sama, puluhan hingga ratusan tahun.
Habitat dan Jenis Karang
Namanya juga makhluk hidup, karang tentu membutuhkan kondisi alamiah yang cocok bagi pertumbuhannya. Ia memerlukan lingkungan perairan laut dengan temperatur antara 18 hingga 30 derajat celsius, kedalaman air sampai 50 meter, dan kadar garam (salinitas) antara 30 hingga 60 ppt. Karang hanya bisa hidup bagus di perairan yang jernih dan laju sedimentasi rendah, dengan pergerakan arus air yang cukup, bebas dari polusi, dan ketersediaan substrat yang padat. Karang tidak bisa hidup di air tawar atau muara sungai.
Dari segi jenisnya, ada yang disebut terumbu karang cincin (atoll). Terumbu karang cincin jenis ini biasanya terdapat di pulau-pulau kecil yang terpisah jauh dari daratan. Pembentukan terumbu karang cincin ini membutuhkan waktu beratus-ratus tahun. Contoh terumbu karang cincin dapat ditemui di Takabonerate, Sulawesi Selatan. Ada pula yang disebut terumbu karang penghalang (barrier reefs). Pernah dengar nama The Great Barrier Reef di Australia? Nah, terumbu karang yang termasuk ngetop di dunia itu adalah contoh terumbu karang penghalang. Ia hadir bak benteng mengawal daratan, menyebar hingga ke arah laut lepas, sehingga disebut sebagai ‘penghalang’.
Selain kedua di atas, terdapat jenis terumbu karang tepi (fringing reefs). Terumbu karang ini merupakan jenis yang paling banyak ditemukan di perairan laut Indonesia. Terumbu karang tepi berada di pesisir pantai yang jaraknya mencapai 100 meter ke arah laut.
Kalau dihitung-hitung, berdasarkan berbagai penelitian ilmiah, terdapat sekitar 800 jenis karang di dunia. Jenis yang dominan di suatu habitat amat tergantung pada kondisi lingkungan atau habitat tempat karang itu hidup. Pada suatu habitat, jenis karang yang hidup didominasi oleh suatu jenis karang tertentu, sedangkan pada habitat lainnya jenis karang yang dominan bisa berasal dari jenis lain pula.
Yang membuat terumbu karang jadi amat berharga bukan soal bentuk dan keindahannya semata. Keberadaannya mengundang organisme lain datang dan hidup di sana, lalu berkembang biak. Misalnya, ikan-ikan yang habitatnya di kawasan karang, memanfaatkan kawasan terumbu untuk tempat tinggal dan berkembang biak. Dan sebagaimana kodrat rantai makanan berlaku, keberadaan ikan dan hewan ini mengundang kedatangan hewan lain yang lebih besar, untuk mencari makan. Tak heran, kawasan terumbu karang mirip pasar ikan, dalam arti benar-benar dipenuhi berbagai jenis ikan yang lalu lalang dan menetap di sana.
Surga Karang
Dari seluruh kawasan perairan laut, Asia Tenggara memiliki sekitar 100 ribu kilometer persegi terumbu karang. Itu berarti 34% dari total luas areal terumbu karang dunia. Dan dari sekitar 800 jenis karang pembentuk terumbu di dunia, lebih dari 600 jenis ditemukan di Asia Tenggara. Hal ini menjadikan terumbu karang di kawasan Asia Tenggara memiliki tingkat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Asia Tenggara merupakan pusat keanekaragaman ikan karang, moluska (kerang-kerangan), dan krustasea (udang-udangan). Wilayah ini juga memiliki 51 dari 710 jenis mangrove di dunia dan 23 dari 50 jenis lamun (seaweed).
Kalau dihitung dengan duit, nilai ekonomis yang berhubungan dengan terumbu karang di Asia Tenggara sudah pasti amat angat penting. Coba saja, nilai perikanan karang yang berkelanjutan di kawasan Asia Tenggara adalah US$ 2,4 milyar per tahun. Sebagai tambahan, terumbu karang sangatlah penting untuk persediaan makanan, tenaga kerja, pariwisata, penelitian farmasi, dan perlindungan pantai. Devisa yang dihasilkan dari penyelam dan kegiatan wisata bahari lainnya amat besar. Belakangan, banyak jenis biota yang hidup di terumbu karang ternyata mengandung berbagai senyawa bioaktif untuk potensi bahan obat-obatan, makanan, dan kosmetika. Terumbu karang Indonesia dan Filipina, misalnya, memberikan keuntungan ekonomi setiap tahunnya masing-masing US$ 1,6 milyar dan US$ 1,1 milyar.
Khusus Indonesia, luas wilayah terumbu karangnya mencapai 75 ribu kilometer persegi, terluas di Asia Tenggara. Karena itu, bisa dimengerti besarnya manfaat terumbu karang bagi alam dan manusia, sebagaimana hitungan di atas.
Merana Luar-Dalam
Namun, di balik semua potensi itu, data dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) memperlihatkan kondisi yang memprihatinkan. Keberadaan terumbu karang ternyata tak begitu menggembirakan, bahkan bisa dibilang mencemaskan. Penyebabnya bermacam-macam. Yang jelas, akibat kerusakan terumbu karang yang menjadi rumah tempat berbagai macam hewan laut berlindung, mencari makan, dan berkembang biak itu, maka para hewan laut ini mungkin pergi mencari tempat lain dan tidak pernah kembali lagi. Akibatnya? Para nelayan akan mengalami penurunan hasil tangkapan yang berujung pada penurunan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Faktor-faktor yang kini jadi mengancam terumbu karang kebanyakan berasal dari kegiatan manusia. Terumbu karang terus-menerus mendapat tekanan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, rusaknya karang karena penggunaan bahan peledak untuk mencari ikan. Karang jadi patah, terbelah, tersebar berserakan, dan hancur menjadi pasir. Sedihnya, ledakan itu akan meninggalkan lubang-lubang pada terumbu karang.
Sebagian nelayan gencar menggunakan racun untuk memaksa ikan keluar dari sela-sela karang. Akibatnya, karang mati dan memutih, meninggalkan bekas patahan karang yang banyak. Ada pula yang melakukan penangkapan ikan di sekitar terumbu dengan alat-alat yang merusak seperti penggunaan trawl (pukat). Karang akan mati atau sulit bertahan hidup di daerah yang nelayannya sering menggunakan pukat harimau untuk menangkap ikan. Bagi yang menggunakan bubu, karang biasanya jadi rusak dan terdapat bongkahan karang mati serta menumpuk pada beberapa tempat, terutama jenis karang bercabang (Acrophora branching).
Jangkar juga bisa jadi biang kerok kerusakan, yang mengakibatkan karang rusak dan patah-patah, terutama jenis karang bercabang. Sebagian lagi merusak karang dengan menginjak atau berjalan di atasnya, terutama di tempat-tempat wisata yang bisa dikunjungi turis, atau para nelayan di pulau-pulau. Tak sedikit pula yang mengambil karang untuk cindera mata, dan pembuatan bahan dasar kapur untuk bangunan. Dari daratan, bahaya datang akibat sedimentasi kegiatan pertanian. Sedimentasi yang membawa lumpur ini akan menumpuk di kawasan terumbu karang. Akhirnya, karang mati akibat permukaannya tertutup lumpur.
Selain itu, ekosistem terumbu karang dapat terganggu karena faktor yang alamiah, seperti pemangsaan oleh hewan bintang laut berduri (Crown of Thorn). Hewan ini berbentuk mirip bintang laut, dengan seluruh bagian atas (punggung) berduri. Karang menjadi makanannya, dan jika karena sesuatu hal kondisi lingkungan menjadi tidak seimbang, jumlah bintang laut berduri ini akan membengkak, sehingga menjadi wabah. Terakhir, pemanasan global, dan gempa bumi, juga berperan memusnahkan karang. Dalam gempa bumi dan badai tsunami, sturuktur fisik karang bisa hancur, dan menumpuk di tepi pantai.
Ancaman Berat
Dalam kawasan Asia Tenggara, ancaman terhadap terumbu karang 88 persennya berasal dari aktivitas manusia. Lebih dari 90 persen terumbu karang di Kamboja, Singapura, Taiwan, Filipina, Vietnam, Cina, dan Kepulauan Spratly, serta lebih dari 85% terumbu karang di Malaysia dan Indonesia, kini dalam kondisi terancam. Indonesia dan Filipina total memiliki 77 persen dari seluruh terumbu karang di kawasan Asia Tenggara, dengan sekitar 80 persen di antaranya terancam.
Ratusan jenis karang batu yang membentuk terumbu karang cantik serta hewan-hewan dan tumbuhan laut lainnya yang saling menghidupi dalam sebuah masyarakat bawah laut (ekosistem) selama ribuan tahun ini akan punah kalau tak segera diambil tindakan. Manusia merupakan biang kerok utamanya. Manusia pulalah yang seharusnya mengambil langkah cepat dan strategis dari sekarang. Tingkat pembangunan dan perubahan yang cepat dalam 20 tahun terakhir ini harus disiasati agar tidak terus menjadi alat penggali kubur ekosistem terumbu karang.
Yang menggembirakan, ada banyak upaya mencegah dan mengatasi ancaman tersebut, antara lain lewat pengelolaan terumbu karang secara efektif. Di Asia Tenggara, misalnya, terdapat 646 kawasan konservasi laut, mencakup 8 persen wilayah terumbu karang Asia Tenggara. Namun dalam sebuah riset terhadap 332 dari kawasan konservasi tersebut, ternyata hanya 14 persen yang benar-benar efektif, sisanya 48 persen setengah efektif, dan 38 persen kurang efektif.
Itu berarti, dibutuhkan kerja lebih keras untuk membuat program pengelolaan kawasan perlindungan laut menjadi lebih berhasil. Plus, peraturan dan undang-undang yang menyokong penerapannya. Jika tidak, bisa-bisa ‘hutan samudera’ itu tinggal cerita, sebagaimana yang sudah mulai dialami hutan di daratan. (Ahmad Husein, dari berbagai sumber --dimuat di INSANI Islamic Digest)
Hm, giliran jam dinding....
Thanks to Latief "Poltak" Siregar, atas advisnya. Doi ini tengah merantau sekaligus menimba ilmu kedigdayaan di Norwich sono. Kamsiah, Arigato, Syukron katsiron pokoknya mah.. Berantakan tidak mengapa. Yang penting niat ingsun.... ;-)
Tuesday, February 15, 2005
Uh, I have no time...
So, niat belajar cut and paste html, masukin sound, masukin shout box, de el el --yang kayaknya mudah itu-- tertunda-tunda. Mungkin, jangan2x, aku aku harus cuti dulu seminggu, khusus ngurusin blog. Whaaaaa?!