Siang ini habis Jumatan, sedang nunggu temen2x dari beberapa media yang mau ikut "adventure" ke Teluk Adang dan Teluk Apar di Pasir, Kalimantan Timur...
Sembari nunggu, eh ingat postingan di blog Gembull ttg missunderstanding situation (gathering~katering, dan sebangsanya itu hehehe). Saya kok jadi pengen nulis tentang kisah-kisah 'kepleset lidah' atau "nggak matching" komunikasi seperti itu....
Nah, setelah tak pikir-pikir, setidaknya ada 4 cerita beginian yang saya pernah tahu/alami. Ini ndak bohong-bohongan. Bukan sulap, bukan sihir. Serieus, fakta, histori.
Kisah 1. Resepsi Kita Berbeda
Kategori: Fakta (sahih)
Setting: Ruang tamu kos mahasiswa, diskusi para aktivis (cie...)
Waktu/Tempat: Masa taon 1991-1992/Darmaga, Bogor
Sebut saja si tokoh namanya Badu. Ceritanya, kita sedang diskusi tentang perkembangan politik Islam di tanah air. Waktu itu dalam diskusi mencuatlah wacana tentang pentingnya masuk ke dalam sistem atau bermain di luar sistem.
Nah, Badu angkat bicara menanggapi soal ini. "Kalau saya pikir, itu tergantung dari resepsi yang kita adakan sendiri. Sepanjang kita memiliki resepsi bahwa di dalam lebih bisa berperan, silakan. Tetapi jika berjuang di luar pemerintahan dianggap lebih aman, resepsi semacam itu juga sah saja..., " ujarnya.
Semua orang manggut-manggut, nggak jelas karena kagum atau nggak ngerti. Tetapi para senior yang duduk di barisan belakang saling memandang dengan mimik bingung, lalu dahi berkerut. Resepsi, siapa yang mau bikin acara walimahan, nih? Satu, dua, tiga, lima, sepuluh detik.... baru senyum kita mengembang dan terkikik-kikik geli (tapi ndak boleh ditampakkan. Lha senior, jaga imej doong).
Yah, ternyata Badu dan kita agak berbeda paham tentang kata resepsi, eh, persepsi.
==
Kisah 2. Mas Parlan
Kategori: Fakta (mendekati sahih)
Setting: Ruang Dosen Pembimbing S1
Waktu/Tempat: 1992-1993/Wet Lab, Biotrop, Tajur, Bogor
Rekan saya sedang konsultasi skripsi dengan ibu dosen pembimbing kami di ruangannya, Ibu dosen ini dikenal lumayan “killer” (tapi sebenarnya baik kok…). Di saat sama, ada mahasiswa angkatan di bawah (kami angkatan 25, dia angkatan 26) yang baru mulai penelitian. Sebut namanya Amin. Si Amin ini disuruh ibu dosen membiakkan bakteri Aeromonas hydrophila untuk bahan risetnya.
Ketika lagi asyik ngobrol, Amin ngetuk pintu. “Bu, maaf, jumlah bakterinya berapa yang mau di-stok, dan caranya gimana?,” tanya Amin, sopan sekali.
“Bikin sejuta, 10 juta, dan 100 juta. Caranya, bandingkan dengan Mc Farland,” ujar si ibu dosen. Mc Farland adalah rangkaian tabung berisi larutan khusus yang biasa dipakai untuk memperkirakan jumlah bakteri dengan cara membandingkan kepekatan larutannya.
Si Amir mengangguk, dan menutup pintu lagi. Lantas, 5, 10, 15, 20, 30 menit. Amir ketuk pintu lagi dan dengan takut-takut bertanya,
“Maaf lagi, Bu…. Saya sudah mau membandingkan, tapi masih ndak ketemu dengan Mas Parlan-nya. Kalau boleh tahu, Mas Parlan yang angkatan berapa, Bu?”
Ibu Dosen: ??? (bingung, dahi berkerut, tangan meremas-remas gelisah – ah, ini fiktif)
Rekan saya: ??? (sok mikir keras, siapa Mas Parlan yang dimaksud)…
Sekian detik kemudian, ruangan itu heboh dengan tawa dan cekikikan.
Amin terlalu stress dan tegang, sehingga pendengarannya sulit membedakan antara Mc Farland dengan Mas Parlan….
==
Kisah 3. Tawon
Kategori: Fakta (sahih)
Setting: Wawancara dengan Narasumber Pengusaha Obat Tradisional
Waktu/Tempat: 1993-1994/Suatu tempat di Madura
Kali ini yg mengalami adalah rekan Iqbal Setyarso, semasa masih menjadi reporter majalah Kartini. Ketika tugas ke Madura, dia wawancara dengan seorang pengusaha jamu tradisional di –kalau ndak salah—daerah Bangkalan.
Cerita punya cerita, semua sudut rumah dan produk jamu-nya dilihat oleh Iqbal. Termasuk produk yang jadi andalan si pengusaha kecil ini, yaitu madu lebah hutan aseli.. Tiba saat wawancara, Iqbal bertanya dengan serius.
“Jadi, seperti produk madu hutan ini, bapak semua yang produksi ya?,” tanya Iqbal, serius.
Apa jawab si bapak?
(dengan logat Madura yang khas itu): “Oh..oh, ndak.. ndak begitu, Mas. Kalo madu ini, yang mbuat ya tawonnya ….. (dengan mimik lebih serius, sumpah…!!)
Iqbal: %#%*()(*& (dalam hati)
Pertanyaannya: Iqbal yg salah nanya, atau si bapak yg terlalu sensitif..?
===
Kisah 4. Laundry Buku
Kategori: Fakta (sahih, suwwer…)
Setting: Sekelompok pemuda alumnus IPB tengah diskusi tentang proyek sambilan…
Waktu/Tempat: 1994-1995/rumah kos-kosan Gunung Batu, Bogor
Nama tokohnya terpaksa diganti, supaya ndak marah. Sebut aja Anto. Jadi kita sedang ngumpul ngobrolin kerjaan sambilan, ya istilah kerennya mroyek, gitu. Ada buku keluaran salah satu penerbit akan diluncurkan dan teman2x dapat kesempatan ngurusin acaranya.
Waktu masuk pembicaraan tentang teknis acara, Anto ini bicara serius (serius lho, dia bicaranya serius, tidak dibuat-buat).
“Jadi, sebaiknya penetapan tempat untuk laundry ini harus ditentukan dengan teliti, supaya orang ndak kesulitan menghadirinya. Dan juga, biasanya, kalau laundry buku seperti ini kita baiknya mengundang temen-temen wartawan. Buku-buku yang baru di-laundry kan paling pas kalau mau diresensi di media….”
Adegan berulang: semua melongo, dahi berkerut2x, saling pandang. Mau peluncuran buku di tempat laundry? Atau maksudnya buku-buku itu di-laundry? Apa nggak rusak? Trus, skian detik kemudian, semua ngakak tidak ketulungan.
Mas Anto, kalau buku jelas nggak boleh di-laundry. Tetapi kalau kain kotor, nah itu bisa di-launching…….
2 comments:
hahaha...lucu :D
lucuuuuuuuuuuuuuuuu aku sampe ketawa ngakak bacanya, apalagi itu tuh soal lebah nya
Post a Comment