Kakak ipar saya, yang tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Timur, bercerita dengan mimik cemas. Anaknya yang baru duduk di bangku Taman Kanak-Kanak suatu hari, tanpa ada angin dan hujan, melontarkan pertanyaan yang menyentak. “Bunda, kalau bunuh diri itu kan bisa dengan menyilet tangan, kan?” tanyanya dengan lugu sambil mempraktikkan caranya. Selidik punya selidik, si anak bercerita kalau teman-temannya di sekolah pun sering beraksi main “bunuh diri-bunuh dirian” dengan cara bergaya seolah menyilet nadi di tangan, kemudian ambruk ke tanah. Mereka mengaku sering melihat adegan itu di televisi.
Cerita itu tampaknya sejalan dengan ramainya kasus kanak-kanak dan remaja mengakhiri hidup dengan bunuh diri, atau setidaknya mencoba bunuh diri. Baru-baru ini seorang anak bunuh diri di Tangerang, karena diminta ibunya tidak melanjutkan sekolah akibat ketiadaan biaya. Dulu, ada Linda Utami, yang nekad gantung diri di kamar tidur rumahnya di Jalan Nipah, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia baru berusia 15 tahun, duduk di kelas II SLTP. Penyebabnya, malu diejek temen-temennya karena tidak naik kelas. Atau, Nurdin bin Adas yang baru berumur 12 tahun. Warga Kampung Cikareo, Desa Salakuray, Garut, itu ditemukan tewas tergantung di plafon dapur rumah kakaknya. Konon, Nurdin tak kuat menahan kerinduan kepada almarhumah ibunya. Masih kurang? Ada Nazar Ali Julian, 13 tahun. Anak yang dikenal rajin dan tergolong pandai ini rajin ke masjid, shalat, dan puasa Senin-Kamis. Tetapi suatu ketika ia masuk ke dapur, mengambil pisau dan menusuk perutnya berulang kali hingga bersimbah darah. Ia kesepian karena orang tuanya bekerja di luar negeri.
Selain bunuh diri, muncul pula kasus perbuatan tak senonoh kepada lawan jenis oleh kanak-kanak dan remaja. Juga mencuri kecil-kecilan, minum-minuman keras, sikap agresif dan penuh kekerasan, hingga penggunaan narkoba dan pembunuhan. Kebanyakan dari mereka, ketika diusut dan ditanya asa-muasal ide melakukan kejahatan atau perbuatan asosial lainnya tersebut menjawab, karena sering menonton hal sama di televisi. Untuk orang dewasa, efeknya sudah lebih dahulu banyak diketahui. Banyak pelaku kejahatan, misalnya, mengaku mendapat ilham merampok dari tayangan televisi atau pemberitaan di majalah.
Memang, kejahatan dan kekerasan yang terjadi tidak melulu karena efek media. Ada banyak faktor lain yang berpengaruh, mulai dari tingkat pendidikan, pendapatan, kondisi geografis, dan sebagainya. Akan tetapi, media tetap punya andil yang tidak kecil.
Efek Media
Di sekeliling masyarakat kini banyak bertaburan jenis media komunikasi yang dengan gampang menghujani setiap individu dengan berbagai ragam informasi, mulai dari televisi, radio, surat kabar, majalah, hingga internet, hingga peralatan komunikasinya seperti ponsel dan komputer. Langsung atau tidak, hal itu akan berpengaruh terhadap penggunanya.
Di kalangan praktisi komunikasi, hal itu dikenal populer sebagai efek dari media. Pakar komunikasi Yoseph Straubhaar dan Robert LaRose, misalnya, menjelaskan efek media sebagai perubahan dalam pengetahuan (kognisi), sikap, emosi, atau perilaku yang merupakan hasil dari terpaan (eksposure) media massa.
Untuk meneliti efek ini, banyak cara dan metode yang telah ditempuh oleh para pakar. Ada yang menggunakan model pemikiran deduktif, yakni prediksi tentang dampak media dari teori-teori tentang perilaku dan budaya manusia, kemudian secara empirik menguji prediksi ini lewat pengamatan yang sistematis. Sebaliknya, penelitian induktif melakukan observasi terlebih dulu, baru kemudian memunculkan teori.
Ada pula pendekatan administratif versus kritikal. Riset administratif menggunakan institusi media sebagai obyek dan mendokumentasikan penggunaan serta efek yang dihasilkan oleh media tersebut. Sementara riset kritikal mengkritisi institusi media itu dari perspektif cara melayani kelompok-kelompok sosial dominan dalam masyarakat. Di sisi lain, dikenal penelitian kuantitatif versus kualitatif. Metode kuantitatif menghitung penemuan yang ada dan menganalisis hubungan secara statistik antara variabel independen dan dependen. Adapun metode kualitatif dilakukan anara lain dengan mempelajari simbol-simbol dalam konten/isi media atau mengamati perilaku dalam setting alami.
Salah satu jenis penelitian adalah dengan analisis isi media. Ini merupakan deskripsi kuantitatif terhadap isi media dengan sampel sistematik isi media tersebut. Peneliti melakukan pendefinisian obyektif untuk mengklasifikasikan kata-kata dalam media, gambar, dan tema yang diangkat. Analisis isi ini menghasilkan profil detil media yang diteliti dan mengidentifikasi kecenderungan isinya dari waktu ke waktu. Yang terkenal, misalnya, analisis isi mengenai tayangan kekerasan di TV oleh Federman (1998), yang meneliti program 23 TV kabel di Amerika selama tiga musim penyiaran.
Selain contoh-contoh di atas, ada pula riset eksperimental yang melakukan studi tentang efek media dalam bentuk uji coba. Biasanya ini dilakukan dengan menguji suatu kelompok kecil dengan tampilan media dengan kandungan isi tertentu. Albert Bandura pada tahun 1965 meneliti anak usia prasekolah dengan mempertontonkan mereka adegan seorang aktor cilik yang agresif memukuli boneka model. Ia lalu melihat respon subyek penelitian. Hasilnya, setelah tayangan selesai dan kanak-kanak itu bermain dengan boneka yang sama, tindakan agresif serupa mereka perlihatkan dengan memukuli boneka tersebut
Dalam teorinya, dampak media dapat dilihat dari berbagai pendekatan. Yang paling terkenal adalah teori Jarum Suntik (hypothermic needle) yang juga disebut sebagai model peluru (bullet theory). Teori ini menyatakan bahwa pengaruh kuat media massa itu sama halnya seperti peluru atau jarum suntik yang diinjeksikan kepada audiens. Jika penonton menyaksikan tayangan aksi perampokan, di benaknya akan tertancap dengan dalam bentuk aksi tersebut. Contoh lain adalah iklan shampoo. Dengan berbagai eksploitasi keunggulan dan iming-iming, maka iklan ini akan melekat di benak penonton. Walhasil, ketika mereka belanja dan melihat produk tersebut, mereka langsung ingat keunggulan yang digembar-gemborkan, lalu membelinya.
Barangkali banyak di antara kita yang mengalami bagaimana anak-anak menjadi takut ke kamar mandi di waktu malam, atau menjerit histeris saat mati lampu. Dalam bayangan mereka, di dalam situasi seperti itu pastilah ada makhluk gaib yang akan mendatangi. Pemahaman ini muncul akibat tayangan yang mereka saksikan. Pandangan sang anak tentang suatu hal di dunia nyata mengadopsi apa yang disampaikan oleh televisi. Teori ini disebut dengan teori kultivasi.
Agenda Setting dan Katarsis
Suatu ketika, koran-koran, radio, dan televisi ramai-ramai meliput tentang perseteruan antara “Ratu Ngebor” Inul Daratista dengan “Raja Dangdut” Rhoma Irama. Begitu gencarnya, sehingga penonton atau pembaca punya kesimpulan dalam benaknya bahwa perseteruan itu benar-benar hal penting dan patut diketahui khalayak. Padahal, sesungguhnya, apa sih nilai berita tentang perseteruan seseorang yang mencari nafkah dengan menjual bokongnya? Tetapi karena semua media memuatnya, maka khalayak lama-kelamaan menganggap masalah ini memang pantas diangkat.
Contoh di atas adalah salah satu konsep yang disebut agenda setting. Dalam konsep ini, pemahaman audiens dalam menerima suatu berita berproses. Mereka menganggap suatu kabar menjadi penting karena cenderung mengikuti apa yang media massa liput dan anggap penting.
Berlawanan dengan beberapa teori di atas, ada Hipotesis Katarsis yang menyatakan bahwa tayangan dan berita seks serta kekerasan pada media sesungguhnya memiliki efek positif. Menurut hipotesis ini, berita tersebut memungkinkan orang merasa lebih rileks dan terhibur lewat perantaraan dunia fantasi. Misalnya, menurut teori ini, kalau anda suntuk tidak mendapat pekerjaan, atau uang di kantor cekak, lalu membaca berita syur di koran atau majalah, setidaknya anda akan lupa dengan problem yang tengah hinggap (hehehe, teori gile, tapi saya kutip supaya semua tahu, ada teori macam begini).
Perilaku Antisosial
Yang dimaksud dengan perilaku antisosial adalah perilaku yang berlawanan dengan norma-norma sosial yang berlaku. Media amat berperan menampilkan tayangan yang mengakibatkan adanya perubahan perilaku tersebut, antara lain. Salah satu yang paling dikhawatirkan adalah tayangan kekerasan. Efek kekerasan, khususnya dari tayangan televisi, menarik banyak minat peneliti, terutama efek pada anak-anak. Ini dikarenakan anak-anak sukar membedakan antara tayangan film dan kejadian sehari-hari di alam nyata.
Seorang kenalan di Bogor bercerita bagaimana ia kini mencegah anaknya menonton film kartun “Tom and Jerry”. Pasalnya, si anak sering melakukan tindakan berbahaya dengan berusaha melompat dari atas lemari atau meja ke lantai. Ia rupanya ingin meniru adegan Tom sang kucing yang jatuh terhempas lalu gepeng, kemudian kembali seperti sedia kala.
Ada pula perilaku prasangka, seksisme, rasialisme, dan segala bentuk intoleransi lainnya yang kerap dipromosikan media. Tayangan media kerap mendorong pen-stereotipe-an, terbentuknya generalisasi terhadap sekelompok orang tertentu akibatnya kurangnya informasi. Stereotipe ini bisa berbahaya jika mereka yang dipengaruhi akan terasionalisasi hingga bertindak tidak adil pada kelompok lain. Orang negro, misalnya, diidentikkan dengan pemalas dan suka bertindak kriminal. Orang Amerika Latin digambarkan senang berpakaian norak. Orang kulit putih biasanya cerdas dan kuat. Sementara di dalam negeri, orang Batak terlanjur diasosiasikan bersuara keras, tidak tahu sopan santun, dan berprofesi sebagai, maaf, tukang copet. Sementara Cina diidentikkan dengan manusia licik dan tukang mengeruk untung. Banyak contoh stereotipe lain, seperti penggambaran bahwa wanita itu lemah dan pasif, sementara pria itu kuat dan agresif.
Khusus media televisi, terdapat suatu hasil penelitian yang menarik antara menonton TV dengan prestasi di sekolah. Meski tidak terlalu kuat, diduga ada sedikit hubungan negatif antara keduanya. Remaja yang banyak menonton TV cenderung kurang berprestasi di sekolah dibandingkan rekannya yang sedikit menonton. Dari sebuah studi pada lebih dari 600 siswa kelas 6 hingga 9 di Amerika, diketahui bahwa pada penggemar berat TV memiliki skor tes kosa kata dan bahasa yang cenderung lebih rendah dibandingkan rekannya yang sedikit menonton.
Seks dan Media
Perilaku antisiosial lain yang juga mengancam khalayak adalah tentang masalah seksual. Seks dalam media menjadi isu hangat sejak tahun 1920-an, terutama di Amerika Serikat, setelah adanya skandal seks di Hollywood. Jika dulu Hollywood, yang menjadi pusat perfilman Amerika, ketat dalam sensor dan mencegah adanya perilaku seks, pada dekade terakhir ini tingkat tayangan pornografi melesat tinggi lewat majalah, TV, video, dan internet. Pada saat sama, norma-norma sosial perlahan mulai permisif dan mentoleransi hal-hal semacam itu. Penelitian menunjukkan, pria yang terekspose materi pornografi ternyata bersikap dan perilaku negatif terhadap wanita. Bukankah sudah kerap muncul berita bahwa seorang lelaki berbuat tidak senonoh pada perempuan karena alasan terangsang sehabis menonton film porno?
Tindakan penyalahgunaan obat-obatan juga menjadi masalah pelik saat ini. Ini terjadi lewat penayangan iklan atau program yang menyertakan obat-obatan, minuman keras, rokok, dan sebagainya. Barang semacam ini, meski beberapa dilarang tayang langsung dalam iklan, mempengaruhi pemirsa untuk konsumtif dan mencobanya.
Komputer, Antisosial
Dampak komputer sebagai media baru ini, juga internet, tak kalah seriusnya. Salah satunya adalah perilaku antisosial, misalnya yang ditimbulkan akibat permainan video game yang banyak berisi adegan kekerasan. Internet juga membawa materi pornografi yang dapat diakses bebas oleh setiap pengguna (pada kesempatan lain, saya akan postingkan tulisan khusus mengenai video game, menarik kok... hik hik hik, promosi ni yee).
Para ahli kini banyak meneliti gejala “computer anxiety”, yaitu dampak karena penggunaan komputer yang berlebihan, yang dikenal pula dengan nama cyberphobia dan computerphobia. Gejala ini berupa ketakutan akan computer karena berbagai efek buruk dari penggunaannya. Sebaliknya, ada pula yang kecanduan internet (internet addict), yakni orang penggila berat penggunaan internet. Ia menjadi tidak bisa lepas dari komputer, berulang kali mengecek e-mail, dan khawatir ditinggal teman-temannya di komunitas maya tersebut.. Malah di Amerika kini ada yang kecanduan akan judi online (online gambling addict).
Perilaku Prososial
Begitu pun, tidak berarti media komunikasi saat ini punya efek buruk 100 persen. Sesungguhnya, media tersebut juga menyediakan sarana agar penonton atau pembaca dapat dipengaruhi untuk berperilaku prososial, yakni perilaku yang memiliki nilai sosial dan dianjurkan, merupakan kebalikan dari antisosial.
Televisi dapat digunakan salah satunya sebagai wadah kampanye informasi yang memanfaatkan teknik kehumasan dan periklanan untuk memperkenalkan dan memasyarakatkan perilaku prososial. Kampanye ini dapat menggunakan social marketing sebagai suatu pendekatan komunikasi yang terpadu. Misalnya, memperbanyak tayangan ceramah dan siraman rohani seperti acara Aa Gym, diharapkan bisa menarik perhatian pemirsa dan membuat mereka menikmati isinya. Ajakan hidup sehat di surat kabar dan anjuran menanam sejuta pohon dalam rangka Hari Lingkungan juga merupakan salah satu keuntungan yang diperoleh dari adanya media.
Media massa seperti TV juga dapat digunakan sebagai sarana pendidikan jarak jauh (distance education). Ini sudah banyak dilakukan di luar negeri. Tujuannya, tak lain untuk membuat pendidikan menjadi lebih dapat diakses oleh berbagai kalangan yang tak punya kesempatan belajar di sekolah atau tempat kursus. Di Indonesia, hal itu sudah dilakukan dalam skala tertentu, misalnya lewat program panduan masak-memasak di televisi. Atau, tips dan trik merawat komputer di lembar khusus surat kabar harian, dan lain-lain. Bahkan di internet, kini hadir apa yang disebut virtual university.
Bahkan iklan-iklan, yang disebut sebelumnya ‘meracuni’ pikiran penonton, masih punya sisi positif. Setidaknya, dengan banyaknya iklan, konsumen menjadi lebih peduli terhadap adanya produk-produk alternatif yang menciptakan persaingan bagi produk yang sudah ada, sehingga membuat harga terdorong turun.
Efek lainnya
Penggunaan TV ternyata dapat menurunkan keterlibatan masyarakat, karena orang lebih suka duduk di depan layar kaca daripada harus hadir di rapat kelurahan, misalnya. Masyarakat virtual di internet juga bisa menggantikan hubungan tatap muka yang selama ini terjadi, sehingga orang mulai malas berkunjung. “Toh bisa chatting di internet, atau kirim SMS,” kilah sebagian orang.
Internet dalam beberapa hal mengakibatkan depresi dan isolasi sosial bagi para penggilanya. Tetapi hal ini masih menjadi perdebatan hangat. Pasalnya, survei lain mengatakan bahwa internet ternyata tidak punya dampak siginifikan pada keterlibatan sosial nyata. Artinya, para netter tidak harus menjadi seseorang yang asosial, mengingat mereka tidak saja menciptakan teman di dunia cyber, tapi juga mengubah teman cyber-nya menjadi teman dalam dunia nyata.
Dari segi kesehatan dan lingkungan, penelitian menyebutkan pengaruh menonton TV terhadap kegemukan bagi anak. Juga, film kartun yang aneka warna menyala membuat sindrom pada penglihatan anak dan membuat mereka tak sadar serta tak terkontrol dalam sesaat. Demikian juga radiasi VLF (very low frequency) dari alat-alat elektronik bisa menimbulkan ancaman kesehatan. Radiasi telepon portabel/ponsel disebut-sebut dapat menimbulkan kanker otak, juga radiasi elektromagnetik sistem microwave dan satelit mempengaruhi kesehatan jaringan tubuh. Sementara penggunaan komputer yang sering dapat menimbulkan cedera dan stres. (ahmad husein)
No comments:
Post a Comment