Menuju kedalaman laut. Bertemu banyak makhluk baru
HARI SABTU, kami bertemu di Pier 15 Marina, Ancol. Pelancong yang akan berangkat ke Kepulauan Seribu tampak padat, terlebih yang sama dengan kami, ingin ke Pulau Kotok. Pulau ini dapat ditempuh dengan boat dalam waktu 1 jam. Pulau Kotok dikenal karena formasi karangnya masih cukup lumayan dibandingkan tempat lain di Kepulauan Seribu. Jarak pandangnya (visibility) cukup lumayan, berkisar 8 hingga 15 meter. Arusnya pun tak galak. Ikannya amat bervariasi.
Wilayah Kepulauan Seribu (jumlah sesungguhnya adalah 110 pulau) yang tersebar di utara Jakarta memang merupakan tempat populer bagi para penyelam, terutama yang tidak sempat pergi jauh ke Bunaken atau Bali. Saat akhir pekan, sentra-sentra selam di beberapa pulau di sana penuh sesak oleh pengunjung, termasuk Pulau Kotok. Setidaknya, hari itu, ada dua boat --masing-masing dipenuhi lebih 30 penumpang-- yang menuju ke sana.
Pulau Kotok, dengan resort yang dikenal dengan nama Alam Raya Kotok (dulu Kul-Kul Kotok), memiliki puluhan bungalow, dari yang hanya dilengkapi kipas angin hingga yang ber-AC. Modelnya tradisional dan eksotik. Di sekeliling bungalow, adalah hutan yang lebat dan dari kejauhan tampak pantai yang menggoda. Berbagai jenis burung dengan santainya melintas di depan teras rumah. Kalau beruntung, anda bertemu dengan kawanan biawak yang suka berjemur malas di tepi pantai, untuk kemudian terbirit-birit masuk ke hutan begitu melihat rombongan manusia. Ada juga beberapa biawak yang ternyata sudah akrab 'bersosialisasi' dengan pengunjung, Jam datangnya pun istimewa, yakni pukul 12.00, tepat pada saat makan siang. Pelayan di sana seolah sudah hafal, dengan memberikan biawak tersebut sisa-sisa tulang ayam. Para turis mancanegara rupanya terhibur dengan kehadiran biawak-biawak 'gaul' tersebut.
Di Pulau Kotok, orang bisa menyelam dan snorkeling menikmati keindahan bawah lautnya. Yang enggan berbasah-basah, bisa duduk dan berjemur di dermaga sambil menikmati sunrise atau sunset. Saat sarapan pagi, saya malah sempat melihat seekor ikan Pari Totol Biru (Blue Spotted Stingray) mampir mendekati restoran apung. Warnanya yang coklat terang, dengan bintik-bintik biru di sekujur tubuhnya, menjadikan pari ini amat cantik. Ia tengah mencari makan, tampaknya. Namun jangan salah, pari ini punya sengat yang berbahaya di ekornya. Sekali kena, ya tahu rasa, bisa panas dingin dan harus dilarikan ke rumah sakit. Itu masih beruntung ketimbang kalau kita bertemu dengan ikan Lepu Tembaga (Stone Fish) yang berwajah 'jelek' dan suka bersembunyi di dasar perairan berpasir. Sengatannya bisa membuat nyawa melayang. Ia setara dengan bahaya bisa ular laut.
Kami semua cuma berdoa agar tidak bertemu dan berurusan dengan makhluk semacam ini. Walaupun demikian, sesungguhnya hewan-hewan ini takkan menganggu, bahkan cenderung menghindar jika bertemu manusia, termasuk hiu. Dalam kenyataannya, mayoritas kasus serangan hewan laut disebabkan karena ulah 'provokasi' manusia. Hewan-hewan itu hanya menunjukkan reaksi defensifnya. Untuk itu, kami sudah dibekali tips jika harus bertemu, misalnya hiu, di bawah air.
"Bertemu" Tuhan
Tak lama setelah tiba dan menaruh tas di bungalow, kami berkumpul di dermaga. Proses persiapan yang sama kami lakukan. Karena telah berlatih beberapa kali, lama-lama kami cukup terbiasa dan hafal urut-urutan pemasangan dan pemeriksaannya. Tapi tak dapat dipungkiri, wajah tegang berbaur dengan lekas-lekas ingin menikmati dunia bawah air, tampak pada kami semua. Untuk penyelaman pertama dan kedua, lokasinya tepat di depan dermaga. Kali ini, instruktur memasang pelampung dan tali sebagai alat bantu. Pada penyelaman berikutnya, pelampung dan tali ini tak digunakan lagi.
Satu-persatu kami masuk ke air dan berkumpul di titik pelampung. Sebelum masuk, kami kembali berlatih ketrampilan memulihkan kram kaki, yang sering terjadi pada setiap penyelam. Begitu semuanya siap, kode turun diberikan dan satu-persatu kami melakukan deflate. Detik-detik ini adalah waktu yang tak dapat dilupakan, terutama oleh saya. Begitu masker membelah permukaan dan turun senti demi senti, yang ada hanyalah perasaan campur-aduk tak terperi. Takjub bukan kepalang dengan pengalaman pertama ini, sekaligus was-was dengan apa yang bakal ditemui dan dilakukan di bawah sana.
Seperti biasa, saya mengalami squeeze lagi. Kali ini di kedalaman 3 meter. Tapi entah kenapa, saya lebih tenang. Abi, yang tepat di bawah saya, dengan bahasa isyarat mengajak untuk terus turun hingga kedalaman 6 meter. Kepadanya saya berikan kode telapak tangan yang dibuka menghadap ke bawah dan digoyang-goyangkan ke kiri-kanan, berikut kode menunjuk telinga. "I'm squeezing..." Ia memaklumi. Dengan sedikit melakukan kick (kayuhan) pada fin, saya terdorong sedikit ke atas, berhenti sejenak dan melakukan ekualisasi. Sukses. Telinga tak mengalami problem. Saya turun lagi, dan masih kena beberapa kali. Tapi ekualisasi terus-menerus akhirnya membuat segalanya beres. Kami semua berkumpul di kedalaman tersebut sambil memegang tali.
Begitu kode diberikan, perlahan-lahan dengan masih memegang tali kami menyusuri jalan terus menuju ke 7, 8, 9 meter,.... Gila, pikir saya, sambil berkali-kali melirik SPG (Submersible Pressure Gauge) alias alat penunjuk tekanan bawah air, yang akhirnya menunjukkan kedalaman 10 meter! Reflek, saya mengingat lagi pelajaran yang diberikan: bernafas dalam dan rileks, jangan sekali-kali menahannya, dan cek lagi SPG. Aman, tekanan tabung penuh saya (3000 psi atau 200 bar) saat di permukaan, kini mulai turun, tapi masih amat sangat memadai. Jika jarum masuk zona merah, yakni 500 psi ke bawah, barulah kita patut waspada dan biasanya segera memberi tahu buddy dengan kode mengepalkan tangan kanan di dada. Artinya: Udara saya menipis. Biasanya saat itu juga keputusan naik ke permukaan akan diambil, setelah melakukan STELA (Sign, Time, Elevation, Look Around, and Ascent -- Beri tanda, Cek waktu, Lihat sudut dengan tangan kanan di atas, Lihat sekeliling, dan Naik).
Di kedalaman itulah kami sekali lagi mempraktikkan apa-apa yang sudah diajarkan di kolam. Yang paling utama adalah fin pivot, yakni menjaga dan mengontrol daya apung agar dapat menyelam selincah ikan tanpa harus tenggelam atau malah naik mengapung. Sambil menunggu giliran, saya melihat pemandangan sekeliling. Subhanallah, indah bukan kepalang. Kecerahan dan jarak pandang dalam air cukup bagus, sekitar 7 meter, dengan suhu 28 derajat Celcius. Karang-karang warna-warni duduk di tempatnya, melambai-lambai menyapa kami. Merah, kuning, jingga, ungu. Dahsyat. Saya sampai tercenung. Sementara ikan-ikan kecil berenang-renang dengan gembira di sekitar kami tanpa rasa takut. Yang paling banyak ditemukan dan cukup saya kenal semasa kuliah adalah Ikan Kakatua atau Parrot Fish (Scarus sp) dari keluarga Scaridae. Ada pula ikan iseng menggigiti kaki saya, karena kebetulan tak terlindungi wet suit atau pakaian selam khusus.
Selain tes fin pivot, kami juga mempraktekkan mask clearing, dan latihan kekurangan udara dan meminta udara lewat octopus (regulator cadangan) milik buddy. Semuanya berjalan lancar sampai akhirnya instruktur memberi kode kepada kami untuk mengikutinya berjalan-jalan. Ah, ini dia, jalan-jalan!
Maka dimulailah petualangan pertama saya di bawah air. Kami bergerak tenang menyusuri slope yang dipenuhi beragam jenis terumbu karang. Jenis-jenis Acropora, Lili laut dan (kemungkinan) karang jenis Goniastrea, yang berbentuk seperti bongkahan batu, berdiri kokoh. Luar biasa indahnya. Padahal, menurut para penyelam yang sudah biasa berkelana ke berbagai situs penyelaman, terumbu karang di Kepulauan Seribu kalah jauh. Batin saya berkata, "Di sini saya 'melihat' Tuhan Yang Maha Agung lewat segala ciptaannya yang sempurna."
Meskipun demikian, kami tetap harus hati-hati karena ada satu hewan yang selalu tampak di mana-mana. Ia tak lain adalah Bulu Babi atau Sea Urchin. Hewan ini masuk bangsa Holothuridea. Bentuknya bulat dengan duri tajam di sekujur tubuhnya seperti landak. Jenisnya bermacam-macam. Yang kami temui selama penyelaman konon dari jenis Diademe setosum, yang berciri hitam dan berduri panjang. Kalau durinya yang mengandung bahan kapur kena kulit, ia akan menghujam dan tak bisa dikeluarkan begitu saja. Sakitnya lumayan. Yang lebih berbahaya, bongkahan kapur dari duri tersebut bisa terbawa aliran darah dan menyumbatnya sehingga berakibat fatal. Begitupun, jangan salah, dagingnya terkenal enak dimakan, teruma kelenjar kelaminnya (gonadia).
Total jenderal, kami menghabiskan waktu sekitar 35 menit di bawah air dengan kedalaman maksimum 11 meter sambil menikmati pemandangan yang ada. Puas dengan itu, kami segera naik perlahan. Kecepatan naik tidak boleh lebih dari 18 meter per menit. Sebelum menyudahi penyelaman pertama, kami mempraktekkan cara membawa rekan yang kelelahan di permukaan, kemudian istirahat makan siang. Penyelaman kedua dilanjutkan satu jam setelah makan siang. Setiap kali usai menyelam, setiap orang harus mengisi buku log-nya. Untuk penyelaman repetitif (dilakukan berulang lebih dari sekali dalam sehari), ada beberapa perhitungan yang harus diketahui lewat tabel selam yang disediakan. Perhitungan ini berguna untuk mengetahui berapa lama kita dapat menyelam berikutnya dan pada kedalaman maksimum berapa agar terhindar dari dekompresi nitrogen.
Penyelaman kedua dilakukan lebih dangkal, pada kedalaman 8 meter. Hanya saja, waktunya lebih lama, sekitar 40 menit. Kali ini kami lebih banyak mempraktikkan beberapa ketrampilan, seperti melakukan naik ke permukaan secara darurat jika udara di tabung habis dan tak ada buddy yang tampak. Caranya adalah dengan Berenang Naik Darurat secara Terkontrol atau CESA (Controlled Emergency Swimming Ascent). Udara sisa yang kita punyai dikeluarkan perlahan-lahan sambil terus naik sampai ke permukaan.
Hari pertama dilalui dengan sukses. Yang menarik, saat berjalan-jalan sebentar sebelum naik, tiba-tiba instruktur memberi isyarat dan menunjuk sesuatu di kejauhan. Karena masker saya penuh dengan embun, saya tak bisa melihat dengan jelas. Setelah melakukan mask clearing, barulah saya sadar apa yang ditunjuknya. Masya Allah! Nun jauh di sana, pada jarak sekitar 5 meter, schooling (segerombolan) ikan Bendera (Platax sp.) yang mirip bawal, dengan warna kuning dan cukup besar tengah asyik santai di atas karang. Kami nikmati pemandangan spektakuler tersebut beberapa saat, dan kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri wilayah terumbu karang yang luas ini.
Saya mengakhiri hari itu dengan rasa puas. Kalaupun ada gangguan, itu adalah telinga saya yang kemasukan air laut. Rasanya sungguh tak nyaman.
Menyelam Lagi dan Lulus
Esok harinya, penyelaman ketiga dilakukan agak jauh dari pulau, tepatnya di Gosong Kotok Kecil. Untuk mencapai lokasi itu, kami menggunakan boat. Berbeda dengan kemarin, penyelaman tidak lagi menggunakan bantuan tali dan pelampung sebagai tanda. Penyelaman betul-betul bebas. Kami turun ke hingga kedalaman 12 meter dan belajar menggunakan kompas, sebagai sebuah ketrampilan yang wajib diketahui. Kecerahan dalam air dan arus relatif sama dengan kemarin.
Saya diuji melakukan hovering, melayang-layang di kolom air dengan memanfaatkan hembusan dan tarikan nafas sebagai kontrolnya. Sukses. Kali ini, saya beruntung menemukan hewan lain yang sebenarnya sering saya baca laporannya di kantor, namun belum pernah melihatnya langsung. Hewan itu adalah Bintang Laut Berduri atau Crown of Thorn Starfish (Acanthaster planci). Hewan ini punya kegemaran unik, memakan karang. Jika jumlahnya membengkak dan tak terkontrol, ia bisa membahayakan keberadaan terumbu. Saya biarkan hewan ini menggeliat dan meneruskan perjalanan.
Seperti kemarin, kami kembali dihidangkan pemandangan yang bukan main mempesona. Dua kali pula saya bertemu dengan kerang raksasa atau yang sering disebut Kima (Tridacna sp). Katupnya langsung merapat ketika tangan kami bergerak di atasnya. Dan, aha..., tahu-tahu saja ada hewan melata kecil dengan tubuh warni-warni, persis motif batik, melintas. Saya tak dapat memperkirakan ukuran persisnya, mengingat di dalam air suatu obyek mengalami pembesaran 25%. Hewan itu adalah flat worm (cacing pipih). Kelak setelah kembali ke Jakarta, saya dapat menduga kalau jenis cacing ini adalah Pseudoceros sp. Entahlah. Yang pasti, dengan ornamen tubuhnya yang meriah, cacing itu melambai-lambai berenang di kolom air. Lucu dan eksotis. Lalu, yang tak kalah populer dan sempat kami pergoki adalah ikan Badut atau Giru (Amphiprion sp), yang berukuran kecil berwarna putih-oranye. Ini jenis ikan yang populer disebut orang sebagai ikan Nemo.
Bagi saya, penyelaman ketiga ini adalah penyelaman terbaik dan ter-enjoy yang saya alami. Mungkin karena situasi emosional saya yang sudah stabil, rasa kekhawatiran yang makin tipis, dan semangat keingintahuan yang besar. Begitu usai penyelaman ketiga, kami langsung pulang, mengganti tabung udara, dan langsung cabut lagi dengan boat, kali ini menuju Gosong Munggu. Bersama kami bergabung tiga penyelam lain. Seorang di antaranya, kemudian saya tahu dari situs internet bernama Budhi, ternyata pernah mengalami penyelaman di Lampung dan terseret arus hingga terkatung-katung antara Merak dan Bakauheni selama 28 jam. Ck..ck..ck..
Di Gosong Munggu, arus tampaknya lebih terasa dibandingkan sebelumnya. Kami sampai harus terhempas-hempas saat berada di permukaan air, demikian pula saat usai penyelaman. Di Munggu ini pula kami mencapai kedalaman tertinggi, yakni 15 meter. Hanya saja, penyelaman cukup singkat, sekitar 25 menit. Selain, mungkin, karena arus (saya sampai terseret dari kedalaman sekitar 12 meter sampai ke 3 meter, sebelum mencoba turun dan kehilangan jejak buddy saya sejenak), juga karena rombongan kami tak utuh lagi. Seorang rekan ternyata tertinggal dan sesuai prosedur, setelah satu menit mencari tak bertemu, ia memutuskan naik ke atas. Demikian pula kami. Syukur, di atas jumlah peserta dihitung lagi dan lengkap. Sebagai penghibur, saya dan beberapa rekan lain melakukan snorkeling dan mempraktekkan skin diving (menyelam dengan hanya perlengkapan snorkel). Skin diving inilah yang kerap saya lakukan jika berkunjung ke berbagai kawasan pesisir di nusantara, jika kebetulan tengah bertugas.
Lepas tengah hari, kami kembali ke dermaga dan makan siang. Setelah mengisi buku log penyelaman, akhirnya saya dan rekan-rekan dinyatakan lulus dan mendapatkan kartu sementara sertifikat sebagai Open Water Diver. Kartu aslinya akan dikirim langsung dari kantor cabang PADI di Australia jika selesai diproses. Kami memperoleh pula badge dari PADI dengan tulisan Open Water Diver. Saya sudah berencana akan menjahitnya di jaket saya (khusus soal ini, kelak jaket dengan badge kebanggaan itu akhirnya saya hadiahkan ke Dadang, seorang pengungsi korban tsunami di posko bantuan bencana di Banda Aceh --- kisah lengkap perjalanan ke Banda Aceh silakan baca di arsip ya....).
Lepas senja, kami kembali ke Marina, dan berpisah. Kepada kami semua, instruktur menyampaikan pesan singkat saja: "Keep Diving!..." Tentu, saya sudah tak sabar untuk 'bertemu' lagi dengan Sang Pencipta lewat terumbu karang dan ikan-ikan ciptaan-Nya yang menawan itu. Lain waktu, janji saya dalam hati, saya akan turun lagi ke bawah air....
(AH)
1 comment:
Salam kenal Pak Husein. Cerita tentang pengalaman divingnya sangat menginspirasi. Saya sendiri sekarang sedang mengikuti Open Water Dive Course. Beberapa hari lalu, confined water dive yang pertama dan ternyata saya panik walaupun akhirnya sukses juga turun sampai 5 meter. Mudah-mudahan saya bisa cepat mengatasi rasa panik ini. Mohon berbagi tips (kalo ada) mengenai cara mengatasi rasa panik, seandainya Bapak sempat mengalami juga =D
Salam,
Lia
Post a Comment