Notes: ini catatan my "new adventure" beberapa waktu lalu. Sudah agak lama, dan pernah dimuat di sebuah majalah. Enjoy it...
BEGITU mendapat kabar kepastian mengikuti kursus menyelam (scuba diving), reaksi pertama saya justru panik dan khawatir. Pertama, sungguh mati, ini pengalaman pertama mengikuti kursus untuk kegiatan bawah air. Scuba diving, bah! Yang saya tahu cuma menyelam sekian detik di kali atau kolam renang. Selebihnya, ya berenang santai. Kedua, saya makin stres karena sebelum kursus pun sudah disodori tetek-bengek pernyataan kesehatan, lengkap surat keterangan dokter. Isinya, menyatakan kita sehat, cukup fit mengikuti kegiatan tersebut dan tidak menderita jantung, masalah pendengaran (THT), dan seabreg persyaratan lainnya. Ketiga, ada syarat harus bisa berenang 200 meter nonstop.
Ini dia! Terus-terang, saya sudah tidak pernah menyentuh kolam renang sejak setahun silam. Begitu resahnya saya, sehingga dua hari sebelum kursus dimulai, saya mengajak sahabat karib saya ke sebuah kolam renang di sekitar kota, pagi-pagi buta. Tujuannya, tak lain mencoba sendiri kemampuan renang yang sudah lama tak terpakai. Hasilnya sungguh mengecewakan.. :( Saya cuma tahan berenang nonstop hingga 140 meter. Rasa nggak pede pun semakin menggunung.
Teori, Gampang
Namun, suka tak suka, hari pertama kursus akhirnya datang juga. Kami berdelapan, dengan dibimbing dua orang instruktur dari Bubbles Divers, Jakarta. Dua-duanya cukup ramah dan komunikatif. Sebelum dimulai, mereka menyebarkan lembar pernyataan yang wajib diisi, tentang kesehatan diri dan persetujuan segala resiko yang bisa saja terjadi pada olahraga ini.
Kursus yang kami ikuti adalah Open Water Divers (terjemahan harfiahnya Penyelam Perairan Terbuka). Ini adalah tahap pertama kemampuan selam bersertifikat yang diselenggarakan PADI (Professional Association Dive Instructors), organisasi pelatihan selam terbesar di dunia yang berpusat di Amerika. Prasyarat untuk mendapatkan sertifikat/lisensi OWD ini adalah minimal berusia 15 tahun dan familiar dengan dunia air. Peserta harus menyelesaikan 5 modul. Tiap modul (1 hingga 4) diakhiri dengan menyelesaikan 10 soal kuis dengan nilai minimal 80%. Sedangkan setelah modul 5 beres, peserta harus mengikuti kuis akhir 50 soal, dan nilai minimal untuk bisa lulus adalah 75%. Selain itu, peserta harus mengikuti Confined Water Diving, yakni praktik selam di kolam renang dengan segenap tekniknya. Baru kemudian dilakukan penyelaman sebenarnya di perairan terbuka (laut).
Dengan lisensi OWD, seorang penyelam dapat melakukan diving di manapun di dunia di perairan dengan kedalaman maksimum 18 meter dan perairan dengan ketinggian maksimum 300 meter di atas permukaan laut. Seseorang harus mempunyai ketrampilan khusus lewat pelatihan khusus pula apabila ingin menyelam lebih dari itu. OWD berbeda dengan kursus scuba diving biasa. Seorang scuba diver hanya diizinkan menyelam hingga kedalaman 12 meter, itu pun harus senantiasa ditemani oleh instruktur. Setelah OWD, penyelam bisa saja langsung mengikuti kursus untuk tingkatan Advance OWD, yang mengizinkan kedalaman maksimum hingga 30 meter. Di atasnya, ada Rescue Diver, Specialty Diver, hingga Dive Master. Di setiap selang tingkatan, ada banyak kursus peningkatan ketrampilan yang dapat diambil seperti First Aid (P3K).
Pelajaran tiap modul tidak begitu sulit, apalagi dibantu dengan video tutorial yang amat bagus. Setiap usai pemutaran video, instruktur membahas lebih lanjut diselingi tanya jawab. Lalu, kuis 10 soal. Rata-rata semua dapat melampaui skor minimum yang ditetapkan. Jawaban yang salah dibahas kembali letak kekeliruannya. Saya dan rekan lainnya sukses melampaui ujian tulis terakhir yang diberikan. Hanya dua teman yang akhirnya harus mengulang sebelum kemudian dinyatakan lulus.
Mahal dan Mengapung
Sebagaimana namanya, SCUBA adalah singkatan dari Self Contained Underwater Breathing Apparatus atau secara populer diartikan sebagai perangkat bernafas di bawah air. Tak seperti kebanyakan bayangan orang, belajar dan menguasai selam tidak harus cuma jatah atlet dengan ketrampilan hebat. Orang biasa pun ternyata bisa. Hanya saja, kebugaran fisik tetap merupakan penentu kenyamanan dan keselamatan dalam kegiatan ini.
Menyelam juga disebut-sebut sebagai olahraga mahal. Hal tersebut tidak sepenuhnya salah. Lihat saja, baju selam (wet suit), yang terbuat dari bahan neopren dengan ketebalan bervariasi (3 milimeter, 5 milimeter) harganya sudah sekitar Rp 1 juta. Belum masker/snorkel yang ratusan ribu berikut fin (kaki katak). Jaket selam atau BCD (buoyance control device) malah berharga jutaan. Tetapi patut diingat bahwa tingkat kemahalan tersebut setara dengan tingkat keselamatan yang dijamin dalam olahraga yang termasuk beresiko ini. Untuk tabung, yang berisi nitrox (nitrogen dan oksigen seperti yang kita hirup sehari-hari), bisa disewa dengan harga pengisian bervariasi, belasan hingga puluhan ribu perak.
Dalam menyelam, paling tidak ada tiga prinsip yang mau tak mau harus dipahami sebelum seseorang melakukannya. Salah satunya adalah memahami prinsip buoyancy alias daya apung. Dalam selam dikenal istilah positive buoyancy (mengapung), neutral buoyancy (tidak tenggelam tapi tidak mengapung), dan negative buoyancy (tenggelam). Prinsip ini amat penting karena dengan demikian seorang penyelam tahu kapan dan bagaimana ia harus turun ke bawah air, menyelam laksana ikan, atau harus mengapung di permukaan.
Pengaturan buoyancy ini bisa dilakukan dengan 4 cara. Pertama dengan menggunakan jaket selam atau BCD sebagai alat pengendali daya apung. BCD dapat diisi udara lewat tombol inflator yang dihubungkan ke tabung udara. Jika berada di permukaan air dan ingin menghemat tenaga, biasanya BCD diisi penuh sehingga pemakainya akan terapung tanpa harus bersusah payah mengayuh. Buoyancy juga bisa dikendalikan lewat pemasangan atau pencopotan pemberat. Yang sederhana berupa ikat pinggang dengan lempeng besi yang kiloan yang dapat ditambah. Jika terlalu cepat tenggelam, besi dapat dikurangi. Atau bisa pula menggunakan kombinasi dua-duanya. Sedang cara terakhir adalah dengan memanfaatkan paru-paru kita sebagai alat pemberian Tuhan. Jika kita menarik nafas, secara otomatis udara dalam paru-paru terisi dan kita perlahan akan terapung. Sebaliknya, jika nafas dihembuskan, secara perlahan kita akan tenggelam.
Waspada Tekanan dan Buddy
Hal kedua yang patut diwaspadai penyelam adalah soal tekanan (pressure). Dalam air, tekanan amat berpengaruh, karena semakin bertambah kedalaman, maka semakin kuat tekanan mendera. Di permukaan air (0 meter), misalnya, tekanan udara yang ada 1 atmosfer (atm). Begitu turun menjadi 10 meter (33 kaki), tekanan bertambah dua kali lipat menjadi 2 atm. Pada kedalaman 20 meter (66 kaki), tekanan menjadi 3 atm, dan di 30 meter (99 kaki) menjadi 4 atm. Demikian juga dengan kerapatan udara (air density), dengan perubahan kedalaman yang sama, ia bertambah hingga 4 kali dan seterusnya. Sebaliknya, dengan perubahan kedalaman tersebut, volume udara justru semakin berkurang.
Apa konsekuensinya? Di dalam air, kita bisa merasakan dan memahani perubahan yang terjadi dan pengaruhnya bagi tubuh, baik saat turun ke bawah permukaan maupun naik. Jika turun dan naik permukaan dilakukan secara tergesa-gesa --meski cuma semeter-- bila tidak memahami prinsip ini, alamat seorang penyelam akan mengalami persoalan yang menyebabkan kecelakaan fatal, bahkan kematian. Apalagi dengan memakai udara dari SCUBA, paru-paru disuplai udara pengganti sehingga bentuknya tetap normal meski di kedalaman. Jika naik ke permukaan dengan cepat, maka paru-paru yang normal itu akan menggembung dengan cepat dan akan seperti balon udara yang dipompa terus-menerus hingga akhirnya pecah! Karena itu pula, prinsip utama lainnya dalam menyelam adalah "breathe continuously and never hold breath" (bernafaslah dengan normal dan jangan sekali-kali menahannya). Sebagai pemula, tentu saya manggut-manggut dengan penjelasan tersebut. Secara ilmiah, keterangan itu 100% tak dapat disangkal. Kami semua diam-diam menghafal prinsip itu, supaya jangan terlupakan saat mulai praktik menyelam.
Prinsip lainnya apalagi kalau bukan buddy system. Dalam menyelam, seseorang hendaknya tidak sekali-kali melakukannya seorang diri tanpa seorang teman. Justru inilah prinsip universal menyelam. Banyak alasan pentingnya teman (buddy) dalam meyelam, antara lain kepraktisan, keselamatan, dan lebih enjoy. Jadi, kalau melihat sebuah film yang menggambarkan penyelam rekreasi berada di bawah air seorang diri, kemungkinan besar pembuatnya tak tahu aturan khas menyelam!
Di Kolam Renang
Esok jarinya, confined water diving di kolam renang dimulai. Deg-degan, tentu saja. Yang lebih bikin down adalah dimulainya tes berenang nonstop 200 meter. Ketika turun ke air dan menempati lintasan masing-masing, rasanya campur aduk. Seorang rekan sudah 'memprovokasi' dengan memulai renang dengan gaya bebas. Akhirnya, bismillah, dengan memberanikan diri saya memulai dan mengatur strategi agar tak memforsir tenaga di 100 meter awal. Lima puluh, tujuh puluh lima, seratus meter, semuanya kelihatan aman. Namun memasuki 125 meter alias di tengah-tengah lintasan, badan sudah mulai nyeri, tenaga mulai habis. Waduh, gawat ... Tapi saya masih bertahan sampai ke 150 meter. Dan detik demi detik di 50 meter terakhir tak ubahnya bagaikan siksaan yang tak terperi. Akhirnya, finish...
Cuma, ada risiko yang harus ditanggung. Begitu naik dari kolam, mata berkunang-kunang. Rasanya ingin langsung menggeletak. Saat itu, baru saya merasa menyesal tidak pernah melakukan olahraga dengan teratur. Tapi, toh, 'prestasi' saya tak jelek-jelek amat dibanding beberapa teman, misalnya, yang harus mencuri-curi nafas di tiap 50 meter... hehehe. Penderitaan itu ditambah lagi dengan keharusan tes mengapung selama 10 menit di akhir sesi hari pertama.
Kali ini, Abi instruktur kami yang ambil peran menjelaskan segala sesuatu mengenai perlengkapan menyelam dan cara memasangnya. Dari mulai memegang regulator, mendirikan tabung, memasang yoke ke tabung secara benar, semua diperagakan. Salah pasang, hasilnya bisa berabe. Benarlah kata orang, olahraga menyelam justru menyedot perhatian dan konsentrasi sejak persiapan, bukan hanya ketika di bawah air. BCD, misalnya, harus terasa cocok dan pas di badan, tak boleh kesempitan dan kelonggaran, jika tak mau kena masalah kelak. Pemberat pun harus diukur dengan cara tertentu, dan berbeda antara di air tawar dengan laut. Bahkan detik terakhir sebelum mencebur ke kolam, masing-masing harus mengecek kesiapannya bersama rekan (buddy) yang ditunjuk. Buddy inilah teman seia sekata, sehidup semati di dalam air. Bila terjadi sesuatu di dalam air, maka motto yang harus dipegang adalah "Solve everything under water" (Bereskan segera di dalam air), karena tindakan naik ke permukaan malah menandakan kepanikan dan dapat membahayakan jiwa.
Turun ke bawah air untuk pertama kali --meski cuma di kolam renang-- tetap saja membuat dada berdebar-debar. Gugup, setengah stres, bercampur rasa ingin tahu yang membuncah. Memakai pemberat, BCD, lalu fin, masker, cek persiapan, semua oke. Kami belajar turun ke air dengan berbagai cara, dari duduk di tepi kolam, dengan melangkah (giant straight), hingga back roll (berguling ke belakang). Instruktur memberi kode SORT-D (Sign, Orientation, exchange snorkle to Regulator, Time, and Descent-- Beri tanda, Orientasi arah penyelaman, Tukar snorkel ke regulator, Cek Waktu, dan Turun), kami pun perlahan-lahan bergerak ke bawah dengan men-deflate inflator di tangan kiri. Pemandangan permukaan berganti menjadi pemandangan bawah air, sementara kami terus turun menuju kedalaman 3 meter.
Celaka, Squeeze!!
Ketika turun, tekanan udara yang berubah juga berpengaruh pada telinga, demikian pula saat naik. Karena tekanan bertambah, telinga akan terasa seperti tertusuk-tusuk. Hal ini tidak boleh terjadi, dan kalaupun terjadi tidak boleh dibiarkan. Tekanan itu akan mendera telinga, sinus, dan mempengaruhi pula masker kita. Tanda-tandanya adalah perasaan menjadi tak nyaman pada telinga atau pada masker.Gejala ini disebut squeeze, yakni ketika tekanan udara di luar melebihi tekanan udara dalam telinga/tubuh. Squeeze juga terjadi pada masker sehingga masker terasa menekan wajah. Saya mengalaminya saat confined water diving pertama. Usai menyelam, di sekeliling wajah tercetak bekas masker yang mendera kulit. Saat naik, kejadian sama juga dapat terjadi, disebut dengan reverse block.
Syukur, ada cara mengatasinya, yakni sering-sering melakukan equalization atau ekualisasi (penyetaraan tekanan). Caranya relatif gampang, dengan menelan ludah sehingga udara mendorong tekanan dari dalam ke luar (balance), atau dengan memencet hidung lalu mendorong udara, menggerak-gerakkan rahang ke kanan-kiri, atau menelan ludah berulang kali. Kegiatan ini, meski kelihatan sepele, merupakan tindakan yang harus sesering dan sedini mungkin dilakukan selama menyelam, meski perbedaan kedalamannya cuma semeter. Jika squeeze terjadi dan ekualisasi gagal dilakukan, bisa berakibat gawat. Rasa sakit akan menghantam. Jika sudah begitu, yang dapat dilakukan adalah berhenti sejenak dan naik satu meter ke atas, ekualisasi, lalu mencoba turun kembali. Begitu juga sebaliknya ketika akan naik ke atas. Bila ketika turun ekualisasi terus-menerus gagal dan rasa sakit terus menyerang, apa boleh buat, satu-satunya cara adalah menghentikan penyelaman! Jika dipaksakan, kita bisa cedera seperti mengalami pecahnya gendang telinga, dan menyebabkan vertigo (kehilangan koordinasi).
Saya sedikit frustrasi karena mengalami squeeze berkali-kali. Tak heran, karena saya baru saja sembuh dari pilek. Pilek membuat proses penyeimbangan tak berhasil karena ada cairan yang menyumbat, sehingga ekualisasi tak sempurna atau malah gagal sama sekali. Meskipun jarang terjadi, gigi berlubang bisa menyebabkan hal sama, karena tekanan ke dalam rongga tersebut akan memberikan pengaruh. Demikian pula dengan memakai penutup kepala yang ketat atau penutup telinga (ear plug). Karena itu, jika sedang pilek, seseorang dianjurkan tidak melakukan penyelaman demi keselamatannya.
Beruntung, saya kemudian menemukan pemecahannya. Karena menyemburkan nafas dari hidung dengan membuka sedikit masker merupakan sebuah cara untuk mengatasi squeeze pada masker, saya melakukannya. Ternyata, setiap kali selesai melakukan hal tersebut, ekualisasi saya menjadi lebih mudah dan berhasil. Karuan saja, cara ini saya pakai seterusnya. Dan, surprise, saya sudah berada di kedalaman 3 meter. Suara yang terdengar paling nyata adalah tarikan dan hembusan nafas dari mulut dan regulator saya berikut suara dari gelembung air yang keluar berkejar-kejaran ke permukaan.
Fantastis. Sejenak, saya harus membiasakan diri dengan pemandangan di sekitar dasar kolam. Rekan-rekan lain sudah berkumpul dan duduk dengan melipat kedua lutut. Rangkaian pelajaran pun dimulai, dari belajar melepas masker, mencari bantuan pernafasan kepada buddy, fin pivot (mempertahankan buoyancy di tengah kolom air dengan mengatur inflator dan nafas sehingga yang menyentuh dasar hanya fin kita), melepas BCD di dalam dan mengenakannya kembali, dan lain-lain. Tak terasa, dua hari di kolam, saya sudah melahap seluruh praktik yang diajarkan. Hari kedua di kolam, kami mencoba ke kedalaman 5 meter. Sukses. Kami sempat berjalan-jalan di bawah, berlatih seolah-olah sudah berada di antara rimbunan terumbu karang di lautan.
"Kita siap berangkat ke Pulau Kotok!" seru Abi.... (to be continued)
No comments:
Post a Comment