Friday, February 11, 2005

Melirik Kembali Mangrove





MUSIBAH selalu mendatangkan hikmah. Tak terkecuali dalam bencana gempa dan tsunami di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) dan Sumatera Utara. Sesaat setelah tsunami meluluhlantakkan Banda Aceh, Meulaboh, dan kota-kota di pesisir NAD lainnya, orang mulai bertanya-tanya, apa yang keliru dalam penanganan lingkungan pesisir di provinsi paling barat Indonesia ini.

Salah satu yang kemudian diakui banyak pihak adalah makin habisnya hutan mangrove di kawasan pesisir barat Aceh. Karena tak ada pelindung pantai yang kuat, gelombang tsunami disertai lumpur dengan leluasa menerobos masuk ke daratan, tanpa ada benteng penghadang. Dan kita menghadapi akibatnya yang fatal sekarang.

Penilaian tentang ketiadaan mangrove sebagai pelindung pantai agaknya tak terlalu salah. Di tanah rencong itu saja saat ini hampir tak ada ruang cukup yang tersedia bagi ekosistem khas pesisir ini. Kalaupun ada yang tersisa, itu hanya segelintir, sisanya sudah musnah dengan berbagai alasan. Ada yang membabat dan mendirikan perumahan di sana, atau membangun usaha seperti peternakan dan tambak. Sadar atau tidak, kegiatan ini sama dengan “membuka jalan” bagi bencana yang dahsyat.

Peran Luar Biasa

Dua tahun sebelumnya, dalam rangka memperingati Hari Lingkungan, Majalah INSANI sempat memuat kekhawatiran soal ini (baca: “Sabuk Hijau nan Hancur”, edisi Juni 2003). Meskipun telah digembar-gemborkan bertahun-tahun, tetap saja tak banyak yang menyadari bahwasanya mangrove merupakan sebuah ekosistem yang punya kemampuan luar biasa. Mangrove (oleh sebagian orang disebut sebagai bakau –yang sesungguhnya nama salah satu jenis mangrove), hanya dapat tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis dan sebagian subtropis. Tanaman ini ditemukan di pantai-pantai yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung.

Tercatat ada 202 jenis mangrove, terdiri atas 89 jenis pohon, 19 jenis liana, 44 epifit, dan 1 jenis sikas yang semuanya terbagi dalam 12 genera. Dari jumlah itu, 47 jenis di antaranya merupakan tumbuhan spesifik hutan mangrove. Dalam satu hutan mangrove, setidaknya terdapat salah satu jenis tumbuhan yang dominan yang termasuk dalam empat famili yakni Rhizoporaceae (Rhizopora, Bruguiera, Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus).

Menurut Bengen (2004), daerah yang paling dekat dengan laut, yang biasanya bersubstrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh jenis Avicenia spp. Bisa pula berasosiasi dengan Sonneratia spp, yang dominan tumbuh pada lumpur dalam. Sementara makin ke arah darat, hutan mangrove didominasi oleh jenis Rhizopora spp., juga Bruguiera spp. dan Xylocarpus. Sementara zonasi berikutnya banyak diisi oleh Bruguiera spp. Zona transisi antara hutan mangrove dan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans (nipah) dan beberapa spesies palem lainnya.

Indonesia patut merasa bangga dan beruntung karena memiliki keanekaragaman mangrove yang tinggi. Luasan hutan mangrove Indonesia mencapai 30% dari total luas mangrove seluruh dunia. Sayang, luasan itu terus menciut tahun demi tahun. Contohnya tahun 1982, masih ada 5,2 juta hektare lahan mangrove.Selang lima tahun sesudahnya, luasan itu berkurang menjadi 3,2 juta hektare. Kini, luas mangrove di Indonesia diduga hanya 2,3 juta hektare. Sebagian malah dalam kondisi kritis, yang harus segera direhabilitasi kalau tak mau hancur total.

Benteng Tsunami

Dari sudut fungsi ekologis dan ekonomi, mangrove tak ternilai harganya. Berbagai biota pesisir dan laut (ikan, udang, kerang, dan lain-lain) menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai daerah pemijahan/bertelur (spawning ground). Mangrove juga menjadi kawasan tempat berlindung (nursery ground) untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai biota. Mereka menangguk banyak keuntungan dari “kemurahan hati” mangrove. Dedaunan, ranting, dan bagian lainnya yang menjadi sampah dan jatuh ke air tidak sia-sia, bahkan menjadi unsur hara yang amat menentukan produktivitas perikanan sebagai feeding ground. Sampah ini, juga jasad renik yang muncul karenanya, menjadi makanan bagi hewan-hewan yang hidup di perairan ekosistem mangrove ini.


Tipe pohonnya yang kebanyakan kokoh, akarnya berjaring dan mencengkeram tanah, serta tumbuh bergerombol, menjadikan mangrove sebagai benteng alami yang mampu menghalangi atau mengurangi serangan angin, gelombang laut, hingga badai tsunami. Pengikisan daratan akibat gerusan air laut (abrasi) juga terhindari. Simak saja penjelasan Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Prof. Widi A. Pratikto. Menurutnya, hutan mangrove dengan ketebalan 60 hingga 75 meter dari bibir pantai mampu mengurangi gelombang laut sekitar 3,5 meter.

Jika terjadi gelombang pasang setinggi 4,5 meter di suatu daerah yang mempunyai hutan mangrove selebar 65 meter dari tepi pantai, maka gelombang itu ternyata dapat diredam sehingga tersisa tinggal setinggi satu meter. Bentangan hutan mangrove sejauh 1200 meter mampu mengurangi gelombang tsunami sekitar dua kilometer. Apalagi beberapa jenis mangrove memiliki kemampuan tumbuh hingga mencapai ketinggian 30 meter. Hutan mangrove menjadi pemecah tsunami sehingga kekuatan gelombang berkurang. Demikian pula kecepatannya (yang konon di laut mencapai 800 km per jam atau setara dengan kecepatan pesawat Boeing) dapat diperlambat oleh struktur hutan mangrove berikut akar-akarnya yang saling menjalin satu sama lain. Memang, mangrove tak berarti bisa mencegah tsunami seratus persen. Tetapi sebagai benteng alami, ia bisa mengurangi tingkat keparahan akibat tsunami dengan amat menakjubkan.

Maka, mendadak sontak setelah bencana, orang beramai-ramai bicara soal pentingnya mangrove. Departemen Kehutanan, misalnya, langsung menyatakan akan melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 200 ribu hektare di sepanjang pantai NAD dan sekitarnya. Departemen Kelautan dan Perikanan memaparkan pentingnya keberadaan hutan mangrove dalam sistem penataan ruang wilayah pesisir. Departemen ini menawarkan suatu model detil berupa konsep penataan ruang dengan memberikan perlindungan pantai pada zona bahaya rawan gempa//bencana di suatu kota. Salah satu rekomendasi mereka adalah pembangunan vegetasi pelindung pantai yang efektif dengan model menanam vegetasi pantai (mangrove) dalam radius minimal sejauh 200 meter dari garis pantai ke arah belakang, dengan tinggi vegetasi antara 10-15 meter. Departemen ini menggambarkan, setelah vegetasi mangrove, sebaiknya daratan diperuntukkan sebagai lahan perkebunan. Tanaman perkebunan akan berfungsi sebagai “benteng lanjutan”, yakni memecah gelombang tsunami, memperlambat kecepatan gelombang, dan untuk revitalisasi ekosistem pesisir.




Kasus Tongke-Tongke

Contoh terbaik bagaimana mangrove menyelamatkan kehidupan warga ada di Desa Tongke-Tongke. Desa yang terletak di Kelurahan Samataring, sekitar 9 kilometer dari pusat kota Sinjai, Sulawesi Selatan, merupakan desa yang terletak di daerah pesisir pantai. Tongke-Tongke berhadapan langsung dengan Teluk Bone.

Di jaman nenek moyang, kehidupan di Tongke-Tongke sebagaimana layaknya desa pesisir lain. Hutan mangrove masih cukup lebat, gangguan gelombang dan angin dari laut pun tidak pernah terdengar. Nelayan dengan mudah mencari ikan di kawasan mangrove. Namun lama-kelamaan, pohon-pohon penyelamat ini justru mulai ditebangi dan digunakan untuk bahan bangunann, kayu bakar, atau diujbah menjadi tambak dan lahan perumahan.

Tanpa sadar, warga Tongke-Tongke mulai mengalami krisis karena hilangnya sebagian hutan mangrove tersebut. Abrasi pantai mulai terjadi, yang mengakibatkan air pasang ke darat semakin meluas. Akibatnya, terjadi intrusi air laut di sumber-sumber air tawar penduduk. Penduduk makin kesusahan ketika hembusan angin kencang dan gelobang besar akibat tidak adanya jalur hijau (green belt) di sepanjang pantai tempat mereka bermukim semakin sering terjadi. Belum lagi soal hasil tangkapan ikan yang terus berkurang. Mau tak mau, penduduk yang sebagian besar menjadi nelayan harus menempuh jarak operasi penangkapan yang cukup jauh untuk memperoleh hasil yang layak.

Berbagai perubahan negatif yang terjadi itu sangat dirasakan oleh warga Tongke-Tongke. Celakanya, kala itu mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat untuk memperbaiki kondisi lingkungannya. Untung kemudian muncul seorang tokoh masyrakat desa bernama Haji Toyyeb. Ia melihat dan menyimpulkan, bahwa akar masalah semua ini adalah karena mangrove yang semakin punah. Haji Toyyeb lantas melakukan gerakan penanaman kembali mangrover di pesisir desanya. Tahun 1985, bersama dengan masyarakat desa, pria ini membentuk kelompok yang dinamakan ACI (Aku Cinta Indonesia). Mereka menanam kembali mangrove di areal kurang lebih 5 hektar di sekitar pantai desa.Tak heran, muncul semboyan di kalangan warga yang berbunyi ”tiada hari tanpa menanam mangrove”.

Berkat kerja keras dan ketekunan mereka, daerah yang ditanami mangrove semakin luas. Sampai saat ini diperkirakan 786 hektar lahan pesisir di desa itu telah dihijaukan kembali dengan mangrove. Kebanyakan jenis mangrove yang ditanam didominasi oleh Rhizopora sp., terutama Rhizopora mucronata. Jenis ini, menurut pengalaman masyarakat, cocok ditanam di daerah pesisir yang tanahnya agak berlumpur.

Ketekunan Haji Toyyeb dan kelompoknya telah menjadikan Desa Tongke-Tongke menjadi sebuah desa yang berhasil merehabilitasi kawasan hutan mangrovenya. Hasilnya,desa ini terbentengi dengan mangrove. Intrusi air laut di sumber-sumber air tawar penduduk hampir tidak ada lagi. Demikian pula ncaman angin dan gelombang besar sudah dapat dicegah. Belum lagi para nelayannya menjadi lebih mudah menangkap ikan karena hutan mangrove tersebut menyediakan banyak sumberdaya perikanan. Tongke-Tongke akhirnya mendapat Kalpataru, penghargaan tertinggi di bidang lingungan hidup Indonesia. Desa-desa lain di kawasan tersebut dan dari penjuru nusantara berdatangan untuk belajar pengalaman mereka.

Barangkali ada yang mengatakan, “Andai kita menanam mangrove belasan tahun lalu,” atau, “Kalau saja kita tidak menebang habis mangrove itu...” dan sebagainya. Sekarang, penyesalan dan perandaian itu tak lagi berguna. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Menanam dan melestarikan mangrove, mudah-mudahan dapat menjadi salah satu penebus kesalahan kita semua kepada anak cucu di masa mendatang. Semoga.

(ahmad husein)

No comments: