Friday, February 18, 2005

Membelah Buih di Cicatih

Arung jeram tak seseram yang dibayangkan. Butuh tenaga sekaligus nyali. Nikmati pemandangan alam sambil berbasah ria.

Sabtu pagi, Kota Bogor. Dengan mengendarai Kijang kapsul, sembilan rekan menjemput saya di depan Kantor PLN Merdeka. Kami bersepuluh memang janjian menuju Warung Kiara, Sukabumi. Niatnya satu: menjajal jeram dan riam Sungai Cicatih.

Hanya satu orang di antara kami yang sudah berkali-kali mengikuti arung jeram alias white water rafting ini. Selebihnya mengaku, ini pengalaman pertama kali. Maka, perjalanan mendebarkan pun dimulai menuju Warung Kiara, yang menjadi titik pertemuan kami dengan Cherokee --operator arung jeram di wilayah Cicatih. Warung Kiara ditempuh dengan jarak dua jam dari Jakarta atau satu jam dari Bogor. Itu kalau lancar. Faktanya, kemacetan --maklum akhir pekan-- terjadi di beberapa titik, terutama di kawasan pasar Cicurug.

Dari Ciawi, mobil melaju ke arah Sukabumi. Di daerah Cibadak, spanduk arung jeram milik Cherokee menyambut, dan mobil berbelok kanan menuju arah Pelabuhan Ratu. Setelah sekitar 1,5 jam di jalan, kami tiba di meeting point yakni stop over Cherooke, Desa Bojong Kerta. Tempat ini berada di tepi jalan, dekat jajaran hutan karet dan kekayuan lainnya.

Usai mendaftar dan menitipkan barang-barang berharga, masing-masing kami mulai berganti baju. Untuk berarung jeram, setiap orang hendaknya mengenakan kaos, lebih baik lagi lengan panjang. Sengatan matahari, ditimpali dinginnya air sungai akan mendera setiap saat di perjalanan. Celana pendek, dan sepatu atau sandal karet, berikut krem anti sengatan panas dan sinar matahari juga tak boleh dilupakan. Kalau ada kaca mata hitam, boleh juga.

Pilih Rutenya

Di aliran Cicatih ini, setidaknya ada dua operator yang menjalankan kegiatan arung jeram, yaitu Cherooke dan Riam Jeram. Di Cherokee sendiri, ada 3 paket perjalanan yang bisa diambil. Kami mengambil paket C1-Jeram-Jeram, dengan tingkat kesulitan riam (class atau grade) mencapai 3 hingga 4 (Lihat: Lain Riam Lain Kelasnya). Untuk pilihan ini, peserta harus berumur minimal 12 tahun. Jarak perjalanan adalah 12 kilometer dengan jarak tempuh sekitar 2 - 2,5 jam, finish di Desa Sirnajaya di kecamatan yang sama, Warung Kiara. Biayanya tak bisa dibilang murah, tapi masih terjangkau, Rp 195 ribu per orang (weekend), dan bisa lebih murah jika di hari kerja bisa, yakni Rp 175 ribu.

Semua harga itu sudah mencakup tanggungan asuransi, peralatan berstandar international, snack dan buffet ala Sunda. Setiap grup peserta juga didampingi oleh seorang pemandu (guide) yang profesional dan terlatih, berikut tim penyelamat (rescue) bersertifikat. Dan tak lupa, tiap peserta yang telah sukses mengikuti arung jeram akan mendapat sertifikat dari operator.

Tak lebih 15 menit, kami sudah siap dengan 'seragam' arung jeram: ber-life jacket yang ngepres di tubuh, helm, dan paddle (dayung) seorang satu. Dari pondok ini, kami memilih menuju start point dengan diantar mobil operator. Maka, kami bersepuluh pun duduk berhimpitan dengan seragam lengkap, terhempas-hempas di jalanan mendaki dan berbatu-batu. Ada yang bercanda, ada juga yang diam, memikirkan seperti apa rasanya berperahu karet sembari dihempas gelombang riam Cicatih.

Mengalahkan Pamor Citarik

Arung jeram alias rafting termasuk olahraga yang berisiko, sebagaimana menyelam (diving), dan terjun payung. Di Amerika, rafting termasuk olahraga populer, dan bahkan laris dibisniskan. Di Colorado, misalnya, bisnis ini termasuk menjadi sumber penyumbang terbesar pendapatan negara bagian itu.

Untuk Indonesia, sejarah rafting belumlah lama. Ia dipopulerkan sekitar tahun 1980-an. Saat ini, sebenarnya banyak jeram dan sungai Indonesia yang amat potensial dijadikan lokasi rafting. Yang sudah terkenal tentulah Citarik, Sukabumi, yang konon dibuka untuk umum tahun 1996. Tempat ini merupakan lokasi keempat untuk arung jeram di Indonesia setelah Bali, Sulawesi, dan Aceh. Ada juga Sungai Progo di Jawa Tengah (pernah memakan korban dalam perlombaan rafting beberapa tahun lalu), Sungai Serayu, Sungai Ireng-Ireng di di Lumajang, Jawa Timur, dan beberapa sungai di kawasan Sumatera Utara dan Aceh.

Jeram-jeram Sungai Citarik, salah satu anak Sungai Citarum, diakui secara internasional termasuk aman bagi pemula yang ingin mencoba olahraga ini. Adapun Cicatih --dan Cimandiri-- belakangan mulai mengalahkan pamor Citarik sebagai daerah arung jeram menantang. Apalagi dari segi lebar sungai, Cicatih lebih lebar (sekitar 20 meteran). Banyak pengunjung dan turis 'lari' ke Cicatih pada minggu-minggu belakangan, setelah lama tak turun hujan. Itu karena ketingggian air menyusut dan kurang menantang untuk dilalui. Sementara di Cicatih, tinggi air masih amat memadai.

Belajar Singkat

Kami tiba di start point pukul 10 lewat. Perahu karet dijejer di bantaran sungai. Untuk mencapainya, orang harus menuruni undakan dari semen, yang sekitarnya dikelilingi hutan bambu. Kami dipecah menjadi 2 kelompok. Kelompok saya dipandu oleh petugas bernama Dedi. Sementara petugas rescue-nya bernama Edi, yang khusus menggunakan kayak sambil mengawasi perjalanan kami nantinya.

Sebelum jalan, kami di-briefing singkat soal rafting dan seluk-beluknya. Untuk melakukan kegiatan mendayung, ternyata dibutuhkan teknik tersendiri. Memegang dayung yang berbentuk huruf T, misalnya, dilakukan dengan meletakkan ibu jari di bagian bawah dan empat jari lainnya mencengkeram atas. Sementara tangan lainnya memegang gagang di tengah, agar tercapai keseimbangan dan daya kayuh yang maksimal. Dalam mengayuh, seluruh panel dayung harus masuk ke air, jika tidak, power-nya akan berkurang. "Kalau nggak ada tenaga, itu mah bukan ngedayung, tapi ngaduk," kata Sukma, petugas briefing, sambil bercanda.

Aba-aba dalam rafting cukup ringkas. Ada istilah "Maju" (kanan atau kiri), yang berarti kita harus mengayuh dari depan ke belakang di kiri atau kanan. Sebaliknya, jika disebut "Mundur" (kanan-kiri), maka dayung dikayuh dari belakang ke depan. Jika diteriakkan "Stop", maka kita harus berhenti dan meletakkan dayung di atas pangkuan, dengan sirip/panel dayung di bagian luar. Kadang kala, ada aba-aba "Pindah Kiri" atau "Pindah Kanan". Pedayung yang ada di kanan, tinggal menggeser duduknya ke arah tengah, demikian sebaliknya. Sedangkan istilah "Boom" ditujukan jika ada benda, batu, ranting dan sebagainya di depan perahu yang akan menghantam. Pedayung harus memiringkan tubuh lebih rendah ke arah dalam perahu.

Tak lupa, kami diajarkan bagaimana caranya self rescue. Jika terlempar, perenang hendaknya mengatur posisi agar terlentang mengarah ke hilir, dengan kaki agak diangkat. Gunanya, jika di depan ada batu menghadang, ia tinggal menahan dan menolaknya dengan kedua kaki. Jika jarak jatuh dekat dengan perahu, perenang bisa langsung ditarik dengan cara memegang pelampung di kedua bagian bahu dan tarik. Kalau cukup berat, bisa juga dibantu dengan menarik bagian belakang pelampung. Atau, bisa pula dengan menjulurkan pangkal dayung yang berbentuk T.

Mafhum dengan tutorial singkat tadi, kami menutup briefing itu dengan doa bersama, dan mulai turun berurutan ke sungai, menaiki perahu karet. Posisinya sudah diatur, dua di depan kiri-kanan, dua di tengah kiri-kanan, dan belakang kiri. Pemandu mengambil posisi di belakang agak ke kanan. Lalu, perahu perlahan meluncur mengikuti aliran air ke hilir.

Maju, Stop, Boom!

Sepuluh menit pertama, biasa-biasa saja, tak ada ombak dan pusaran besar, atau riam yang menganga di depan mata. Perahu karet berjalan pelan. Sekali-sekali, aba-aba pemandu memerintahkan saya dan 4 rekan lain untuk mengayuh. "Maju...., Stop...., Maju...., Stop." Suasana sepi, yang ada hanya deburan arus sungai, dan suara burung hutan. .

Baru saja saya mengayuh dua tarikan, "Stop..!" tiba-tiba Dedi si pemandu memberi aba-aba. Tahu-tahu, di depan, riam berbuncah-buncah sudah menganga. Ini dia, kesempatan pertama. Dan, byurrr..... perahu oleng ke kiri, limpasan air menghantam seluruh pendayung yang ada di sisi tersebut. Teriakan membahana di perahu karet. Saya dan dua rekan lain di sayap kiri basah kuyup. Yang lain tertawa-tawa. Adrenalin tampaknya mulai terpicu. Perjalanan yang sesungguhnya mulai tampak.

Dan benar. Kami bertemu lagi dengan beberapa jeram. "Mundur.... Stop, Majuu....., Stop!" begitu teriak pemandu berkali-kali. Kami bekerja keras. Sementara suara teriakan pendayung dari perahu di belakang kami juga terdengar ketika mereka melewati jeram yang baru kami lalui. "Pindah kiri....." teriak pemandu, berusaha membuat manuver ke kiri, ketika perahu karet kami tertahan di celah sempit alur sungai. Lepas dari sana, perahu berputar-putar sebentar sebelum....

"Maju..... Stop, Booom...!" Alamak. Di depan, jalur kiri sungai, jeram menanti dengan ketinggian setengah meteran, sementara di depannya arus memutar dan berakhir di sebuah cadas dengan ranting-ranting pohon menjulur ke bawah. Serempak kami menghentikan dayung dan guncangan keras melontarkan perahu ke kiri, menghantam cadas sebelum kemudian terpental ke sebelah kanan. Saya relatif aman, dan langsung merunduk seraya menggeser badan ke arah dalam perahu. Sementara dua pengayuh di depan, wah, tipis sekali. Cadas hampir menerpa pipi kiri, Tak urung, ranting-ranting pohon tadi menghantam helm. Semua tanpa sadar berteriak histeris.

Namun di situlah rupanya letak petualangannya. Rasanya bebas bukan kepalang. Dan puas melalui riam yang lumayan 'mengerikan' barusan, perasaan berganti dengan kepuasan lain menyaksikan pemandangan hutan dan tebing di kiri-kanan sungai. Di tepian sungai hingga di atas tebing, banyak terdapat pohon aren atau kolang-kaling (Arenga pinnata). Saya juga menghitung, sepanjang perjalanan, setidaknya ada 2 jembatan gantung tradisional, yakni di daerah Bojong dan Cilulumpang. Sekali waktu, di bukit sebelah kanan, tampak petani tengah membajak sawah dengan 3 kerbaunya. Baru saya tersadar, sudah lama saya tidak melihat pemandangan klasik seperti itu.

"Biawak!" kata Burhan, rekan saya seperahu. Benar, di tepi sungai, sepasang mata tajam, dengan panjang tubuh kira-kira kurang semeter, sebagian tersembunyi di balik batu, seolah mengawasi perahu yang melintas. Biawak (Varanus salvator) merupakan hewan lazim yang menghuni sungai. Seekor yang lebih besar kami temukan beberapa puluh meter dari tempat biawak pertama. Yang satu ini langsung lari lintang pukang begitu perahu mendekati tempatnya berjemur.

Sepanjang perjalanan hari itu, perahu yang saya tumpangi mengalami 3 kali boom. Dan satu jam pertama tampaknya arah jalur sungai lebih banyak menikung ke kiri. Itu menyebabkan kami yang berada di sisi kiri lebih basah kuyup ketimbang sebelah kanan. Tapi basah itu terlupakan, apalagi ketika saat menuruni sebuah jeram lagi, nun di depan sana seorang staf Cherokee membidik aksi tersebut dengan lensa tele-nya.


Hayoo, yang manakah diriku.....???

Bule, Mbacang, dan Teroris

Setelah sekitar satu jam, kami menepi di pos antara. Tempat perhentian ini disebut daerah jeram S, mengingat bentuk alur sungainya meliuk seperti huruf S. Di sini, kami bertemu dengan 9 perahu dari kelompok lain, 12 di antaranya adalah turis asing. Sebagai pengisi perut, kami disuguhi penganan mbacang, sejenis lontong beras yang diisi daging dibungkus sedemikian rupa sehingga berbentuk segi tiga. Makanan ini biasanya banyak terlihat dijajakan di pasar dan terminal di kawasan Jawa Barat. "Mmm, yummy...," puji seorang bule yang mengaku baru pertama kali mencicipi jenis makanan seperti itu.

Saya mulai merasakan lengan kanan pegal. Tapi nyeri itu tak terlalu mengganggu. Usai istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Sial buat rekan-rekan saya di perahu karet lain. Entah kenapa, belum 100 meter melaju, mereka menepi kembali. Rupanya, perahu karet itu bocor. Untung ada tim penolong yang senantiasa mengawal, dan dengan sigap menggantikan perahu bocor tadi dengan perahu lain. Anggota tim tersebut dari awal senantiasa mendampingi peserta dengan perahu kayak-nya. Bedanya dengan perahu karet biasa, kayak lebih ramping, dan panel dayungnya terdapat di dua sisi.

Perahu karet kami melaju lagi. Kali ini semua lebih santai dan percaya diri. Beberapa kali kami berpapasan dengan grup lain dan saling menyiramkan air. Yang agak mengagetkan, salah seorang turis mancanegara yang kami temui tadi terlempar dari perahunya dan hanyut. Untung, arus tidak terlalu kencang, dan dia dengan segera mempraktikkan self rescue yang telah diajarkan sebelumnya. Rekan-rekannya sesama turis datang dan menyodorkan dayung untuk membantu menariknya. Dalam situasi begitu, masih ada yang bercanda dan nyeletuk, "Nggak usah ditolong, nanti yang nolong malah dituduh teroris lagi." Humor pahit ini mengundang tawa. Masih untung, turis asing tadi tidak mengerti.

Kami sampai di daerah yang merupakan pertemuan antara Sungai Cicatih dan Cimandiri, yang airnya tampak lebih tenang, Sambil menunggu grup yang perahunya bocor tadi, kami menceburkan diri ke luar dan berlatih bagaimana menarik rekan dari air. Posisi mengayuh pun sudah berubah. Kini saya memegang kendali di tengah kanan. Yang lain juga mengubah posisi mereka. Tak terhitung berapa jeram dan kelokan yang kami lalui. Semuanya dengan kecepatan tinggi dan menimbulkan emosi yang luar biasa.

Finish dan Pegal

Dari kejauhan, tampak jembatan beton di Leuwilalay, Desa Sinar Jaya. Itulah titik finish bagi semuanya. Sepuluh perahu pelan-pelan bergantian merapat. Di Saung Pinggir Padi --nama tempat peristirahatan ini-- seluruh peserta bisa melepas penat mereka. Ada kelapa muda, dan nasi timbel yang lezat. Bagi yang ingin melemaskan otot, ada pijat gratis 15 menit, terpisah pria dan wanita. Peristirahatan tersebut terdiri atas bangunan utama bertingkat dua dari kayu, yang lantai atasnya (anjungan) dipergunakan sebagai tempat solat. Sekeliling saung adalah persawahan dengan padi menghijau. Sebelah selatan membentang jajaran bukit hijau dengan Cicatih meliuk-liuk bak ular naga coklat. Dari sini, usai mengaso, orang bisa langsung kembali ke titik pertemuan di Warung Kiara, kembali melewati jalan berbatu dan mendaki. Sore hari, kami melaju pulang ke Bogor.

Dua jam membelah buih Cicatih, rasanya benar-benar menimbulkan sensasi. Perjalanan perdana yang mengesankan. Arus, ombak, buih, batu, dan tebing Cicatih, berpadu dengan, sawah-ladang, dan rimbun pepohonan. Kini tinggal satu pekerjaan yang siap menanti saya di rumah: mengolesi lengan yang luar biasa pegal dengan balsem! (ahmad husein)

3 comments:

Hani said...

waktu ke citarik pengen banget rafting, cuma aku mesti jaga anak2ku...walhasil cuma nonton suami dan temen2nya rafting ampe pelabuhan ratu.

salam kenal ya mad, silahkan di-link. aku link balik ya. kaya'nya kompiku lagi error deh, sb-nya nggak nongol :(

eniwei, kerjanya di environment ya. tulisan soal terumbu karang dan mangrovenya bagus. liat previous post-ku tentang canoeing...mudah2an suka :)

Anonymous said...

mas/mba saya bisa minta no telepon operator arung jeramnya ga?

yang riam jeram udah ada nah sekarang butuh yang cherokee nih..

umh via email aja ya ke:
widi.hadiansyah@gmail.com

Guns_chan said...

wah seru banged petualangannya,... jadi pengin maen rafting,