Thursday, February 10, 2005

Mencari Jarum dalam Jerami

Catatan perjalanan mencari sanak famili yang hilang di Banda Aceh

Ahad, 2 Januari 2005 (22.00 WIB)

Sudah delapan jam saya menunggu di terminal keberangkatan Bandara Polonia, Medan. Pesawat Garuda tujuan Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh, yang seharusnya berangkat pukul 15.40 WIB, tertunda hingga waktu yang tak dapat ditentukan. Pasalnya, bandara penuh oleh naik-turun pesawat pengangkut bantuan ke Banda Aceh. Ini hari ketujuh pasca musibah gempa dan tsunami yang melanda Aceh dan beberapa daerah di kawasan Asia lainnya. Situasi masih semrawut. Ruang tunggu pesawat reguler disesaki penumpang, terutama yang ingin ke Aceh dengan beragam tujuan. Tampak relawan dari PMI, LSM, dan beberapa rumah sakit di Jawa ikut terkantuk-kantuk menunggu waktu keberangkatan.

Saya sendiri tiba di Medan hari Rabu malam (29 Desember 2004), setelah sebelumnya memperoleh kepastian kabar kakak kandung perempuan yang terkena musibah. Lewat telepon seluler, kakak menelepon keluarga, termasuk ke saya, dari kediaman teman sekantornya. Kakak selamat, tetapi belakangan paru-paru kanannya diketahui terkena infeksi akibat menelan lumpur dan air. Sementara suaminya cedera serius di kaki kanan, sampai-sampai nanahnya harus disedor begitu ia dievakuasi ke Medan.

“Dua keponakanmu hilang,” kata Kakak dengan suara bergetar. Saya terhenyak, kosong. “Tolong jangan buat buat saya makin sedih,” imbuh Kakak, begitu mendengar saya mulai menangis. Dia dan suami selamat, padahal sempat terseret dan tergulung gelombang, lalu terapung-apung tak berdaya hingga satu jam lebih.

Sehari di Medan, kabar baik datang dari Banda Aceh. Anak sulung mereka ditemukan selamat. Allahu Akbar! Saat kejadian di daerah Lam Jame, Lampohdaya, Alin, bocah perempuan usia 7 tahun itu, diperintahkan lari oleh ibunya. Perintah itu ia patuhi dengan berlari tanpa henti. Meski sendirian dan sempat ditabrak motor pula, Allah menyelamatkannya. Keponakan saya ini akhirnya diselamatkan seseorang yang kebetulan mengenalinya. Itu berarti, keponakan saya ini sempat hilang 5 hari setelah kejadian. Sementara sang adik yang berusia 6 tahun belum ditemukan. Saat kejadian, ketika orang berteriak-teriak air laut pasang, bocah cilik itu diserahkan kepada seorang pemuda usia 20-an tetangga depan rumah yang biasa dipanggil Mas No, dengan pesan membawanya lari jauh-jauh. Sejak itu, mereka terpisah.

Karena kakak dan keluarga telah dievakuasi ke Medan, atas kesepakatan keluarga saya berangkat ke Banda Aceh menyusuri jejak Aulia Ghifari alias Agi, keponakan saya yang setahun lebih muda dari kakaknya itu. Sekaligus, bergabung dengan Posko KSKBA (Koalisi Solidaritas Kemanusiaan untuk Bencana Alam) NAD dan Sumut. Mereka adalah relawan gabungan berapa LSM Sumatera Utara, terutama yang bergerak memberdayakan petani dan masyarakat miskin kota.


Agi, semoga Allah memuliakanmu, di manapun engkau berada, nak.. :'(


Pukul 23.00 WIB, barulah pemberitahuan datang. Pesawat menuju Banda Aceh siap berangkat. Dalam perjalanan yang ditingkahi hujan tersebut, pikiran saya berkecamuk tentang bagaimana situasi Banda Aceh saat ini. Saya baru kali pertama ini ke kota ujung barat Sumatera tersebut. Menilik berbagai laporan media massa, kota itu masih berantakan. Mayat-mayat masih bergelimpangan. “Bismilllah, mudah-mudahan Allah meridhoi perjalanan ini,” bisik saya dalam hati.

Tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda tengah malam, saya langsung menuju Posko Dinas Kesehatan DKI. Di tempat ini, konon, keponakan saya sempat terlihat di tayangan sebuah stasiun TV. Kami berbincang-bincang sejenak dengan relawan petugas jaga malam itu, yang cukup ramah. Dari buku daftar pasien, terdapat nama Aulia, usia 7 tahun, pernah berobat pada tanggal 29 Desember 2004. Sayang, karena Posko ini bukan penampungan pengungsi, tidak ada data pendukung lain dapat membantu memberi petunjuk apakah benar nama itu adalah keponakan saya. “Situasinya sangat ruwet, Mas. Kita juga baru beberapa hari ini mulai mencatat nama pasien dan alamat asalnya,” kata relawan tersebut.

Keluar dari Posko Dinas Kesehatan DKI, saya mulai mencari-cari di mana kiranya akan tidur malam ini. Di dalam komplek bandara, banyak berdiri tenda pengungsi, sementara di depannya adalah Posko Polisi dan relawan. Saya memilih tidur di mushola, tepat berbatasan dengan landasan bandara. Sebelum tidur, saya sempat berbincang dan berkenalan dengan sekelompok relawan mahasiswa dari Langsa, Aceh Timur. Mereka sudah dua hari bertugas mengevakuasi mayat, dan kehabisan logistik. “Besok kami terpaksa pulang, Bang,” kata Najmuddin, yang mengaku ikhlas menolong saudara-saudaranya di Banda Aceh. Kami lalu mengambil tempat masing-masing dan segera terlelap tidur, ditemani suara memekakkan dari pesawat yang bolak-balik keluar-masuk bandara.

Senin, 3 Januari 2005

Dinihari tadi, konon gempa susulan terjadi. Saya tidak merasakan, mungkin karena pulas tertidur. Pagi harinya, dengan menyewa ojek, beberapa posko pengungsian di kawasan Blang Bintang kami datangi satu per satu, sembari menjelaskan ciri-ciri dan menempelkan foto bocah yang dimaksud. Di sisi lain bandara, tepatnya di pangkalan militer TNI-AU, tampak orang-orang berduyun-duyun mendaftar untuk bisa ikut diangkut pesawat C-130 Hercules ke Medan.

Iwan Munthe, kenalan di KSKBA, sebenarnya bermaksud menjemput ke bandara. Tetapi daripada menunggu, saya berpikir untuk meneruskan sewa ojek sampai ke kota, tepatnya di Posko KSKBA di kawasan Lam Seupeung. Saat melaju di jalan, tukang ojek mengingatkan untuk menggunakan masker. Rupanya kami melewati kawasan kuburan massal mayat-mayat yang ditemukan dalam bencana. Dari arah bandara, lokasi kuburan massal Lambaro ini berada di sebelah kiri jalan. Walaupun kegiatan penguburan belum dimulai lagi pagi itu, suasananya membuat saya sempat bergidik. Semoga semua arwah korban yang tewas mendapat tempat yang selayaknya di sisi Allah SWT. Amin.

Hari ini, bersama Iwan, Kak Mur, dan Mus --tiga teman dari KSKBA-- saya diajak untuk melacak sampai ke daerah Sare, sekitar 70 kilometer selatan Banda Aceh menuju Medan. KSKBA berencana melakukan pemantauan soal pasokan bantuan. Ditengarai, banyak posko pengungsi di luar Banda Aceh yang belum menerima makanan dan pakaian. Bantuan dengan truk-truk besar rupanya lebih mengalir ke pusat kota dan sekitarnya.

Bermodalkan Chevrolet bak terbuka yang sudah uzur, kami mulai menyisiri daerah Sare, turun ke bawah melewati Indrapuri, Seulimeum, Sibreh sampai ke kota kembali. Di sepanjang jalan, saya melihat yang paling dominan dan aktif mengurusi pengungsi –selain TNI—adalah rekan-rekan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Mereka bermarkas di Lambaro. Selain itu, kerja membanggakan juga ditunjukkan para relawan dari PMI, dan LSM seperti Front Pembela Islam, Bulan Sabit Merah, Mer-C, dan lain- lain. Yang aneh, hampir tak terlihat posko dari partai politik. Ke mana mereka?

Dugaan KSKBA tak salah, Ada banyak titik pengungsi yang belum memperoleh sepeser pun bantuan. Padahal, truk-truk pengangkut barang tiap menit melintas di jalan depan posko. Begitupun, ada satu peristiwa yang memberi kesan amat mendalam pada saya. Tatkala berbincang dengan para pengungsi di sebuah posko yang belum memperoleh bantuan, tiba-tiba dari kejauhan seorang pria tua dengan terseok-seok memikul sekarung penuh daun singkong segar mendatangi posko. Tangan kanannya menggenggam sabit. Sampai di hadapan kami, ia mengucap salam dengan suaranya yang lemah. Dalam bahasa Aceh, ia menjelaskan bahwa sekarung daun singkong itu ia hadiahkan buat para pengungsi. “Maaf, cuma ini, karena hanya ini yang saya punya,” ujarnya, lirih. Lantas, tanpa basa-basi panjang, sang kakek lantas berbalik, dan dengan langkah terseok-seok pulang. Kami semua terpana. Inilah pribadi luhur masyarakat Aceh, yang tiba-tiba dipertontonkan kepada kami. Hari itu, saya tak henti-henti mengagumi apa yang sudah dilakukan sang kakek.

Perjalanan kami sendiri tidak membuahkan petunjuk berarti tentang keberadaan keponakan saya. Kami kembali ke posko menjelang magrib. Di jalan, selama beberapa hari di Banda Aceh, saya terbiasa melihat truk besar melaju kencang di saat siang dan sore hari, diiringi teriakan relawan di atasnya yang minta diberi jalan. Itu adalah truk pembawa mayat hasil evakuasi untuk segera dimakamkan secara massal di Lambaro. Aroma tak sedap segera beterbangan di belakang truk, semua orang menutup hidung dan mulut. Saya menghela nafas.

Di beberapa posko, saya sempat menempelkan poster mencari tahu keberadaan sang keponakan. Agi, di mana engkau, nak?

Selasa, 4 Januari 2005

Sekali lagi, kami menyusuri kamp-kamp pengungsi di jalur jalan Indrapuri hingga ke Banda Aceh. Di setiap tempat, saya hampir selalu menempelkan poster pencarian. Dan cara ini rupanya juga dipakai oleh puluhan bahkan ratusan orang yang juga tengah mencari sanak keluarganya. Di posko pengungsi Mesjid Indrapuri, misalnya, disediakan papan khusus untuk tempat menempel informasi pencarian orang hilang. Selain itu, daftar nama pengungsi juga menjadi salah satu cara mencari keluarga yang hilang atau terpisah.

Repotnya, ada ratusan posko pengungsi di Banda Aceh dan sekitarnya. Jumlah pengungsi tiap posko amat beragam, dari hanya puluhan seperti di lingkungan mesjid di Sare, atau yang ribuan seperti di kawasan Mata Ie dan Jantho. Mencari sanak famili hilang memang seperti mencari jarum dalam jerami. Logika pencarian, yang bertumpu pada lokasi kamp dari kampung-kampung tertentu sesuai asal pengungsi, biasa digunakan. Di luar itu, tetap saja “tangan” Tuhan yang menentukan. Semua orang yang mencari informasi keluarganya tampaknya paham, yang mereka lakukan adalah ikhtiar, sementara manusia sepenuhnya tidak punya daya menentukan hasilnya. Sebelum pulang, Mus yang menyetir mobil, memutuskan mengajak temannya Dadang, seorang pengungsi yang tengah dirawat di Puskesmas Indrapuri, untuk tinggal di Posko. Dadang, perantauan asal Sumedang, kehilangan kakak kandung berikut istri dan anak mereka. Ia terlihat lemah, dan berkali-kali terbatuk. Saya curiga, paru-parunya terkena infeksi karena lumpur. Ketika disarankan untuk memeriksakan diri ke rumah sakit, Dadang menolak.

Malam di Posko KSKBA kami isi dengan menurunkan barang-barang bantuan satu truk penuh, yang didatangkan dari Medan dan Langsa. Isinya sebagian sumbangan dari warga desa dan petani, seperti pisang, daun singkong segar, kelapa, air minum kemasan, hingga nangka dan labu. Barang siap santap atau siap olah ini diharapkan dapat membantu pengungsi menambah variasi makanan mereka. Tak ketinggalan pakaian layak pakai, yang sebagian sudah disortir menurut ukuran dan jenisnya.

Malam ini ditandai pula dengan datangnya gempa susulan. Tidak terlalu keras, tetapi cukup membangunkan saya dan beberapa penghuni posko. Para perempuan, yang tidur di satu kamar, terbangun dan langsung membuka pintu seraya beristigfar. Rupanya sebagian dari mereka masih merasa trauma dengan gempa.


Relawan KSKBA bekerja tak kenal lelah mendistribusikan barang bantuan


Rabu, 5 Januari 2005

Setelah dua hari menyusuri luar kota, hari ini saya berencana mendatangi beberapa posko pengungsi di seputar Banda Aceh. Saya ditemani Kak Mur, salah satu staf di Posko KSKBA, yang juga bermaksud mencari tahu keberadaan beberapa famili dan kenalannya. Dengan mengendarai sepeda motor, kami sempat mengunjungi kamp pengungsi di komplek Dinas Pengairan, PU, di Lueng Bata. Di sini, ada hampir 700 jiwa pengungsi, yang mayoritas berasal dari daerah Lhoong.

Kak Mur menanyakan info Emak yang rumahnya pernah ia tinggali beberapa tahun silam. Kebetulan ada tetangganya yang mengenal. “Maaf, Kak, Emak dan keluarga sudah tidak ada (meninggal),” kata anak muda itu. Saya menoleh ke Kak Mur. Ia tidak bicara, tidak meraung atau meratap. Hanya air matanya jatuh berlinang-linang, begitu mendegar kepastian kabar tersebut. Hampir semua warga Aceh tampaknya telah kehabisan kata-kata dalam menghadapi bencana besar ini. Saya cuma bisa tergugu.

Kami bahkan mencapai Jantho, ibukota Aceh Besar. Kota ini jauh di atas bukit, dari tepi jalan masih berjarak 5 kilometer lagi ke dalam. Di sini ada sekitar 7000 pengungsi, tersebar di mesjid dan rumah-rumah penduduk. Sementara di kamp di Mata Ie, pengungsi tinggal di dalam komplek TNI-AD. Di sini setidaknya ada lebih 3000 jiwa berteduh dalam tenda-tenda sederhana. Letak Mata Ie yang di atas bukit dan berhawa sejuk menjadi pilihan tepat dan aman bagi pengungsi, yang amat trauma dengan gempa – dan terutama gelombang tsunami.

Kami bertanya di Posko Kesehatan milik TNI-AD. Menurut mereka, sampai saat itu ada lebih 2000 pengungsi yang berobat, dan keponakan saya tidak ada di dalamnya. Kami terpaksa melakukan penyisiran dari tenda ke tenda, mengingat daftar pengungsi yang lengkap belum dibuat oleh pihak yang berwenang. Di luar komplek TNI, masih ada kamp pengungsi besar lainnya, yakni di komplek TVRI, yang berisi lebih 2000 pengungsi. Saya sempat mendaftarkan nama keponakan yang hilang di posko milik UNICEF, yang mengkhususkan diri mendata anak hilang.

Beberapa posko di Ketapang dan kawasan sekitarnya juga tak luput dari kunjungan. Dan sebagaimana ditebak, hasilnya nihil. Kami pun sempat mengejar informasi dari supir taksi, yang menyatakan pernah melihat anak dalam poster yang kami tempel sebelumnya. Di Puskemas Lambaro, informasi itu kami tanyakan. Ternyata nama dan umurnya berbeda dari yang kami cari.

Di jalan, kami sepakat masuk ke kota untuk melihat beberapa lokasi yang menjadi tempat tinggal sanak famili Kak Mur. Termasuk saya, juga ingin melihat kawasan Lam Jame, tempat tinggal kakak, yang konon telah rata dengan tanah. Dengan hanya berbekal masker, kami masuk ke kawasan bekas bencana tersebut.

Masya Allah, situasinya betul-betul membuat saya terkesiap. Kehancuran yang terjadi lebih dari apa yang saya bayangkan di televisi. Rumah dan bangunan hancur berserakan, sebagian besar malah rata dengan tanah. Dalam jarak pandang hingga dua kilometer, yang ada hanya kekosongan. Seolah tidak ada kehidupan sebelumnya di sini. Pesisir Banda Aceh terlihat di kejauhan, padahal di hari-hari biasa, tak mungkin bisa melihatnya dari sini. Sementara sampah papan, beton, seng, gelondongan kayu, hingga segala isi rumah berceceran dan bertumpuk di mana.-mana, berlapis lumpur tebal yang belum mengering. Bau anyir menyergap di mana-mana. Di balik reruntuhan bangunan itu, mungkin terselip puluhan jasad yang belum sempat dievakuasi. Ya Allah, begitu dahsyat akibat tsunami yang Engkau hadirkan ini. Saya berkali-kali menggumamkan zikir sambil membawa motor berkelit melewati tumpukan sampah yang menggunung. Tangan saya gemetar.


Semua musnah, rata dengan tanah. Situasi di Lam Jame, Lampohdaya


Masuk ke kawasan Lam Jame, sepasukan tentara tengah menyusun mayat-mayat dalam kantong plastik hitam. Baunya jangan ditanya. Mereka sendiri kelihatannya telah mati rasa, bekerja dan terus bekerja. Beberapa malah dengan santai menyantap makan siangnya. Di kawasan Peukan Bada, pemandangan lebih tragis terlihat. Di jalan masuk ke kawasan itu, sesosok mayat yang belum dievakuasi masih tergeletak di tepi jalan, menggelembung dan berwarna kehijauan. Kak Mur terpekik, sementara saya membanting stang motor ke kanan agar tidak berdekatan dengan jasad itu. Baru separo jalan, Kak Mur menyerah, ia mengajak saya kembali. Kami pun pulang ke posko, setelah sempat melewati Mesjid Baiturrahman yang masih kokoh berdiri. Sementara kawasan sekitarnya hancur lebur.

Hari ini, saya sempat kontak dengan Mas Nurbowo dari INSANI. Ia menginap bersama teman-teman dari Mer-C Jakarta. Bowo rupanya pergi ke Ulee Lheu, kawasan yang hampir seluruh penduduknya disapu tsunami. “Banyak mayat di sini, tertimbun dan terjepit di reruntuhan, kami tidak bisa berbuat banyak,” kata Bowo, tercekat. Saya maklum, semangat semua relawan dari penjuru nusantara untuk menolong saudara-saudaranya sesama muslim sering terbentur dengan kenyataan di lapangan. Semoga mereka bisa berbuat yang terbaik, saya membatin.

Malam hari, gempa datang lagi dengan kekuatan tak jauh dari sebelumnya. Beberapa relawan yang baru datang dari Medan merasa kaget, tapi sejurus kemudian bisa tersenyum kembali.


Kamis, 6 Januari 2005

Hari ini saya dan beberapa teman mengalami beberapa kejadian luar biasa. Pertama, pagi-pagi kami sudah mengalami gempa susulan kembali. Kali ini lumayan keras. Saya sampai mendengar rumah beton yang menjadi posko kami berderak-derak, diiringi goyangan dan guncangan mirip truk terjerumus ke dalam lubang. Keras sekali. Kami pun berhamburan ke luar. Syukurlah, situasi kemudian berangsur normal. Kami melanjutkan menurunkan barang-barang bantuan. Kali ini lebih banyak: 2 truk.

Menjelang siang, saya, Bang Henry (abang ipar dari kakak sulung), berikut dua aktifis gerakan tani dari Langsa dan Kisaran, berangkat dari KSKBA menuju Kede Bieng, Lhok Nga, menjumpai mertua kakak perempuan dan keluarganya. Di sepanjang jalan ke sana, gelimpangan mayat masih terlihat dijajarkan di tepi jalan, untuk diangkut truk evakuasi. Beberapa lahan kosong digali untuk kuburan jenazah-jenazah tersebut. Di Lhok Nga, situasinya lebih horor lagi. Semua bangunan rata dengan tanah, pantai terlihat dari kejauhan. Dua komplek tentara di sana, Kompi Senapan B dan Zipur, luluh lantak tak berbekas. Entah bagaimana nasib penghuninya. Pepohonan pinus yang ada di tepi pantai semuanya seperti habis ditebas kapak, terpenggal semuanya. Sementara pabrik semen besar yang selama ini kokoh berdiri ikut diterjang ombak. Kapal tanker yang mangkal di perairan dekat situ malah “melompat” masuk ke areal pabrik. Sampai sejauh mata memandang, daerah ini telah rata. Kecuali mesjid di Lampu’uk. Ia masih tegar berdiri. Subhanallah. Di tempat-tempat lain, perihal mesjid yang tetap utuh juga umum kami temui.


Jenazah bergelimpangan di mana-mana. Semoga Allah SWT menerima mereka. Amin

Kami bertemu dengan sanak famili di Kede Bieng dan saling berbagi cerita. Adir, ipar saya yang lain, kami ajak ikut menjadi pemandu jalan menuju beberapa kamp pengungsi dari desanya. Karena trauma, mereka memilih tinggal di hutan-hutan di bukit sekitar Mata Ie. Termasuk mertua lelaki dari kakak perempuan saya. Sebuah rumah kecil kayu bertingkat dua dijejali dengan 50 pengungsi. Data ini dicatat oleh KSKBA untuk nantinya dapat dikirim bantuan. Mereka tampak terharu karena didatangi oleh KSKBA, apalagi ada saya dan abang ipar sulung yang menjadi familinya. Mertua lelaki dari kakak itu berkali-kali menyeka air matanya.

Dari Mata Ie, kami kembali ke kota. Di sebuah jembatan Jalan Teuku Umar, kami berhenti, karena dua rekan ingin melihat daerah yang masih belum tersentuh itu. “Banyak mayat diangkut ke dalam truk di dalam sana,” kata mereka. Dan peristiwa mendebarkan pun terjadi ketika kami sampai di simpang empat menuju jembatan Krueng Aceh. Dari arah pantai di kiri jalan, tiba-tiba belasan orang relawan berhamburan dan berlari panik sambil berteriak, “Lari, lari, air, air….”.

Kami terkesiap. Air? Apakah akan terjadi tsunami lagi? “Tapi kan tidak ada gempa?” tanya abang ipar saya, heran. Suasana mendadak berubah tegang dan akhirnya kacau balau. Apalagi tentara dan polisi di sekitar sana tampak ikut panik dan berlari kencang menjauhi pantai. Seorang tentara malah sempat terseret truk-nya yang tancap gas menjauhi lokasi tersebut. Kami mencoba tenang, membuka kaca jendela mobil dan bertanya pada seorang polisi yang tengah berlari cemas. “Air naik lagi!” katanya sambil menunjuk ke arah pantai.

Deg, saya tiba-tiba lemas tak terkira. Apakah saya akan mengalami juga bencana tsunami yang mengerikan itu? Tanpa dikomando, bibir kami komat-kamit dengan zikir dan doa. Sebuah truk Reo malah hampir menabrak mobil kami, karena ia hendak memotong jalur berbelok ke kanan. Kendaraan saling serobot, knalpot motor meraung-raung. Kacau sekali. Sebagian dalam mobil menyarankan kami langsung melaju ke Mata Ie. Tapi sebagian menolak, karena ada daerah cekungan yang bisa mengakibatkan mobil terjebak di sana.

Untung abang ipar yang bertindak sebagai sopir bertindak cekatan. Ia membanting setir ke arah kiri, menyeberangi jembatan dan tancap gas menuju kawasan Simpang Surabaya, yang dianggap cukup tinggi dan aman. Di belakang ratusan orang berlari-lari dengan panik. Seorang polisi di kanan jalan saya lihat malah ikut kalut. “Hei, ini ke arah mana, mana arah rumah kita,” katanya menghardik rekannya.

Sesampai di Simpang Surabaya dan langsung menuju Posko, kami yang masih gemetaran mengabarkan kejadian itu. Zainuddin, ketua ISEED (Institute for Social, Economic and Environment Development) Aceh menenangkan sembari berkata, kecil kemungkinan terjadi tsunami lagi, mengingat tidak terjadi gempa pendahuluan. Dan ternyata memang benar, semuanya hanya isapan jempol belaka. Entah siapa yang keji menyebarkan provokasi tentang tsunami. Ada yang bilang, itu ide penjarah, yang langsung beraksi ketika orang-orang berlari meninggalkan kawasan pertokoan yang banyak terdapat di daerah tersebut.

Jumat, 7 Januari 2005

Saya harus kembali ke Medan hari ini. Berat rasanya, mengingat sampai lima hari di Banda Aceh, saya tetap belum mendapat petunjuk tentang nasib keponakan tersebut. Dari pagi hingga siang hari, saya sempatkan melacak kembali ke beberapa rumah sakit di Banda Aceh seperti RS Harapan Bunda, RS Fakina, dan RS Kesdam.

Di RS Kesdam, saya bertemu dengan wartawati sebuah stasiun TV, yang dulunya kebetulan rekan kerja di sebuah majalah berita nasional. Rupanya ia sudah mendengar tentang musibah yang menimpa kakak saya. Saya pun memberinya poster pencarian dan menitipkan pesan, siapa tahu dalam tugas reportasenya ia memperoleh kabar baik. Dewi, sahabat saya itu, sempat pula bercerita tentang banyak warga yang terserang gangguan jiwa akibat bencana gempa dan tsunami. Ia tengah meliput tentang isu tersebut. Di tepi jalan dekat Posko KSKBA sendiri, kami menyaksikan bagaimana seorang ibu, yang hanya berbekalkan buntalan baju, lari hilir mudik di sepanjang jalan Tengku Imum, sambil berteriak-teriak, “Air…. air….” Sementara di dekat Mesjid Raya, kami sempat melihat seorang bapak yang bertelanjang dada dan cuma mengenakan sarung, dengan mata kosong memutar-mutar roda becak yang terguling di tepi jalan. Pemandangan yang menyayat hati.

Sore hari, saya sudah berada di bandara, bersiap menuju Medan. Sambil menanti pesawat, yang akhirnya berangkat pukul 01.00 WIB dinihari, saya sempat berkenalan dengan beberapa warga yang hendak pergi dengan pesawat serupa. Yang paling saya ingat adalah Emil, pria 20 tahunan asal Pungee Ujung. Ayah, ibu, kakak, dan pamannya tewas akibat gempa dan tsunami. Ia sebatang kara kini. “Ketika usai gempa, saya keluar naik motor, rupanya saat itulah air menghantam rumah berikut keluarga saya di dalamnya,” kata Emil, datar. Ia kelihatan memendam duka. Apalagi, sesungguhnya akhir bulan Januari 2005, ia seharusnya maju untuk sidang skripsi meraih gelar sarjana ekonomi di Universitas Syiah Kuala. Lalu, ke mana ia akan pergi? “Ke rumah bibi, adik perempuan ibu, di Jakarta. Untuk apa lagi saya di sini?” tanyanya balik. Wajahnya mengeras.

Sesaat sebelum menaiki tangga pesawat, saya pandangi sekali lagi kawasan Blang Bintang dalam bayangan malam. Perjalanan saya mencari sanak famili belum berhasil. Saya cuma mampu berdoa, di manapun ia berada, hidup atau mati, Allah SWT senantiasa merengkuhnya dalam kemuliaanNya.

Di lain pihak, lima hari di Banda Aceh membuat saya memperoleh pengayaan batin yang tiada tara. Benar kata abang ipar saya. “Jika ingin belajar tentang ilmu pengetahuan, kemanusiaan, dan ketuhanan, maka datanglah ke Aceh..”

(ahmad husein)


2 comments:

eFMG said...

Mas, semoga Allah memberikan yang terbaik.

eFMG said...

Mas, semoga Allah memberikan yang terbaik.